IV.1.2. Kondisi Geologi IV Geomorfologi dan Fisiografi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB II TINJAUAN UMUM

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

BAB I PENDAHULUAN. pembangkit tenaga listrik. Secara kuantitas, jumlah air yang ada di bumi relatif

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH

Lampiran 1. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1972 (Kombinasi Band 421)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB II KERANGKA GEOLOGI

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan cara menggalakan

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

KONDISI UMUM. Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan, dan Tanah Sareal (Gambar 13).

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru)

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

Jurnal APLIKASI ISSN X

DAERAH ALIRAN CIMANDIRI

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

KONDISI UMUM BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu

BAB II TINJAUAN UMUM

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

BAB 1 PENDAHULUAN. dikenal sebagai sektor penting karena berperan antara lain sebagai sumber

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

IV.1.2. Kondisi Geologi IV.1.2.1. Geomorfologi dan Fisiografi Berdasarkan pembagian fisiografi daerah Jawa Barat oleh Van Bemmellen (1949), daerah selatan kaki lereng Gunung Tangkuban Perahu merupakan bagian dari endapan erupsi vulkanik yang berasal dari braksi tufaan, lava, batu pasir, konglomerat, tufa pasir, tufa berbatu apung. Keadaan morfologinya merupakan lereng pegunungan vulkanik yang dibatasi bagian utara oleh Patahan lembang, yang memanajang dari Panyadakan hingga Pulasari, di bagian selatan berbatasan dengan landai lereng vulkanik Gunung Tangkuban Perahu antara Leuwi Gajah hingga Cicaheum. Lereng ini merupakan bagian dari lereng selatan kaki Gunung Tangkuban Perahu. Lereng pegunungan Tangkuban Perahu bagian selatan ini mempunyai ketinggian pada elevasi antara +700 mdpl hingga kira-kira +1200 mdpl. Pada lereng vulkanik ini mengalir Sungai Cipujung, Sungai Cijugur, dan Sungai Cikapundung yang semuanya mengalir ke Sungai Citarum. Sedangkan Sungai Cikondang, Sungai Cipaneungah, dan Cikawari yang merupakan anak Sungai Cikapundung alirannya dipengaruhi langsung oleh struktur sesar Lembang. Daerah sekitar Rancabentang merupakan areal persawahan dan lahan kosong, dengan tanaman padi, sebagian ditanami sayuran atau palawija. Daerah studi merupakan bagian selatan dari lereng kaki Gunung Tangkuban Perahu, dengan kemiringan lereng agak landai berkisar antara 5 0-7 0. Sungai Cikapundung yang mengalir di tempat ini bermata air di muara Maribaya, mengalir ke selatan untuk kemudian bermuara di Sungai Citarum di sekitar daerah Dayeuh Kolot. Kemiringan lereng lembah sungai landai, berkisar antara 10 0-20 0, sebagian memperlihatkan permukaan lereng termal dengan kemiringan lereng antara 45 0-70 0, bagian yang mempunyai lereng terjal ada di tikungan sungai bagian luar. Bentuk morfologi daerah studi aliran Sungai Cikapundung ini memperlihatkan perkembangan sungai dewasa, kekuatan erosi vertical mulai berkurang dan erosi horizontal meningkat agak besar, sehingga lereng dan lembahnya membentuk huruf U. perbedaan tinggi antara bagian daratan yang paling tinggi dengan lembah sungai yang paling dalam kira-kira 20 meter. Elevasi 66

