PENILAIAN STATUS GIZI SETELAH TERAPI BESI PADA ANAK SEKOLAH DASAR YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI TESIS

dokumen-dokumen yang mirip
T E S I S BUDI ANDRI FERDIAN /IKA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan terjadi akibat adanya hiperplasia sel (bertambahnya jumlah

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

PENGARUH SUPLEMENTASI BESI SEKALI SEMINGGU DAN SEKALI SEHARI TERHADAP STATUS GIZI PADA ANAK SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

PERBANDINGAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL ANAK PENDERITA HEMOFILIA DENGAN ANAK YANG NORMAL

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

Indek Eritrosit (MCV, MCH, & MCHC)

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi,

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman

MANFAAT AMITRIPTILIN DALAM PENGOBATAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA REMAJA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

HUBUNGAN ANTARA LAMA MENONTON TELEVISI DAN PRESTASI AKADEMIK ANAK USIA SEKOLAH

HUBUNGAN PEMBERIAN SUPLEMEN ZAT BESI DENGAN PENINGKATAN KADAR HEMOGLOBIN PADA IBU HAMIL TRIMESTER III. Oleh: YURI SHABRINA SUSANI

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi. permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kesehatan Anak. Penelitian akan dilakukan di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post

BAB I PENDAHULUAN. dan Afrika. Menurut World Health Organization (dalam Briawan, 2013), anemia

CLINICAL MENTORING TATALAKSANA ANEMIA DEFISIENSI BESI DALAM PRAKTEK SEHARI-HARI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. penyebab intrakorpuskuler (Abdoerrachman et al., 2007). dibutuhkan untuk fungsi hemoglobin yang normal. Pada Thalassemia α terjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. inklusi penelitian. Subyek penelitian ini terdiri dari kelompok kasus dan

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masuk dalam daftar Global Burden of Disease 2004 oleh World

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Menurut data World

FAKTOR RISIKO TERJADINYA EPILEPSI PADA ANAK PALSI SEREBRAL TESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I KONSEP DASAR. menderita deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein. dan Nelson membuat sinonim Malnutrisi Energi Protein dengan

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium (Depkes RI, 2003).

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

ABSTRAK PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

3. plasebo, durasi 6 bln KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

KORELASI ANTARA KADAR TIMBAL DARAH DENGAN NILAI IQ PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara berkembang. Data Riset Kesehatan Dasar (R iskesdas)

BAB I PENDAHULUAN. adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

Transkripsi:

PENILAIAN STATUS GIZI SETELAH TERAPI BESI PADA ANAK SEKOLAH DASAR YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI TESIS LEON AGUSTIAN 047103011/IKA PROGRAM MAGISTER KLINIS-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2008 Leon Agustian : Penilaian Status Gizi Setelah Terapi Besi Pada Anak Sekolah Dasar Yang Menderita Anemia, 2008 USU e-repository 2008

PENILAIAN STATUS GIZI SETELAH TERAPI BESI PADA ANAK SEKOLAH DASAR YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI TESIS Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak) Dalam Program Magister Klinis Kedokteran-Spesialis Anak Konsentrasi Kesehatan Anak Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara LEON AGUSTIAN 047103011/IKA PROGRAM MAGISTER KLINIS-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2008

Judul Tesis : Penilaian Status Gizi Setelah Terapi Besi Pada Anak Sekolah Dasar Yang Menderita Anemia Defisiensi Besi Nama Mahasiswa : Leon Agustian Nomor Induk Mahasiswa : 047103011 Program Magister : Magister Klinis Konsentrasi : Kesehatan Anak Menyetujui Komisi Pembimbing : ( Dr. Hj Ani Ariani,SpA(K) ) Ketua ( Dr. Wisman Dalimunthe, SpA) Anggota Ketua Program Magister, Ketua TKP-PPDS, (Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K) ) ( Dr. Zainuddin Amir, SpP(K) ) Tanggal Lulus : 15 September 2008

PERNYATAAN PENILAIAN STATUS GIZI SETELAH TERAPI BESI PADA ANAK SEKOLAH DASAR YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI TESIS Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Medan, 9 September 2008 (Leon Agustian)

Telah Diuji Pada Tanggal : 15 September 2008 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Dr. Hj. Ani Ariani, SpA(K)... Anggota: 1. Dr. Wisman Dalimunthe, SpA... 2. Dr. Zaimah Z Tala MSi... 3. Prof. Dr. H. Iskandar Z Lubis SpA(K)... 4. Dr. Hj Tiangsa Sembiring, SpA(K)...

UCAPAN TERIMA KASIH Assalamu alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat dan karunia-nya jualah penulis telah dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulis menyadari penelitian serta penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Karenanya dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan di masa mendatang. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan mengucapkan terima kasih kepada : 1. Pembimbing Dr. Hj. Ani Ariani, SpA(K), dan Dr. Wisman Dalimunte, SpA, yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran yang sangat berharga dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K) dan Dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) sebagai ketua dan sekretaris PPDS-I Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, beserta anggota yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Prof. Dr. H. Guslihan Dasa Tjipta, SpA(K) sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP

H. Adam Malik Medan periode 2003 sampai 2007 dan Dr. H. Ridwan M Daulay, SpA(K) sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan periode 2007 sampai sekarang, Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberi sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. 4. Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, SpA(K) yang sudah membimbing saya dalam banyak hal dan saran serta kritik yang sangat membangun dalam menjalani pendidikan ini. 5. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 6. Direktur RS. H. Adam Malik Medan, RS Dr. Pirngadi Medan yang telah memberi sarana bekerja selama pendidikan ini. 7. Drs. H. Akmaluddin Hasibuan sebagai direktur utama PTPN III dan segenap jajaran staf dan karyawan PTPN III kebun Aek Nabara Selatan yang telah banyak memberikan bantuan berbagai sarana kepada penulis selama melakukan penelitian di wilayah PTPN III Aek Nabara Selatan.

8. Dr. H. Hendy Suhendro, MSc. sebagai manager RS Aek Nabara dan segenap jajaran dan staf yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian di wilayah RS Aek Nabara. 9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini Kepada istri Amalia Sari SE, Akt dan anak Khairunnisa dan Zahra Athifah serta kedua orang tua yang sangat saya cintai Drs. Amiruddin Koto, Apt ( alm ) dan Sri Ramayati Siregar (almh), kedua mertua yang saya hormati H. Akmal Kaharuddin Bsc dan Hj Murni Abdullah, saudarasaudaraku, abang, adik-adik serta teman-temanku, yang selalu mendoakan, memberi dorongan, bantuan moril dan materil selama penulis mengikuti pendidikan ini. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal dari Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Pemurah. Akhirnya penulis mengharapkan, semoga penelitian dan penulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Wassalamu alaikum Wr. Wb Medan, 9 September 2008 Leon Agustian

