Keterlibatan Pengadilan dalam Proses Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Arbitrase

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN

ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ARBITRASE 1 Oleh : Hartarto Mokoginta 2

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

KEKUATAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN MELALUI PROSES PENGADILAN DAN DILUAR PENGADILAN

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING DI BALI

JURNAL. Peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen Melalui Proses Mediasi di Yogyakarta

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST)

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang : Arbitrase Dan Penyelesaian Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang dalam melakukan kehidupan sehari-hari, seringkali tidak pernah lepas dalam melakukan

Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015

CARA MENYELESAIKAN SENGKETA DALAM EKONOMI MAKALAH. Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA MELALUI MEDIASI DI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA DENPASAR

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

FUNGSI PERJANJIAN ARBITRASE

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 30 TAHUN 1999 (30/1999) (30/1999) TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

KONTRAK STANDAR PERJANJIAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KEGIATAN BISNIS. Oleh : Deasy Soeikromo 1

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perkembangan dunia bisnis yang semakin pesat dalam era globalisasi mengakibatkan

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN SYSTEM COURT CONNECTED MEDIATION DI INDONESIA. memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu para pihak

PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL

PERSELISIHAN HAK ATAS UPAH PEKERJA TERKAIT UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ANTARA PEKERJA DAN PENGUSAHA

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI LEMBAGA ARBITRASE HUBUNGAN INDUSTRIAL

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SECARA MEDIASI TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI DAN PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN. A. Latar Belakang Lahirnya Prosedur Mediasi di Pengadilan

PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI MEKANISME MEDIASI

TESIS. PEMBATALAN PUTUSAN BADAN ARBITRASE SYARIAH OLEH MAHKAMAH AGUNG (Analisis Putusan Mahkamah Agung No.56 PK/AG/2011)

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.

KAJIAN HUKUM ONLINE DISPUTE RESOLUTION (ODR) DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN ARBITRASE DI INDONESA Oleh: Suwardjo Dosen Kopertis VI Jateng Dpk. Pada Fakultas Hukum Universitas Surakarta.

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. tahap pembangunan diberbagai bidang, sehingga mempengaruhi sebagian bidang

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN AUTENTIK SEWA-MENYEWA TANAH

TESIS ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK SHOWBIZ DI INDONESIA

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

Transkripsi:

Keterlibatan Pengadilan dalam Proses Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Arbitrase Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta Email: alp120@ums.ac.id Abstract In this era, business disputes resolution need to be done in informal procedure and be put in motion quckly. Arbitration as one of dispute resolution institution has some excellencess, for instance secrecy dispute, a relatively short time, the cost of relatively inexpensive, and provided more flexibility process on the parties and also arbitrators. On the other hand, this institution also has some weaknesses like problems in the recognition of foreign arbitral ruling and the execution of arbitration ruling still need court s intervention in some cases. In fact, the parties on weak position tend to use the courts as an effort to evasive from an obligation or just buying time fulfillment of an obligation. This essay will discuss about the form of intervening of the courts to the arbitration disputes resolutions; and needs to know if arbitration as an institution outside court can positioned parallel to the judicial.furthermore, this research includes normative law research, for the purpose of solving the issue of law and provide a prescriptive illustration. A source of research use primary law materials, secondary law materials, and non law materials. Moreover, data analysis uses the act statutory offense approach which is conduct a study on the legislative relevant to the discussed. The results of the study shows that the form of indonesian courts intervention in the process settlement by arbitration can be classified to interfere before the judicial arbitrage and after the judicial. Next, an arbitration verdict parallel and having legal force equal to judicial decisions because it is final and binding also have command execution. Keywords : arbitration, court, dispute resolution 1. PENDAHULUAN Perkembangan dunia bisnis yang semakin pesat dalam era globalisasi mengakibatkan meningkatnya sengketa yang terjadi diantara pelaku bisnis. Upaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut dapat dilakukan melaui dua cara yaitu jalur litigasi dan non litigasi. Penyelesaian sengketa bisnis pada era saat ini dituntut untuk dapat bergerak secara cepat dan menuntut cara-cara yang informal (informal procedure and be put in motion quckly) 1. Cara penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan dianggap sudah tidak relevan karena putusan yang dihasilkan lebih bersifat adversarial, waktu yang digunakan relatif lama dan kerahasiaa pihak tidak terjamin, sedangkan alternatif penyelesaian sengketa dapat memberikan kesepakatan yang bersifat win-win solution, waktu yang 1 Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hlm 280 digunakan relatif singkat, dan kerahasiaan pihak dapat terjamin. Di Indonesia, Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya dalam tulisan ini disebut UUAAPS) membedakan antara alternatif penyelesaian sengketa 2 dan arbitrase 3. Arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa memiliki beberapa kelebihan antara lain kerahasiaan berperkara, waktu yang relatif singkat,biaya relatif murah, dan memberikan keleluasaan berproses bagi 2 Pasal 1 angka 10 UUAAPS menyatakan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. 3 Pasal 1 angka 1 UUAAPS menyatakan bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 317

