EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

dokumen-dokumen yang mirip
II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim.

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

KAJIAN YURIDIS MENGENAI INTERPRETASI PIHAK KETIGA YANG BERKEPENTINGAN DALAM PRAKTEK PRAPERADILAN

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting. dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, melalui proses pembuktian

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

Presiden, DPR, dan BPK.

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB III PENUTUP. menyimpulkan mengenai Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DALAM MENGUNGKAP KASUS PEMBUNUHAN

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA (KROON GETUIGE) DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI PERSIDANGAN (STUDI KASUS PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PENGADILAN NEGERI KLAS I A PADANG

ALASAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PEMBERHENTIAN SUATU PERKARA 1 Oleh: Intansangiang Permatasari Malagani 2

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

commit to user BAB I PENDAHULUAN

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA Oleh: SETIYONO Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta Ketua Divisi Non-Litigasi LKBH FH USAKTI Jl. Kiai Tapa Grogol, Jakarta Barat setiyono@plasa.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan memberikan sebuah tinjauan hukum mengenai eksistensi saksi mahkota. Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil maka KUHAP telah memiliki rumusan sistem pembuktian tersendiri. Dalam perkembangannya, maka penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana tidak dibolehkan dengan pertimbangan karena bertentangan dengan hak asasi terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHAP sebagai instrumen hukum nasional dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagai instrumen hak asasi manusia internasional termasuk sebagai instrumen penilaian terhadap implementasi prinsip-prinsip fair trial. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan metode penelitian hukum normatif. Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana perlu ditinjau ulang kembali karena bertentangan dan melanggar kaidah hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai instrumen hukum nasional maupun ICCPR sebagai isntrumen hak asasi manusia internasional yang juga merupakan sumber acuan terhadap implementasi prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial). Kata Kunci : Saksi Mahkota, Alat Bukti, Perkara Pidana. Pendahuluan Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memiliki rumusan sistem pembuktian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil (Departemen Kehakiman RI: Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, 1982). Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat (Andi Hamzah, 2001). Selain itu, untuk mendukung implementasi rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya harus berpedoman pada asas-asas yang berlaku dalam proses peradilan pidana, seperti asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan asas pemeriksaan akusator (Syamsul Bahri Radjam, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu bentuk dari adanya asas praduga tidak bersalah maka terdakwa sebagai subjek dalam setiap tingkatan pemeriksaan tidak dibebani dengan kewajiban pembuktian (M. Yahya Harahap, 2003). Hal tersebut merupakan bentuk hak asasi terdakwa sebagai konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan aku- Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007 29

sator dalam KUHAP. Oleh karena itu, sebagai subjek dalam pemeriksaan maka tersangka atau terdakwa diberikan kebebasan untuk melakukan pembelaan diri terhadap tuduhan atau dakwaan yang ditujukan kepada dirinya (Darwan Prinst, 1998). Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Lilik Mulyadi, 2007). Bagi penuntut umum, maka pembuktian merupakan faktor yang sangat determinan dalam rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal tersebut sesuai dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mendakwakan maka pihak tersebut yang harus membuktikan dakwaannya (Adami Chazawi, 2006). Berbeda halnya dengan advokat dalam kapasitasnya sebagai penasihat hukum, maka pembuktian merupakan faktor yang determinan dalam rangka melakukan pembelaan yang optimal terhadap terdakwa selaku kliennya. Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pada tingkatan pengadilan maka perihal pembuktian merupakan faktor yang juga sangat menentukan bagi hakim dalam mendukung pembentukan faktor keyakinan hakim. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang pada pokoknya menjelaskan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang terbentuk didasarkan pada alat bukti yang sah tersebut (Martiman Prodjohamidjojo, 1990). Oleh karena itu, apabila ditinjau dari perspektif yuridis maka dalam perihal pembuktian tersebut tentunya harus berisi ketentuan tentang jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata cara pembuktian yang dilakukan secara benar dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar hak asasi terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003). Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum. Dalam perkembangannya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dari praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Bahkan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi mahkota ini juga muncul dalam berbagai yuris- 30 Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