DAFTAR ISI Lembar Persetujuan Pembimbing Lembar Pernyataan Ucapan Terima Kasih Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Singkatan dan Lambang Abstrak iii iv vi xi xi xii xiii xiv BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah 3 1.3. Hipotesis 3 1.4. Tujuan Penelitian 3 1.5. Manfaat Penelitian 3 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Zat Besi 5 2.2. Fungsi Zat Besi 8 2.3. Defisiensi Besi 10 2.4. Faktor Risiko Anemia Defisiensi Besi 12 2.5. Penilaian Status Gizi 14 2.6. Kerangka Konseptual 19 BAB 3. METODOLOGI 3.1. Desain 20 3.2. Tempat dan Waktu 20 3.3. Populasi Penelitian 20 3.4. Perkiraan Besar Sampel 20 3.5. Kriteria Penelitian 21 3.6. Persetujuan/informed consent 21 3.7. Etika Penelitian 22 3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 22 3.9. Identifikasi Variabel 23 3.10. Definisi Operasional 24 3.11. Pengolahan dan Analisis Data 24 BAB 4. HASIL 26 BAB 5. PEMBAHASAN 30

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 39 6.2. Saran 39 Ringkasan 40 Daftar Pustaka 44 Lampiran 1. Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan 48 2. Lembar Penjelasan 49 3. Persetujuan Komite Etik Penelitian 51 4. Kuesioner 52 3. Riwayat Hidup 54

DAFTAR TABEL Tabel 4.1. Karakteristik Sampel 27 Tabel 4.2. Perbedaan Status Gizi Sebelum dan Sesudah Intervensi 28 Tabel 4.3. Perbedaan Kadar Hemoglobin Sebelum dan Sesudah Intervensi 28 Tabel 4.4. Perbedaan Berat Badan, Tinggi Badan Sebelum dan Sesudah Intervensi 29

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian 19 Gambar 4.1. CONSORT Algoritme 26 Gambar 4.2. Status Gizi Sebelum Intervensi 27

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ADB : Anemia Defisiensi Besi AKG : Angka Kecukupan Gizi ATP : Adenosine triphosphate BB : Berat badan DNA : Deoxyribonucleic acid Fe : Ferrum Hb : Hemoglobin Ht : Hematokrit KKP : Kurang Kalori Protein MCV : Mean Corpuscular Volume MCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration RDW : Red Blood Cell Distribution Width SD : Standar Deviasi SPSS : Statistical Package for Social Science SGNA : Subjective Global Nutritional Assessment TIBC : Total Iron-Binding Capacity TB : Tinggi Badan WHO : World Health Organization n : Besar sampel α : Kesalahan tipe 1 β : Kesalahan tipe 2 x 2 : Kai-kuadrat df : Degree of freedom

ABSTRAK Latar belakang. Efek zat besi terhadap peningkatan berat dan tinggi badan pada anak dengan anema defisiensi besi (ADB) telah di diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan. Kemungkinan koeksistensi antara malnutrisi dan ADB sering dijumpai. Tujuan. Mengetahui efek besi terhadap status gizi pada anak dengan ADB Metode. Suatu uji klinis acak terkontrol, dilaksanakan di Kecamatan Bilah Hulu Kabupaten Labuhan Batu pada bulan November 2006 sampai Februari 2007. Anemia defisiensi besi didiagnosis bila dijumpai Hb < 12 g/dl, MCHC <31%, RDW indeks >220, dan Mentzer indeks >13. Anak Sekolah Dasar (8 sampai 12 tahun) dengan ADB diacak untuk mendapatkan terapi besi 6 mg/kg/hari dan kelompok lain mendapat placebo selama 3 bulan. Status gizi di evaluasi dengan pengukuran antropometri sebelum dan sesudah intervensi. Hasil. Terdapat 111 anak (37,2%) menderita ADB diantara 300 anak yang diperiksa. Setelah intervensi, 108 anak menyelesaikan penelitian. Terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar hemoglobin (P <0,05) tetapi tidak dijumpai perbedaan yang bermakna rerata berat dan tinggi badan pada kedua kelompok.. Kesimpulan. Pemberian besi tidak memberikan efek terhadap peningkatan berat dan tinggi badan. Kata Kunci. status gizi, anemia defisiensi besi, antropometri.

ABSTRACT Background. The effect of iron on weight and height increasing in children with iron deficiency anemia (IDA) has been investigated can improve growth. Possibility of coexistence of malnutrition and iron deficiency frequently found. Objective. To investigate the effect of iron on nutritional status in children with IDA treated with iron. Methods. A randomized placebo-controlled clinical trial study was conducted at Bilah Hulu, a subdistrict of Labuhan Batu on November 2006 February 2007. Iron deficiency anemia was diagnosed if there were anemia, MCHC <31%, RDW index >220 and Mentzer index >13. Elementary school children (8 to12 years old) with IDA were randomly assigned to a daily therapy of 6 mg iron/kg/day or placebo groups for three months. The nutritional status were evaluated with anthropometric assesment before and after intervention. Results. There were 111 children (37,2%) among 300 children who recruited suffered from IDA. After intervention, 108 children completed the therapy, the iron and placebo groups had difference on mean of hemoglobin concentration (P <0,05) but no significantly different on mean of weight and height gain. Conclusion. The effect of iron showed no effect on increasing weight and height in children. Key Words. nutritional status, iron deficiency anemia, anthropometric.

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Defisiensi besi merupakan penyebab paling banyak anemia gizi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan 4 sampai 5 milyar penduduk dunia mengalami anemia defisiensi besi (ADB) dan 90% terjadi di negara sedang berkembang yang menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. 1 Di negara maju seperti Amerika Serikat, prevalensi defisiensi besi pada anak umur 1 sampai 2 tahun mencapai 9%, dimana 3% diantaranya menderita anemia. 2 Anemia defisiensi besi paling sering dijumpai pada bayi, anak dan remaja karena pertumbuhan yang cepat membutuhkan banyak besi dan diet yang mengandung rendah besi. 2 Saat ini di Indonesia, ADB masih merupakan salah satu masalah gizi utama di samping kekurangan kalori protein (KKP), defisiensi vitamin A dan yodium. 3 Pada Survei Rumah Tangga pada tahun 1995 menunjukkan bahwa 40,5% anak balita dan 47,3% anak usia sekolah menderita ADB. Survei pada anak sekolah dasar (SD) berumur 7 sampai 15 tahun menunjukkan bahwa 50% dari seluruh jenis anemia yang diderita merupakan ADB. 4 Penelitian lain pada anak usia sekolah (5 sampai 14 tahun) di beberapa daerah di Indonesia, mendapatkan hasil bahwa prevalensi ADB pada anak dengan KKP sekitar 47% sampai