para pihak dan juga arbiter. Namun disisi lain lembaga arbitrase juga memiliki keterbatasan misalnya masalah pengakuan terhadap putusan arbitrase asing, selain itu karena eksekusi putusan arbitrase untuk beberapa kasus masih memerlukan bantuan pengadilan. Selain itu ada upaya dari pihak yang beritikad buruk untuk menganulir atau membatalkan putusan arbitrase melalui pengadilan artinya para pihak yang tersudut dalam putusan arbitrase cenderung menggunakan pengadilan sebagai upaya untuk mengelak dari kewajiban ataupun sekedar mengulur waktu pemenuhan kewajiban. Tulisan ini lebih lanjut akan membahas mengenai keterkaitan pengadilan dan lembaga arbitrase dalam perspektif UUAAPS. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis selanjutnya dapat merumuskan dua masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu : 1) Bagaimanakah bentuk campur tangan Pengadilan dalam proses penyelesaian sengketa melalui Arbitrase? 2) Apakah Arbitrase sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat diposisikan sejajar dengan lembaga peradilan? 2. KAJIAN PUSTAKA Kajian Tentang Arbitrase Pengertian Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 UUAAPS adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yg bersengketa. Sedangkan Purwosutjipto menyatakan bahwa Arbitrase adalah peradilan perdamaian dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka dpt diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk para pihak sendiri dan putusannya mengikat kedua belah pihak. 4 Landasan hukum mengenai diakuinya Arbitrase di Indonesia yaitu : 5 4 Rachmadi Usman, 2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hlm 137. 5 Susanti Adi Nugroho, 2015, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Jakarta : Kencana, hlm 87-93. a. Pasal 377 HIR atau 705 RBG yang menyatakan bahwa jika orang Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa. b. Pasal 615-651 Rv yang menyatakan bahwa Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaanya untuk melepaskannya,untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit. c. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk di eksekusi (executorial) dari pengadilan. d. Pasal 1 angka 8 UU No 30 Tahun 1999 memberikan defenisi mengenai lembaga arbitrse. Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat menberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase menurut Pasal 5 UUAAPS adalah : a. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan yang mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. b. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase yaitu sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. 6 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini berdasarkan bidang kajiannya adalah termasuk penelitian hukum 6 Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUAAPS 318