prudensi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Permasalahan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dalam tulisan ini penulis mencoba untuk membahas mengenai permasalahan tentang eksistensi saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pekara pidana. Pokok pembahasan yang dilakukan oleh penulis bersifat terbatas, yaitu menganalisis hanya terhadap pokok permasalahan tentang dibolehkan atau tidaknya pengunaan saksi mahkota menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku khususnya yang mengatur tentang perlindungan hak asasi terhadap terdakwa. Tujuan Penelitian Tulisan ini hanya bertujuan untuk memperlengkap literatur keilmuan dan pengetahuan bidang hukum yang telah ada sebelumnya, khususnya untuk memberikan suatu deskripsi yang jelas mengenai eksistensi saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pekara pidana. Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah tipe penelitian normatif. Dimana seperti telah kita ketahui bersama bahwa tipe penelitian normatif adalah bentuk penelitian yang bertujuan untuk menelaah dan mengkaji asas-asas hukum positif yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. Dalam hal ini adalah yurisprudensi-yurisprudensi yang berkenaan dengan saksi mahkota. Misalnya, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Adapun sifat penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif artinya adalah penelitian mengenai pengetahuan atau teori tentang obyek yang sudah ada dan ingin memberikan gambaran serta analisis tentang obyek penelitian. Dalam uraian penulisan ini dapat dikatakan bahwa data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder ialah data yang diperoleh dari suatu sumber yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain, baik melalui bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan bahan hukum sekunder seperti literatur-literatur yang berkaitan dengan tulisan ini. Data sekunder ini merupakan data utama dalam suatu penelitian hukum karena kecenderungan adanya sifat penelitian hukum yang bersifat deskriptif. Sistem Pembuktian dan Alat Bukti Menurut KUHAP Secara teoritis, dikenal empat macam sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai berikut (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003): 1. Conviction in time, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim an sich dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. 2. Conviction in Raisonee, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwa- Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007 31

kan kepada terdakwa. Faktor keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang logis (reasonable). Hal ini yang membedakan dengan sistem pembuktian yang pertama. 3. Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian posiitf, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. 4. Negatief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian yang negatif. Terdapat dua konsep penting dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut, yaitu konsep tentang prinsip minimum pembuktian dan konsep keyakinan hakim. Prinsip minimum pembuktian menjelaskan bahwa untuk dapat membuktikan adanya kesalahan terdakwa sehingga dapat dijatuhkan putusan pidananya maka harus dibuktikan minimal dengan dua alat bukti yang sah. Ketiadaan dua alat bukti yang sah tersebut maka akan mengakibatkan terdakwa bebas. Bahkan, apabila suatu perkara pidana tidak memiliki minimal dua alat bukti sejak dilakukannya penyidikan dan penuntutan maka akan mengakibatkan dihentikannnya proses penyidikan oleh dan juga dihentikannya proses penuntutan oleh penuntut umum (Kepolisian Republik Indonesia, 2000). Konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Berpedoman pada konsep keyakinan hakim tersebut maka penulis berpendapat bahwa apabila hakim bersikap aktif dalam sidang pembuktian maka hal tersebut harus dilihat dari perspektif kepentingan tugasnya, yaitu dalam rangka membentuk suatu keyakinan dan bukan didasarkan pada perspektif kepentingan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adapun keyakinan hakim yang akan terbentuk pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah. Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang menyatakan secara sah dan meyakinkan. Kata sah dalam hal ini berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata meyakinkan dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan hakim. Perihal alat bukti yang sah, ternyata dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP telah diatur lima jenis alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Secara gradasi, maka eksistensi keterangan saksi merupakan alat bukti yang sangat penting. Alat bukti keterangan terdakwa merupakan konsep alat bukti baru yang menggantikan konsep alat bukti konservatif berupa pengakuan terdakwa sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 295 Het 32 Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Selain itu, Dalam yurisprudensi nomor 1986 alat bukti keterangan terdakwa merupakan konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan akusator oleh KUHAP (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003). K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk Definisi dan Pengaturan Saksi Mahkota Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama umum, yang perkara diantaranya dipisah karena melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kurangnya alat bukti. kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan (Lilik Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam Mulyadi, 2007). Menurut Loebby Loqman, perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan saksi terdapat kekurangan alat bukti, khususnya mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya (Loebby Loqman, 1995). sebagai pelaku perbuatan pidana. Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur dalam ketentuan Pasal 168 Analisis Terhadap Penggunaan Saksi Mahkota huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai Pidana terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya, maka rekognisi tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 (Varia Peradilan, 1990). Adanya penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana maka tentunya akan menimbulkan berbagai permasalahan yuridis. Munculnya alasan untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007 33