64%. 5 Anemia defisiensi besi bisa juga dijumpai pada anak overweight dan obesitas. 2,6 Malnutrisi merupakan masalah gizi yang terpenting di Indonesia. Sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka berat badan lahir rendah (BBLR), kurang gizi pada masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth) yang sempurna pada masa berikutnya, maka pada tahun 1999 dijumpai 36,1% anak usia sekolah yang kurang gizi. 7 Zat besi dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin (Hb) yang berperan dalam penyimpanan dan pengangkutan oksigen. Besi juga komponen dari mioglobin, suatu protein yang terdapat di jaringan otot, dan juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis deoxyribonucleic acid (DNA), neurotransmitter dan proses katabolisme yang dalam kerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian kekurangan besi memberikan dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh dan menurunkan konsentrasi belajar. Oleh karena itu pengobatan terhadap ADB harus dimulai sedini mungkin, demikian pula dengan tindakan pencegahannya. 3 Penilaian status gizi anak merupakan bagian yang integral dalam penatalaksanaan pasien, karena status gizi akan mempengaruhi respon pasien terhadap penyakit. Status gizi juga sangat penting diketahui, karena

anak sedang mengalami proses yang komplek dalam pertumbuhan dan perkembangan, yang dipengaruhi oleh faktor genetik anak dan penyakit yang diderita. 8 Beberapa penelitian mengenai pengaruh pemberian suplementasi besi terhadap berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan status gizi mendapatkan hasil yang tidak sama. 9 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka kekurangan besi memberikan dampak yang merugikan bagi pertumbuhan. Untuk itu penelitian ini diperlukan untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi besi terhadap status gizi pada anak dengan ADB. 1.3. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh terapi besi terhadap peningkatan berat badan dan status gizi pada anak dengan ADB 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengobati anak SD yang menderita ADB dengan memberikan terapi besi.

Tujuan khusus adalah mengetahui perbedaan status gizi anak SD yang menderita ADB sebelum dan sesudah pemberian terapi besi dosis 6 mg/kgbb/hari selama 3 bulan. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Di bidang akademik / ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang Nutrisi dan Penyakit Metabolik, khususnya pencegahan dan penatalaksanaan ADB. 2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan pelayanan kesehatan anak sekolah dasar, khususnya pelayanan di bidang hygiene dan sanitasi lingkungan, pendidikan kesehatan, pelayanan yang berbasis kesehatan dan nutrisi di sekolah / masyarakat. 3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan terhadap bidang Nutrisi dan Penyakit Metabolik, khususnya dalam pencegahan dan tatalaksana ADB.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Zat Besi Metabolisme menyangkut semua proses fisik dan kimia yang terjadi dalam tubuh yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme adalah proses pemecahan zat gizi di dalam tubuh untuk menghasilkan energi dan untuk pembentukan struktur tubuh. Metabolisme selalu membutuhkan enzim untuk membantu reaksi-reaksi yang terjadi. Kadangkadang enzim membutuhkan pembantu berupa koenzim. 10 Perkembangan metabolisme besi dalam hubungannya dengan homeostasis besi dapat dimengerti dengan baik pada orang dewasa, sedangkan pada anak diperkirakan mengalami hal yang sama seperti pada orang dewasa. 3 Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter dan proses katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas dan perubahan tingkat seluler. 3,10

Jumlah besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, jenis makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. 3 Absorbsi besi memegang peranan penting pada pengaturan homeostasis besi. Absorbsi akan meningkat bila cadangan besi tubuh rendah atau eritropoesis meningkat. Absorbsi akan berkurang bila cadangan besi cukup. Bahan makanan yang dapat menghambat absorbsi besi adalah kulit padi (fitat), tanin (terdapat dalam teh, kopi), kuning telur, serta kelebihan besi (iron overload). Bahan makanan yang dapat menambah absorbsi besi adalah makanan yang mengandung asam askorbat, asam sitrat, asam amino (daging, ikan) dan keadaan defisiensi besi. 11 Ada dua cara penyerapan besi dalam usus. Pertama, penyerapan dalam bentuk non heme (± 90% dari makanan) dimana besi harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap. Bentuk yang kedua yaitu bentuk heme (±10% dari makanan), dimana besi dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi. Besi non hem setelah diserap, di dalam mukosa usus sebagian bergabung dengan apoferitin membentuk feritin dan yang tidak berikatan dengan apoferitin akan masuk ke sirkulasi darah, kemudian berikatan dengan apotransferin membentuk transferin serum. 3,12 Absorbsi besi terutama terjadi di duodenum oleh enterosit, pada vili usus besi melalui bagian apikal dan kemudian melalui bagian basolateral

dari membran sel untuk mencapai sirkulasi. Bagian apikal membran membawa heme dan besi fero ke dalam sel. Heme diabsorbsi secara langsung kedalam sel mukosa dimana heme tersebut diurai oleh heme oxygenase dan fero dilepas. Besi anorganik dari diet makanan terutama dalam bentuk feri, dan secara enzimatik akan berkurang dalam bentuk yang lebih efisien untuk diabsorbsi yaitu bentuk fero oleh brush border feric reductase, difasilitasi oleh ph lambung yang rendah dan adanya agen-agen yang mengurangi ph lambung seperti asam askorbat. Besi fero dibawa melalui bagian apikal membran ke dalam enterosit oleh divalent metal transporter. 12 Pengambilan besi oleh enterosit ditentukan oleh kandungan besi dan hal ini tergantung kepada jumlah transferin yang berikatan dengan besi yang disimpan sebagai feritin pada bagian basal sel kripta. Kandungan besi pada sel kripta mencerminkan jumlah total cadangan besi dan berhubungan erat dengan kebutuhan tubuh. 10,12 Metabolisme selular dari besi dilakukan oleh tiga protein yaitu transferin, reseptor transferin dan feritin. 13 Besi lepas dari tempat absorbsi dan masuk ke sel yang sedang aktif bersintesis oleh suatu protein yaitu transferin. Protein transpor plasma ini mengandung 679 asam amino. Tidak seperti protein transpor lain, transferin tidak ikut dikonsumsi selama proses pengangkutan, sehingga daur ulangnya dalam plasma tidak sama dengan

daur ulang besi dalam plasma. Produksi transferin meningkat pada keadaan defisiensi besi dan menurun pada keadaan overload besi. Konsentrasi transferin dalam plasma secara fungsional dihitung sebagai total iron binding capacity (TIBC). 14 Sebagian besar transferin darah membawa besi ke sum-sum tulang dan bagian tubuh lainnya. Di dalam sum-sum tulang, besi digunakan untuk membuat hemoglobin yang merupakan bagian dari sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Kelebihan besi yang dapat mencapai 200 hingga 1500 mg, disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%) dan selebihnya di dalam limpa dan otot. Dari simpanan tersebut hingga 50 mg sehari dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan hemoglobin. Feritin yang bersirkulasi di dalam serum merupakan indikator penting untuk menilai status besi. 10 2.2. Fungsi Zat Besi Dalam keadaan tereduksi besi kehilangan dua elektron, oleh karena itu mempunyai dua sisa muatan positif (bentuk fero/fe ++ ). Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga elektron, sehingga mempunyai sisa tiga muatan positif yang dinamakan bentuk feri (Fe +++ ). Karena dapat berada dalam dua bentuk ion ini, besi berperan dalam proses respirasi sel, yaitu