normatif, dengan tujuan untuk memecahkan isu hukum dan memberikan gambaran preskripsi mengenai apa yang seyogyanya. Sumber-sumber penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai arbitrase di Indonesia yaitu Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. 3. Bahan bahan non hukum, yaitu bahan di luar bidang ilmu hukum yang penulis gunakan untuk memperkaya wawasan dan membantu dalam memahami persoalan hukum dalam penelitian ini sepanjang relevan dengan bidang penelitian. Untuk analisis terhadap hasil penelitian, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekaran undang-undang (statutory approach) yaitu melakukan kajian terhadap ketentuan perundangan yang relevan dengan isu yang dibahas. 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Campur tangan Pengadilan dalam proses arbitrase Pembahasan mengenai keterlibatan Pengadilan dalam proses arbitrase dalam penulisan ini akan dibedakan dalam dua rentang waktu yaitu sebelum putusan arbitrase dan sesudah putusan arbitrase. 1.1. Sebelum Putusan Arbitrase Keikutsertaan pengadilan dalam proses arbitrase menurut UUAAPS adalah sebagai berikut : a. Pengecualian terhadap kompetensi Absolut Arbitrase Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan dengan berdasarkan pada perjanjian arbitrase tertulis yang dibuat para pihak. Perjanjian arbitrase merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi para pihak untuk dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka melalui pranata arbitrase. UUAAPS menyatakan bahwa dengan adanya perjanjian arbitrase yang sah menurut ketentuan sahnya perjanjian dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata akan memberikan kompetensi absolut bagi lembaga arbitrase terhadap kewenangan pengadilan. 7 Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) UUAAPS 8 seolah memperkuat kedudukan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak yang telah membuat perjanjian arbitrase secara tertulis. Tetapi kemudian Pasal 11 ayat (2) UUAAPS 9 menyebutkan mengenai pengecualian terhadap peranan pengadilan negeri artinya Pengadilan negeri dapat dimungkinkan untuk ikut campur tangan dalam proses arbitrase. b. Mengenai Pengangkatan Arbiter Pengertian Arbiter yang termaktub dalam Pasal 1 angka 7 UUAAPS 10 mengisyaratkan bahwa arbiter dapat berbentuk arbiter tunggal ataupun majelis arbiter yang pengangkatannya dapat melalui penunjukan oleh Pengadilan Negeri ataupun Lembaga Arbitrase. Pengangkatan Arbiter selain melalui penunjukan oleh Pengadilan Negeri dan Lembaga Arbitrase dapat juga melalui penunjukan langsung oleh para pihak yang 7 Pasal 3 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. 8 Pasal 11 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. 9 Pasal 11 ayat (2) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undangundang ini. Bagian 10 Pasal 1 angka 7 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. 319

terlibat dalam sengketa. 11 Tatacara pengangkatan Arbiter tunggal menurut ketentuan Pasal 14 UUAAPS yakni diangkat berdasarkan kesepakatan para pihak dlm tenggang waktu 14 hari. Apabila tidak berhasil dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengangkat arbiter tunggal dengan pertimbangan berdasarkan daftar nama yg disampaikan para pihak; daftar nama yang diperoleh dari organisasi/lembaga arbitrase yg ditunjuk para pihak; dan dengan memperhatikan rekomendasi dan keberatan yg diajukan para pihak terhadap arbiter yg diajukan. Untuk majelis arbiter, menurut Pasal 15 UUAAPS masing-masing pihak memilih satu arbiter kemudian arbiter yang telah dipilih dan bersedia tersebut bersepakat untuk memilih arbiter ketiga sekaligus sebagai ketua majelis arbiter. Lebih lanjut apabila dalam jangka waktu 14 hari kedua arbiter tersebut belum bersepakat memilih arbiter ketiga maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memilih arbiter ketiga. Kewenangan hakim atau Ketua Pengadilan dalam menunjuk arbiter ataupun membentuk majelis arbiter didasarkan pada permohonan tertulis yang dibuat oleh para pihak atau salah satu pihak dengan menjelaskan kegagalan para pihak dalam mencapai kesepakatan perihal pengangkatan arbiter, permohonan yang didalamnya disertai penjelasan itulah yang kemudian dijadikan dasar oleh Ketua Pengadilan untuk campur tangan dalam pemilihan atau penunjukan arbiter. 12 c. Mengenai Pengunduran Diri Arbiter Pasal 19 UUAAPS mengatur kemungkinan pengunduran diri arbiter, bahwa apabila arbiter harus membuat pernyataan secara tertulis yang ditujukan kepada para mengenai pengunduran dirinya dan jika para pihak menerima maka arbiter tersebut dapat dibebastugaskan sedangkan apabila para pihak menolak maka arbiter dapat meminta pembebasan tugas dari Ketua Pengadilan Negeri. 11 Lihat ketentuan Pasal 13 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 12 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm 170. d. Mengenai Hak Ingkar atau Tuntutan Ingkar Hak ingkar atau tuntutan ingkar adalah hak yang diberikan kepada para pihak untuk mengajukan suatu keberatan atas penunjukan diri arbiter dalam jangka waktu 14 hari berdasarkan alasan bahwa ada kemungkinan arbiter yang bersangkutan tidak dapat bertindak secara bebas dan obyektif dalam menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. 13 Pasal 23 ayat (1) UUAAPS menyatakan bahwa Hak Ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Selanjutnya Pasal 25 ayat (1) mengatur bahwa apabila salah satu pihak mengajukan tuntutan ingkar dan kemudian tidak disetujui oleh pihak lain dan juga arbiter yang bersangkutan maka dapat mengajukan tuntutan ingkar tersebut pada Ketua Pengadilan Negeri yang mana putusannya bersifat final, mengikat kedua belah pihak dan tidak dapat diajukan upaya perlawanan. Kemudian dalam Pasal 25 ayat (3) diatur apabila ternyata Ketua Pengadilan Negeri menolak tuntutan ingkar tersebut maka arbiter melanjutkan tugasnya kembali. 14 1.2. Sesudah Putusan Arbitrase Setelah Arbiter atau Majelis Arbiter menjatuhkan putusan yang sifatnya final dan mengikat bagi para pihak, Pangadilan masih berpeluang untuk masuk dalam proses arbitrase yaitu mengenai pengajuan permohonan penetapan eksekusi dan permohonan pembatalan putusan arbitrase. a. Permohonan Penetapan Eksekusi Pada prinsipnya terhadap putusan yang dikeluarkan oleh arbiter atau majelis arbiter, maka para pihak yang terlibat dalam proses arbitrase seharusnya mau menjalankannya secara sukarela namun apabila jika ternyata tidak ada itikad baik dari salah salah pihak untuk menjalankan putusan tersebut dengan sukarela maka diperlukan upaya paksa. Untuk dapat dilaksanakan secara paksa maka 13 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, hlm 258-259 14 Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, 2008, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta : Kencana, hlm 19-22 320

