BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perlu dirinci dan dicatat ciri khasnya, termasuk tingkat pelayanan dan

dokumen-dokumen yang mirip
PEDOMAN TEKNIS PEREKAYASANAAN TEMPAT PERHENTIAN KENDARAAN PENUMPANG UMUM DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT

BAB II STUDI PUSTAKA

TERMINAL PENUMPANG/TERMINAL BUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan

Tugas Akhir Evaluasi Fungsi Halte Sebagai Tempat Henti Angkutan Umum BAB V PENUTUP

Berdasarkan, Juknis LLAJ, Fungsi Terminal Angkutan Jalan dapat ditinjau dari 3 unsur:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI KINERJA HALTE BUS DALAM UPAYA MENINGKATKAN PELAYANAN BUS TRANS SARBAGITA, BALI

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

BAHAN KULIAH PERANCANGAN BANGUNAN TEKNIK SIPIL TRANSPORTASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 65 TAHUN 1993 T E N T A N G FASILITAS PENDUKUNG KEGIATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu keadaan tidak bergerak dari suatu kendaraan yang tidak bersifat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini kemacetan dan tundaan di daerah sering terjadi, terutama di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

No Angkutan Jalan nasional, rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi, dan rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkuta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Persimpangan adalah simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manfaatnya (

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 13 (Tiga belas)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB V PENUTUP

Nurhasanah Dewi Irwandi1, Agus Susanto2 2 FMIPA Universitas Terbuka ABSTRAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. biasanya orang yang mengevaluasi mengambil keputusan tentang nilai atau

BAB II TINJUAN PUSTAKA

Alternatif Pemecahan Masalah Transportasi Perkotaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan dalam perancangan suatu

Tingkat pelayanan pada ruas jalan berdasarkan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kendaraan itu harus berhenti, baik itu bersifat sementara maupun bersifat lama atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : HK.205/1/1/DRJD/2006 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB III LANDASAN TEORI

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.984/AJ. 401/DRJD/2005 TENTANG

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

MASALAH LALU LINTAS DKI JAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

yaitu apabila bangkitan parkir tidak dapat tertampung oleh fasilitas parkir di luar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 14 tahun 2006,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 12 (Duabelas)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PETUNJUK TERTIB PEMANFAATAN JALAN NO. 004/T/BNKT/1990

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Contoh penyeberangan sebidang :Zebra cross dan Pelican crossing. b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG

BAB III LANDASAN TEORI. memberikan pelayanan yang optimal bagi pejalan kaki.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebelumnya, maka dengan ini penulis mengambil referensi dari beberapa buku dan

BAB III LANDASAN TEORI

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. tinggi yang mengakibatkan kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini berdampak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1998). Parkir merupakan suatu kebutuhan bagi pemilik kendaraan dan

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 4 (Empat)

DAFTAR ISI. BAB III METODE PENELITIAN Langkah-Langkah Penelitian Identifikasi Masalah Tinjaun Pustaka...

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG

Persyaratan Teknis jalan

PENGANTAR TRANSPORTASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau

Spesifikasi geometri teluk bus

BAB III LANDASAN TEORI. durasi parkir, akumulasi parkir, angka pergantian parkir (turnover), dan indeks parkir Penentuan Kebutuhan Ruang Parkir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Persimpangan. Persimpangan adalah simpul jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK 113/HK.207/DRJD/2010 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perancangan Fasilitas Pejalan Kaki Pada Ruas Jalan Cihampelas Sta Sta Kota Bandung Untuk Masa Pelayanan Tahun 2017 BAB I PENDAHULUAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KAPASITAS JALAN TERHADAP KEMACETAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik masing-masing kendaraan dengan disain dan lokasi parkir. (Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1998).

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas

KAJIAN KINERJA JALAN ARTERI PRIMER DI SIMPUL JALAN TOL JATINGALEH KOTA SEMARANG (Studi Kasus : Penggal Ruas Jalan Setia Budi)

TERMINAL. Mata Kuliah : Topik Khusus Transportasi Pengajar : Ir. Longdong Jefferson, MA / Ir. A. L. E. Rumayar, M.Eng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perda No. 19/2001 tentang Pengaturan Rambu2 Lalu Lintas, Marka Jalan dan Alat Pemberi Izyarat Lalu Lintas.

