Tabel 1. Beberapa perbedaan signifikan dari Bubu Besi dan Bubu Bambu

dokumen-dokumen yang mirip
Berikut ini adalah gambar secara skematis karangka pemikiran penelitian :

PERBANDINGAN TEKNOLOGI ALAT TANGKAP BUBU DASAR UNTUK MENGETAHUI EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN DEMERSAL EKONOMIS PENTING DI KLUNGKUNG BALI

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

3 METODOLOGI PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang

3 METODOLOGI PENELITIAN

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Jaring Angkat

3 METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

3 METODOLOGI PENELITIAN

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Lift Net & Traps. Ledhyane Ika Harlyan. Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian

BAB III BAHAN DAN METODE

STUDI KOMPARATIF USAHA ALAT TANGKAP BUBU KARANG

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

UJI COBA PENGGUNAAN BERBAGAI MACAM BAHAN BUBU UNTUK PENANGKAPAN LOBSTER DI DANAU MANINJAU

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN PANAH DAN BUBU DASAR DI PERIRAN KARIMUNJAWA

Alat Lain. 75 Karakteristik perikanan laut Indonesia: alat tangkap

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

4 HASIL. Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar. 1)

DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR. Riza Rahman Hakim, S.Pi

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

BAB III BAHAN DAN METODE

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

memanfaatkan tingkah laku ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Hal ini terlihat dari bentuk bubu itu sendiri yang menyerupai batang kayu berlubang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi

BAB III METODE PENELITIAN

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

BAB III BAHAN DAN METODE

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Karakteristik Nelayan Tangkap Kelurahan Untung Jawa. Pulau Untung Jawa yang berbasis sumberdaya perikanan menyebabkan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 6: GEOGRAFI LAUT DAN PESISIR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

KAJIAN KONSTRUKSI DAN LOKASI JARING WARING TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN TERPERANGKAP IKAN HIU PAUS (Rhincodon typus) DI SELAT MADURA

Gambar 1. Diagram TS

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

3 METODOLOGI PENELITIAN

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : LIMBAH IKAN SEBAGAI ALTERNATIF UMPAN BUATAN UNTUK ALAT TANGKAP PANCING TONDA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

PERBEDAAN BENTUK KRENDET DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN LOBSTER (PANULIRUS SP.) DI PERAIRAN CILACAP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Trilogi pembangunan yang salah satunya berbunyi pemerataan pembangunan

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

Transkripsi:

36 Tabel 1. Beberapa perbedaan signifikan dari Bubu Besi dan Bubu Bambu Alat Tangkap Bubu Besi Bubu Bambu Bentuk Ukuran Operasi Hasil Bentuk Ukuran Operasi Hasil - Silinder - Anakan bubu 2 mulut - Katrol - Tali dihubungkan dengan talinya - Pelampung - Pemberat - Panjang 120 - Lebar 70 - Tinggi 60 - Perahu bermesin (jukung) - Pemberat - Pada daerah berpasir/ berlumpur - Peletakam diikat secara sambung mnyambung (seri) dan biasa lebih dari 1 bubu - Menggunakan umpan - Pengambilan 1 hari - Ikan merah (Lutjanus altifrontalis) - Kerapu karang (Cephalopholis bunack) - Kerapu Lumpur (Epinephulusn tanvina) - Baji-baji (Serinsa nigrofasciatus) - Gorara (Lutjanus vitta) - Janggut merah (Lutjanus malabaricus) - Bambangan (Lutjanus sanguineus) - Trapesium - Anakan bubu 1 mulut - Tali/tanpa tali - Pelampung - Panjang 100-200 - Lebar 50-200 - Tinggi 25-100 - Perahu dayung - Dengan cara diselam - Diletakkan satu demi Satu - Pemberat/tanpa pemberat - Penempatan pada daerah karang - Tanpa umpan - Pengambilan 2 hari - Ikan kakap (Lutjanus spp) - Ekor kuning (Caesio spp) - Ikan gorara (Lutjanus vitta) - Ekor kuning (Caesio eryhrogaster) - Kambing-kambing (Pomacanthus semicirculatus) - Ketang-ketang (Drepane punctata) - Parang-parang (Chirocentrus dorab) - Tembangan (Lutjanus johni) - Swangi (Biacanthus tayenus - Napoleon Sebagai kelanjutan dari perbandingan antara bubu besi dan bubu bambu dalam melakukan target tangkapan pada kedalaman tertentu maka dapat diperoleh jumlah hasil tangkapan yang berbeda. Jumlah hasil tangkapan kedua bubu ini mengalami beberapa perbedaan, baik dari trip, lama perendaman, maupun beberapa faktor-faktor penunjang. Secara analisis regresi sederhana dapatlah diperlihatkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan dengan lama perendaman yang lebih efisien dan efektif.

