BAB II PERCERAIAN, NAFKAH DALAM KELUARGA DAN H{A<D{ANAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

1 Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden No. 154 Tahun Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden No. 154 Tahun 1991.

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI DALAM PUTUSAN NO. 718 K/AG/2012

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian dalam istilah ahli Fiqih disebut talak atau furqah. Adapun

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

Ex officio hakim dapat didefinisikan hakim karena jabatannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu perkawinan yang di lakukan oleh manusia bukanlah persoalan nafsu

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN CERAI GUGAT DENGAN SEBAB PENGURANGAN NAFKAH TERHADAP ISTERI

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENOLAK GUGATAN REKONVENSI DALAM. PUTUSAN No: 1798 / Pdt.G/2003/PA.Sby

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak

BAB IV HUKUM KELUARGA

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

BAB I PENDAHULUAN. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan

HAK ASUH ANAK DALAM PERCERAIAN

A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penolakan Pembagian Gaji PNS Pasca Perceraian. melaksanakan pembagian gaji PNS yang di dapat oleh suami PNS di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup

BAB II KERANGKA TEORITIK. isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan bagian dari hukum perdata. dikemukakan oleh Abdul Ghofur Anshori, yaitu hukum perkawinan sebagai

AKIBAT PERCERAIAN DISEBABKAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Studi Kasus Putusan Nomor : 1098/Pdt.G/2008/PA.Dmk Di Pengadilan Agama Demak

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,



PERBANDINGAN HUKUM ACARA PERCERAIAN ANTARA SUAMI DAN ISTERI DI PENGADILAN AGAMA

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS HUKUM POSITIF TERHADAP PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TERHADAP HAK ISTRI DALAM PERKARA NOMOR 0241/PDT.G/2016/PA.

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI LEMBAGA SANDI NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT. menciptakan manusia berpasang-pasangan. Dalam Al Qur an, Allah SWT. berfirman :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

2018, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ten

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perkawinan mempunyai nilai-nilai yang Sakral dalam agama, karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN KARENA ISTERI. A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim karena Isteri

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. 1 Dalam

BAB I PENDAHULUAN. menjadi utuh. Dalam syariat Islam ikatan perkawinan dapat putus bahkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. merealisasikan ibadah kepada-nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat Hukum ke

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERCERAIAN DAN EKSEKUSI

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB V PEMBAHASAN. penelitian, maka dalam bab ini akan membahas satu persatu fokus penelitian yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ABSTRAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

Pasal 3 Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

A. Analisis Pertimbangan Hukum dan Dasar Hukum Putusan PA Nomor. Agama Pasuruan, yang mana dalam bab II telah dijelaskan tentang sebab

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG CERAI TALAK

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dalam ikatan yang sah sebagaimana yang diatur dalam Islam,

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia terus berupaya meningkatkan dan melaksanakan

BAB IV ANALISA TERHADAP KASUS ANAK YANG MENGHALANGI AYAH MEMBERIKAN NAFKAH KEPADA ISTRI SIRRI

BAB IV TINJAUAN KITAB KLASIK DAN MODERN TERHADAP PASAL-PASAL DALAM KHI TENTANG MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

Transkripsi:

BAB II PERCERAIAN, NAFKAH DALAM KELUARGA DAN H{A<D{ANAH A. Perceraian 1. Pengertian Perceraian Menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan.adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga antara suami dan istri tersebut. Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum berikut: a. Perceraian menurut hukum Islam yang dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup sebagai berikut: 1) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan Agama yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 73. 19

20 dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975). 2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif isri kepada Pengadilan Agama yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pegadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (vide Pasal 20 sampai Pasal 36). b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula dipositifkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya yang diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatat di Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975). Sedangkan perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. 2 Namun, Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau yang disebut dengan istilah cerai mati. Jadi, pengertian perceraian menurut Subekti lebih sempit daripada pengertian menurut Pasal 38 2 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Internusa, 1985), 42.

21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diuraikan di atas. Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperaktif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Sehubungan dengan pasal ini, Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa walaupun perceraian adalah urusan pribadi, baik itu atas kehendak satu diantara dua pihak yang seharusnya tidak perlu ikut campur tangan pihak ketiga, tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami dan juga untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan. 3 Latar belakang dan tujuan perceraian dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan kehidupan suami istri tentu saja tidak selamanya berada dalam situasi yang damai dan tentram, tetapi kadang pula terjadi salah paham antara suami istri sehingga salah paham itu menjadi berlarut dan tidak dapat didamaikan. Apabila suatu perkawinan yang demikian dilanjutkan, maka ditakutkan perpecahan antara suami istri ini akan mengakibatkan perpecahan antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, untuk menghindari perpecahan yang makin meluas, maka dalam 3 Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, (Palembang: PT. Rambang Palembang, 2006), 110-111.

