Konstruksi Gender dalam Budaya

dokumen-dokumen yang mirip
KONSEP DAN ANALISIS JENDER. Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

FENOMENA TAMAN PENITIPAN ANAK BAGI PEREMPUAN YANG BEKERJA. Nur Ita Kusumastuti K Pendidikan Sosiologi Antropologi

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta (BEJ) Nomor Kep-306/BEJ/ menyebutkan bahwa perusahaan yang go

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

MATA KULIAH: PSIKOLOGI DAN BUDAYA

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. gagasan anti poligami (Lucia Juningsih, 2012: 2-3). keterbelakangan dan tuntutan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

dikirim untuk JAWA POS PERILAKU POLITISI BY ACCIDENT. Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

1Konsep dan Teori Gender

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. 21 tahun dan belum menikah ( Menurut UU No. 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MENINGKATKAN PENGEMBANGAN ASPEK EMOSI DALAM PROSES PEMBELAJARAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. proses pematangan dan belajar (Wong, 1995) fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional, dan

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB I PENDAHULUAN. manusia perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan. dari mereka sulit untuk menyesuaikan diri dengan baik.

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN (GBPP) Mata Kuliah : Psikologi Lintas Budaya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gender dengan kata seks atau jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Misalnya

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki komposisi penduduk dalam rentang usia produktif yang

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

sosial kaitannya dengan individu lain dalam masyarakat. Manusia sebagai masyarakat tersebut. Layaknya peribahasa di mana bumi dipijak, di situ

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. pada meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-temannya. Jalinan

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes

BAB I PENDAHULUAN. oleh daya saing dan keterampilan (meritokration). Pria dan wanita sama-sama

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dunia anak sering diidentikkan dengan dunia bermain, sebuah dunia

BAB I PENDAHULUAN. perempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MK PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

Opini Edisi 5 : Tentang Seksualitas: Masyarakat Sering Menggunakan Standar Ganda

Penyebab kematian ibu melahirkan Musdah Mulia

SATUAN ACARA PERKULIAHAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVESITAS GUNADARMA MATA KULIAH : PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA KODE MATAKULIAH / SKS = IT / 2 SKS

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

ALASAN PEMILIHAN JURUSAN PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (STUDI KASUS DI SMK NEGERI 3 SUKOHARJO TAHUN 2012)

BAB I PENDAHULUAN. pada kehidupan masyarakat tersebut merupakan fenomena sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

INTERAKSI DALAM KELUARGA SEBAGAI PROSES UTAMA PENGEMBANGAN MORAL ANAK Olah: Nilawati Tadjuddin

Tujuan pembangunan suatu negara adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya supaya mereka dapat hidup baik dan sejahtera. Untuk itu pembangunan

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. a. Gender adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan peran. perempuan ditentukan (Suprijadi dan Siskel, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wilayahnya masing-masing. Budaya sebagai tuntunan kehidupan tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimana pada masa tersebut merupakan periode peralihan dan perubahan. Hurlock

PENDAHULUAN Latar Belakang

1 Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara,

BAB I PENDAHULUAN. Aghnia Nurisyabani, 2015 KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri atas berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

Transkripsi:

Konstruksi Gender dalam Budaya Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam mayarakat tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam konteks budaya peran yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan. Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat. Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memposisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini pada akhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan. Gender, apa itu? dimana dia? Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis, berlaku universal dan tidak dapat diubah. Adapun gender (Echols dan Shadily, 1976, memaknai gender sebagai jenis kelamin) adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Faqih, 1999), dengan begitu tampak jelas bahwa pelbagai pembedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang 1

masyarakat (Kantor Men. UPW, 1997). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan. Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya menumbuhsuburkan banyak asumsi yang memposisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun. Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif, emosional, lemah, statis, tidak agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll. Berkembangnya peradaban mestinya menyadarkan banyak kalangan bahwa asumsi yang muncul dan selalu melekat pada perempuan tidak selamanya benar, demikian juga sebaliknya. Sebab, pada kenyataan empiris banyak ditemukan kasus yang membuktikan bahwa hal tersebut tidak selamanya berlaku linier. Namun dalam kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi hubungan laki-laki dan perempuan kerap mengalami hambatan baik di kalangan laki-laki sendiri (terutama), juga di kalangan perempuan. Dalam analisisnya Fakih (1999) mencatat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya penolakan penggunaan analasis tersebut. Pertama, mempertanyakan status perempauan identik dengan menggugat konsep-konsep yang telah mapan. Kedua, adanya kesalahpahaman tentang mengapa permasalahan kaum perempuan dipersoalkan? Ketiga, diskursus tentang relasi laki-laki perempuan pada dasarnya membahas hubungan kekuasaan yang sangat pribadi, yang melibatkan pribadi masingmasing serta menyangkut "hal-hal khusus" yang dinikmati oleh setiap individu. Idrus (1999b) mentengarai penolakan itu terjadi salah satunya disebabkan oleh "main frame" budaya lebih mengedepankan peran laki-laki dibanding perempuan, sehingga sebenarnya penolakan itu terjadi dilakukan oleh institusi "abstrak" yang 2