Iin Irawati 1 dan Supoyo 2. Program Studi Teknik Sipil, Universitas Semarang, Jl. Soekarno Hatta Tlogosari Semarang

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB III LANDASAN TEORI

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.276/AJ-401/DRJD/10 TENTANG

PERENCANAAN WILAYAH KOMERSIAL STUDI KASUS RUAS JALAN MARGONDA DEPOK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1998). menginginkan kendaraannya parkir ditempat, dimana tempat tersebut mudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut. Pejalan kaki yang tertabrak kendaraan pada kecepatan 60 km/jam hampir

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kendaraan satu dengan kendaraan lainnya ataupun dengan pejalan kaki.

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sarana dan Prasarana Transportasi Sarana dan prasarana tranportasi merupakan faktor yang saling menunjang, dalam sistem transportasi keduanya menjadi kebutuhan utama. Sarana dan prasarana perlu dirinci dan dicatat ciri khasnya, termasuk tingkat pelayanan dan pemencarannya dalam wilayah perkotaan. 2.2.1 Prasarana Transportasi Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi yang mempunyai daya rangsang terhadap pertumbuhan disekitarnya. Tidak seimbang penyedian jaringan jalan terhadap jumlah pertambahan kebutuhan ruang jalan merupakan gambaran permasalahan yang besar akan timpangnya sistem penyediaan (supply) dengan sistem permintaan (demand). Transportasi selalu dikaitkan dengan tujuan misalnya perjalanan dari rumah ke tempat bekerja, ke pasar atau tempat rekreasi. Ciri utama prasarana transportasi adalah melayani pengguna, bukan merupakan barang atau komoditas. Oleh karena itu, prasarana tersebut tidak mungkin disimpan dan digunakan hanya pada saat diperlukan. Prasrana transportasi harus dapat digunakan dimanapun dan kapanpun, karena jika tidak, kita akan kehilangan mamfaatnya. Menurut UU no 13, 1980; pasal 1, prasarana trasportasi adalah jalan. Pada dasarnya, prasarana transportasi ini mempunyai dua peranan utama yaitu : 1. Sebagai alat bantu untuk mengarahkan pembangunan di perkotaan 2. Sebagai prasarana pergerakan manusia dan/atau barang yang timbul akibat adanya kegiatan di daerah perkotaan tersebut.

Oleh sebab itu, kebijakan yang harus dilakukan adalah menyediakan sistem prasarana transportasi dengan kualitas minimal agar dapat dilalui. Adanya keterhubungan ini menyebabkan kawasan tersebut mudah dicapai dan orang mau tinggal disana. 2.2.2 Sarana Transportasi Sarana transportasi dibuat untuk mendukung pergerakan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan moda angkutan umum yang tersedia, sarana transportasi juga dimaksudkan untuk melayani masyarakat dalam kegiatannya mencapi tujuan dari pergerakan. Sarana angkutan yang menyangkut perlalulintasan adalah terminal, rambu dan marka lalulintas, fasilitas pejalan kaki, fasilitas parkir, dan tempat henti. a. Terminal Terminal transportasi adalah prasarana angkutan yang merupakan bagian dari sistem transportasi untuk melancarkan arus penumpang dan barang, dan juga sebagai alat pengendalian, pengawasan, pengaturan dan pengoperasian lalu lintas. Terminal transportasi merupakan titik simpul dalam jaringan transportasi jalan yang berfungsi sebagai pelayanan umum yang juga merupakan unsur tata ruang yang mempunyai peranan penting bagi efisiensi kehidupakan. b. Rambu dan Marka Lalu Lintas Rambu dan marka lalulintas sebagai alat untuk mengendalikan lalu lintas, khususnya untuk meningkatkan keamanan dan kelancaran. Pada sistem jalan marka dan rambu lalu lintas merupakan obyek fisik yang dapat