37 Jum lah hasil tangkapan (ekor) 30 25 20 15 10 5 0 y = 0.6846x + 6.1 R 2 = 0.6908 0 5 10 15 20 25 30 Trip Gambar 13. Hubungan Trip terhadap jumlah hasil tangkapan bubu besi Dari hasil analisis regresi dan korelasi antara jumlah hasil tangkapan bubu besi (ekor) yang tertangkap dari 25 kali trip adanya hubungan yang erat antara kedua peubah pada Lampiran 1. Hasil ini ditunjukan oleh nilai korelasi 0,73 atau mendekati 1 (Tabel nilai korelasi). Arah hubungan yang positif menunjukkan bahwa semakin lama trip dengan bubu besi yang dilengkapi dengan umpan lama didalam laut, maka semakin banyak pula hasil tangkapan (ekor), sesuai dengan luasan bubu yang dibuat. Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi menghasilkan 0,000, karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05, maka korelasi antara jumlah hasil tangkapan (ekor) dengan umpan sebanyak 25 kali trip sangat nyata. Dengan demikian model regresi bisa dipakai untuk memprediksi hasil tangkapan. Koefisien determinasi (R²) adalah 0,6908 (Tabel nilai determinasi), berarti 69,08 %, hasil tangkapan dapat disebabkan oleh perubahan dari trip, sedangkan sisanya 30,92 % dijelaskan oleh faktor-faktor lain (Gambar 13). Persamaan regresi akan menjadi, Y = 0,6846x + 6,1 dimana Y = hasil tangkapan jumlah (ekor) X = Trip Konstanta sebesar 6,1 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip dengan umpan, maka bubu akan selalu mendapatkan hasil tangkapan. Tanda plus ini menunjukkan pengaruh sangat nyata dari banyaknya trip terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor). Koefisien regresi

38 sebesar 0,6846 menyatakan bahwa semakin banyak trip akan menambahkan jumlah hasil tangkapan (ekor) sebesar 0,6846 ikan. Jum lah hasil tangkapan (eko 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 y = 0.1377x + 3.65 R 2 = 0.6816 0 5 10 15 20 25 30 Trip Gambar 14. Hubungan trip terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor) bubu bambu Dari hasil analisis regresi dan korelasi antara hasil tangkapan bubu bambu jumlah ekor yang tertangkap dari 25 kali trip adanya hubungan yang erat antara kedua peubah pada Lampiran 1. Hasil ini ditunjukan oleh nilai korelasi 0,237 atau menjauhi 1 (Tabel nilai korelasi). Arah hubungan yang positif menunjukkan bahwa semakin lama trip dengan bubu bambu tidak dilengkapi umpan maka semakin lama ada hasil tangkapan (ekor). Bubu bambu akan berfungsi sebagai alat perangkap ikan jika direndam selama mungkin di laut. Untuk bubu bambu yang baru dioperasikan biasanya terperangkap ikan selama 1 bulan penuh. Disamping memakan waktu yang lama, perendaman bubu bambu dilakukan selama 3 hari untuk mendapat hasil tangkapan. Bubu bambu ini dirancang beroperasi hanya pada kedalaman tertentu, pada daerah sekitar terumbu karang. Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi menghasilkan 0,000, karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05, maka korelasi antara hasil tangkapan jumlah (ekor) dengan umpan sebanyak 25 kali trip sangat nyata. Dengan demikian model regresi bisa dipakai untuk memprediksi hasil tangkapan.