bagian yang paling tinggi dan yang paling rendah kira-kira antara +780 mdpl hingga +760 mdpl. IV.1.2.2. Sejarah dan Stratigrafi Pada jaman Plestosen, 2 juta tahun yang lalu, kegiatan vulkanik di daerah utara Bandung membentuk gunung api berukuran besar, dengan ukuran dasarnya sebesar 20 Km dan ketinggiannya mencapai 3.000 meter. Kemudian mengalami keruntuhan membentuk kaldera Gunung Sunda yang berukuran cukup besar, berdiameter hingga kira-kira 7,5 kilometer dan terjadinya sesar lembang. Pada Holosen, 11.000 tahun yang lalu, terjadi letusan pertama disebut sebagai Erupsi Fasa A, lahir Gunung Tangkuban Perahu dan pengisian depresi Lembang. Pada 6.000 tahun letusan kedua disebut sebagai Erupsi Fasa B penyebarannya sampai ke Ciumbeuleuit dan menyumbat aliran Sungai Citarum di Cimeta, sehingga terbentuk Danau Bandung yang besar. Pada jaman tersebut, Danau Bandung ini disebut Situ Hiang. Pada letusan ketiga, hampir seluruh daerah Bandung Purba tertutup oleh abu vulkanik, terjadi penyayatan di Sanghyang Tikoro dan berakhir di Situ Hiang, dengan sesar kedua di Gunung Burangrang dan sebelah utara Tangkuban Perahu. Kemudian pada letusan ketiga yang disebut sebagai Erupsi Fasa C terjadi aliran lava ke selatan melalui Cikapundung dan aliran lava ke utara dalam jumlah yang massif. Kemudian diikuti sesar ketiga terjadi letusan bergantiganti arah barat dan timur, membentuk Kawah Pengguyangan Badak, Kawah Ratu, Kawah Upas, dan Kawah Domas. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Direktorat Geologi, 2003), Daerah Dago dan Sekitarnya mempunyai urutan stratigrafi sebagai berikut: Tufa berbatu apung (Qyt), pasirtufaan, lapili, bom, lava berongga dan kepingan andesit-basal padat bersudut dengan banyak bongkah-bongkah dan pecahan-pecahan batu apung berasal dari Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Tampomas. Lava (Qyl), aliran lava muda, terutama dari Gunung tangkuban Perahu dan Gunung Tampomas. Umumnya bersifat basal dan mengandung banyak lubang-lubang gas. 67

Tufa pasiran (Qyd) dan tufa berasal dari Gunung Dano dan Gunung Tangkuban Perahu (erupsi C), tufa pasir coklat mengandung cristal-kristal horblende yang kasar, lahar lapuk kemerahan, lapisan lapili dan breksi. Breksi tufaan, lava, batu pasir, konglomerat, breksi bersifat andesit, basal, lava, batu pasir tufaan dan konglomerat. IV.1.2.3 Struktur Geologi Struktur geologi di daerah ini adalah struktur sesar yang dikenal dengan nama Sesar Lembang, memanjang dari barat (Panyadakan) ke timur menyambung menyatu dengan kaldera Gunung Pulasari sepanjang kira-kira 25 kilometer, memotong endapan lahar, lava, tufa. Sesar Lembang ini adalah jenis sesar normal dengan bagian utara yang relatif turun. Menurut Koesmadinata sesar tersebut telah tiga kali bergerak, yaitu pada jaman plestosen, dan holosen dua kali, yaitu 6.000 tahun yang lalu. Dan sesar tersebut bergerak sebanyak 2mm/tahun. Bulan Juni dan Oktober 2003 Sesar Lembang tersebut mampu menimbulakan gempa bumi dengan pusat gempa pada kedalaman 10 kilometer dan menimbulakan kerusakan rumah penduduk di daerah Cihideung, Lembang. IV.1.3. Topografi Data topografi wilayah studi diambil dari Peta Rupa Bumi Sungai Cikapundung. Wilayah DAS Ciapundung memiliki topografi yang beragam, bervariasi dari datar, bergelombang, brbukit dan pegunungan yang berkisar pada ketinggian 650 meter sampai 2.076 meter di atas permukaan laut. Dan kemiringan lahannya pun beragam dari datar sampai curam brkisar pada nilai kemiringan + 46% dari area yang ada memiliki kmiringan kurang dari 15%. IV.1.4. Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada DAS Cikapundung dapat dikatakan beragam dari daerah permukiman, tegalan, hutan, perkebunanm, sawah, lahan kosong, dan lain-lain. Sedangkan kondisi vegetasi penutup lahan pada DAS Cikapundung dapat dibedakan menjadi vegetasi yang terdapat di dalam kawasan hutan dan yang berada di luar hutan. Vegetasi penutup lahan di kawasan hutan di dominasi oleh jenis pohon besar yang rata-rata telah berumur di atas 25 tahun dengan tumbuhan 68