menyampaikan informasi (perintah, peringatan, dan petunjuk) kepada para pemakai jalan serta dapat mempengaruhi pengguna jalan. c. Fasilitas Pejalan Kaki Pejalan kaki adalah suatu bentuk transportasi yang penting di daerah perkotaan, sebagai contoh DKI Jakarta 40% dari seluruh perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki. Begitu juga yang terjadi di kota-kota besar di Negaranegara maju. Oleh karena itu kebutuhan para pejalan kaki merupakan suatu bagian terpadu dalam sistem transportasi jalan. Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan, maka mereka memperlambat arus lalulintas. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dari manajemen lalu lintas adalah berusaha untuk memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang besar terhadap aksesibilitas. d. Fasilitas Parkir Kendaraan Kebutuhan tempat parkir untuk kendaraan baik kendaraan pribadi, angkutan penumpang umum, sepeda motor maupun truk adalah sangat penting. Kebutuhan tersebut sangat berbeda dan bervariasi tergantung dari bentuk dan karakteristik masing-masing kendaraan dengan desain dan lokasi parkir. e. Rambu dan Marka Lalu lintas Rambu dan marka lalu lintas sebagai alat untuk mengendalikan lalu lintas, khususnya untuk meningkatkan keamanan dan kelancaran. Pada system jalan marka dan rambu lalu lintas merupakan objek fisik yang dapat menyampaikan informasi (perintah, peringatan, dan petunjuk) kepada pemakai jalan serta dapat mempengaruhi pengguna jalan.

2.3 Pengertian Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum Keberadaan tempat henti disepanjang rute angkutan umum sangat diperlukan keberadaannya (Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1993 tentang angkutan jalan (pasal 8), dan penempatanya diatur sedemikian sesuai dengan kebutuhannya dan harus sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah diatur dan ditetapkan. Menurut Direktorat Jendral Perhubungan Darat (1996) Jenis Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum (TPKPU) terdiri dari : 1. Tempat henti dengan perlindungan (halte) 2. Tempat henti tanpa perlindungan (bus stop) Halte adalah tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan. Sedangkan tempat pemberhentian bus adalah tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang selanjutnya disebut TPB. Gambar 2.1 Tata letak halte pada ruas jalan

Gambar 2.2 Tata letak TPB Bus pada Ruas Jalan Dimana untuk menentukan jenis tempat henti yang akan digunakan pada suatu ruas jalan adalah berdasarkan kriteria : Tingkat pemakaian Ketersediaan lahan Kondisi lingkungan 2.4 Halte Dapat didefenisikan menurut berbagai sumber : 1. Menurut Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) ITB tahun 1997, halte adalah lokasi di mana penumpang dapat naik ke dan turun dari angkutan umum dan lokasi di mana angkutan umum dapat berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang, sesuai dengan pengaturan operasional. 2. Menurut Dirjen Bina Marga 1990 tahun, halte adalah bagian dari perkerasan jalan tertentu yang digunakan untuk pemberhentian sementara bus, angkutan penumpang umum lainnya pada waktu menaikan dan menurunkan penumpang.

3. Menurut Dirjen Perhubungan Darat tahun 1996, halte adalah tempat adalah tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menurunkan dan/atau menaikan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan. Berdasarkan keputusan Direktorat Jendral Perhubungan Darat (1996), tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum (halte) merupakan salah satu bentuk fungsi pelayanan umum perkotaan yang disediakan oleh pemerintah, yang bertujuan untuk : 1. Menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas 2. Menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan penumpang umum 3. Menjamin kepastian keselamatan untuk menaikkan dan/atau menurunkan penumpang 4. Memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan umum atau bus. Persyaratan umum tempat perhentian kendaraan penumpang umum (halte) adalah: 1. Berada disepanjang rute angkutan umum atau bus 2. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat pada fasilitas pejalan kaki. 3. Diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau pemukiman. 4. Dilengkapi dengan rambu petunjuk 5. Tidak menggangu kelancaran arus lalu lintas Perencanaan halte di sepanjang rute angkutan umum meliputi tiga aspek menurut Direktorat Jendral Perhubungan Darat (1996) sebagai berikut : Jarak Tata Letak Rancangan Bangunan