bernama budaya. Setidaknya kasus penelitian Kohlberg tentang tahapan pengembangan moral membuktikan analisis ini, bahwa pada banyak budaya --apapun-- posisi laki-laki lebih dikedepankan. Imanuel Kant tentang imperatifnya, yang menyatakan bahwa sulit dipercaya perempuan mampu menerima prinsip-prinsip imperatif (kategoris, hipotesis) (Idrus, 1997). Fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata ada dalam konsep sosial masyarakat. Dalam paparannya Sugiah (1995) menyimpulkan bahwa di dalam masyarakat selalu ada mekanisme yang mendukung konstruksi sosial budaya jender. Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang menyebabkan terjadinya gender adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak yang sebanarnya merupakan hak universal. (Kerap terjadi orang tua menyatakan anak laki-laki tidak boleh menangis, secara tidak sengaja hal ini mengisyaratkan bahwa anak perempuan boleh; anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan lain-lain permainan yang identik sebagai permainan perempuan, dan sebaliknya anak laki-laki dilarang melakukan hal serupa seperti anak perempuan, atau jika ada anak laki-laki yang bermain seperti perempuan lingkungan sekitar menyebutnya (maaf) banci). Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak, anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah --tentunya juga mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki-- Proses pewarisan nilai ini pada akhirnya akan menjadikan anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya, konsep ini belakang dikenal dengan ideologi peran gender (gender role ideology, Matsumoto, 1996). Peran Jender: Warisan Biologis atau Budaya Gender adalah suatu konstruk yang berkembang pada anak-anak sebagaimana mereka disosialisasaikan dalam lingkungannya. Dengan bertambahnya 3

usia, anak-anak mempelajari perilaku spesifik dan pola-pola aktivitas yang sesuai dan tidak sesuai --dalam terminologi budaya mereka-- dengan jenis kelamin mereka, serta mengadopsi atau menolak peran-peran gender tersebut. Pada saat anak lahir ia memiliki jenis kelamin, tetapi tanpa gender. Pada saat lahir, jenis kelamin menentukan dasar anatomis fisik. Pada phase kehidupan selanjutnya pengalaman, perasaan dan tingkah laku yang diasosiasikan oleh orang dewasa, masyarakat sekitarnya serta budaya, perbedaan biologis ini memberikan bias gender pada individu tersebut. Banyak kenyataan mengenai bagaiman anak laki-laki dan perempuan berbeda dan bagaimana sama, yang akan dipahami sebagai konstruksi budaya yang didasarkan pada perbedaan biologis. Dalam konsep keseharian ada dua istilah yang kerap saling tumpang tindih dalam memaknainya, yaitu peran jender dan peran jenis kelamin. Virginia Prince (dalam Matsumoto, 1996) memberi makna peran jender (gender roles) sebagai derajat dimana seseorang mengadopsi perilaku yang sesuai atau spesifik jender yang diberikan oleh budayanya. Lebih lanjut Prince memaknai peran jenis kelamin (sex roles) sebagai perilaku dan pola-pola aktivitas laki-laki dan perempuan yang secara langsung dihubungkan dengan perbedaan biologis dan proses reproduksi. Mengacu pada pendapat Prince ini, maka peran jenis kelamin merupakan satu aktivitas yang hanya mampu dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Peran jenis kelamin (sex roles) yang ada dalam masyarakat misalnya laki-laki membuahi sel telur dan perempuan hamil serta melahirkan anak-anaknya. Pada giliran berikutnya perbedaan biologis dan system reproduksi ini membawa implikasi pada perbedaan jender. Salah satu hasil temuan yang terpenting dari perbedaan jender yang ditemukan dari banyak budaya dii seluruh dunia adalah perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anaknya,dan laki-laki meninggalkan rumah untuk memperoleh makanan (Berry dan Child; Prince; Low; dalam Matsumoto,1996). Perbedaan gender tersebut membawa keuntungan khususnya bagi laki-laki yaitu (1) laki-laki dapat memberikan jaminan pada keluarga untuk tetap melangsungkan hidupnya (survive) dengan tercukupinya kebutuhan keluarga yang selanjutnya anak- 4