putusan arbitrase tersebut harus dideponir 15 dalam akta pendaftaran di kepaniteraan pengadilan negeri dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan diucapkan dan apabila lewat jangka waktu ini maka menyebabkan putusan tidak dapat dimohonkan penetapan eksekusi. 16 Selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 61 jo. Pasal 61 ayat (1) UUAAPS dijelaskan apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah pencatatan dalam akta pendaftaran di kepaniteraan pengadilan negeri ternyata belum dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengeluarkan perintah pelaksanaan eksekusi secara paksa sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagaimana diketahui bahwa putusan arbitrase bersifat mandiri, final, dan mengikat maka Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa alasan atas pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tetapi kewenangan Ketua Pengadilan Negeri terbatas pada pemeriksaan secara formal dan terbatas pada ketentuan Pasal 62 ayat (2) UUAAPS. 17 Kemudian terhadap putusan 15 Rahmadi Usman,Op. Cit, hlm. 185 menjelaskan bahwa tindakan deponir tersebut berupa penyerahan lembar asli atau salinan otentik dari putusan kemudian dilakukan pencatatan dan penandatanganan bersama pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri dan arbiter atau kuasanya kemudian catatan tersebut adalah sah sebagai akta pendaftaran putusan arbitrase nasional. 16 Lihat ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan (4) UUAAPS 17 Pasal 62 ayat (2) UUAAPS menyatakan Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Lihat juga ketentuan Pasal 4 dan 5 UUAAPS sebagai berikut : Pasal 4 (1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban Ketua Pengadilan Negeri yang menolak mengeluarkan penetapan eksekusi diatas maka tidak terbuka upaya hukum apapun. Untuk putusan arbitrase Internasional ada beberapa perbedaan dengan putusan arbitrase nasional bahwa pendeponiran putusan arbitrase internasional dilakukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dokumen yang dilampirkan pada saat proses deponir tersebut juga terdapat beberapa perbedaan. 18 Kemudian apabila Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan eksekusi terhadap putusan arbitrase internasional tersebut maka para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka. (2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. (3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Pasal 5 (1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. 18 Pasal 67 ayat (2) UUAAPS menyebutkan bahwa penyampaian berkas permohonan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional harus disertai dengan : a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. 321