2.5 Lokasi Halte Untuk menentukan lokasi halte dalam penelitian terdapat tiga segi aspek pembahasan dalam penilaian lokasi halte, yaitu : Jarak antara halte, Tata letak halte dan Tipe halte. Selain itu perlu juga ditinjau keberadaan tempat henti (halte) secara umum. Adapun Pedoman praktis dalam menentukan lokasi halte secara umum perlu memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Halte terletak pada trotoar dengan ukuran sesuai dengan kebutuhan. 2. Halte diletakkan dimuka pusat kegiatan yang banyak membangkitkan pemakai angkutan umum. 3. Halte diletakkan di tempat yang terbuka dan tidak tersembunyi. 4. Agar tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas, apabila kecepatan perjalanan cukup tinggi maka sebaiknya disediakan teluk bus (bus lay bay). Selain masalah perhentian angkutan umum (halte), aspek yang cukup penting yang berkenaan dengan lokasi. Kriteria yang sering digunakan dalam menentukan halte terdiri dari : a. Safety, meliputi : Jarak pandang calon penumpang Keamanan penumpangpada saat naik dan turun kendaraan. Jarak pandang dari kendaraan lain Mempunyai jarak yang cukup untuk penyebrangan pejalan kaki. b. Traffic, meliputi : Gangguan terhadap lalu lintas lain saat angkutan umum berhenti.

Gangguan terhadap lalu lintas lain pada saat angkutan umum masuk dan keluar dari lokasi perhentian. c. Efficiency, meliputi : Jumlah orang yang dapat terangkut cukup banyak. Dimungkinkannya penumpang untuk transfer ke lintasan rute lain. d. Public Relation, meliputi : Tersedianya informasi yang berkaitan dengan schedule. Tersedianya tempat sampah yang memadai. Tidak menybabkan gangguan kebisingan bagi lingkungan sekitar. Dari keempat kriteria di atas, yang sering dijadikan sebagai kriteria utama ada dua, yaitu : 1. Tingkat keselamatan bagi penumpang pada saat naik-turun bus (safety) dan, 2. Tingkat gangguan bagi lalu lintas lainnya, yaitu perlambatan yang dirasakan lalu lintas lain akibat berhentinya bus di tempat perhentian. 2.5.1 Jarak Halte Jarak halte yang dimaksud disini adalah jarak antar halte atau disebut juga jarak tempat henti. Berdasarkan keputusan Direktur Jendral Perhubungan Darat, tempat henti (halte) dihitung berdasarkan beberapa faktor yaitu : o Berdasarkan kepentingan pengusaha dengan mengacu pada akupansi kendaraan dengan rumus : S = V (nx + AV) Dimana :

S V n x A a b : jarak tempat henti : running speed (meter/detik) : jumlah penumpang ditempat henti yang naik angkutan umum : waktu untuk naik kendaraan per penumpang (detik) : a+b/a.b : perlambatan (meter/detik) : percepatan (meter/detik) o Berdasarkan kepentingan pengusaha dengan mengacu pada performasi kendaraan serta kepentingan pemakai jasa maksimum orang berjalan kaki : S = ½ Vmax² (1/a + 1/b) Dimana : Vmax : jarak berjalan kaki maksimum (meter) Kepadatan rute angkutan umum = km rute/km² area Berdasarkan faktor-faktor di atas, jarak tempat henti dapat diatur penempatannya sebagai berikut : Table 2.1 Jarak Halte Tabel Jarak Halte No Tata Guna Lahan Lokasi Jarak Tempat Henti (m) 1 Pusat kegiatan sangat padat: pasar, pertokoan CBD, Kota 200-300 *) 2 Padat : perkantoran, sekolah, jasa Kota 300-400 3 Permukiman Kota 300-400 4 Campuran padat : perumahan, sekolah, jasa Pinggiran 300 500 5 Campuran jarang : perumahan, ladang, sawah, tanah kosong Pinggiran 500-1000 Sumber Departemen Perhubungan