sebagai kofaktor bagi enzim yang terlibat di dalam reaksi oksidasireduksi. 3,10 Besi dibutuhkan dalam banyak fungsi tubuh yang esensial seperti transport oksigen, produksi adenosine triphosphate (ATP), sintesa DNA, fungsi mitokondrial dan melindungi sel dari kerusakan oksidatif. 15 Fungsi utama besi adalah untuk metabolisme energi. Di dalam sel, besi bekerja sama dengan rantai protein pengangkut elektron, yang berperan dalam langkah-langkah akhir metabolisme energi. Protein ini memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen, sehingga membentuk air. Dalam proses tersebut dihasilkan ATP. 10 Peran besi dalam pertumbuhan telah banyak diteliti orang. Salah satu peran besi adalah dalam proliferasi sel. Besi sangat dibutuhkan pada siklus sel, karena besi merupakan bagian dari enzim untuk sintesis DNA dan ribonucleotide reductase (RR). Kekurangan besi menghambat aktifitas enzim RR sehingga proliferasi sel terganggu. Proliferasi sel di kontrol oleh cyclins, cyclin-dependent kinases (cdk s) dan cyclin-dependent kinase inhibitors (cdki s). Defisiensi besi menyebabkan penurunan produksi protein cyclin D1 (CD1). Hal ini menerangkan adanya hubungan defisiensi besi supresi pertumbuhan pada siklus proliferasi sel sehingga menyebabkan pertumbuhan akan terganggu. Bagaimanapun, masih sedikit diketahui peran besi dalam proses proliferasi sel ini. 16

Besi juga berperan dalam kemampuan belajar anak. Hubungan defisiensi besi dengan fungsi otak telah banyak diteliti. Beberapa bagian dari otak mempunyai kadar besi yang tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar besi dalam darah meningkat selama pertumbuhan hingga remaja. Defisiensi besi berpengaruh terhadap fungsi neurotransmitter, akibatnya kepekaan reseptor saraf dopamine berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Hal ini akan menyebabkan menurunnya daya konsentrasi, daya ingat dan kemampuan belajar. Juga terjadi peningkatan ambang rasa sakit dan penurunan fungsi kelenjar tiroid serta kemampuan mengatur suhu tubuh. 10,17,18 Pada sistem kekebalan, besi memegang peranan penting. Respon kekebalan sel oleh limfosit T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA karena gangguan enzim reduktase ribonukleotida yang membutuhkan besi dalam menjalankan fungsinya. Defisiensi besi juga menyebabkan gangguan fungsi enzim mieloperoksidase. Disamping itu transferin dan laktoferin mencegah terjadinya infeksi dengan cara memisahkan besi dari mikroorganisme yang membutuhkan besi untuk berkembang biak. 10

2.3. Defisiensi Besi Kriteria WHO untuk ADB adalah: 19 1. Kadar Hb di bawah nilai normal menurut umur. Bayi sampai umur 6 tahun: Umur 6 sampai 14 tahun: <11 g/dl <12 g/dl 2. Mean corpuscular haemoglobin concentrate (MCHC) < 31% (32% sampai 35%) 3. Kadar besi serum: < 50 ug/dl (80 sampai 180 ug/dl) 4. Saturasi transferin : < 15% (20% sampai 50%) 5. Feritin serum : < 10-12 ug/l (20 sampai 200 ug/ml) 6. Eritrosit protoporfirin (EP): > 2,5 ng/g hemoglobin Defisiensi besi tanpa anemia akan mengakibatkan gangguan sintesis Hb, tetapi kadar Hb belum turun sesuai kriteria anemia. Anemia defisiensi besi merupakan tingkat terakhir dari tingkatan kekurangan besi pada manusia. 19 Pemeriksaan laboratorium indirek yang digunakan dalam diagnosis defisiensi besi dapat digolongkan pada pemeriksaan hematologi berdasarkan gambaran eritrosit dan pemeriksaan biokimia berdasarkan metabolisme besi yaitu pemeriksaan serum feritin, kadar besi serum, TIBC, saturasi transferin, serum transferin receptor, erythrocyte protoporphyrin (EP), dan zinc protoporfirin (ZPP). 13

Mean corpuscular volume (MCV) merupakan pemeriksaan yang cukup akurat dan merupakan parameter yang sensitif terhadap perubahan eritrosit bila dibandingkan dengan pemeriksaan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) dan mean corpuscular hemoglobin (MCH) dan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya defisiensi besi. 20,21 Red blood cell distribution width index (RDW index) menunjukkan variabilitas bentuk eritrosit (anisositosis) yang juga merupakan manifestasi awal terjadinya defisiensi besi. 14 RDW index yaitu (MCV/RBC x RDW), bila >220 merupakan indikasi untuk ADB dan bila <220 merupakan indikasi talasemia trait dengan spesifisitas 92%. Rumus ini dapat membantu klinisi untuk menentukan pilihan antara terapi besi empiris dan melakukan elektroforesis hemoglobin untuk konfirmasi talasemia trait. 20 Nilai RDW index yang meningkat dan MCV yang menurun mengarah kepada diagnosis defisiensi besi. 14 Klinisi sering dihadapkan dengan kasus anemia mikrositik pada populasi dimana prevalensi talasemia yang tinggi. Mentzer index dapat membantu membedakan defisiensi besi dengan talasemia dimana pemeriksaan ini merupakan hasil perhitungan MCV/RBC. 14,17 Bila hasil perhitungan >13 merupakan indikasi untuk ADB, namun bila <13 merupakan indikasi untuk talasemia trait dengan spesifitas 82%. 20

2.4. Faktor Resiko Anemia Defisiensi Besi Beberapa faktor risiko terjadinya ADB yaitu : 13,22 A. Usia 1. Bayi. Persediaan besi kurang karena berat badan lahir rendah, prematur atau lahir kembar, susu formula rendah besi, tidak mendapat makanan tambahan, pertumbuhan cepat dan ibu mengalami anemia selama kehamilan. 2. Satu sampai 2 tahun. Asupan besi kurang karena tidak mendapat makanan tambahan, kebutuhan meningkat karena infeksi berulang atau malabsorbsi. 3. Dua sampai 5 tahun. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung besi heme, kebutuhan meningkat karena infeksi berulang, atau kehilangan berlebihan karena perdarahan. 4. Usia 5 tahun sampai remaja. Kehilangan berlebihan, misalnya infeksi parasit. 5. Remaja sampai dewasa. Pada wanita antara lain karena menstruasi. B. Sosial ekonomi rendah C. Kegemukan. Anak dengan kegemukan cenderung terjadi penurunan aktifitas sehingga pemecahan mioglobin berkurang yang akan mengakibatkan penurunan pelepasan besi, juga cenderung terjadi pembatasan diet yang kaya akan kandungan besi, misalnya daging. Pada

anak perempuan yang gemuk akan terjadi pertumbuhan yang lebih cepat dan maturitas pada usia yang lebih dini, yang menyebabkan kebutuhan zat besi semakin meningkat. D. Vegetarian. Vegetarian akan menghindari konsumsi zat makanan dari sumber hewani misalnya daging, ikan, unggas yang kaya zat besi. Sebaliknya mereka mengkonsumsi zat makanan yang berasal dari tumbuhtumbuhan yang kaya selulosa yang merupakan penghambat penyerapan besi non heme. 2.5. Penilaian Status Gizi Pertumbuhan merupakan indikator kesehatan dan status gizi anak yang penting. Penilaian pertumbuhan merupakan komponen surveilans kesehatan anak yang penting karena hampir semua masalah dalam hal fisiologis, interpersonal dan sosial dapat mempengaruhi pertumbuhan. Metode yang paling bermakna dalam menilai pertumbuhan adalah grafik pertumbuhan, yang dapat memberikan banyak informasi yang dibutuhkan untuk menilai pertumbuhan anak. Perhatian utama adalah mengetahui keadaan malnutrisi dan gagal tumbuh, tetapi sekarang obesitas dikenal sebagai epidemi yang semakin meningkat. 23 Penilaian status gizi anak merupakan bagian yang integral dalam penatalaksanaan pasien, karena status gizi akan mempengaruhi respon