anak akan dapat meneruskan pekerjaan ayahnya kelak. (2) Kesempatan untuk ekspresi seksual. Bila laki-laki membangun kehidupan dengan perempuan yang diberi makanan dan kesempatan hidup lainnya, maka laki-laki dapat mengharapkan hubungan seksual. Implikasi lebih lanjut dari peran gender antara laki-laki dan perempuan membawa pada pengembangan trait tertentu yang didistribusikan secara berbeda. Jika perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anak, mereka mengembangkan trait pengasuhan (nurturance). Selanjutnya, perempuan yang masih lemah setelah melahirkan membutuhkan bantuan untuk merawat anak-anak lainnya. Konsekuensinya, perempuan mengembangkan hubungan positif dengan perempuan lain seperti saudara perempuannya, saudara ipar, sepupunya untuk merawat anak-anaknya. Keadaan ini membawa trait pada kepekaan hubungan (relatedness). Demikian halnya, laki-laki yang pergi mencari nafkah/makanan, juga mengembangkan trait tertentu yaitu agresivitas dan ketrampilan dalam hal kepemimpinan dan tanggungjawab (diperlukan untuk melindungi keluarga) serta status dalam komunitasnya. Kombinasi hal-hal tersebut, membuat laki-laki akan nyaman dalam suatu hubungan dengan perempuan yang melibatkan dominasi daripada kesetaraan. Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya memunculkan satu tuntutan universal yang mendapat dukungan dalam proses sosialisasi yaitu bahwa laki-laki harus kuat, percaya diri, dominan, independen, sedangkan di lain sisi perempuan mempunyai sifat pengasuhan, orientasinya pada suatu hubungan. Pada akhirnya ada beberapa perilaku yang dilazimkan harus dimiliki oleh jenis kelamin tertentu, seperti: 1. Agresivitas milik laki-laki. Dalam beberapa budaya, laki-laki disosialisasikan berperilaku lebih agresif daripada perempuan. Bobby Low (1989) meneliti tentang agresivitas laki-laki yang dihubungkan dengan kompetisi untuk menarik perhatian perempuan. Agresivitas memiliki keuntungan karena untuk mendapatkan sumbersumber dalam masyarakat seperti kekayaan, status dan barang-barang. Menurut Murdock (1981) sebagian besar masyarakat di dunia menganut sistem perkawinan 5

poligini. Dalam system ini agresivitas sangat dihargai dan anak laki-laki disosialisasikan untuk bereperilaku agresif. Meski demikian hasil penelitian Idrus (2000) menemukan temuan menarik yang mengindikasikan bahwa perempuan memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi dibanding laki-laki. 2. Pengasuhan/Nurturance dan kepatuhan didominasi perempuan. Bila laki-laki agresif, maka sifat pengasuhan dan patuh yang disosialisasikan bagi perempuan. Dalam banyak budaya, perempuan dituntut memiliki sifat kepatuhan yang tinggi -- terutama kepatuhan terhadap suaminya dan orang tua mereka--. Secara eksplisit dalam budaya muncul idion swargo nunut, neroko katut (ke surga ikut, ke neraga turut). Idiom ini secara tidak langsung mengkonstruksi fenomena masyarakat tersebut betapa isteri (perempuan) harus mengikuti gerak yang dilakukan suami, bahkan untuk persoalan yang sakral-pun harus merelakan dengan tingkat kepatuhan yang dalam. Pada sisi lain, untuk banyak budaya kepatuhan penting bagi laki-laki karena perempuan yang memiliki sifat ini akan mengikuti aturan-aturan umum sehingga menguatkan dominasi laki-laki. Pada sisi ini, terlepas dari jenis kelaminnya, tampaknya secara psikologis orang yang berposisi di atas, menghendaki tingkat kepatuhan yang tinggi daripara bawahannya, demi menjaga kekuasaan yang dimilikinya. 3. Tingkat aktivitas tinggi milik laki-laki. Laki-laki mempunyai tingkat aktivitas yang tinggi daripada perempuan, sejak kecil disosialisasikan dalam bentuk-bentuk permainannya, Mereka banyak melakukan kegiatan di luar rumah, macam permainannya seperti sepak bola, basket dan banyak aktivitas lainnya yang menuntut banyak gerak dan berada di luar rumah. Sementara itu perempuan dicirikan dengan permainan-permainan yang sedikit sekali memerlukan tenaga, seperti bermain pasar-pasaran. Pada akhirnya jika ada anak perempuan yang melakukan aktivitas seperti anak laki-laki, lingkungan sekitarnya akan "mencibirkannya", dan kita biasa memberinya julukan sebagai tomboy. 4. Perempuan ditengarai memiliki tingkat perhatian yang tinggi atas relasi (hubungan) dibanding dengan laki-laki. Sifat tersebut berkaitan dengan kondisi perempuan yang lemah setelah proses kelahiran anaknya dan adanya tuntutan untuk mengasuh, 6