Halte pada jarak 400-600 meter dari garis henti akan memungkinkan untuk menyediakan fasilitas yang cukup, seperti dipasangnya papan informasi dan peneduh dan bangku-bangku. 2.5.2 Tata Letak Halte Tata letak yang direkomendasikan berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Perhubungan darat (1996) jarak berjalan yang wajar bagi penumpang angkutan umum, dimana untuk daerah CBD 200-400 meter, untuk daerah pinggiran kota 300-500 meter. Selain ditentukan oleh jarak tersebut, tempat henti (halte) juga ditentukan oleh kapasitasnya dan jumlah permintaan yang dipengaruhi oleh tata guna tanah dan tingkat kepadatan penduduk.keberadaan tempat henti pada ruas-ruas jalan dapat menjadi penyebab utama dari kemacetan lalu lintas apabila dalam perencanaannya tidak mempertimbangkan ha;-hal berikut, adapun tata letak halte dan TPB terhadap ruang lalu lintas, berdasarkan keputusan Direktur Jendral Perhubungan Darat adalah : 1. Jarak maksimal terhadap fasilitas penyeberangan pejalan kaki adalah 100 meter. 2. Jarak minimal halte dari persimpangan adalah 50 meter atau bergantung pada panjang antrian. 3. Jarak minimal gedung (seperti rumah sakit, tempat ibadah) yang membutuhkan ketenangan adalah 100 meter. 4. Perletakan di persimpangan menganut sistem campuran, yaitu antara sesudah persimpangan (farside) dan sebelum persimpangan (nearside), sebagaimana gambar 2.1 dan 2.2. 5. Perletakan di ruas jalan terlihat sebagaimana gambar 2.3 dan 2.4

Gambar 2.3 Perletakan tempat henti di pertemuan jalan simpang empat Gambar 2.4 Peletakan tempat perhentian di pertemuan jalan simpang tiga

Gambar 2.5 Tata letak halte pada ruas jalan a. Menghadap ke muka (lindungan jenis 1) Gambar 2.6 Lindungan menghadap ke muka

b. Menghadap ke belakang (lindungan jenis 2) Gambar 2.7 Lindungan menghadap belakang Menurut keputusan Direktur Jendral Perhubungan Darat, adapun pengelompokan tempat henti kendaraan penumpang umum berdasarkan tingkat pemakaian, ketersediaan lahan, dan kondisi lingkungan adalah sebagai berikut : 1. Halte yang terpadu dengan fasilitas pejalan kaki dan dilengkapi dengan teluk bus (gambar 2.8) 2. TPB yang terpadu dengan fasilitas pejalan kaki dan dilengkapi dengan teluk bus (gambar 2.9) 3. Halte yang sama dengan butir (1) tetapi tidak dilengkapi dengan teluk bus (gambar 2.10) 4. TPB yang sama dengan butir (2) tetapi tidak dilengkapi dengan teluk bus (gambar 2.11) 5. Halte yang tidak terpadu dengan trotoar dan dilengkapi dengan teluk bus (gambar 2.12)

6. TPB yang tidak terpadu dengan trotoar dan dilengkapi dengan teluk bus (gambar 2.13) 7. Halte yang tidak terpadu dengan trotoar dan tidak dilengkapi dengan teluk bus serta mempunyai tingkat pemakaian tinggi (gambar 2.14) 8. TPB yang tidak terpadu dengan trotoar dan tidak dilengkapi dengan teluk bus serta mempunyai tingkat pemakaian tinggi (gambar 2.15) 9. Halte pada lebar jalan yang terbatas (<5.75 m), tetapi mempunyai tingkat permintaan tinggi (gambar 2.16) 10. Pada lahan terbatas yang tidak memungkinkan membuat teluk bus, hanya disediakan TPB dan rambu larangan menyalip (gambar 2.17)

1. Kelompok 1 Gambar 2.8a Tempat Henti Beserta Fasilitas Gambar 2.8b Dua Tempat Henti yang Berseberangan

2. Kelompok 2 Gambar 2.9a Standar Tempat Henti Kelompok 2 (Tunggal) Gambar 2.9b Standar Tempat Henti Kelompok 2 (Berseberangan) Gambar 2.9c Standar Tempat Henti Kelompok 2 (Dekat jalan akses)

3. Kelompok 3 Gambar 2.10a Standar Tempat Henti Kelompok 3 (Tunggal) Gambar 2.10b Standar Tempat Henti Kelompok 3 (Berseberangan) Gambar 2.10c Standar Tempat Henti Kelompok 3 (Dekat jalan akses)

4. Kelompok 4 Gambar 2.11a Standar Tempat Henti Kelompok 4 (Tunggal) Gambar 2.11b Standar Tempat Henti Kelompok 4 (Berseberangan) Gambar 2.11c Standar Tempat Henti Kelompok 4 (Dekat jalan akses)