pasien terhadap penyakit. Penilaian ini merupakan deteksi dini adanya defisiensi atau kelebihan zat gizi. Tidak satupun penilaian status gizi yang terbaik, karena itu gabungan dari berbagai sistem penilaian masih digunakan. 8,23 Berbagai grafik pertumbuhan sekarang tersedia untuk membantu penilaian pertumbuhan. Dalam hal ini termasuk grafik pertumbuhan CDC (Centers for Disease Control and Prevention) yang telah direvisi pada tahun 2000. Masing masing grafik pertumbuhan mempunyai keakuratan. Hasil dari penilaian ini membantu untuk identifikasi resiko pasien (malnutrisi, obesitas, pendek, bayi-kecil untuk masa kehamilan) dan sebagai monitoring respon klinis pasien terhadap terapi nutrisi. 8 Pada masa bayi, anak dan remaja, banyak tejadi perubahan dalam pertumbuhan dan komposisi tubuh. Oleh sebab itu, harus dimengerti pertumbuhan yang normal untuk mengetahui keadaan yang abnormal. Juga dibutuhkan pengetahuan untuk dapat mengenali perubahan status gizi yang terjadi pada penyakit akut atau kronis. Dengan bertambahnya insiden obesitas pada anak, diperlukan identifikasi yang tepat pasien obesitas dan overweight. Skrining penilaian status gizi yang sederhana dan praktis untuk menentukan pasien yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Skrining status gizi terdiri dari penilaian medis dan riwayat makanan (termasuk kesulitan makan), pengukuran antropometrik (BB dan TB) dan hasil

laboratorium. Penilaian status gizi yang lengkap meliputi riwayat makanan dan medis yang lebih detail (termasuk penghitungan asupan nutrisi), pemeriksaan fisik yang lengkap, penilaian komposisi tubuh dan antropometrik, maturasi tulang dan seksual, hasil laboratorium, perkiraan kebutuhan zat gizi. Penilaian klinis anak yang menyeluruh berdasarkan data objektif dan pertimbangan klinis juga penting sebagai pertimbangan dalam menilai pertumbuhan dan menentukan status gizi. 8,23 Riwayat medis sangat penting dalam penilaian status gizi. Riwayat penyakit sekarang dan penyakit terdahulu, termasuk lamanya sakit, keluhan, pemeriksaan untuk diagnostik dan terapi yang sudah diberikan perlu diketahui. Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran antropometrik seperti BB, TB, lingkaran kepala dan lingkaran lengan atas. Pemeriksaan fisik secara umum termasuk penilaian kondisi pasien secara menyeluruh. Riwayat makanan adalah komponen yang esensial dalam penilaian status gizi, karena memberikan informasi jumlah dan kwalitas makanan yang dikonsumsi, pola makan dan kebiasaan. 8 Beberapa tahun terakhir, dipertimbangkan suatu metode penilaian status nutrisi anak, merupakan pendekatan klinis yang valid, yang dikenal dengan Subjective Global Nutritional Assessment (SGNA). Metode ini berdasarkan hubungan pengukuran objektif antropometri, asupan nutrisi, biokimia dan imunologis, yang dapat mengidentifikasi resiko nutritional yang

berhubungan dengan komplikasi penyakit dan perawatan yang lama di rumah sakit. Penelitian oleh Secker dan Jeejeebhoy (2006), mendapatkan adanya korelasi yang baik antara SGNA dengan penilaian status nutrisi berdasarkan pengukuran objektif antropometri yang digunakan sekarang. Pada anak dengan penyakit sistemik dan kronis, SGNA dapat digunakan secara luas dengan berbagai macam keadaan. 24 Grafik pertumbuhan digunakan secara luas untuk memonitor pertumbuhan anak. Tinggi dan berat badan merupakan pengukuran antropometri yang banyak digunakan. Indek berat badan/umur (BB/U) paling banyak digunakan. Onis dkk (2004) melaporkan dari 178 negara, 154 negara menggunakan grafik pertumbuhan, semua menggunakan grafik BB/U dan hanya setengahnya menggunakan TB/U. 25 Pengukuran antropometri telah lama dikenal sebagai indikator sederhana untuk penilaian status gizi di Indonesia. Informasi yang dihasilkan dari pengukuran antropometri telah banyak dimanfaatkan dalam memantau pertumbuhan anak. Status gizi dihitung berdasarkan baku rujukan antropometri menurut NCHS-WHO, dengan menggunakan Z score (standar deviasi) sebagai batas ambang yang dihitung berdasarkan rumus: 26 Z-score atau SD-score = ( observed value) ( median reference value ) standard deviation of reference population

Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/TB dibagi menjadi enam dengan batas ambang sebagai berikut : 26 1. Status gizi buruk dengan batas atas lebih kecil 3 SD 2. Status gizi kurang dengan batas bawah lebih besar atau sama dengan -3 SD dan batas atas lebih kecil 2 SD 3. Status gizi sedang dengan batas bawah lebih besar atau sama dengan -2 SD dan batas atas lebih kecil 1 SD 4. Status gizi baik dengan batas bawah lebih besar atau sama dengan -1 SD dan batas atas lebih kecil + 1 SD 5. Status gizi lebih dengan batas bawah lebih besar atau sama dengan +1 SD dan batas atas lebih kecil + 2 SD 6. Kegemukan, dengan batas bawah lebih besar atau sama dengan + 2 SD

2.6. Kerangka Konseptual INFEKSI / PENY.KRONIS SOSIAL EKONOMI POLA MAKAN, NUTRISI GENETIK, USIA, JENIS KELAMIN, LINGKUNGAN EMOSI & KASIH SAYANG ADB Status Gizi: - Berat Badan (BB) - Tinggi Badan (TB) Besi 3 bulan Status Gizi: -Berat Badan(BB) -Tinggi Badan(TB) RUANG LINGKUP PENELITIAN Gambar 2.1. Kerangka konseptual 17