merawat anak-anaknya, yang pada akhirnya peempuan mengembangkan dan memelihara hubungan baik. Hal ini sangat dibutuhkan perempuan untuk menjaga (secure) bila perempuan mendapatkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan pengasuhan anak. Meski dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara lakilaki dan perempuan, namun senyampang aktivitas tersebut tidak terkait dengan kondisi biologis jenis kelamin, maka sebenarnyalah dapat terjadi tukar peran antara jenis kelamin yang berbeda. Kondisi inilah yang tampak belum secara arif dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya pada akhirnya menguatkannya dan menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga pada akhirnya, akan terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang menggendong anaknya, sementara sang ibu berjalan lenggang, atau sulit terjadi dalam teks-teks buku bahasa Indonesia dicontohkan perilaku seperti, ibu membaca koran, ayah memasak di dapur. Padahal kondisi itu telah secara empirik ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum banyak. Pada akhirnya disadari bahwa budaya memainkan peran penting dalam kontruksi gender seseorang. Beberapa contoh hasil temuan penelitian menungkap begitu besarnya peran budaya pada konstruksi gender yang dimilliki seseorang. Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (1974) bahwa laki-laki lebih baik dalam bidang matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran sementara perempuan lebih baik dalam hal tugas-tugas yang berkaitan dengan pemahaman verbal. Perbedaan tersebut ditunjukan setelah melalui serangkaian tes masuk pada sekolah dasar, sampai perguruan tinggi. Namun, beberapa kemudian Berry (dalam Matsumoto, 1966) tidak menemukan adanya perbedaan spasial antaar laki-laki dan perempuan dalam budaya suku bangsa Inuit di Kanada. Menurut Berry, perbedaan gender tidaklah ada karena kemampuan spasial merupakan adaptasi yang baik/tinggi untuklaki-laki dan perempuan dalam budaya Inuit. Anak laki-laki dan perempuan Inuit mempunyai latihan dan pengalaman yang cukup banyak untuk mengembangkan perolehan dalam hal kemampuan spasial. 7

Dalam penelitian sebelumnya Berry dan teman-temannya (dalam Matsumoto, 1996) menemukan bahwa, superioritas laki-laki pada spasial tertentu banyak ditemukan dalam budaya yang ketat atau relatif homogen, agrikultur, sementara spasial perempuan banyak ditemukan dalam budaya terbuka, nomadic dan masyarakat pengumpul dan peramu. Dalam budaya tersebut, peran yang diberikan (roles ascribed ) bagi laki-laki dan perempuan berlaku secara relatif fleksibel, sebagaimana anggota suatu budaya membentuk variasi tugas-tugas yang berkaitan dengan kelangsungan hidup kelompok. Merujuk pada budaya yang di Indonesia, tampak ada perbedaan peran gender antara suku bangsa yang ada. Sebagai misal beberapa suku di tanah Sumatra memposisikan perempuan begitu tinggi, sementara suku lainnya justru sebaliknya. Begitu juga yang terjadi di Jawa, Kalimantan, ataupun daerah-daerah lainnya di Indonesia. Secara umum sistem patrilinial lebih dominan dibanding matrilinial, yang secara tidak langsung memposisikan jenis kelamin tertentu memiliki kontruksi sosial yang lebih tinggi dibanding jenis kelamin lainnya. Pada giliran selanjutnya, posisi tersebut menentukan peran jenis yang akhirnya terbentuklah konstruksi gender sebagaimana saat ini ada. ASPEK PSIKOLOGIS PEMBEDA KONSTRUKSI GENDER Seperti telah diungkap di atas, ada beberapa perilaku psikologis yang ditengarai hanya dimiliki oleh jenis kelamin tertentu, dan tentu saja kontruksi ini memiliki bias gender. Sebab, pada dasarnya jika perilaku tersebut bukan karena kondisi biologis yang memnyebabkannya harus seperti itu, maka nuansa bias gender sebagai hasil kontruksi budaya mewarnai pemikiran di atas. Beberapa aspek psikologis tersebut antara lain: perceptual/spatial/kemampuan kognitif, konformitas dan kepatuhan serta agresivitas. Kembali merujuk pada tulisan Maccoby dan Jacklin (1974) yang mengungkap bahwa laki-laki diindikasikan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam bidang matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran dibandingkan perempuan, sementara kelebihan perempuan lebih baik dalam hal tugas-tugas yang berkaitan 8