5. Kelompok 5 Gambar 2.12a Standar Tempat Henti Kelompok 5 (Tunggal) Gambar 2.12b Standar Tempat Henti Kelompok 5 (Berseberangan) Gambar 2.12c Standar Tempat Henti Kelompok 5 (Dekat jalan akses)

6. Kelompok 6 Gambar 2.13a Standar Tempat Henti Kelompok 6 (Tunggal) Gambar 2.13b Standar Tempat Henti kelompok 6 (Berseberangan) Gambar 2.13c Standar Tempat Henti Kelompok 6 (Dekat jalan akses)

7. Kelompok 7 Gambar 2.14a Standar Tempat Henti Kelompok 7 (Tunggal) Gambar 2.14b Standar Tempat Henti Kelompok 7 (Berseberangan) Gambar 2.14c Standar Tempat Henti Kelompok 7 (Dekat jalan akses)

8. Kelompok 8 Gambar 2.15a Standar Tempat Henti Kelompok 8 (Tunggal) Gambar 2.15b Standar Tempat Henti Kelompok 8 (Dekat jalan akses) Gambar 2.15c Standar Tempat Henti kelompok 8 (Berseberangan)

9. Kelompok 9 Gambar 2.16a Standar Tempat Henti Kelompok 9 (Tunggal) Gambar 2.16b Standar Tempat Henti Kelompok 9 (Berseberangan) Gambar 2.16c Standar Tempat Henti Kelompok 9 (Sesudah jalan akses)

10. Kelompok 10 Gambar 2.17a Standar Kelompok Henti Kelompok 10 (Tunggal) Gambar 2.17b Standar Tempat Henti kelompok 10 (Berseberangan) Gambar 2.17c Standar Tempat Henti Kelompok 10 (Dekat jalan akses)

Dikenal tiga jenis kebijaksanaan operasional angkutan kota yang berkaitan dengan perhentian yaitu : 1. Flag Stop Pada kebijakan operasional ini pengendara atau pengemudi diinstruksikan agar merespon keinginan penumpang kapan sebaiknya bus berhenti, baik untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Dengan adanya kebijakan operasional seperti ini, maka kecepatan rata-rata bus relatif cukup tinggi. Kebijakan operasional seperti ini sangat sesuai jika poternsi pergerakan penumpang pada lintasan rute yang dimaksud tidak terlalu besar. 2. Set-Stop Kebijakan operasional ini merupakan kebijakan operasional yang paling umum diterapkan di kota-kota besar. Pada kebijakan ini, pengemudi diwajibkan untuk berhenti di perhentian yang sudah ditetapkan sebelumnya, tidak perduli apakah pada perhentian yang dimaksud ada calon penumpang yang ingin naik ataupun ingin turun. Kebijakan operasional ini biasanya sesuai untuk lintasan rute yang memiliki potensi pergerakan penumpang yang sedang sampai tinggi sekali. 3. Mixed Stop Kebijakan operasional ini merupakan campuran antara flag stops dan set stops, artinya adalah pengendara diizinkan pada darah-daerah tertentu untuk berhenti diperhentian jika ada penumpang yang ingin turun ataupun calon penumpang yang ingin naik, sedangkan pada daerah-daerah lainnyapengendara diwajibkan berhenti di setiap perhentian yang dijumpai.

2.5.3 Tipe Halte Tipe perhentian (halte) angkutan umum dibedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan posisi dari perhentian dimaksudkan terhadap lalu lintas lainnya. Secara umum dikenal tiga tipe perhentian angkutan umum,yaitu : a. Curb-side Yaitu perhentian yang terletak pada pinggir perkerasan jalan tanpa melakukan perubahan pada perkerasan jalan yang bersangkutan ataupun perubahan pada pedestrian. Yang diperlukan hanyalah perubahan pada marka jalan atau rambu lalu lintas. Kelemahan pada tipe ini, terutama jika ditinjau dari tingkat gangguan yang dihasilkan terhadap lalu lintas lainnya, hal ini disebabkan karena angkutan umum yang berhenti pada dasarnya menggunakan ruas jalan yang sama yang digunakan dengan lalu lintas yang lainnya, sehingga pada saat berhenti lalu lintas dibelakangnya jadi terganggu. Dimensi ruang bebas ini ditentukan berdasarkan jumlah angkutan umum yang akan dilayani dan juga pada ukuran angkutan umum yang ada. Selain itu dimensi ruang bebas yang dimaksud dipengaruhi oleh tipe perhentian, yaitu farside, nearside dan mid-block. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perencanaan perhentian dengan prasarana curbside adalah fasilitas bagi penumpang yang menunggu ( berupa ruang antri, side-walk ). Lebar minimum untuk side-walk sebesar 2-3 meter adalah : 1,2 1,5 m digunakan untuk penumpang yang sedang antri menunggu, sedangkan sisanya untuk pedestrian yang lalu lalang.

