Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015. KAJIAN YURIDIS TENTANG SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) 1 Oleh : Brian Siahaan 2

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

DAFTAR PUSTAKA. Bakhri, Syaiful, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Cetakan I, P3IH FH UMJ dan Total Media, Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim.

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KARYAWAN NOTARIS SEBAGAI SAKSI DALAM PERESMIAN AKTA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Saksi Sebagai Alat Bukti dan perlindungan Hukumnya

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala 1

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DALAM MENGUNGKAP KASUS PEMBUNUHAN

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008).

Transkripsi:

PEMECAHAN PERKARA PIDANA (SPLITSING) SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERCEPAT PROSES PEMBUKTIAN 1 Oleh: Christian Rompas 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sebuah perkara dilakukan pemecahan perkara (splisting) dan bagaimana kaitan saksi mahkota dengan splitsing dalam perkara pidana serta bagaimana pemecahan perkara (splitsing) dapat mempercepat proses pembuktian. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Bahwa pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana yang terdiri dari beberapa orang, tidak ada saksi dan ada dalam satu berkas perkara. 2. Bahwa saksi mahkota dapat dijadikan sebagai alat bantu pembuktian dalam pengungkapan kejahatan, apabila dalam suatu perkara tindak pidana tidak ada saksi yang menyaksikannya. 3. Bahwa pemecahan perkara pidana (splitsing) sangat membantu dalam mempercepat proses pembuktian. Pemecahan berkas perkara dimaksudkan agar masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdri sendiri antara satu dengan yang lain dan masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda, sehingga masingmasing terdakwa dapat dijadikan saksi secara timbal balik. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara (splitsing) menjadi penting, apabila dalam perkara pidana tersebut terdapat kurangnya bukti dan kesaksian. Kata kunci: Pemecahan perkara pidana, pembuktian. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam praktek penanganan perkara, permasalahan muncul manakala terdapat dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga yang paling mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal 1 Artikel Skripsi. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 1107115590 inilah diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara (splitsing) supaya terdapat alat bukti keterangan saksi dan mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap eprbuatan yang didakwakan kepadanya, 3 sehingga dengan demikian pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku yang lain. Dasar dari dilakukannya pemecahan perkara tercantum dalam Pasal 142 KUHAP, yang menyatakan: Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketetntuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masingmasing terdakwa secara terpisah. 4 Dalam praktek pembuktian perkara pidana di persidangan, dikenal adanya alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP, KUHAP tidak mengenal istilah saksi mahkota. 5 Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan perkara (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Di Indonesia, tokoh yang tergolong dalam saksi mahkota (whistleblower) adalah Komisaris Jenderal (Komjen) Pol. Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI. B. Rumusan Masalah 1. Untuk mengkaji alasan sebuah perkara dilakukan pemecahan perkara (splisting) 2. Untuk mengkaji bagaimana kaitan saksi mahkota dengan splitsing dalam perkara pidana. 3 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 416. 4 Ibid, hlm. 302. 5 Mahkamah Agung RI, Beberapa Makalah tentang Hukum Acara Pidana dan Peradilan HAM, Jakarta, 2003, hlm. 96. 108