39 Koefisien determinasi (R²) adalah 0,6816 (Tabel nilai determinasi), berarti 68,16 %, hasil tangkapan dapat disebabkan oleh perubahan dari trip, sedangkan sisanya 31,84 % dijelaskan oleh faktor-faktor lain (Gambar 14). Persamaan regresi akan menjadi, Y = 0,1377x + 3,65 dimana Y = hasil tangkapan jumlah (ekor) X = Trip Konstanta sebesar 3,65 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip, maka bubu akan selalu mendapatkan hasil tangkapan, namun lebih kecil dari bubu besi. Koefisien regresi sebesar 0,1377 menyatakan bahwa semakin banyak trip dengan lama perendaman akan menambahkan jumlah (ekor) hasil tangkapan sebesar 0,1377 ikan. 8 7 Bubu bambu berat (kg) 6 5 4 3 2 1 0 0 2 4 6 8 Bubu besi berat (kg) Gambar 15. Perbandingan Produktivitas antara berat hasil tangkapan (kg) bubu besi terhadap berat hasil tangkapan (kg) bubu bambu Dari hasil penelitian lapangan perbandingan antara bubu bambu dan bubu besi dilihat dari jumlah (ekor) dan berat (kg) pada Gambar 15, masing-masing ikan yang ditimbang. Ternyata bubu besi mempunyai pengaruh sangat nyata, baik dari hasil tangkapan jumlah (ekor) ikan yang tertangkap yang berdampak

40 pada berat (kg). Ini menunjukkan, bahwa bubu besi yang telah diadopsi teknologi mengalami beberapa kelebihan dibandingkan dengan bubu bambu milik masyarakat setempat. Bubu besi secara spesifik lokasi dapat diterima secara baik, karena memiliki beberapa ketentuan yang sesuai dengan daerah operasi bubu besi. Secara umum bubu besi dapat mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan variabel-variabel yang mempengaruhi bubu besi selama perendaman dilaut, sampai pada penurunan dan pengangkatan serta hasil tangkapan yang ada. 4.5 Beberapa Variabel Penting Yang Mempengaruhi Operasi Bubu Dasar Dalam pengoperasian bubu besi ini akan ada terjadi perubahanperubahan yang merupakan variabel penentu sebagai alat tangkap yang berpengaruh langsung berada didasar laut. Beberapa variabel yang berpengaruh adalah : (1) Lama Operasi (Trip) (2) Kedalaman (3) Kecepatan Arus Permukaan (4) Fase Bulan Hasil analisis regresi yang diperoleh pada pengoperasian bubu besi menunjukkan bahwa dari jumlah (ekor), berat (kg) dan rata-rata (unit) terdapat pada lampiran 1. Variabel berpengaruh sangat nyata pada 25 kali trip dengan nilai 9,1, dan arus permukaan dengan nilai 8,2. Untuk kedalaman dan umur bulan berpengaruh nyata (Gambar 20). Pada pengoperasian bubu bambu variabel yang berpengaruh sangat nyata pada 25 kali trip dari jumlah (ekor) dan rata-rata (unit) bernilai dengan nilai 11,4, dan 12,1 bagi berat (kg) (Gambar 21). Untuk kedalaman, arus permukaan dan umur bulan berpengaruh nyata.

41 Tabel 2. Faktor-faktor Determinasi Hasil Tangkapan Bubu Besi dan Bubu Bambu. Bubu Besi Bubu Bambu Variabel Independen Koefisien P-Value Koefisien P-Value regresi (signifikansi) regresi (signifikansi) Intercept 17.734 0.002-0.65 0.704 Lama Operasi (X1) 0.0765 0.000* 0.00971 0.117* Kedalaman (X2) -0.00097 0.687-0.0169 0.156 Arus Permukaan (X3) -0.982 0.002* 0.0538 0.585 Fase Bulan (X4) -0.0165 0.023* 0.00138 0.611 Koefisien determinasi ( R²) = 78.1 % 36.4 % P Value = 0.000 0.050 Berdasarkan hasil analisis regresi dari variabel-variabel (X1, X2, X3, X4) yang berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan bubu besi diperoleh persamaan sebagai berikut : Yi = 17.7 + 0.0765 X1 0.00097 X2 0.982 X3-0.0165 X4 Dari persamaan di atas terlihat bahwa variabel yang mempunyai nilai signifikansi diatas 0,05 atau faktor yang berpengaruh pada jumlah hasil penangkapan (ekor) bubu besi yaitu (X1), (X2), (X3) dan (X4), sehingga dapat dijelaskan bahwa keempat variabel tersebut, secara bersama-sama dan X2 (kedalaman) tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor). Namun yang sangat signifikansi terjadi pada lama operasi (trip), arus permukaan dan fase bulan. Koefisien variabel X2 (kedalaman), X3 (arus permukaan), X4 (fase bulan), pada persamaan diatas memiliki nilai negatif menunjukkan bahwa semakin dalam pemasangan bubu dan semakin cepat perputaran arus, serta fase (umur) bulan yang berubah, maka semakin sedikit nelayan yang melaut, disebabkan oleh gerakan gelombang pada waktu pasang dan surut. Nilai koefisien untuk X1 (lama operasi/trip) yang memiliki nilai positif menunjukkan bahwa semakin sering mengadakan operasi penangkapan, maka akan sering tertangkap. Nilai Fhit didapat dari uji regresi atau Ftest 17,83 dengan tingkat signifikansi 0,000 (Tabel Uji Anova). Karena probabilitas 0,000 jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi hasil