22 agama Islam mensyaratkan perceraian sebagai jalan keluar yang terakhir bagi suami istri yang sudah gagal dalam membina rumah tangganya. 4 Soemiyati menjelaskan bahwa perceraian walaupun diperbolehkan, tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, yaitu: 5 Yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah perceraian Bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Nabi Muhammad bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-nasa i dan Ibnu Hibba>n, yaitu: Apakah yang kamu menyebabkan salah seorang kamu mempermainkan hukum Allah, ia mengatakan: Aku sesugguhnya telah mentalak (istriku) dan sungguh aku telah merujuknya. Akan tetapi, perlu pula diketahui perceraian yang benar menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya.Garis ketentuan yang benar berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itulah yang harus dipelajari dan diketahui. 6 Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian itu walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan 4 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 21. 5 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997), 105 6 Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Pro-U, 2007), 316.

23 suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh suami istri, apabila cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami istri tersebut. 2. Sebab-Sebab Perceraian Walaupun pada dasarnya perkawinan itu bertujuan untuk selamalamanya, tetapi adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan jadi harus di putuskan di tengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya, atau dengan kata lain terjadi perceraian antara suami dan istri. 7 Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. 8 Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan pada pasal 38 yaitu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan. 9 Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dari suami atau istri maksudnya adalah apabila salah seorang dari kedua suami istri itu meninggal dunia, maka perkawinannya putus karena adanya kematian tersebut. Atau perkawinan terhapus jikalau salah satu pihak meninggal. 10 7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997), 105. 8 Kompilasi Hukum Islam, 35. 9 Undang-Undang Pokok Perkawinan(Jakarta: Sinar Grafika, 1989), 12. 10 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermassa, 1996), 42.

24 Putusnya perkawinan karena perceraian antara suami istri maksudnya apabila suami istri itu bercerai, maka perkawinannya putus karena adanya perceraian tersebut. Perceraian ini dapat terjadi langsung atau dengan tempo dengan menggunakan kata talaq atau kata lain yang senada.putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talaq atau berdasarkan gugatan perceraian, sebagaimana bunyi pasal 114 Kompilasi Hukum Islam. 11 Sedangkan putusnya perkawinan atas putusan Pengadilan dapat terjadi karena pembatalan perkawinan, dengan demikian perkawinan itu harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang yaitu pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi dalam suatu perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan, sebagaimana tersebut dalam pasal 8, 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 12 Sedangkan perceraian sendiri, seperti yang diungkap dalam Pasal 116 KHI, dapat terjadi karena: a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan, b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain, 11 Kompilasi Hukum Islam. 12 Kompilasi Hukum Islam, 81-83.

25 e) Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri, f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, g) Suami melanggar taklik talak, h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. 3. Akibat Hukum Perceraian Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XVII dijelaskan tentang akibat putusnya perkawinan sebagai berikut: Akibat Talak di dalam pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. Memberikan mut ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al dukhul; b. Memberi nafkah, mas kawin dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al dukhul; d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. 13 Akibat Perceraian di dalam pasal 156 Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian ialah: a. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. 13 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), 46.

26 b. Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan Hadhanah dari ayah atau ibunya; c. Apabila pemegang Hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak Hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak Hadhanah pula; d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun); e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai Hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberika putusannya berdasarkan huruf (a), (b) dan (d); f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. 14 Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 juga disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah: a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. 15 Memperhatikan substansi diatas, maka dapat ditegaskan bahwa perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak dan mantan suami/istri. Selain itu, perceraian juga mempunyai akibat hukum terhadap harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Undang- 14 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), 49. 15 Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), 13.