3. Untuk mengkaji bagaimana pemecahan perkara (splitsing) dapat mempercepat proses pembuktian. E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian jenis penelitian hukum normatif, atau dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder 6 yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahanbahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. PEMBAHASAN A. Alasan Sebuah Perkara Dilakukan Pemecahan Perkara (Splitsing) Pemecahan perkara pidana adalah memecah satu berkas perkara menjadi dua atau lebih. Satu perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa, dan untuk kepentingan pemeriksaan maka sebaiknya perkara tersebut dipecah menjadi dua atau lebih. Pemecahan perkara (splitsing) merupakan wewenang dari Jaksa yang diatur dalam Pasal 142 KUHAP, yang menyebutkan bahwa: 7 Dalam hal penuntut umum menerima satu bekas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141 KUHAP, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah. Pasal 141 KUHAP mengatakan bahwa: 8 Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan 6 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, 2001, hlm. 13-14. 7 KUHAP dan KUHP, Op-Cit, hlm. 254. 8 Ibid, hlm. 253. pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 141 huruf b di atas adalah, apabila tindak pidana tersebut dilakukan: a. oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan; b. oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dan permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya. 9 Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk melakukan pemecahan berkas perkara dari satu berkas menjadi beberapa berkas perkara. Dengan demikian, maka apabila penuntut umum menerima satu berkas perkara dan ternyata terdapat beberapa tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang tersangka, maka untuk kepentingan pemeriksaan sebaiknya perkara tersebut dipecah (di split), agar penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masingmasing terdakwa secara terpisah. Pemecahan penuntutan perkara (splitsing) seperti yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 142 KUHAP, biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru. Dalam hal yang demikian perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap terdakwa maupun saksi. Dengan adanya pemeriksaan baru terhadap terdakwa maupun saksi, maka baik terdakwa maupun saksi harus dibuatkan surat tuntutan. Apabila harus dilakukan splitsing maka, splitsing tersebut harus dilakukan sebelum penuntut umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri, hal ini sesuai dengan 9 Ibid, hlm. 337. 109

Pedoman Pelaksanaan KUHAP 10 dan sebagaimana apa yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 142 KUHAP. Penjelasan Pasal 142 KUHAP menyebutkan bahwa: biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru, dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itulah perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi. Dalam KUHAP, pemecahan perkara (splitsing) memang dimungkinkan dan menjadi bagian dari kewenangan Jaksa Penuntut Umum. Pemecahan berkas perkara yang pada pokoknya satu perkara biasanya digunakan oleh Jaksa untuk perkara-perkara dimana tindak pidananya dilakukan secara bersama-sama. 11 Pada dasarnya, pemecahan berkas perkara terjadi karena pelaku tindak pidana terdiri dari beberapa orang. Pemecahan berkas perkara dapat terjadi pada beberapa perkara yang merupakan tindak pidana yang terdiri dari beberapa orang, sedangkan saksinya tidak ada selain para pelaku tindak pidana, misalnya kasus pemerkosaan dan korupsi. Untuk menghindari agar pelaku terbebas dari pertanggungjawaban pidana, maka apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang dan dari hasil penyelidikan, penuntut umum ragu untuk meneruskan perkara tersebut ke pengadilan karena kekurangan bukti dan saksi, maka penuntut umum dapat menempuh kebijaksanaan untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa. Berdasar pada ketentuan yang ada dalam Pasal 142 KUHAP, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sebuah perkara dapat dipecah-pecah (splitsing) yaitu: 1. Satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana; 2. Tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang tersangka; 3. Tindak pidana tidak termasuk kwalifikasi Pasal 141 KUHAP. 12 10 Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 89. 11 Dunia Anggara, Splitsing dan The Right to Remain Silent dalam KUHAP, diakses tanggal 3 Jan 2016. 12 Mahkamah Agung RI, Beberapa Makalah Tentang Hukum Acara Pidana Dan Peradilan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2003, hlm. 99. B. Kaitan Saksi Mahkota Dengan Splitsing Dalam Perkara Pidana Saksi Mahkota atau whistleblower adalah orang yang mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik atau korupsi. 13 Hari Sasangka dan Lily Rosita mengatakan bahwa, dalam praktek, antar seorang terdakwa dengan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana, bisa dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain. Saksi yang diajukan seperti tersebut di atas, disebut saksi mahkota (kroongetuige), pada saat yang lain ia dijadikan terdakwa. 14 Saksi mahkota hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan. Pengaturan mengenai saksi mahkota ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 huruf c KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. 15 Dalam Yuridprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila Jaksa/Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Dan dalam yurisprudensi tersebut juga ditekankan definisi saksi mahkota adalah: teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat bukti. Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti pada urutan pertama untuk menunjukkan peran saksi sangat penting. Keterangan beberapa orang saksi bisa meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi seperti dakwaan jaksa, atau sebaliknya menguatkan alibi terdakwa. Dalam UU No. 8 13 digilib.unila.ac.id, hlm. 37, diakses pada tanggal 15 Nopember 2015 14 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op-Cit, hlm. 51. 15 Ibid. 110