bawah yang cukup baik. Wilayah ini berada di kawasan Bandung Utara dengan kemiringan lahan 25% sampai dengan 45%. Vegetasi penutup lahan di luar kawasan hutan pada umumnya di dominasi oleh tanaman palawija dan sayuran. Jenis tanaman seperti ini pada umumya memberikan perlindungan yang kecil terhadap lahan. Kawasan seperti ini terdapat di Bandung Utara khususnya kawasan Lembang dan Cisarua. Kawasan Sub-DAS Cikapundung Hulu, yang terdiri dari kecamatan Lembang, Cimenyan, Cidadpa, dan Cilengkrang penggunaan lahannya telah banyak beralih fungsi dari lahan pertanian dan hutan menjadi lahan permukiman (BPLHD, 2001). Hal ini mendorong terjadinya erosi dan penurunan kualitas air permukaan. Selain kegiatan pengembangan permukiman, kegiatan pembukaan hutan yang tidak terkendali akan mengakibatkan berkembangnya lahan-lahan kritis serta mengurangi resapan air tanah sehingga menyebabkan terjadinya banjir dan longsoran pada musim hujan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Darsiharjo (2004) sebagian besar (64,98%) penggunaan lahan sekarang di daerah hulu Sungai Cikapundung tidak sesuai dengan tingkat kesesuaian lahannya. Pemanfaatan tersebut menyebabkan terganggunya interaksi antara subsistem dan manusia, yang akhirnya berdampak pada manusia terutama masyarakat yang bermukim di bagian hilir sungai. Faktor yang mendorong berubahnya fungsi lahan tersebut diantaranya adalah adanya tekanan laju penduduk yang diiringi meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat. Sub DAS Cikapundung apabila dibandingkan dengan Sub DAS lainnya yang ada di dalam DAS Citarum Hulu mempunyai jumlah penduduk yang paling banyak sebesar 46% dari jumlah total penduduk di DAS Citarum Hulu Tahun 2001. Pada Gambar IV.2. dapat dilihat perubahan pola pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu lima tahunan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005. 69

Gambar IV.2. Pola pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu pada tahun 1990, 1995, 2000 dan 2005 (diolah dari sumber data Dinas Tarkim Prov. Jawa Barat) IV.1.5. Kondisi Hidroklimatologi Sungai Utama yang mengalir pada DAS Cikapundung adalah Sungai Cikapundug yang merupakan anak Sungai Citarum Hulu. Sungai Cikapundung ini membentang dari pegunungan sekitar Gunung Sanggera Desa Cibodas hingga bermuara ke Sungai Citarum di Desa Andir, Kecamatan Dayeuh Kolot. Sumber air utama Sungai Cikapundung berasal dari suplai air anak-anak sungai yang berada di daerah Cigulung dan Maribaya, Mata Air Seke Gede, serta air terjun Curug Dago. Panjang total Sungai Cikapundung + 39,07 km, dengan panjang sungai yang melewati Kota Bandung + 15,5 km dan sepanjang 10,57 km merupakan daerah permukiman padat. 70

Kondisi iklim pada DAS Cikapundung sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim pegunungan yang lembab dan sejuk. Kondisi tempratur di daerah ini tidak banyak berubah setiap tahunnya. Untuk keperluan studi ini data hidroklimatologi diperoleh pada stasiun pengamatan metorologi dan geofisika Bandung menggunakan data pada tahun 2006. Data tersebut disajikan pada Tabel 4.1. Tabel IV.1. Kondisi hidroklimatologi DAS Cikapundung Hulu No. Kondisi Hidroklimatologi Pengamatan 1. Temperatur rata-rata tahunan 19,5 o C 2. Temperatur minimum 15 o C 3. Temperatur maksimum 27 o C 4. Kelembaban udara rata-rata 82,5 % 5. Curah hujan 137,5 mm 6. Hari Hujan 13,8 hari 7. Penguapan (evapotranspirasi) 3,9 mm 8. Tekanan udara 875,7 mb Sumber : BMG IV4.1.6. Sistem Sungai Cikapundung Sungai Cikapundung merupakan bagian dari sistem sungai daerah pengaliran Sungai Citarum bagian hulu, yang mengalir dari utara ke selatan melalui Kota Bandung dan bermuara di Sungai Citarum. Sungai Cikapundung memiliki beberapa anak sungai, yaitu Sungai Cikukang, Sungai Cigulung, Cikawari, dan Cikapundung Kolot, selain dua anak sungai kecil yaitu Sungai Cipaganti dan Cipalasari, kedua anak sungai tersebut berfungsi sebagai saluran pembuang (drainase kota). Analisa neraca air adalah studi mengenai kesetimbangan antara kebutuhan air dengan ketersediaan dalam periode waktu tertentu. Berdasarkan besarnya supply air serta besarnya kebutuhan air yang ada dapat ditentukan besarnya kesetimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Secara umum, pemanfaatan 71