BAB 3. METODOLOGI 3.1. Desain Penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol untuk mengetahui respon pemberian terapi besi terhadap peningkatan berat badan dan status gizi pada anak penderita ADB. 3.2. Tempat dan waktu Tempat penelitian adalah di Kecamatan Bilah Hulu Kabupaten Labuhan Batu. Penelitian dilakukan dalam kurun waktu tiga bulan yaitu dari bulan November 2006 sampai Februari 2007. 3.3. Populasi dan sampel Populasi penelitian adalah anak SD yang berusia 8 sampai 12 tahun. Sampel penelitian ádalah anak yang menderita ADB. 3.4. Perkiraan besar sampel Perkiraan besar sampel untuk menguji perbedaan rerata dua populasi independen, menggunakan rumus: 27 n 1 = n 2 = 2 z α + zβ)s 2 (x 1 - x 2 ) (referensi 9) s = simpang baku kedua kelompok = 1,05

x 1 - x 2 = perbedaan klinis yang diinginkan = 0,6 Bila ditetapkan α = 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%, maka: zα = deviat baku normal untuk α = 1,960 Bila β = 0,20 dan power = 0,80 maka: zβ = deviat baku normal untuk β = 0,842 Sehingga diperoleh besar sampel 48 orang pada setiap kelompok 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria inklusi 1. Anak penderita ADB. 2. Mendapat persetujuan tertulis dari orangtua 3.5.2. Kriteria eksklusi 1. Menderita anemia berat 2. Menderita infeksi berat dan gizi buruk 3.6. Persetujuan / Informed Consent Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu mengenai kondisi penyakit yang dialami, pengobatan yang diberikan, dan efek samping pengobatan. Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) dan draft penjelasan sebagaimana terlampir dalam tesis ini.

3.7. Etika Penelitian Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, seperti yang terlampir pada tesis ini. 3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian - Semua anak sekolah dasar usia 8 sampai 12 tahun di populasi terjangkau diambil darah kapiler dengan cara menusukkan jarum di jari tengah tangan kiri. Dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobine (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentrate (MCHC), jumlah eritrosit (RBC) and Red Blood Cell Distribution Width (RDW) dengan alat auto analyzer ( ABX Mikros-60, France ). - Anak dengan ADB diikutsertakan dalam penelitian. - Orang tua diminta untuk mengisi kuesioner bahasa Indonesia setelah diberi penjelasan tentang cara mengisi sebelumnya - Dilakukan randomisasi pemberian obat besi (Fe) dan plasebo dengan randomisasi sederhana cabut nomor. Tiap anak mengambil gulungan kertas yang ditempatkan dalam kotak. Peneliti membuka gulungan kertas, anak yang mendapatkan nomor ganjil dimasukkan ke dalam kelompok besi.

- Preparat besi berupa sulfas ferosus 200 mg dalam kapsul, diberikan tiga kali sehari untuk kelompok yang mendapatkan besi, anak meminum obat di depan guru atau orangtuanya. - Plasebo terdiri dari sakarum laktis dan dikemas dalam kapsul dengan warna, bentuk dan ukuran yang sama dengan preparat besi - Data antropometri yang diambil sebelum dan sesudah intervensi: 1.Berat badan: diukur dengan alat timbangan merk Camry (sensitifitas 0,5 kg), anak hanya memakai pakaian minimal. 2.Tinggi badan: diukur dengan pengukur tinggi merk MIC (sensitifitas 0,5 cm), tanpa alas kaki. 3. Status gizi dihitung berdasarkan baku rujukan antropometri menurut NCHS-WHO, dengan menggunakan Z score (standar deviasi/sd) sebagai batas ambang. - Anak di nilai berat badan dan tinggi badan setelah terapi besi 3 bulan. 3.9. Identifikasi Variabel Variabel Bebas Jenis obat Skala Nominal Variabel Tergantung Skala - Berat Badan Numerik - Tinggi Badan Numerik

Variabel Perancu - Usia - Pola Makan - Asupan Nutrisi - Angka Kesakitan 3.10. Definisi Operasional - Usia anak: usia anak dari tanggal lahir sampai ulang tahun berikutnya dihitung dalam tahun. - ADB: kadar Hb <12 g/dl, MCHC <31%, Indeks RDW >220 dan Indeks Mentzer (RBC/MCV) >13 - Status gizi dihitung berdasarkan baku rujukan antropometri menurut NCHS-WHO, dengan menggunakan Z score sebagai batas ambang menjadi 6 klasifikasi yaitu gizi buruk, gizi kurang, gizi sedang, gizi baik, gizi lebih dan kegemukan. 3.11. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul akan diolah, dianalisis dan disajikan dengan menggunakan program komputer (SPSS Versi 13.0 dan Microsoft Excell tahun 2003). Interval kepercayaan yang digunakan adalah 95 % dan batas kemaknaan P <0,05. Untuk menilai perbedaan rerata kadar hemoglobin dan pengukuran antropometri (BB dan TB) yang berskala numerik pada kedua kelompok

(skala nominal) sebelum dan sesudah terapi dengan uji t - independent. Uji bermakna bila P <0,05.

BAB 4. HASIL Selama periode penelitian dari 300 anak SD yang diperiksa, didapatkan 111 anak yang menderita ADB (37,2%). Dari 111 anak ini yang dijadikan sampel penelitian, 55 anak mendapat terapi besi dan 56 anak mendapat plasebo. Setelah intervensi hanya 108 anak yang menyelesaikan penelitian sampai tiga bulan (Gambar 4.1). Anak diperiksa darah ( n = 300 ) ADB ( n = 111 ) Random sederhana Besi ( n=55 ) Antropometri I: BB - TB Plasebo ( n=56 ) 2 drop out ( tidak makan obat secara teratur ) - Analisa lengkap setelah 3 bulan ( n =5 3 ) - Eksklusi ( n=2 ) Antropometri II: BB - TB 1 drop out ( tidak makan obat secara teratur ) - Analisa lengkap setelah 3 bulan ( n=55 ) - Eksklusi ( n=1 ) Gambar 4.1. CONSORT Algoritme Dari pemeriksaan darah dan pengukuran antropometri sebelum intervensi, didapatkan kedua kelompok perlakuan tidak berbeda pada distribusi data karakteristik sampel (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Karakteristik sampel Karakteristik Besi Plasebo N 55 56 Umur (thn ); rerata ( SD ) 9,73 (1,2 ) 9,84 (1,3) Jenis kelamin (n; %) - Laki - laki - Perempuan 29 ; 52,7 28 ; 50 26 ; 47,3 28 ; 50 Kadar Hemoglobin (gr/dl); rerata (SD) 10,09 (1,27) 10,11 (1,40) MCHC (%)); rerata (SD) 29,90 (0,67) 29,92 (0,56) Index Mentzer ; rerata (SD) 17,49 (3,00) 16,79 (3,51) Index RDW ; rerata (SD) 265,84 (52,42) 251,49 (35,36) Pendidikan ibu (n; %) - Tidak sekolah - Tidak tamat SD - Tamat SD - SLTP - SLTA - Perguruan Tinggi 2 ; 3,6 8 ; 14,5 21; 38,2 15; 27,3 8 ; 14,5 1 ; 1,8 1 ; 1,8 10; 18,2 24; 43,6 16; 29,1 4 ; 7,3 0 Penghasilan keluarga (n; %) - Rp 300.000,- - Rp 300.000,- -- Rp 400.000,- - Rp 400.000,- -- Rp 500.000,- - Rp 500.000,- -- Rp 600.000,- - Rp 600.000,- -- Rp 700.000,- - Rp 700.000,- -- Rp 800.000,- - > Rp 800.000,- 6 ; 10,9 10; 18,2 10; 18,2 11; 20 6 ; 10,9 5 ; 9,1 7 ; 12,7 7 ; 12,5 5 ; 8,9 11; 19,6 18; 32,1 3 ; 5,4 3 ; 5,4 9 ; 16,1 Karakteristik status gizi sampel penelitian sebelum intervensi (Gambar 4.2) 40 Jumlah 30 20 10 Besi Plasebo 0 Obesitas Gizi Lebih Gizi Baik Gizi Sedang Gizi Kurang Gizi Buruk 1 2 3 4 5 6 Status Gizi Gambar 4.2. Status gizi sebelum intervensi