42 tangkapan, Ftabel untuk tingkat signifikansi (á) 5 % adalah 4,49. Karena F hitung > Ftabel, maka Ho ditolak, dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa banyak trip berpengaruh terhadap hasil tangkapan bubu besi. Berdasarkan analisis regresi diperoleh hasil untuk bubu bambu sebagai berikut: Yi = -0.652 + 0.00971 X1 0.0169 X2 + 0.538 X3 + 0.00138 X4 Dari persamaan di atas terlihat bahwa variabel yang mempunyai nilai signifikansi diatas 0,05 atau faktor yang berpengaruh pada jumlah hasil penangkapan (ekor) bubu bambu yaitu (X1), (X2), (X3) dan (X4), sehingga dapat dijelaskan bahwa keempat variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor). Tingkatan signifikansi yang terlihat terjadi pada lama operasi yang berkaitan dengan jumlah hasil tangkapan (ekor). Nilai t hitung koefisien variabel X2 (kedalaman) pada persamaan diatas memiliki nilai negatif menunjukkan bahwa semakin dalam bubu bambu diletakan akan berakibat pada hilangnya dan berbahaya bagi kehidupan nelayan dengan cara menyelam bubu tersebut. Nilai koefisien untuk X1 (lama operasi/trip), X3 (arus permukaan), X4 (fase/umur bulan) yang memiliki nilai positif menunjukkan bahwa semakin lama pengoperasian dan arus permukaan serta fase bulan, maka ketiga variabel tersebut berbanding lurus dengan jumlah hasil tangkapan (ekor) bubu bambu. Nilai Fhit didapat dari uji regresi atau Ftest 2,87 % dengan tingkat signifikansi 0,050 (Tabel Uji Anova). Karena probabilitas 0,050 jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi pengaruh nyata dari variabel-variabel yang ada, Ftabel untuk tingkat signifikansi (á) 5 % adalah 4,49. Karena Fhitung > Ftabel, maka Ho ditolak, dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa jumlah variabel berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor) bubu bambu. 4.5.1 Lama Operasi (Trip) Pengoperasian bubu dilakukan secara berderetan, dihubungkan pada tiaptiap bubu, yang diberikan pemberat utama dan pelampung tanda yang berbendera. Bubu dioperasikan selama 24 48 jam untuk melihat sampai

43 sejauh mana, ketahanan bubu di dasar laut dan masuknya ikan kedalam bubu tersebut. Lama pengoperasian (Trip) dilakukan dari 1 hari sampai hari yang ke- 25. Bubu boleh diselubungi dengan kawat galvanis atau pun jaring (net) dan tidak rentan terhadap pengaruh arus. Setiap kali pengoperasian selalu ada kendala-kendala yaitu antara lain, penentuan daerah penangkapan ikan yang tepat (fishing ground), gelombang dan upacara-upacara keagamaan yang tidak dapat ditingggalkan oleh masyarakat nelayan di Bali. 4.5.2 Kedalaman Operasi bubu dasar atau laut dalam biasanya antara 15 m sampai tak terhingga dalamnya, tergantung dari besar kecilnya bubu yang dibuat. Karena bubu ini berada dilaut dalam, maka sangat bertentangan dengan bubu tradisional yang diletakan pada kedalaman tertentu, diatas terumbu karang. Pada kedalaman yang tak terhingga dibutuhkan sejumlah tali yang cukup panjang yang digunakan sebagai pelampung tanda, sekaligus menarik bubu dari dasar laut. Jenis hewan laut dapat ditangkap terdiri atas, ikan kakap, kerapu, lobster, kepiting, udang dan belut laut, yang peka terhadap sinar (phototaxis negatif) (Nontji, 2000). Kedalaman bubu dapat dijadikan sebagai alat yang baik didalam mengetahui fishing ground atau hewan-hewan apa sajakah yang tidak dapat dijangkau oleh teknologi seperti echo sounder atau satelit. Bubu laut dalam juga dapat membantu kita dalam mengatasi penggunaan alat tangkap trawl yang berkelebihan dengan anggapan dapat merusak. Bubu bambu dan bubu besi dioperasikan pada kedalaman yaitu pada bubu bambu 5 15 m, sedangkan bubu besi 15 80 meter. Disamping itu kedalaman laut diperairan Indonesia pada garis besarnya dibagi dua yakni perairan dangkal berupa paparan, dan perairan laut dalam. Paparan (shelf) adalah zone dilaut terhitung mulai dari garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar 120 200 m, yang kemudian biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke laut dalam. Kedalaman pulau Bali dan sekitarnya termasuk Paparan Sunda pada umumnya mempunyai dasar yang rata dan melandai dari arah barat ke timur terdiri dari lumpur dan lumpur pasir.