27 Undang No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan bahwa akibat hukum terhadap harta bersama diatur menurut hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain. Jika dicermati esensi dari akibat-akibat hukum percerain yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah mengakui dan melindungi hak-hak anak dan hak-hak mantan suami/istri sebagai Hak-hak Asasi Manusia (HAM). 16 Adapun Undang-Undang yang digunakan dalam proses perceraian di Pengadilan: a. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, mengatur mengenai perceraian secara garis besar (kurang detail karena tidak membedakan cara perceraian agama Islam dan non- Islam. b. Kompilasi Hukum Islam bagi pasangan nikah yang beragama Islam. c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur detail mengenai Pengadilan mana yang berwenang memproses perkara cerai dan tata cara perceraian secara praktik. d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1974, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bagi seseorang 16 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 349-350.

28 yang mengalami kekerasan/penganiayaan dalam rumah tangganya. B. Nafkah dalam Keluarga Nafkah berarti belanja. Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan seseorang kepada istri, kerabat dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka. Keperluan pokok, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. 17 Terkait dengan nafkah dalam keluarga, maka dalam pasal 80 ayat (4) KHI dijelaskan: Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: 1. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri 2. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak. Melalui ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa keperluan berumah tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan. Ketentuan pasal ini juga mempertegas anggapan bahwa nafkah itu hanya untuk biaya makan, karena di samping nafkah masih ada biaya rumah tangga, dan hal ini juga tidak sejalan dengan ketentuan etimologi nafkah yang telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia yang berarti pengeluaran. 17 Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Jilid II,( Jakarta : Ditjen Binbaga Islam, 1984/ 1985),184.

29 Sedangkan pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kita dapat melihatnya dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam pengaturan Undang-Undang Perkawinan tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan hukum terapan di Pengadilan Agama hanya mengatur secara umum hak dan kewajiban suami isteri. Ketentuan tentang hal ini dapat dijumpai dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34. Pada pasal 30 dijelaskan: Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Undang-undang ini terkait erat dengan kenyataan sosial masyarakat yang memandang bahwa melaksanakan perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan sebagian dari ketentuan agama, karena itu seluruh kewajiban yang timbul sebagai akibat perkawinan harus dipandang sebagai kewajiban luhur untuk menegakkan masyarakat. Dalam pengelolaan rumah tangga undang-undang menempatkan suami isteri pada kedudukan yang seimbang. Artinya masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam keluarga dan masyarakat. Ini diungkapkan dalam pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), hal ini

30 mengindikasikan bahwa terdapat kemitraan (partnership) antara suami isteri. Kedudukan yang seimbang tersebut disertai perumusan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab (pasal 31 ayat 3). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Perkawinan dikatakan bahwa apabila suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan (Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan). Ini berarti apabila suami tidak memberikan nafkah untuk keperluan hidup rumah tangganya, isteri dapat menggugat ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama (bergantung dari agama yang dianut oleh pasangan suami isteri tersebut). Nafkah dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 dalam pasal 34 diatur sebagai berikut: 1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2. Istri wajib mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya Adapun macam-macam nafkah ada 2, yaitu: 1. Nafkah Ma>diyah Pada dasarnya nafkah materi (ma>diyah) adalah sesuatu yang dikeluarkan suami dari hartanya untuk kepentingan istrinya berup halhal yang bersifat lahiriah maupun materi. Kewajiban ini berlaku didalam fikih berdasarkan prinsip pemisahan harta antara suami dan istri. 18 18 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), 167

31 Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu pencari rezeki dan rezeki yang diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh, selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafkah.oleh karena itu, kewajiban ini tidak relevan dalam komunitas yang menganut prinsip penggabungan harta dalam rumah tangga. 19 2. Nafkah Mut} ah Nafkah mut} ah adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai kompensasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku I Bab I Pasal 1 ayat (j): Mut ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang telah dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya. Walaupun demikian, yang perlu diperhatikan adalah pemberian ini terjadi setelah dijatuhi talak, itupun bakda dukhul.hal ini dijelaskan dalam Pasal 149 ayat (a) Kompilasi Hukum Islam Buku I: memberikan mut ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla dukhul. Sebagaimana diketahui bahwa mut} ah dalam Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak, berupa benda, uang atau lainnya, maka mut} ah tersebut dapat menjadi wajib dan dapat pula menjadi sunat. Mut} ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkannya bagi istri bakda dukhul dan perceraian terjadi atas kehendak suami.adapun mut ah sunnat diberikan 19 Ibid.,168