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi diartikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Pasal 1 angka 27 KUHAP menjelaskan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 16 Dalam praktek peradilan pidana, pada kenyataannya saksi belum dapat secara penuh memberikan keterangannya guna mengungkap kebenaran materiil secara aman, tidak tertekan dan terlindungi dari serangan balik hukum. Lebih dari itu saksi juga tidak memiliki hak untuk menyampaikan keterangan dengan tidak berposisi, baik berposisi sebagai a charge ataupun a de charge. Saksi hanya dimungkinkan menyampaikan keterangan dengan berposisi pada kedua kepentingan tersebut Agar di dalam persidangan bisa didapatkan keterangan saksi yang sejauh mungkin obyektif, dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa, KUHAP membagi dalam tiga kelompok pengecualian, yaitu: 17 1. Golongan saksi yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu: a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga atau yang bersama-sama sebagai terdakwa b. saudara dari terdakwa atau yang bersamasama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebgai terdakwa. 16 KUHAP dan KUHP, Op-Cit, hlm. 202. 17 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op-Cit, hlm. 24 28. 2. Golongan saksi yang dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan, yaitu: a. mereka yang karena pekerjaannya atau harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya dan hal tersebut haruslah diatur oleh peraturan perundangundangan. b. jika tidak ada ketentuan yang mengatur jabatan atau pekerjaannya, maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut 3. Golongan saksi yang boleh diperiksa tanpa sumpah, yaitu: a. anak yang umurnya belum lima belas tahun atau belum pernah kawin. b.orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. Agar keterangan saksi mempunyai nilai kesaksian serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, pada prinsipnya harus memenuhi syarat sebagai berikut: 18 1. Saksi harus hadir dalam persidangan; 2. Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji; 3. Saksi menerangkan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia alami dengan menyebut dasar pengetahuannya; 4. Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa yang terjadi dalam praktik, saksi mahkota adalah seorang terdakwa dengan terdakwa lain yang bersama-sama melakukan tindak pidana, dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain. 19 Dari pengertian praktik dan doktrin tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pro dan kontra mengenai adanya saksi 18 Ibid, hlm. 46. 19 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op-Cit, hlm. 51. 111

mahkota di Indonesia berkaitan dengan hak asasi manusia khususnya terhadap saksi dan tersangka atau terdakwa, yaitu: Pendapat-pendapat yang pro terhadap saksi mahkota adalah seseorang dianggap saksi mahkota pada masalah splitsing, jadi ia menjadi saksi pada perkara A dan menjadi terdakwa pada perkara B. Hal tersebut dimungkinkan dengan berpijak kepada adanya ketentuan Pasal 142 KUHAP yang pada intinya memungkinkan Penuntut Umum melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah apabila terdapat beberapa pelaku suatu tindak pidana. Pendirian pada pendapat kedua ini memandang bahwa satu berkas perkara yang diajukan oleh Penuntut Umum ke Pengadilan dan disidangkan adalah berdiri sendiri, sehingga seorang saksi yang dihadapkan kemuka persidangan tetap utuh dipandang sebagai saksi dengan segala hak dan kedudukannya. 20 Pemecahan penuntutan perkara (splitsing) seperti yang dimaksud dalam Pasal 142 KUHAP, biasanya dilakukan dengan membuat berkas perkara, dalam hal yang demikian perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap terdakwa maupun saksi. Pemisahan berkas perkara (splitsing) yang merupakan mekanisme untuk mendapatkan kesaksian dari saksi mahkota diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung No. 66K/Kr/1967 tanggal 25 Oktober 1967, yang dalam pokoknya menjelaskan: Pemecahan berkas perkara (splitsing) dilakukan sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut umum, karena tersangka tersebut memungkiri dakwaan penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit diketemukan sehingga satu-satunya jalan adalah mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya. Kemudian pada Putusan mahkamah Agung No. 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990, yang pada pokoknya menjelaskan:...penuntut Umum/Jaksa diperbolehkan mengajukan teman terdakwa sebagai saksi, yang disebut saksi mahkota, asalkan perkara terdakwa dipisahkan dari perkara saksi tersebut 20 Indriyanto Seno Adji dalam Dwinanto Agung Wibowo, Peranan Saksi Mahkota Dalam Peradilan Pidana di Indonesia, FH UI, Jakrta, 2011, hlm.74, diakses pada tanggal 2 Oktober 2014. (terdakwa dan saksi tidak termasuk dalam satu berkas perkara). Hal tersebut tidak dilarang undang-undang. Pendapat yang kontra mengenai saksi mahkota adalah saksi mahkota tidak dapat diajukan di persidangan karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Secara normatif, pengajuan dan penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsp peradilan yang adail dan tidak memihak dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam KUHAP. Bentukbentuk pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut: 21 Saksi mahkota, secara esensinya adalah berstatus terdakwa. Oleh karena itu sebagai terdakwa maka pelaku memiliki hak absolut untuk diam atau bahkan hak absolut untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau bohong, hal ini merupakan konsekuensi yang melekat sebagai akibat dari tidak diwajibkannya terdakwa untuk mengucapkan sumpah dalam memberikan keterangannya. Dikarenakan terdakwa tidak dikenakan kewajiban untuk bersumpah maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangannya dihadapan persidangan. Sebaliknya, dalam hal terdakwa diajukan sebagai saksi mahkota, tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara bebas karena terikat dengan kewajiban untuk bersumpah. Konsekuensi dari adanya pelanggaran terhadap sumpah tersebut, maka terdakwa akan dikenakan atau diancam dengan dakwaan baru berupa tindak pidana kesaksian palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagai pihak yang berstatus terdakwa, walaupun dalam perkara lainnya diberikan kostum sebagai saksi maka pada prinsipnya keterangan yang diberikan oleh terdakwa (saksi mahkota) hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi: Keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri. Seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi mahkota yang 21 Setiyono, Eksistensi Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana, FH Trisaksti, Jakarta, diakses pada tanggal 2 Oktober 2014. 112