44 Daerah berpasir terdapat sekitar tonjolan padas (rock) dan terumbu karang (fringing reef), batas kedalaman basin atau palung 1000 m dengan kedalaman maksimum 1.590, dengan luasan 19.000 km² (Nontji, 2000). Pada kedalaman bubu dioperasikan banyak terdapat kontur (lembah kecil) sebagai tempat banyak terdapat makanan, yang menjadi sasaran ikan target tangkapan itu berada. 4.5.3 Arus Permukaan Arus merupakan variabel penting yang sangat berpengaruh pada kedudukan bubu didasar laut. Arus yang kita kenal dibagi atas dua bagian yaitu; 1) Arus Macro dan 2) Arus Micro. Arus macro adalah arus global yang terjadi setiap musim dalam satu tahun, sedangkan arus micro adalah arus lokal yang terjadi oleh adanya pergantian musim. Dengan menggunakan GPS, maka arus permukaan dapat diketahui, pada daerah fishing ground di pulau Nusa Penida dengan posisi 08 39 14,0 LS dan 115 32 40,5 BT pada tiga daerah penangkapan ikan yaitu Batu Nunggul, Suana, dan Kutampi (sampai ke Toyopake) setiap 24 jam terjadi perubahan kecepatan arus antara 16 19 k/t. Arus bisa mencapai 20 k/t diakibatkan oleh adanya tekanan air pada permukaan yang menyebabkan zona divergensi pada permukaan air, maka air dibagian dasar laut lebih dingin, naik menggantikan air permukaan sejalan dengan suhu permukaan naik pada waktu siang hari, hal ini terjadi pada laut terbuka sepanjang zone divergensi dan sepanjang pantai (Brown et al, 1989). Selanjutnya sering dikenal dengan nama upwelling dimana terjadi penaikan massa air laut yang kaya akan nutrien menuju permukaan laut dan biasanya hal ini berlangsung bersamaan dengan kumpulan arus yang berubah menjadi gelombang. Terkadang nelayan akan takut untuk melaut jika musim yang berlangsung di Nusa Penida adalah musim angin barat dengan kecepatan angin dari siang hingga malam yang sangat kuat dan cepat. Ikan dasar tidak terlalu terpengaruh oleh karena belum tentu arus yang dipermukaan akan sama atau lebih cepat dengan arus permukaan. Hal ini dapat ditelusuri dengan alat tangkap bubu dengan berat 22,5 kg tiap-tiap bubu yang diletakan didasar laut yang digunakan pada daerah fishing ground