Status gizi pada kedua kelompok tidak dijumpai perbedaan yang bermakna (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Perbedaan status gizi sebelum dan sesudah intervensi Sebelum Sesudah Parameter Besi Plasebo P Besi Plasebo P N 55 56 53 55 Status Gizi (n ; % ) 0,42 0,74 - Obesitas - Gizi lebih - Gizi baik - Gizi sedang - Gizi kurang 2 ; 3,6 8 ; 14,5 31 ; 56,3 12 ; 21,8 2 ; 3,6 1 ; 1,7 5 ; 8,9 36 ; 64,2 10 ; 17,8 4 ; 7,2 1 ; 1,9 7 ; 13,2 35 ; 66,1 7 ; 13,2 3 ; 5,6 1 ; 1,8 5 ; 9,1 38 ; 69,1 10 ; 18,2 1 ; 1,8 Terdapat peningkatan yang bermakna kadar hemoglobin pada kedua kelompok setelah tiga bulan terapi (Tabel 4.3). Tabel 4.3. Perbedaan kadar hemoglobin sebelum dan sesudah intervensi Group Hb1 Hb2 P g/dl Besi 10,09 (1.27) 12,94 (0,72) 0,001* Plasebo 10,11 (1,40) 11,67 (0,75) 0,001* Nilai dalam rerata (SD), P < 0,05 Catatan : Hb1: sebelum intervensi Hb2: sesudah intervensi Sedangkan rerata BB dan TB, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok setelah tiga bulan (Tabel 4.4).

Tabel 4.4. Perbedaan berat badan, tinggi badan sebelum dan sesudah intervensi BB1 BB2 P TB1 TB2 P kg cm Besi 26,98 (6,51) 25,78 (5,93) 0,24 129,21(7,62) 129,49(7,51) 0,34 Plasebo 25,78 (5,93) 26,01 (5,96) 127,79(8,82) 127,99(8,81) Nilai dalam rerata (SD), *P < 0,05 Catatan: BB1: berat badan sebelum intervensi TB1: tinggi badan sebelum intervensi BB2 : berat badan sesudah intervensi TB2 : tinggi badan sesudah intervensi

BAB.5. PEMBAHASAN Walaupun secara umum dinyatakan bahwa ADB sejak tahun 1960 telah mengalami penurunan, namun ADB sampai sekarang masih merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini karena akibat jangka panjangnya yang sangat merugikan terutama bila terjadi pada bayi dan anak, karena dapat mengganggu pertumbuhan, perkembangan mental, motorik serta perilakunya. 28 Tingginya prevalensi ADB di negara yang sedang berkembang berhubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas (standar hidup yang rendah dengan tingginya kejadian malnutrisi, sanitasi lingkungan yang jelek, morbiditas yang tinggi), asupan protein hewani yang rendah dan investasi parasit yang merupakan masalah endemik. 3,12 Anak dengan ADB mempunyai berat badan yang kurang dan lebih pendek dari pada anak yang diklasifikasikan normal. 9 Sering dijumpai adanya koeksistensi antara malnutrisi atau gizi kurang dan ADB. Kedua hal ini merupakan masalah gizi yang terpenting di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan tingginya prevalensi ADB dan malnutrisi. 7,9 Prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting < -2SD) tahun 1990 sampai 2001 berkisar antara

10% sampai 16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting >10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita. Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting < -2 SD) yaitu sekitar 30% sampai 40 % dari tahun 1992 sampai 2002. 29,30 Prevalensi ADB disertai malnutrisi energi protein ringan pada anak usia 5 sampai14 tahun yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah berkisar 47% sampai 64%. Sedangkan prevalensi ADB pada kelompok sosial ekonomi menengah (38% sampai 67%) dan sosial ekonomi tinggi (20%). 5 Pada penelitian ini, dari 300 anak yang diperiksa darahnya, didapatkan 111 (37,2%) menderita ADB. Dari 111 anak sebagai sampel penelitian, dijumpai 67 (60,3%) mempunyai status gizi yang baik, 28 (25,2%) gizi kurang, 3 (2,7%) obesitas dan 13 (11,7%) dengan overweight. Hasil dari penelitian ini berbeda dengan penelitian / literatur sebelumnya, karena pada pada anak penderita ADB yang menjadi sampel penelitian kami, rata-rata dengan status gizi yang baik. Hal ini dapat diterangkan dengan beberapa keadaan yang mungkin menyebabkan hal ini. Di Indonesia ada 2 faktor yang menyebabkan ADB. Pertama, makanan banyak dikonsumsi dengan kandungan, bioavailabilitas dan penyerapan besi yang rendah (beras, sereal, kacang-kacangan, sayuran). Sedangkan

makanan dengan kandungan, bioavailabilitas dan penyerapan besi yang tinggi (daging, hati, ikan) sedikit dikonsumsi. Kedua, prevalensi infestasi parasit (kecacingan) yang masih tinggi. 4,31 Sehingga, ADB dapat terjadi pada anak yang obesitas, gizi baik dan malnutrisi. 2 Pemeriksaan kadar Hb dan hematokrit bukan merupakan tes diagnostik pilihan karena kadar Hb atau Ht tidak sensitif terhadap ADB. Namun kedua pemeriksaan ini relatif murah, mudah didapat dan merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk skrining defisiensi besi. Tahap awal terjadinya ADB tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan kadar Hb dan Ht. Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan keparahan anemia. 13 Pemeriksaan kadar Hb dan Ht juga tidak spesifik karena banyak penyebab anemia selain defisiensi besi. 21 Pemeriksaan darah tepi yang mengarah terhadap kecurigaan ADB adalah mikrositik hipokromik, sedangkan pemeriksaaan kadar feritin serum merupakan tes diagnostik yang paling baik untuk ADB dengan sensitivitas dan spesifisitas paling baik. Kadar feritin serum pada anak ADB < 12 ug/l, namun pemeriksaan ini kurang lazim dipakai sebagai pemeriksaan skrining karena relatif mahal. 13,21 Mean Corpuscular Volume (MCV) berguna untuk menentukan apakah mikrositik, normositik atau makrositik. Pada penelitian terhadap bayi berusia 12 bulan didapati RDW yang tinggi (>14%) dengan sensitifitas 100% dan