b. Lay-bys Yaitu perhentian yang terletak tepat pada pinggir perkerasan dengan sedikit menjorok ke daerah luar perkerasan. Tipe ini lebih aman dan nyaman dibandingkan dengan curb-side. Selain itu tingkat gangguan yang dihasilakn terhadap lalu lintas lainnya lebih kecil. Hal ini dimungkinkan karena tipe ini pada lokasi pemberhentian dilakukan pelebaran jalan, sedemikian rupa sehingga terdapat ruang bebas yang cukup di luar perkerasan jalan bagi maneuver masuk, maupun untuk manuver keluar. Dengan adanya ruang bebas yang terletak di luar perkerasan jalan, maka pada saat angkutan umum masuk lokasi perhentian dan berhenti tidak mengganggu lalu lintas lainnya, baik bagi kendaraan yang ada dibelakangnya ataupu kendaraan yang ada disampingnya. Secara umum, perhentian tipe ini akan layak ditinjau dari segi pemanfaatannya jika hal-hal berikut bisa dipenuhi : Volume lalu lintas cukup tinggi di ruas jalan dimaksud disertai dengan kecepatan lalu lintas yang cukup tinggi. Calon penumpang yang akan menggunakan perhentian ini jumlahnya cukup besar, sehingga menyebabkan angkutan umum harus berhenti dengan waktu yang cukup lama untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Jumlah angkutan umum yang akan menggunakan pemberhentian tidak begitu banyak, tidak lebih dari 10-15 angkutan umum per jam. Tersedianya ruang yang cukup di perhentian baik untul lay-bys maupun untuk side-walk.

c. Bus-bay Yaitu perhentian yang dibuat khusus dan secara terpisah dari perkerasan jalan yang ada. Perhentian tipe ini merupakan perhentian yang paling ideal, baik ditinjau dari sudut pandang penumpang, pengemudi angkutan umum, maupun bagi lalu lintas lainnya. Hal ini dimungkinkan mengingat bahwa dengan perhentian tipe ini angkutan dapat berhenti dengan posisi yang aman bagi proses naik-turun penumpang, angkutan juga dapat berhenti dengan tenang tanpa mengganggu lalu lintas lain. Secara umum karakteristik geometrik dari perhentian tipe ini adalah berupa lajur khusus angkutan dimana angkutan dapat berhenti dengan tenang, artinya secara geometrik, bentuknya hampir sama dengan tipe lay-bys, hanya saja disini antar ruang bebas dan ruas jalan dibatasi oleh pulau pemisah. Karena perhentian tipe ini memerlukan lahan yang luas untuk ruang bebas dan pulau pemisah, maka lokasilokasi tertentu saja yang dapat dibangun bus-bay. Daerah-daerah tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Tersedianya lahan yang cukup luas di pinggir jalan yang perhentian akan ditempatkan. Jumlah penumpang yang akan di layani pada perhentian yang dimaksud cukup banyak Jumlah angkutan umum yang akan dilayani pada pemberhentian dimaksud cukup banyak, lebih dari 15 angkutan per jam