45 disekitar Nusa Penida tidak terbawa oleh arus dasar. Biasanya bubu diletakan sejajar dengan arah arus bergerak, karena ikan-ikan dasar juga cendrung bergerak searah arus dan melawan arus. 4.5.4 Fase Bulan Di Bali sering dikenal dengan juga dengan pembagian 1 bulan pada setiap 15 hari akan berlangsung bulan purnama dan setiap 15 hari lagi akan berlangsung bulan mati/gelap (tilem). Bulan purnama dan bulan mati akan terjadi dua hari sebelum/sesudah pasang tertinggi dan surut terjauh. Biasanya menjelang purnama atau tilem terjadi pasang tertinggi dari 1.25 m 1.50 m, sesudah purnama atau tilem dapat mencapai 40 m. Hal ini merupakan kejadian alam perputaran antara bumi dan bulan. Setiap 12 jam terjadi dua kali perubahan arus pasang dan surut, dimana untuk 1 minggu ada 7 jam surut dan 5 jam pasang naik. Jika terjadi bulan purnama atau pun tilem tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan-ikan dasar (demersal), tetapi dapat mempengaruhi gerakan arus pasang surut, dimana ikan demersal pun berpindah sesuai dengan gerak pasang surut air laut. Bubu adalah merupakan alat tangkap yang dapat secara tidak langsung membantu untuk mencari daerah penangkapan ikan dengan jenis-jenis tertentu dimana ikan itu bersarang. 4.6 Analisis Anggaran Parsial (AAP) Analisis anggaran parsial (partial budget analysis) dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi akibat yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam metode produksi suatu usaha. Dalam analisis anggaran parsial hanya diperhatikan faktor-faktor yang ada kaitannyan dengan perubahan. Perubahanperubahan itu antara lain analisis parsial mengenai kemungkinan penggunaan bubu dari besi sebagai bandingan dengan bubu bambu serta apa pengaruhnya terhadapm hasil tangkapan bagi nelayan. Dengan membandingkan kedua bubu tersebut, dimana bubu yang tanpa memakai umpan dengan bubu hasil introduksi teknologi yang memakai umpan, tindakan ini terhadap ukuran keragaan usaha dapat dinilai.

46 Pendekatan dengan anggaran parsial mempunyai beberapa manfaat yaitu; - Tidak memerlukan banyak data bila dibandingkan dengan anggaran usahatani keseluruhan (whole-farm budgeting). - Tidak memerlukan informasi mengenai segi-segi usaha yang tidak dipengaruhi oleh perubahan yang sedang diamati karena keragaan bagianbagian ini tidak akan berubah. - Pada umumnya lebih sederhana dari pada analisis usaha keseluruhan. - Sifatnya dapat ditempatkan pada keadaan usahatani yang lebih luas dari pada anggaran usaha keseluruhan. Bentuk anggaran parsial yang sangat umum ialah anggaran keuntungan parsial (partial profit budget) yang menunjukan pengaruh suatu perubahan terhadap beberapa ukuran keuntungan seperti pendapatan bersih usaha dan penghasilan bersih usaha. Sukartawi et al (1986) menyebutkan beberapa langkah yang ditempuh dalam anggaran parsial ialah langkah pertama menjelaskan perubahan dalam suatu usaha atau metode produksi secara hati-hati dan tepat. Hal ini penting, karena pengalaman menunjukkan bahwa sumber kesalahan umum dalam anggaran parsial ialah tidak memahami sifat perubahan yang diamati, sehingga menimbulkan kebingungan. Untuk memperoleh resiko kesalahan tersebut, perubahan yang diusulkan itu harus diperinci dan harus ditulis diatas anggaran, sehingga dapat menunjukkan kapan analisis itu dilakukan. Langkah-langkah ini juga akan memperkecil kebingungan yang mungkin terjadi apabila anggaran itu dibahas lagi dikemudian hari. Langkah pertama ialah mendaftar dan menghitung keuntungan dan kerugian yang diakibatkan oleh perubahan itu. Kerugian dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama yaitu pengeluaran atau biaya tambahan yang terjadi karena ada perubahan. Kedua, yaitu pendapatan kotor atau penghasilan yang hilang dan tidak akan diteima lagi sebagai akibat terjadinya perubahan. Kerugian ini harus ditambahkan pada kelompok yang pertama. Keuntungan dapat juga digolongkan dalam dua kelompok. Pertama yaitu tiap pengeluaran atau biaya yang dihemat sebagai akibat perubahan proses produksi. Pengeluaran ini adalah biaya-biaya yang seharusnya dikeluarkan

47 dalam metode produksi yang berlaku sekarang, tetapi dapat ditiadakan apabila perubahan yang diusulkan itu dilaksanakan. Kedua, yaitu tambahan pendapatan kotor atau penghasilan yang timbul sebagai akibat perubahan tersebut. Keuntungan ini harus ditambahkan pada kelompok pertama. Perubahan keuntungan usahatani yang berkaitan dengan perubahan anggaran dapat dihitung dengan cara mengurangi keuntungan total dengan kerugian total. Apabila keuntungan total lebih besar dari pada kerugian total, maka anggaran jelas menunjukkan bahwa perubahan yang diusulkan itu menguntungkan. Apabila terjadi sebaliknya, maka perubahan yang diusulkan itu tidak menguntungkan. Tentu saja penilaian perubahan keuntungan usaha ini bergantung kepada kebenaran data yang digunakan dalam anggaran. Analisis anggaran parsial ini akan dijelaskan sebagai berikut pada Tabel 3.