penetapan ini bersifat final sehingga tertutup atas upaya hukum apapun sebaliknya apabila Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak maka terhadap penolakan penetapan tersebut dapat diupayakan kasasi ke Mahkamah Agung. 19 b. Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase Keterlibatan Pengadilan selanjutnya termaktub dalam urusan pembatalan putusan arbitrase. Pembatalan adalah upaya hukum yang diberikan kepada para pihak yang terlibat sengketa untuk meminta kepada Pengadilan Negeri agar suatu putusan arbitrase dibatalkan baik terhadap sebagian isi putusan maupun terhadap seluruh isi putusan. 20 UUAAPS menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis maksimal 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri berdasarkan alasan-alasan yang dimuat dalam Pasal 70 UUAAPPS. 21 2. Kedudukan antara Lembaga Arbitrase dan Badan Peradilan UUAAPS membedakan antara Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 22 serta pasal demi pasal dalam Undang Undang tersebut lebih cenderung membahas mengenai arbitrase sedangkan mengenai alternatif penyelesaian sengketa hanya dibahas sedikit sekali. 23 Arbitrase sebagai lembaga 19 Rahmad Usman, Op.Cit, hlm 189 20 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, hlm 263 21 Pasal 70 UUAAPS menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. 22 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 1 angka 10 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 23 Selain Pasal 1 angka 10 yang memuat mengenai pengertian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia dengan berlakunya UUAAPS semakin mendapat legistimasi untuk diakui sebagai salah satu lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa. Kedudukan putusan yang dihasilkan Arbitrase dapat disejajarkan dengan putusan pengadilan berdasarkan pada dua unsur atau indikator, pertama yaitu UUAAPS menyatakan bahwa putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat 24 kemudian yang kedua bahwa susunan serta isi putusan arbitrase ditentukan sama dengan susunan dan isi putusan hakim yakni memuat kepala putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa putusan arbitrase sejajar dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan. Namun dengan adanya keterlibatan Pengadilan dalam proses arbitrase sebagaimana penulis jabarkan dalam pembahasan rumusan masalah pertama diatas maka dapat dipahami bahwa putusan arbitrase masih sangat bergantung pada kewenangan pengadilan misalnya dalam hal penetapan eksekusi. Pasal 60 UUAAPS menyebutkan jika putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat maka secara teori dapat dipahami setelah jatuhnya putusan tersebut maka tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan oleh para pihak yang kalah dan pihak yang menang tinggal menjalankan eksekusi. 25 Pada prakteknya eksekusi tersebut harus dimohonkan penetapan di badan peradilan yang berwenang. Ada beberapa faktor yang mengindikasikan bahwa norma hukum arbitrase menganut standar ganda artinya meskipun putusannya final dan mengikat hanya Pasal 6 yang membahas mengenai Alternatif Panyelesaian Sengketa. 24 Pasal 60 UUAAPS menyatakan bahwa Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. 25 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 91 322

tetapi masih bergantung pada pengadilan negeri, yaitu : 26 a. Putusan arbitrase baik nasional maupun internasional yang akan dimohonkan eksekusi, disyaratkan untuk lembar asli/salinan otentik terlebih dahulu didaftarkan di pengadilan; b. Putusan arbitrase nasional yang tidak memenuhi ketentuan penyerahan dan pendaftaran putusan berakibat putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan; c. Putusan arbitrase yang tidak dijalankan secara sukarela oleh salah satu pihak, putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak; d. Khusus untuk putusan arbitrase internasional, putusan dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua PN Jakarta Pusat Berdasarkan keempat indikator diatas maka putusan arbitrase ditempatkan dalam posisi tidak sejajar dengan putusan hakim dan hal ini dapat membawa akibat terhadap status hukum dan eksistensi putusan dan lembaga arbitrase itu sendiri. 5. KESIMPULAN a. Bentuk campur tangan Pengadilan di Indonesia dalam proses penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dapat diklasifikasikan menjadi campur tangan sebelum adanya putusan arbitrase yaitu dalam hal pengecualian terhadap kompetensi absolut arbitrase, pengangkatan dan pengunduran diri arbiter serta mengenai hak ingkar atau tuntutan ingkar. Sedangkan setelah adanya putusan arbitrase maka bentuk intervensi pengadilan dalam hal permohonan penetapan eksekusi dan permohonan pembatalan putusan arbitrase. b. Putusan yang dihasilkan arbitrase sejajar dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan karena sifatnya yang final dan mengikat serta bentuk putusan yang memuat irah-irah sama dengan putusan pengadilan sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial. Namun dengan adanya berbagai bentuk keterlibatan pengadilan yang diatur dalam kaidah hukum arbitrase (UUAAPS) mengakibatkan posisi lembaga arbitrase menjadi tidak sejajar karena bergantung pada kewenangan pengadilan. 6. DAFTAR PUSTAKA Frans Hendra Winarta, 2013, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Jakarta : Sinar Grafika. Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, 2008, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta : Kencana. Rachmadi Usman, 2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Susanti Adi Nugroho, 2015, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Jakarta : Kencana. Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung : PT Citra Aditya Bakti. 26 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, hlm 253 323