terikat oleh sumpah, digunakan sebagai dasar alasan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong. Misalnya : dalam suatu berkas, terdakwa menyangkal perbuatannya, namun dalam kedudukannya sebagai saksi dalam berkas pidana yang terpisah ia mengakui melakukan perbuatan yang disangkalnya sendiri. C. Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing) Sebagai Upaya Mempercepat Proses Pembuktian Proses pembuktian, hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan pada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian ini maka adanya korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian. Dasar terhadap pembuktian adanya atau terjadinya suatu tindak pidana adalah dilihat pada alat-alat bukti yang ada. Dalam Pasal 184 KUHAP disebutkan bahwa ada lima alat bukti yang sah yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 22 Dari kelima jenis alat bukti ini, maka hampir semua perkara pidana di dalam rangka untuk pembuktian sangat membutuhkan alat bukti keterangan saksi dan alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dan paling penting dalam suatu perkara pidana. Tidak ada suatu perkara pidana yang tidak membutuhkan atau menggunakan alat bukti keterangan saksi dalam hal untuk membuktikan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh karena itu keterangan saksi merupakan alat bukti yang sangat menentukan keberhasilan suatu proses peradilan pidana. Dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, seringkali muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak dikenal dan tidak disebutkan secara tegas dalam 22 KUHAP dan KUHP, Op-Cit, hlm. 271. KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan dan terhadap perkara tersebut dilakukan pemecahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Pemecahan berkas perkara dimaksudkan agar masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdri sendiri antar satu dengan yang lain dan masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda, sehingga masing-masing terdakwa dapat dijadikan saksi secara timbal balik. 23 Pada umumnya, pemecahan berkas perkara (splitsing) menjadi penting, apabila dalam perkara pidana tersebut terdapat kurangnya bukti dan kesaksian. Pemecahan perkara pidana (splitsing) oleh Penuntut Umum, untuk memudahkan pembuktian, agar supaya proses pembuktian dapat dipercepat, karena tersangka /terdakwa terlibat dalam perkara yang sama dan tidak ada saksi, dimana jika jadi terdakwa semua, maka tidak ada saksi. Salah satu urgensi pemecahan berkas perkara menjadi beberapa berkas yang berdiri sendiri, dimaksudkan untuk menempatkan para terdakwa masing-masing menjadi saksi timbal balik di antara sesama mereka. 24 Akan tetapi tidak semua keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Misalnya saja keterangan saksi di luar apa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Demikian pula halnya keterangan saksi yang diperoleh dari pendengaran orang lain, juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 25 Hal tersebut dikenal dengan ungkapan Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi). Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi saja taanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, maka kesaksian tunggal tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 23 Yahya Harahap, Op-Cit, hlm. 442. 24 Ibid., hlm. 442. 25 KUHAP dan KUHP, Op-Cit, hlm. 272. 113