48 Tabel 3. Hasil perhitungan keuntungan Analisis Anggaran Parsial BP = (BT + PH) MP = (BH + PT) Biaya Tambahan/Tetap (BT) Biaya yang di Hemat - Biaya pembuatan bubu total Waktu operasikan bubu Rp. 450,000,-per 1 unit Menyewa tenaga kerja 7 kali - Perahu motor (jukung) angkat-turun bubu Sewa Rp. 100,000,- per bulan Rp. 100,000 per 1 unit per bln - Bubu besi Untuk 1 bln dibutuhkan = Rp. 50,000,- per 1 unit Rp. 240,000,-per 1 unit per bln - Katrol Rp. 20,000,- per bh - Tali Untuk trip biaya operasional Rp. 150.000,- per 1 unit Rp. 240,000,-per 7 trip - Pelampung Rp. 14.285 per 1 unit per bln Rp. 130,000,- per bh Untuk tiap-tiap 1 unit bubu Rp. 39,600 per bln bubu besi Rp. 10,000 per bln bubu bambu Penghasilan yang Hilang (PH) Penghasilan Tambahan (PT) Terjadi pada bubu bambu Produksi bubu besi untuk tiap- Rp. 10,000,- per 1 unit per bln tiap 1 unit = Rp. 39,600 per bln. Dimana berat ikan hasil tangkapan keseluruhan 99 kg. Harga 1 kg ikan Rp 10.000,- Ë P = MP BP Rp. 640,000,- = Rp.1,090,000, - Rp. 450,000,- untuk 1 unit bubu besi dalam 1 tahun Bila Biaya Tambahan (BTi) dan Biaya yang Dihemat (Bhi) adalah modal Rp. 1,150,000,- dari perahu motor (jukung), pembuatan bubu besi, tali, katrol, penggunaan umpan dan pelampung tanda. Untuk perhitungan biaya per trip dimana harga sisa pada akhir ekonomi Rp. 630,000,-. Berdasarkan atas perhitungan dengan rumus depresiasi akan menghasilkan Rp. 142,466, dengan

49 perkiraan daya tahan bubu selama 1 tahun atau 365 hari, serta jumlah trip sebanyak 100 kali. Di pulau Nusa Penida umumnya alat tangkap bubu bambu sudah mulai kurang diminati, karena hasil tangkapan tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Bahan baku bambu sudah mulai sulit ditemukan, disatu pihak ada larangan untuk mengkonsumsi bambu yang akibatnya dapat mengganggu keseimbangan alam, sedangkan dilain pihak harga bambu sudah mulai mahal dan dipergunakan untuk kegiatan ritual agama Hindu di Bali. Teknologi bubu dasar laut ini harus diadakan perubahan bahan dari bambu ke besi. Bubu besi secara ekonomis dianggap merugikan, tapi dunia perikanan tidak selalu harus stagnasi, namun perlu perkembangan teknologi dan tentunya membutuhkan biaya jika ingin nelayan maju. Bentuk dari bubu beragam disesuaikan dengan keinginan, rata-rata bubu bambu yang dimiliki oleh nelayan di Nusa Penida berbentuk trapesium. Bubu besi dirancang berbentuk silinder atau setengah lingkaran. Pengoperasian bubu besi ini tentunya berbeda dengan bubu bambu, walaupun keduanya merupakan alat tangkap ikan pasif. Jika bubu bambu tanpa umpan dioperasikan satu demi satu dengan cara menyelam, maka kebalikannya bubu besi memakai umpan, diturunkan kelaut menggunakan tali dan katrol, secara berangkai. Daya tenggelam dari bubu bambu hampir tidak diketahui sama sekali, dengan bantuan beberapa pemberat yang ditutupi karang agar tidak goyang didasar, bubu bambu sangat jelas merusak habitat pada daerah karang. Untuk 1 bubu besi dengan luasan 252 cm², memiliki berat 22,5 kg dan tidak mudah untuk digoyang oleh arus dasar, sedangkan bubu bambu memiliki berat antara 5 untuk yang ukuran kecil, sedangkan ukuran besar 10 kg. Daerah penangkapan pun tidak berada pada sekitar terumbu karang, tetapi pada daerah berpasir atau berlumpur. Ikan target tangkapan merupakan ikan dasar seperti, ikan kerapu (Epinephalus spp), kakap (Lutjanus spp), belut, kepiting, udang dan lobster. Dari hasil rata-rata unit terdiri dari 5 buah bubu bambu dan besi pada saat dilakukan trip bagi bubu bambu hanya bisa tertangkap 2 ekor ikan karang yang berukuran kecil, selama 3 hari