air sungai Cikapundung adalah untuk keperluan air minum (PDAM Pakar Dago dan PDAM Badak Singa), PLTA (Pakar dan Cibengkok), irigasi dan penggelontoran. Konfigurasi penggunaan air secara skematik di sepanjang Sungai Cikapundung dapat dilihat pada Gambar 4.1. Cikapundung Maribaya WILAYAH STUDI 930 600 PAM Dago Kolam 3.440 L/det PLTA Dago Bengkok PAM Dago 60 L/det 440 L/det 3.000 L/det DI Bengkok Tangulan PLTA Dago Pojok DI Dago Pojok 760 L/det 740 180 2.240 L/det PAM Badak Suplesi S. Cikapayang 1.500 L/det 523 L/det Pabrik ES 500 Suplesi S. Cipalasari Suplesi S. Cikapundung Kolot 500 L/det S. Citarum Gambar IV. 3. Neraca pemanfaatan aliran Sungai Cikapundung Perhitungan yang telah dilakukan oleh Niken dan Arwin (2008) berdasarkan catatan historisnya, telah terjadi penurunan kapasitas aliran (debit rata-rata maupun debit minimum) Sungai Cikapundung yang cukup signifikan yang terjadi sejak tahun 1916 2006 seperti digambarkan dalam Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa aliran rata rata tahunan di hulu Sungai Cikapundung mengalami penurunan, dimana pada tahun 1916 rata-rata debit tahunan masih berkisar 3.500 72

liter/detik, sedangkan dalam 10 tahun terakhir debit rata-rata tahunan menurun sampai 500 2.000 liter/detik. Gambar IV.4. Grafik penurunan aliran rata-rata tahunan Sungai Cikapundung (pos pengukuran Maribaya) tahun 1916 2006 (sumber : Niken dan Arwin, 2008) Debit rata-rata minimum (m3/dt) Debit rata-rata tahunan (m3/dt) Gambar IV.5. Grafik penurunan aliran minimum tahunan Sungai Cikapundung (pos pengukuran Maribaya) tahun 1916 2006 (sumber : Niken dan Arwin, 2008) Sedangan di dalam Gambar 1.2 diberlihatkan penurunan debit minimum tahunan dimana pada tahun 1916 debit minimum yang tersedia di Sungai Cikapundung masih mampu mencapai 2.800 liter/detik, sedangkan pada dekade terakhir debit minimum sangat kering pada bulan Agustus Oktober hanya mencapai 400 liter/detik. 73