dengan pemahaman verbal. Barangkali hal inilah yang kerap menjadikan adanya ucapan verbal yang sangat khas, yaitu perempuan kerap mengungkap " saya rasa...", sementara laki-laki untuk mengungkap apa yang dirasa dengan kalimat "saya pikir...". Hingga pada akhirnya orang menyebut laki-laki lebih sering menggunakan akal dan pikirannya, sementara perempuan menggunakan rasa afeksinya. Lantas, apakah hal ini keliru? Tampaknya kita harus melirik konsep yang diajukan oleh Goleman tentang kecerdasan emosional. Jika pada beberapa dekade lalu di banyak negara, tes kecerdasan (tes IQ) menentukan mungkin tidaknya seseorang memasuki dunia pendidikan tinggi, atau dunia kerja. Namun belakangan, tes IQ ini mendapat kritik yang cukup tajam, terlebih dari hasil penelitian yang dikemukakan oleh Daniel Goleman yang menyatakan bahwa IQ bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan seseorang dalam kehidupannya, bahkan secara fantastik Goleman menyebut bahwa kecerdasan hanya menentukan 20 % dalam keberhasilan seseorang, sedangkan sisanya 80 % ditentukan oleh kelas dalam kehidupan, kecerdasan emosi, dan lain-lain. Kritik tajam ini jelas mengharuskan kalangan psikolog untuk secara cermat kembali mengevaluasi tentang alat tes IQ tersebut (Idrus, 1999a) Lalu apa kaitannya dengan tema ini, hal tersebut secara tidak langsung mengindikasikan betapa kecerdasan kognitif yang dicirikan dengan tingginya skor IQ dari hasil tes IQ tidak menjamin keberhasilan kehidupan seseorang di masa datang. Justru kemampuan afeksi sebagai wujud kecerdasan emosional lebih merupakan harapan akan kesuksesan masa depan. Artinya, selama ini masyarakat kita keliru yang mengagungkan kognisi saja, sementara mengabaikan sisi afeksi (rasa). Aspek lain yang juga kerap menjadi pembeda psikologis laki-laki dan perempuan dalam konstruk budaya adalah konformitas dan kepatuhan. Dalam pandangan masyarakat secara umum, perempuan dicirikan lebih memperlihatkan sikap patuh dan mengikuti norma yang berlaku dalam suatu masyarakat dibandingkan lakilaki. Hal ini berkaitan dengan pandangan tradisional bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan utama, sedangkan peran perempuan lebih banyak mengurus anak dan rumah tangga. Dengan demikian, perempuan diharapkan untuk konform atas keputusan yang dibuat oleh laki-laki atau masyarakat. 9