50 perendaman. Bubu besi rata-rata ikan tertangkap mencapai 4 ekor selama 1 hari perendaman, untuk tiap-tiap unit bubu. Bubu besi secara keseluruhan dilihat dari jumlah (ekor) selama 25 trip, menunjukkan beberapa pengaruh yang sangat signifikan. Nilai konstanta sebesar 6,1 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip dengan umpan, maka bubu besi akan selalu mendapatkan hasil tangkapan sebesar nilai itu. Hal ini menunjukkan pengaruh sangat nyata dari banyaknya trip terhadap hasil jumlah tangkapan (ekor). Koefisien regresi sebesar 0,6846 menyatakan bahwa semakin banyak trip akan menambahkan jumlah (ekor) hasil tangkapan sebesar 0,6846 ikan. Konstanta sebesar 1,405 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip dengan umpan, maka bubu akan selalu mendapatkan hasil tangkapan. Permasalahan yang sering ditemui dalam melakukan pengoperasian bubu, baik bubu bambu atau bubu besi, variabel-variabel yang mempengaruhinya adalah lama operasi, kedalaman, kecepatan arus permukaan dan fase bulan. Variabel-variabel ini acap kali akan muncul, karena lautan di seluruh bumi ini merupakan medium yang bergerak dinamis dan saling berkaitan atau berhubungan satu dengan lainnya hingga merupakan kesatuan yang sinambung. Dalam hubungannya dengan aspek, baik fisik maupun kimiawi, laut menunjukkan lingkungan yang dapat dinyatakan seragam untuk suatu jarak maupun lapisan tertentu. Disamping itu laut merupakan lingkungan hidup yang luas dan sangat bervarisai sejalan dengan letak lintang dan faktorfaktor yang sebagai variabel-variabel terhadap tingkah laku ikan (Gunarso, 1985). Dengan memasang umpan pada bubu besi, maka kemungkinan besar sekali untuk masuknya ikan ke dalam bubu. Diprediksikan bahwa ikan karnivora kecil sebagai penunjuk jalan lebih dulu terperangkap dengan adanya bau dari umpan. Umpan memegang peranan sangat penting dalam penangkapan dengan perangkap (traps). Umpan memenuhi syarat yang dapat merangsang indera penciuman dan rasa dari ikan serta Crustacea (Gunarso, 1985). Selain pengaruh dari jenis umpan, faktor lain yang ikut berpengaruh

51 terhadap keberhasilan penangkapan dengan perangkap adalah penampilan dari umpan tersebut yang meliputi : jumlah umpan yang dipergunakan, lokasi penempatan umpan dalam perangkap, frekuensi pengganti umpan dan cara pemasangan umpan (apakah menggunakan tali/kantong atau kotak berlubang). Bubu bambu selama perendaman 3 hari dengan 25 kali trip, tidak terlalu memberikan harapan yang lebih baik pada tangkapan jumlah (ekor). Konstanta sebesar 3,65 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip, maka bubu akan selalu mendapatkan hasil tangkapan, namun lebih kecil hasilnya dari bubu besi. Hal ini menunjukkan pengaruh signifikansi dari banyak trip terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor). Koefisien regresi sebesar 0,1377 bahwa semakin banyak trip akan menambahkan jumlah (ekor) hasil tangkapan sebesar 0,1377 ikan. Nilai konstanta sebesar 0,73 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip dengan tanpa umpan, maka bubu akan sulit mendapatkan hasil tangkapan. Melihat kapada kenyataan yang ada pada experimental dilapangan dari biaya pengeluaran untuk membuat 5 unit bubu sampai pada pengoperasian didapat keuntungan total sbesar Rp. 39.000,- per 1 unit per tahun dari hasil penjualan ikan yang tertangkap. Dengan hasil depresiasi per trip sebesar Rp. 142,466, menandakan bahwa bubu besi masih layak untuk dipakai oleh nelayan.