Sedangkan menurut Vuchic,VR (1981), ada tiga tipe penempatan lokasi halte untuk tempat henti di sepanjang jalan ditinjau dari letak dari persimpangan : 1. Near-side, yaitu halte terletak sebelum garis henti persimpangan jalan 2. Far-side, yaitu halte terletak sesudah garis henti di persimpangan jalan 3. Midblock, yaitu halte yang tidak terletak di dekat persimpangan jalan tetapi masih di salah satu ruas jalan yang terkait dengan persimpangan jalan tersebut. Near-side, far-side maupun midblock sangat mungkin dilengkapi dengan alat pemberi isyarat lalu lintas, bahkan alat pemberi isyarat lalu lintas pada near-side dan far-side diusahakan agar terpisah dari fasilitas parkir. Rancangan midblock di sesuaikan dengan dimensi teluk bus. Table 2.2 Kebutuhan Ruang Pada Tempat Henti Panjang Satu Tempat Henti Dua Tempat Henti Bus NS FS MB NS FS MB 7.50 27.5 19.5 38.0 36.0 28.0 46.5 9.00 29.0 21.0 39.5 39.0 31.0 49.5 10.50 30.5 22.5 41.0 42.0 34.0 52.5 12.00 32.0 24.0 42.5 45.0 37.0 55.5 Sumber : Vuchic, VR., 1981

2.6 Kondisi Halte Untuk menentukan kondisi halte sesuai dengan keputusan Direktur Jenderal Perhubungan darat (1996) didapat dua segi aspek pembahasan dalam penilaian kondisi halte, yaitu : Standar rancang bangun (dimensi) halte, dan Fasilitas halte. 2.6.1 Rancang Bangunan (Dimensi) Halte A. Daya Tampung 1. Halte Halte dirancang dapat menampung penumpang angkutan umum 20 orang per halte pada kondisi biasa (penumpang dapat menunggu dengan nyaman). Gambar 2.18 kapasitas Lindungan Keterangan gambar : Ruang gerak penumpang di tempat henti 90 cm x 60 cm. Jarak bebas antar penumpang : - Dalam kota 30 cm - Antar kota 60 cm Ukuran tempat henti perkendaraan, panjang 12 m dan lebar 2.5 m Ukuran lindung minimum 4.00 m x 2.00 m

Gambar halte tampak depan, belakang,samping, atas Catatan : - Bahan bangunan di sesuaikan dengan kondisi setempat Ukuran panjang minimum dengan luas efektif halte adalah panjang = 4m, lebar = 2m Gambar 2.19 Halte Jenis 1

Gambar 2.20 Halte Jenis 2

Gambar 2.21 Halte Jenis 3

2. Teluk Bus Gambar teluk bus tunggal, gamda, dua halte yang berdekatan Gambar 2.22 Standar Jalur Henti bus Tunggal (single-bus lay bay) Gambar 2.23 Standar Jalur Henti bus Ganda (multi-bus lay bay) Gambar 2.24 Standar Jalur henti Bus untuk Tempat Henti yang Berdekatan (Single- Bus/Multi-Stop lay bay)

Gambar 2.25 Standar Jalur Henti Bus Terbuka (Open-ended lay bay) Gambar 2.26 Standar Jalur Henti Bus yang dikombinasikan dengan Jalur parkir dan Bongkar Muat (combined lay bay) Gambar 2.27 Standar Jalur Henti Bus untuk lahan yang terbatas (lay bay with substandart depth) Gambar 2.28 Standar Jalur Henti Bus untuk lahan yang terbatas (lay bay incorporating side road)

2.6.2 Fasilitas Halte Menurut Direktorat Jendral Perhubungan Darat (1996) fasilitas tempat perhentian kendaraan penumpang umum terdiri dari : Fasilitas utama Fasilitas tambahan Fasilitas utama halte adalah sebagai berikut : Identitas halte berupa nama atau nomor Informasi tentang rute dan jadwal angkutan umum Tempat henti kendaraan apabila disertai rambu akan lebih aman dan untuk melancarkan lalu lintas dapat menggunakan teluk bus (bus lay by) Lampu penerangan Tempat menunggu penumpang yang tidak menggangu pejalan kaki dan aman dari lalu lintas Sedangkan fasilitas tambahan halte sebagi berikut : Telepon umum Tempat sampah Pagar pengamanan agar pejalan kaki tidak menyeberang di sembarangan tempat Papan iklan/pengumuman Pada persimpangan, penempatan fasilitas tambahan itu tidak boleh mengganggu ruang bebas pandang bagi pengguna jalan.