32 oleh bekas suami tanpa syarat yang telah ditetapkan pasal 158. Artinya, nafkah mut} ah yang diberikan oleh bekas suami kepadanya istriya itu pemberian semata. C. H}ad}a>nah 1. Pengertian H}ad}a>nah H}ad}a>nah menurut Mahmud Yunus dalam kamus Arab-Indonesia h}ad}ana-yah}d}unu-h}ad}nan, yang berarti mengasuh anak, memeluk anak. 20 Selain itu, bermakna mendekap, memeluk, mengasuh dan merawat. 21 H}ad}a>nah (pengasuhan) menurut penjelasan Muhammad T}a>lib, merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena mereka membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya, dan orang yang mendidiknya. Ibulah yang berkewajiban melakukan h}ad}a>nah ini, karena Rasulullah bersabda: Engkau (ibu) yang lebih berhak kepadanya (anak). Hal ini dimaksudkan jangan sampai hak anak atas pemeliharaan dan pendidikannya tersia-siakan, jika ternyata h}ad}a>nahnya dapat ditangani orang lain, umpama nenek perempuannya dan ia rela melakukannya sedang ibunya sendiri tidak mau, maka hak ibu untuk mengasuh (h}ad}a>nah) gugur dengan sebab nenek perempuan 20 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), 105. 21 Ahmad Warson Munawar, Al Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 295.

33 mengasuhnya., karena nenek perempuan juga mempunyai hak h}ad}a>nah (mengasuh). 22 Istilah h}ad}a>nah dapat dijumpai dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991). Namun kalau dilihat dari pengertiannya bahwa h}ad}a>nah ialah memelihara dan mendidik anak, maka hal ini diatur juga dalam pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. H{ad}a>nah anak erat hubungannya dengan nafkah anak. H{ad}a>nah berarti pemeliharaan anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan anak, melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik jasmani dan rohani serta akalnya, supaya si anak dapat berkembang dan mengatasi persoalan hidup yang dihadapinya. 23 Dari berbagai keterangan diatas, dapat diambil definisi yang pokok bahwa h}ad}a>nah ialah: 1) Pemeliharaan terhadap anak-anak yang belum dewasa, dengan meliputi biaya dan pendidikannya. 2) H}ad}a>nah dilakukan oleh orang tua. 22 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 361. 23 Hamdani, al-risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 318.

34 2. Dasar Hukum H}ad}a>nah Kewajiban orang tua terhadap anaknya meliputi berbagai aspek, namun jika disederhanakan aspek tersebut terdiri atas dua yaitu kewajiban moril dan materiil. 24 Dalam Islam kewajiban tersebut merupakan kewajiban bersama, jadi tidak hanya ditujukan kepada ayah, namun ibu juga harus membantu dalam memikul dan berusaha melakukan yang terbaik bagi anaknya. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (h}ad}a>nah)ini belum dapat diberlakukan secara efektif, sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan hukum h}ad}a>nah yang tersebut dalam Kitab-kitab Fiqh ketika memutus perkara tentang h}ad}a>nah itu. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah h}ad}a>nah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya. 25 24 Rahmad Hakim, Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 224. 25 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama..., 429.

35 Dalam pasal 42-54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. 26 Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Disamping itu, Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga menjelaskan tentang hal pengasuhan anak, yaitu: Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2) Dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 3. Yang Berhak Melakukan Pemeliharaan Anak Adanya seorang dalam sebuah rumah tangga merupakan sebuah keniscayaan. Adanya seorang anak memang sangat diharapkan oleh kedua orang tua. Namun demikian, kedua orang tua dibebankan sebauh kewajiban untuk merawat dan memelihara sang anak, mulai dari pangan, sandang, papan dan pendidikan. 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

36 Selain kedua orang tua, ada beberapa pihak, yang dalam undangundang diberikan kewajiban pada saat-saat tertentu untuk merawat an memelihara si anak. Adapun urutan orang-orang yang berhak melakukan pemeliharaan anak dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu: Pasal 156 huruf (a) Penggantian kedudukan ibu yang memegang dan memelihara atas anak, hal ini dilakukan apabila ibu dari si anak telah meninggal dunia, ia dapat digantikan oleh: a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu, misal nenek dari pihak ibu si anak b. Ayah si anak c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah d. Saudara perempuan dari anak tersebut e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, missal bibi dari ibu si anak f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. Pasal 105 a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (12 tahun), maka hak ibu. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anaknya untuk memlih antara ayah atau ibunya. Pasal 106 (1) Orang tua berkewajiban merawat dn mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi. (2) Orang tua bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1). 27 27 Kompilasi Hukum Islam, 169.