Kondisi tersebut di atas merupakan permasalahan terhadap keandalan penyediaan air baku mengingat bila dilihat dari suplai (input) sistem di dalam daerah aliran Sungai Cikapundung yang berupa curah hujan, intensitasnya relatif tetap seperti diperlihatkan dalam data historis sebagaimana Gambar 1.3 berikut ini Gambar IV.6. Grafik hujan wilayah tahunan DAS Cikapundung tahun 1916 2006 (sumber : Niken dan Arwin, 2008) Jika jumlah hujan yang jatuh di DAS Cikapundung Hulu tidak banyak mangalami perubahan (dalam hal ini penurunan), maka dapat dikatakan bahwa input ke dalam sistem DAS Cikapundung tersebut adalah tetap, dan apabila yang terjadi adalah berkurangnya aliran air pada Sungai Cikapundung maka dapat diindikasikan telah terjadi perubahan (pergeseran) kesetimbangan (neraca) air pada sistem DAS Cikapundung Hulu. Hal tersebut diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa debit maksimum Sungai Cikapundung Hulu yang semakin membesar dari tahun 1916 2006 sebagaimana digambarkan di dalam Gambar 1.4. Aliran debit maksimum yang membesar dengan input (berupa curah hujan) yang relatif tetap menandakan telah terjadinya pergeseran pada unsur-unsur di dalam sistem DAS Cikapundung Hulu, yang dalam hal ini diindikasikan adanya peningkatan jumlah limpasan air hujan (surface runoff) sebagai akibat terjadinya perubahan/alih fungsi lahan yang tidak terkendali terutama di daerah tangkapan air (catchment area) DAS Cikapundung Hulu, dan penurunan infiltrasi air hujan ke dalam tanah (subsurface runoff). Tingginya surface runoff tersebut menimbulkan ancaman erosi, tanah longsor, sedimentasi ke dalam badan-badan air dan juga bahaya banjir, sedangkan menurunnya subsurface runoff 74

menimbulkan berkurangnya aliran dasar (base flow) yang sangat diandalkan menjadi sumber aliran sungai. Debit maksimum (m3/dt) Gambar IV.7. Grafik aliran maksimum Sungai Cikapundung tahun 1916 2006 (sumber : Niken dan Arwin, 2008) IV.2. Kondisi Kependudukan DAS Cikapundung Hulu DAS Cikapundung Hulu merupakan wilayah yang meskipun didominasi oleh kawasan hutan dan perdesaan namun karena posisinya yang merupakan bagian dari salah satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional yaitu kawasan Cekungan Bandung, maka perkembangan sosial yang dalam hal ini adalah kependudukan, serta perkembangan ekonomi di wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh pola perkebangan sosial dan ekonomi yang menjadi ciri kawasan perkotaan. Terlebih pada dua dekade terakhir ini dimana Kawasan Cikapundung Hulu yang merupakan kawasan dataran tinggi menjadi salah satu pilihan utama dalam pengembangan kawasan permukiman untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kawasan Cekungan Bandung. Hal tersebut karena di wilayah DAS Cikapundung Hulu kualitas udaranya masih sangat baik, air tanah yang cukup tersedia dari sis kualitas maupun kuantitas, serta memberikan nilai lebih pada pemandangan (view) yang indah sehingga memberikan daya tarik yang sangat tinggi sebagai kawasan permukiman. Oleh karena itu di dalam penelitian ini pembahasan masalah kependudukan da ekonomi di wilayah DAS Cikapundung Hulu tidak dapat 75

dilepaskan dari kondisi keperndudukan dan ekonomi Kawasan Cekungan Bandung. Jumlah penduduk di Cekungan Bandung menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980, jumlah penduduk di Cekungan Bandung mencapai 4,1 juta jiwa sementara dalam dekade 1980-1990, jumlah penduduk bertambah lebih dari seperempatnya menjadi 5,3 juta jiwa. Pada periode 1990-2000 pertambahan penduduk mencapai sekitar 10 % menjadi 6,3 juta jiwa. Perkembangan penduduk Cekungan Bandung dalam dua dekade terakhir diperlihatkan pada Tabel 4.1. Tabel IV.2. Perkembangan penduduk di Cekungan Bandung Tahun Jumlah Penduduk Laju pertumbuhan (jiwa) (%/tahun) catatan : 1980 4,130,607 1990 5,258,247 1995 5,739,353 2000 6,294,346 2005 7,073,527 1) 1) 2) 3) 4) 2.7% 1.8% 1.9% 2.5% 1) 2) 3) 4) Berdasarkan sensus penduduk Berdasarkan Supas '95 Berdasarkan sensus penduduk Berdasarkan Suseda 2005 Faktor migrasi dipandang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan penduduk perkotaan. Sampai tahun 2000, sekitar 10.6 % dari jumlah penduduk di Cekungan Bandung terdiri dari penduduk migran. Proses migrasi berkaitan dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan jasa, yang pada gilirannya menarik tenaga kerja dari luar wilayah. Berdasarkan lapangan pekerjaan, penduduk migran tersebut terkonsentrasi di sektor industri, perdagangan dan jasa. Penyerapan tenaga kerja migran pada ketiga lapangan pekerjaan tersebut adalah 20% di sektor industri, 30% di sektor jasa dan perdagangan. 76