spesifisitas 82%. Disebabkan spesifisitasnya yang relatif rendah, maka pemeriksaan RDW saja tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining, tetapi sering digunakan bersama dengan MCV untuk membedakan diantara variasi anemia. 13 Nilai RDW yang meningkat dengan MCV yang menurun mengarah kepada diagnosis defisiensi besi. 14 Salah satu cara untuk membedakan ADB dengan talasemia minor adalah dengan pemeriksaan Mentzer index, dimana bila Mentzer index >13 merupakan ADB dan bila <13 menunjukkan talasemia minor dengan spesifisitas sebesar 82%. Bila RDW index >220 merupakan ADB, namun bila <220 menunjukkan talasemia dengan spesifisitas 92%. 19 Pada penelitian ini digunakan pemeriksaan yang sederhana untuk menegakkan diagnosis ADB yaitu Hb, MCV, RDW, Mentzer index dan RDW index. Pada pemeriksaan awal, didapatkan rerata kadar Hb 10,1 g/dl; MCHC 29,91%; RDW index 258,60; Mentzer index 17,13. Adanya respon terhadap terapi besi juga dapat membantu untuk diagnosis ADB, dimana jika terdapat peningkatan Hb 1 sampai 2 g/dl dalam 3 sampai 4 minggu terapi besi dengan dosis 3 sampai 6 mg besi elemental/kg/hari dapat diterima sebagai bukti adanya defisiensi besi sebelum terapi dan pemberian preparat besi dilanjutkan 2 sampai 3 bulan lagi sejak Hb normal. 13,32,33

Pemberian preparat besi dapat secara oral atau parenteral. 34 Pemberian secara oral menggunakan tablet besi merupakan cara yang mudah, murah dan memuaskan hasilnya. 2,35 Pada penelitian ini, kami memberikan fero sulfat yang dikemas dalam kapsul pada semua sampel agar mudah dalam pemberian serta lebih menarik bagi anak dan orangtua. Terdapat perubahan yang bermakna pada kadar hemoglobin setelah diberikan terapi besi selama tiga bulan pada kedua kelompok. Sayangnya pada penelitian ini tidak diperiksa profil besi (Fe serum, TIBC, feritin serum, saturasi transferin dan Free erythrocyte porphyrin/fep) karena biaya yang mahal. Untuk pengobatan ADB, pemberian besi untuk meningkatkan kadar Hb menjadi normal dan mengisi cadangan besi. Sangat penting untuk mengobati penyebab terjadinya ADB seperti meningkatkan asupan nutrisi yang mengandung energi, protein dan besi yang cukup ataupun mengatasi investasi parasit (kecacingan). 4 Suatu laporan dari penelitian di Jawa Tengah yang mendapatkan rata rata asupan energi, protein dan besi yang dikonsumsi anak di daerah pedesaan hanya setengah sampai dua pertiga dari angka kecukupan gizi (AKG). 9 Dari karakteristik sampel pada awal penelitian, kami mendapatkan sekitar 70% sampel dengan penghasilan keluarga/bulan di bawah Rp. 600.000,-. Pendidikan ibu yang terbanyak (60%) adalah sekolah dasar.

Mengobati defisiensi besi tanpa mengobati penyebabnya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Penyebab defisiensi besi biasanya dapat dideteksi pada 80% sampai 82% kasus. Faktor nutrisi merupakan penyebab utama, disamping beberapa faktor lain. Penyebab ADB berdasarkan umur perlu diketahui untuk dapat mendeteksi dan mengatasinya berdasarkan skala prioritas untuk menghemat waktu dan biaya. 4 Pencegahan defisiensi besi merupakan hal yang kompleks dan masalah yang urgen di banyak negara berkembang. Untuk pencegahan ADB, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain pendidikan gizi, pemberian suplemen / fortifikasi besi dan pendidikan kebersihan lingkungan. Pendidikan gizi pada keluarga dan masyarakat sangat penting, karena faktor nutrisi merupakan penyebab utama ADB. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami terutama sumber hewani yang mudah diserap serta peningkatan penggunaan makanan yang mengandung vitamin C dan A. 3,36 Pada bayi yang terpenting adalah pemberian ASI eksklusif sampai enam bulan. Juga diperlukan, pemberian suplementasi besi pada bayi cukup bulan pada umur 4 sampai 6 bulan dengan dosis 1 mg besi elemental/kgbb, diberikan dalam bentuk tetes dalam vitamin. Bayi prematur dan bayi dengan BBLR rendah memerlukan dosis lebih tinggi yaitu 2 mg/kg BB yang di mulai usia 2 sampai 4 bulan. 4,37 Tujuan utama suplementasi besi

dini adalah untuk menjaga kebutuhan oksigen dan jaringan anak yang mengalami pertumbuhan yang cepat. Kecukupan besi sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. 38 Tidak kalah penting adalah memberikan pendidikan kebersihan lingkungan untuk mengurangi kemungkinan infeksi bakteri/parasit dan defisiensi besi yang merupakan lingkaran setan yang harus diputus. 4,5 Sebelum pemberian besi kami memberikan penyuluhan / pendidikan gizi keluarga (orang tua, anak dan guru) antara lain mengenai makanan yang banyak mengandung besi, hal-hal yang membantu dan mengurangi penyerapan besi. Penyuluhan juga diberikan tentang kebersihan lingkungan, yang merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan pengobatan ADB. Pengaruh pemberian suplementasi besi terhadap BB dan TB anak atau status gizi mendapatkan hasil yang tidak sama. Suatu penelitian acak tersamar ganda memberikan sulfas ferosus pada anak SD selama 12 minggu, mendapatkan peningkatan yang bermakna terhadap pertumbuhan setelah intervensi. 9 Penelitian lain yang di lakukan di Thailand, mendapatkan hasil bahwa suplementasi besi pada anak SD selama 16 minggu memberikan efek terhadap pertumbuhan (penambahan TB). 39 Dijkhuizen dkk (2001) melakukan penelitian dengan memberikan suplementasi besi dan zinkum pada bayi di Indonesia. Penelitian ini

mendapatkan hasil prevalensi defisiensi besi masih tinggi. Suplementasi besi dan zinkum mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan bayi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa suplementasi besi dan zinkum dapat digunakan secara aman dan efektif. 40 Smuths dkk tahun 2005 melakukan penelitian di Afrika Selatan terhadap bayi usia 6 sampai12 bulan dengan memberikan suplementasi besi setiap hari. Dari hasil pengukuran BB dan TB yang dilakukan setiap bulan, didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada pertumbuhan bayi setelah tiga bulan suplementasi. 41 Hal ini sama dengan hasil yang didapatkan pada penelitian oleh Dewey dkk di Swedia dan Honduras tahun 2002, dengan memberikan suplementasi besi 1 mg/kg BB /hari pada bayi usia 4 sampai 9 bulan yang mendapat ASI ekslusif selama enam bulan. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa tidak ada efek pemberian suplementasi terhadap penambahan BB dan PB. 42 Pada penelitian ini efek pemberian besi terhadap peningkatan Hb, BB, TB dan perubahan status gizi dinilai dengan melakukan pemeriksaan darah dan pengukuran antropometri sebelum dan setelah intervensi selama tiga bulan. Data kami menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata BB dan TB pada kedua kelompok sebelum dan sesudah terapi. Kelemahan dari penelitian ini, kami tidak mengevaluasi pola makan secara mendetail dan lengkap. Kemudian, angka kesakitan anak yang