sebagai alat bukti dalam setiap pemeriksaan perkara pidana. Secara normatif, pengajuan dan penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam KUHAP sebagai instrumen hukum nasional dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1996 sebagai instrumen hak asasi manusia internasional. Dalam kaitannya dengan penilaian implementasi prinsip-prinsip fair trial maka ICCPR digunakan sebagai instrumen acuan. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bahwa saksi mahkota, secara esensinya adalah berstatus terdakwa. Oleh karena itu, sebagai terdakwa maka pelaku memiliki hak absolut untuk diam atau bahkan hak absolut untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau berbohong. Hal ini merupakan konsekuensi yang melekat sebagai akibat dari tidak diwajibkannya terdakwa untuk mengucapkan sumpah dalam memberikan keterangannya. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 66 KUHAP dijelaskan bahwa terdakwa tidak memiliki beban pembuktian, namun sebaliknya bahwa beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa terletak pada pihak jaksa penuntut umum; 2. Bahwa dikarenakan terdakwa tidak dikenakan kewajiban untuk bersumpah maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangannya dihadapan persidangan. Sebaliknya, dalam hal terdakwa diajukan sebagai saksi mahkota, tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara bebas karena terikat dengan kewajiban untuk bersumpah. Konsekuensi dari adanya pelanggaran terhadap sumpah tersebut maka terdakwa akan dikenakan atau diancam dengan dakwaan baru berupa tindak pidana kesaksian palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 224 KUH Pidana. Adanya keterikatan dengan sumpah tersebut maka tentunya akan menimbulkan tekanan psikologis bagi terdakwa karena terdakwa tidak dapat lagi menggunakan hak ingkarnya untuk berbohong. Oleh karena itu, pada hakikatnya kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapat dengan menggunakan kekerasan (Loebby Loqman, 1995) in casu kekerasan psikis ; 3. Bahwa sebagai pihak yang berstatus terdakwa walaupun dalam perkara lainnya diberikan kostum sebagai saksi maka pada prinsipnya keterangan yang diberikan oleh terdakwa (saksi mahkota) hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 183 ayat (3) KUHAP; 4. Bahwa dalam perkembangannya, ternyata Mahkamah Agung memiliki pendapat terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara pidana dalam hal mana dijelaskan bahwa penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995 (Varia Peradilan, 1995), Yurispru- 34 Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

densi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 (Varia Peradilan, 1995) ; 5. Bahwa seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi mahkota yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong. Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar asas non self incrimination. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR dijelaskan sebagai berikut : In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantes, in full equality : (g). Not to be compelled to testify against himself or to confess guilty. Pada dasarnya, ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR tersebut bertujuan untuk melarang paksaan dalam bentuk apapun. Selain itu, diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan kesalahannya (Ahmad Fauzan, 1997). Dengan demikian, penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana perlu ditinjau ulang kembali karena bertentangan dan melanggar kaidah hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai instrumen hukum nasional maupun ICCPR sebagai isntrumen hak asasi manusia internasional yang juga merupakan sumber acuan terhadap implementasi prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial). Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka selanjutnya dapat dirumuskan beberapa konklusi sebagai berikut : 1. KUHAP dan penjelasannya tidak mengatur secara tegas mengenai definisi otentik tentang saksi mahkota. Namun demikian, ketentuan Pasal 168 huruf c KUHAP merupakan dasar pengaturan bagi saksi mahkota. 2. Pada awalnya, penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana dibolehkan karena didasarkan pada alasan adanya kekhawatiran kurangnya alat bukti yang diajukan, khususnya terhadap perkara pidana yang berbentuk penyertaan dan juga alasan untuk memenuhi rasa keadilan publik. Hal ini sebagaimana dijustifikasi oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. 3. Dalam perkembangannya, maka penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana tidak dibolehkan dengan pertimbangan karena bertentangan dengan hak asasi terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHAP sebagai instrumen hukum nasional dan ICCPR sebagai instrumen hak asasi manusia internasional. Hal tersebut juga didukung oleh berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007 35

Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995. 4. Digunakannya ICCPR sebagai instrumen untuk menganalis tentang penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti didasarkan alasan bahwa ICCPR merupakan instrumen acuan dalam menilai implementasi prinsip-prinsip fair trial. Berdasarkan beberapa hasil kesimpulan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas oleh penulis, maka selanjutnya dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana perlu ditinjau ulang karena bertentangan dengan esensi hak asasi manusia, khususnya hak asasi terdakwa. 2. Untuk dapat mendukung implementasi prinsipprinsip fair trial maka perlu dicari suatu solusi untuk menggantikan penggunaan alat bukti saksi mahkota demi untuk mewujudkan rasa keadilan publik. Daftar Pustaka Chazawi, Adami, Kemahiran Dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana, Bayumedia, Malang, 2006. Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta, 1982. Fauzan, Ahmad, Fair Trial: Prinsip-Prinsip Peradilan Yang Adil Dan Tidak Memihak, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1997. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan,. Sinar Grafika, Jakarta, 2003., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Kepolisian Republik Indonesia, Buku Petunjuk Pelaksanaan Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta, 2000. Loqman, Loebby, Saksi Mahkota, Forum Keadilan, Nomor 11, 1995. Mulyadi, Lilik, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. Prinst, Darwan, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998. Prodjohamidjojo, Martiman, Komentar Atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990. Sasangka, Hari dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa Dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung, 2003. Radjam, Syamsul Bahri. Hak Warga Negara Dalam Hukum Acara Pidana dalam Panduan Bantuan Hukum : Pedoman Anda Memahami Dan Menyelesaikan Masalah Hukum, editor A. Patra M. Zein dan Daniel Hutagalung. Yayasan Lembagai Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 2006. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 36 Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

Varia Peradilan, Nomor 62, Nopember, 1990. Varia Peradilan, Nomor 119, Agustus, 1995. Varia Peradilan, Nomor 120, September 1995. Wisnubroto, Al dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007 37