Sedangkan untuk penduduk di DAS Cikapundung Hulu karena merupakan bagian dari Cekungan Bandung maka dinamika penduduknya pun sangat dipengaruhi oleh dinamika penduduk Cekungan Bandung bahkan jauh lebih cepat. Pada tahun 1990, jumlah penduduk di DAS Cikapundung Hulu 204.172 jiwa, sementara hanya dalam jangka waktu 15 tahun (tahun 2005) jumlah penduduk telah bertambah lebih dari setengahnya (59%) atau menjadi 324.869 jiwa.. Perkembangan penduduk DAS Cikapundung Hulu dalam 15 tahun terakhir diperlihatkan pada Tabel 4.2. Tabel IV.3. Perkembangan penduduk di DAS Cikapundung Hulu Tahun Jumlah Penduduk Laju pertumbuhan (jiwa) (% /tahun) 1990 204.172 1995 231.691 2,7 % 2000 294.535 5,4 % 2005 324.869 2.1 % Sumber BPS Pada Gambar IV.8 dan Gambar IV.9 diperlihatkan grafik pertumbuhan penduduk yang terjadi pada Kawasan Cekungan Bandung dan DAS Cikapundung Hulu selama kurun waktu 15 tahun dari tahn 1990 sampai dengan 2005. Gambar IV.8. Pertumbuhan penduduk Kawasan Cekungan Bandung tahun 1990-2005 (diolah dari sumber data BPS Prov. Jawa Barat) 77

Gambar IV.9. Pertumbuhan penduduk DAS Cikapundung Hulu tahun 1990-2005 (diolah dari sumber data BPS Prov. Jawa Barat) IV.3. Perkembangan Output Produksi Regional Dalam perjalanannya, kondisi ekonomi regional di Cekungan Bandung, termasuk di dalamnya Kawasan DAS Cikapundung Hulu, mengalami perkembangan yang dinamis. Terdapat masa-masa dimana ekonomi mengalami pertumbuhan positif dan masa resesi. Sampai dengan tahun 1996, perekonomian wilayah mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. Namun pada saat krisis ekonomi tahun 1996 mulai berlangsung, ekonomi wilayah mengalami kontraksi dengan pertumbuhan negatif sampai dengan -18%. Selama krisis berlangsung, investasi baik pada sektor industri, perdagangan maupun jasa pada umumnya mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Pasca krisis ekonomi, perkembangan output produksi perekonomian di Cekungan Bandung pulih dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, output produksi PDRB (berdasarkan harga konstan) tercatat Rp. 18,26 triliun, meningkat menjadi Rp. 20,55 triliun pada tahun 2005. Aktivitas sektor industri, jasa dan perdagangan memegang peranan yang cukup dominan dalam kegiatan perekomian di Cekungan Bandung. Dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya, kontribusi sektor industri, jasa dan perdagangan masih mendominasi output produksi yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi, yaitu mencapai 90 % dari total PDRB sektor produksi atau sebesar 17,6 triliun rupiah pada tahun 2005. 78

Pertumbuhan ekonomi di Cekungan Bandung didorong oleh investasi kapital yang berperan di dalam mengakumulasi stok kapital dan tenaga kerja. Sektor industri masih menjadi tujuan utama investasi. Pada tahun 2004, investasi di sektor industri mencapai 43% dari keseluruhan investasi, sementara sektor yang lain hanya menyerap investasi sebesar 4,3%. Investasi kapital ke dalam sektor-sektor produksi membangkitkan penyerapan tenaga kerja. Investasi pada tiap-tiap sektor produksi memiliki bangkitan penyerapan tenaga kerja yang berbeda satu dan lainnya. Untuk sektor industri, setiap nilai investasi Rp. 1 triliun membangkitkan penyerapan tenaga kerja 15.000 orang. Sedangkan untuk sektor jasa dan perdagangan, setiap nilai investasi Rp. 1 triliun membangkitkan penyerapan tenaga kerja 26.500 orang. 79