I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia. Kepolisian adalah hak-ihwal berkaitan dengan fungsi

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana psikotropika dengan pelaku anak

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas.

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

III. METODE PENELITIAN. Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara berkembang sangatlah membutuhkan pembangunan yang merata di

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah,

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

I. PENDAHULUAN. seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis,

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

I. METODE PENELITIAN. tertentu dengan cara menganalisanya. Untuk usaha mencari dan mendapatkan jawaban atas

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri.

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

III. METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini penulis melakukan dua pendekatan yaitu :

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagai mana yang diatur dalam Undang-

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

I. PENDAHULUAN. kondisi sosial budaya dan politik suatu negara berkembang untuk menuju sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh seseorang yang menempati posisi di dalam status sosial (Margono Slamet, 1995: 15).

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PP 2/2002, TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

METODE PENELITIAN. penelitian guna dapat mengolah dan menyimpulkan data serta memecahkan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan dengan tegas, bahwa pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hakekat dari ketentuan UUD 1945 tersebut di atas secara negatif mengandung arti, bahwa setiap pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang, termasuk penahanan tersangka pelaku tindak pidana yang dilakukan tidak berdasarkan undang-undang dan tidak dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, atau untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, merupakan pelanggaran HAM. Pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang termasuk penahanan tersangka pelaku tindak pidana yang dilakukan tidak berdasarkan undang-undang sebagai pelanggaran HAM diatur dalam Pasal 9 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) (selanjutnya disingkat ICCPR) yang menentukan,

Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun yang boleh dikenakan penahanan atau penahanan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun boleh dirampas kebebasannya kecuali dengan alasan serta menurut prosedur sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang. Ketentuan UUD 1945 dan ICCPR sebagaimana dikutip diatas, dibuat dalam rangka menjamin tidak terjadinya pelanggaran terhadap hak dan kebebasan seseorang sebagai salah satu bentuk HAM dalam kaitannya dengan penahanan tersangka pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang sering disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) menentukan secara ketat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan dan perpanjangan penahanan terhadap tersangka. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Penahanan atau penahanan lanjutan (perpanjangan penahanan, pen.) terhadap tersangka hanya untuk kepentingan penyidikan (Pasal 20 ayat (1) KUHAP). 2. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) KUHAP). 3. Penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka dilakukan dengan surat perintah penahanan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia ditahan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP).

4. Keluarga tersangka yang ditahan atau yang diperpanjang penahanannya harus diberikan tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutannya (Pasal 21 ayat (3) KUHAP). 5. Penahanan dan perpanjangan penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). 6. Penahanan terhadap tersangka paling lama 20 hari (Pasal 24 ayat (1) KUHAP). Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya (Pasal 24 ayat (2) KUHAP) beserta Penjelasannya. Berdasarkan kutipan di atas dapat dinyatakan, bahwa perpanjangan penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka oleh penuntut umum harus didasarkan pada alasan dan resume hasil pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik yang diajukan kepada penuntut umum. Dengan kata lain, perpanjangan penahanan tersangka oleh penuntut umum hanya boleh dilakukan apabila penyidik dapat memberikan alasan, bahwa masa penahanan pertama selama 20 hari belum cukup untuk menyelesaikan pemeriksaan terhadap tersangka. Alasan

ini harus dibuktikan melalui resume hasil pemeriksaan tersangka selama masa penahanan 20 hari tersebut yang diajukan kepada penuntut umum. Ini berarti bahwa penuntut umum tidak diperbolehkan memberikan perpanjangan penahanan terhadap tersangka yang tidak diperiksa secara maksimal oleh penyidik selama masa penahanan 20 hari sebelumnya. Pengamatan penulis terhadap penahanan tersangka yang dilakukan oleh penyidik di lingkungan Kepolisian Kota Besar (selanjutnya disingkat Poltabes) Bandar Lampung selama ini, mengindikasikan cukup banyak tersangka yang ditahan selama 20 hari tidak diperiksa secara maksimal oleh penyidik di lingkungan Poltabes Bandar Lampung. Di samping itu sebagian besar penyidik di lingkungan Poltabes Bandar Lampung baru menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (selanjutnya disingkat SPDP) kepada penuntut umum pada saat pengajuan permohonan perpanjangan tersangka. Permasalahan ini menarik penulis untuk membahas masalah perpanjangan penahanan tersangka oleh penuntut umum di Kejaksaan Negeri Kelas IA Bandar Lampung melalui skripsi yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Perpanjangan Penahanan Tersangka di Kejaksaan Negeri Kelas IA Bandar Lampung. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah : Apakah pelaksanaan perpanjangan penahanan tersangka di Kejaksaan Negeri Kelas IA Bandar Lampung telah sesuai dengan ketentuan KUHAP? 2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dalam penulisan skripsi ini secara substansial dibatasi pada hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan penahanan, sedangkan ruang lingkup wilayah dibatasi pada Kejaksaan Negeri Kelas IA Tanjungkarang. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka tujuan penelitian adalah : Untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan perpanjangan penahanan tersangka di Kejaksaan Negeri Kelas IA Bandar Lampung dengan ketentuan KUHAP. 2. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut : a. Kegunaan teoritis, dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam mengimplementasikan perlindungan hak-hak tersangka dalam KUHAP, khususnya yang berkaitan dengan penahanan. b. Kegunaan praktis, sebagai bahan pertimbangan bagi penuntut umum dalam menyikapi permohonan perpanjangan penahanan tersangka yang diajukan oleh penyidik. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986: 124).

Pasal 20 ayat (1) KUHAP menentukan, Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. Sebelumnya Pasal 12 menentukan sebagai berikut : (1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama 20 hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan telah terpenuhi. (4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Ketentuan KUHAP sebagaimana dikutipkan di atas menurut Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, dan Mas Achmad Santosa (1986: 192) mengandung arti, bahwa : a. Perpanjangan penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka yang ditahan oleh penyidik selama 20 hari, boleh diberikan oleh penuntut umum hanya apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai. b. Untuk menjamin, bahwa perpanjangan penahanan yang dimintakan oleh penyidik benar-benar diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, maka setiap permintaan perpanjangan penahanan yang dimohonkan oleh penyidik harus disertai dasar alasan mengapa waktu 20 hari penahanan tidak cukup untuk menyelesaikan pemeriksaan dan resume hasil pemeriksaan selama masa penahanan 20 hari. 2. Konseptual Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambar hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris, biasanya telah dirumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu (Sanusi Husin, 1997: 9). Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap istilah yang digunakan dalam skripsi ini, maka disusun konseptual sebagai berikut :

a. Tinjauan yuridis adalah menguraikan atau menjabarkan suatu kasus atau kesalahan dari aspek hukum (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2003: 546). b. Perpanjangan penahanan tersangka adalah penambahan waktu penahanan tersangka selama 40 hari yang diberikan oleh penuntut umum kepada penyidik (Pasal 14 huruf c KUHAP joncto Pasal 24 ayat (2) KUHAP). c. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP). d. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP). e. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 1 angka 6 KUHAP joncto Pasal 14 huruf c KUHAP).