Dalam hal terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa namun tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga yang paling mengetahui peristiwa tersebut adalah pelakus endiri, maka disinilah diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara, supaya terdapat alat bukti keterangan saksi dan mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana disebutkan oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP, sehingga pelaku yang satu dapaat menjadi saksi terhadap pelaku yang lain.. Dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri, antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain dan masing-masing dapat dijadikan saksi secara timbal balik, disinilah muncul istilah saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Saksi mahkota adalah saksi yang diperlukan untuk pembuktian dalam sidang di pengadilan untuk dua perkara atau lebih, yang saling bergantian dalam perkara yangs atu sebagai terdakwa dan dalam perkara yang lain menjadi saksi, demikian secara timbal balik. Saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu serta apabila dalam perkara tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Semuanya ini bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Bahwa pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana yang terdiri dari beberapa orang, tidak ada saksi dan ada dalam satu berkas perkara. 2. Bahwa saksi mahkota dapat dijadikan sebagai alat bantu pembuktian dalam pengungkapan kejahatan, apabila dalam suatu perkara tindak pidana tidak ada saksi yang menyaksikannya. 3. Bahwa pemecahan perkara pidana (splitsing) sangat membantu dalam mempercepat proses pembuktian. Pemecahan berkas perkara dimaksudkan agar masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdri sendiri antara satu dengan yang lain dan masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda, sehingga masing-masing terdakwa dapat dijadikan saksi secara timbal balik. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara (splitsing) menjadi penting, apabila dalam perkara pidana tersebut terdapat kurangnya bukti dan kesaksian. B. SARAN 1. Pemecahan perkara pidana memang harus dilakukan apabila dalam perkara pidana tersebut terdapat kurangnya bukti dan kesaksian. 2. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap saksi mahkota harus benarbenar diwujudkan karena saksi mahkota termasuk juga sebagai tersangka/terdakwa, dalam perkara yang sama yang tidak mempunyai saksi. 3. Pemecahan perkara pidana sangat membantu dalam upaya untuk mempercepat proses pembuktian, oleh karena itu masalah splitsing ini harus diatur dalam KUHAP Nasional kita. DAFTAR PUSTAKA Adji, Indriyanto Seno., dalam Dwinanto Agung Wibowo, Peranan Saksi Mahkota Dalam Peradilam Pidana di Indonesia, FH UI, Jakarta 2011. Dunia, Anggara, Splitsing dan The Right to Remain Silent dalam KUHAP, 2016. Hamzah, Andi., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996....dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta, 2014. Harahap Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000 Lubis, Sofyan., Saksi Mahkota Dalam Pembuktian Pidana, diakses tanggal 2 Oktober 2014. Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menuurut Ilmu 114

Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Mulyadi, Lilik., Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia; Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014. Mahkamah Agung RI, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Pidana dan Peradilan HAM, Jakarta, 2003. Prinst, Darwan., Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta, 1989. Prodjodikoro, Wirjono., Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, 1962. Prodjodokoro, Martiman, KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1982. Pitio. A, Pembuktian dan Daluarsa, Internusa, Jakarta, 1978. Sasangka, Hari dan Lily Rosita., Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003. Soekanto, Soerjono., Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Politea, Bogor, 2001. Soesilo, R., Teknik Berita Acara (Proses Verbal) Ilmu Bukti dan Laporan, Politea, Bogor, 1980. Setiyono., Eksistensi Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Pidana, FH Trisakti, Jakarta, diakses tanggal 2 Oktober 2014. Wijaya, Firman., whistle Blower dan Justice Collaborator, Dalam perspektif Hukum, cetakan Penaku, Jakarta, diakses tanggal 15 September 2014. 115