Persoalan yang menarik dan harus ditanyakan adalah, apakah kepatuhan itu hanya keharusan miliki kelompok perempuan? Tentunya jawaban pertanyaan ini adalah tidak. Artinya, apapun jenis kelaminnya harus ada rasa kepatuhan pada hal-hal yang memang layak dipatuhi. Konform atas satu keputusan yang disepakati bersama merupakan keharusan bagi siapa saja yang ada dalam komounitas tersebut tanpa melihat sisi jenis kelainnya. Stereotipi gender lain yang berkembang adalah bahwa laki-laki lebih agresif daripada perempuan. Untuk kasus yang terakhir terjadi debat yang menarik apakah agresivitas ini dipengaruhi jenis kelamin, meski banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa anak lelaki dinilai lebih agresif dibanding anak perempuan (Steward, & Koch, 1983; Hall, & Lindzey, 1981; White, 1983; Maccoby & Jacklin, 1974; Wimbarti, 1997; Ferver, dkk., 1997; Campbell, 1993; Brislin, 1993), namun tak kurang juga yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak lelaki dengan anak perempuan dalam perilaku agresif (Pulkkinen, & Pitkanen, 1993; Harris, 1992), atau justru memposisikan perempuan memiliki tingkat agresivitas lebih tinggi dibanding laki-laki, meski untuk jenis agresivitas tertentu (Idrus, 2000). Dalam penelitiannya Feshbach (dalam Tilker, 1975) menemukan bahwa anak laki-laki mengeksperesikan sikap agresif secara fisik, anak perempuan melalui kata, membantah, gosip, serta bentuk penolakan yang halus yang mengandung dorongan agresif. Winder, Row, & Eron (dalam Johnson & Medinnus, 1974) meneliti anak dan remaja menyatakan bahwa anak laki-laki sering menunjukkan tingkah laku agresif daripada anak perempuan, sedang sumber agresivitas anak laki-laki kemungkinan berasal dari keadaan biologisnya, Kartono (1974) menyatakan bahwa perempuan lebih bersifat emosional dalam merespon sutau stimulus dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga ada perbedaan kedenderungan pada bentuk-bentuk agresivitas tertentu antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mungkin cenderung pada agresivitas yang sifatnya fisik, sedangkan perempuan mungkin lebih cenderung pada agresivitas yang sifatnya emosional (verbal). 10

Green (dalam Tilker, 1975) perbedaan tingkah laku agresif antara laki-laki dan perempuan mungkin disebabkan oleh meningkatnya sextyping dan penguat teman sebaya. Bagi perempuan tingkah laku agresif merupakan celaan, bagi anak laki-laki hal tersebut merupakan kebanggaan dan dapat diterima. Selain itu tampaknya temuan Tilker (1975) yang menyatakan bahwa dalam budaya AS membolehkan anak laki-laki untuk bertindak lebih agresif daripada anak perempuan, anak laki-laki didorong dan ditolerir untuk bertindak agresif dan mendapat penguat. Eron, dkk (dalam Steward & Koch, 1983) anak perempuan kurang agresif dibanding anak laki-laki, Ini disebabkan anak perempuan lebih mengidentifikasi dirinya terhadap orang tuanya dan menerima norma orang tuanya ke dalam dirinya. Jika merujuk pada temuan Tilker dan Eron di atas, tampaknya unsur budaya secara tidak langsung juga memainkan peranan penting dalam mengkonstrukski perilaku agresif di kalangan anak. Setidaknya hal tersebut dapat dicermati dari paparan Berry, et al. (dalam Matsumoto, 1996) bahwa budaya memainkan peranan penting dalam membentuk sikap agresif seseorang, bahkan Maslow secara tegas menyatakan bahwa agresi bersifat kultural (Maslow dalam Goble, 1987). Hal senada juga diungkap oleh Rohner (dalam White, 1983) menyatakan bahwa perbedaan agresi laki-laki dan perempuan hanya tipis namun konsisten. Perbedaan ini kemudian diakumulasikan dalam lingkup lintas budaya sehingga akhirnya terbentuk opini lakilaki lebih agresif. Kondisi-kondisi tersebutlah yang mungkin menjadikan anak laki-laki dimitoskan lebih bersifat agresif dibanding anak perempuan. (edit &finishing by M.Idrus August2000) 11

Daftar Pustaka Archer, J., Parker, S. (1994). Social representations of aggression in children. Aggresive Behavior,20: 101-114. Brislin, R. (1993). Understanding culture's influence on behavior. Forth Worth: Harcourt Brace. Campbell, Anne., Muncer, S., Gorman, B., (1993). Sex and social representation of aggression: A communal-agentic analysis. Aggresive Behavior, 19: 125-135 Echols, John. M. dan Hassan Shadily. 1976. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender & dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Farver, Jo A. M., Wellew-Nystrom, B., Frosch, D. L., Wimbarti, S., (1997). Toy stories: Aggression in children s narratives in the United States, Sweden, Germany, and Indonesia. Journal of Cross-cultural Psychology, 28: 393-420 Hall, C.S., & Lindzey, G., (1981). Theories of personality, 3 th ed. New York: John Wiley and Sons. Harris, M. B., (1992). Sex, race, and experiences of aggression. Aggresive Behavior, 18: 201-217. Idrus, Muhammad. (1997). Otonomi Moral Keagamaan Mahasiswa Fakultas Tarbiyah UII. Tesis. Tidak diterbitkan. PPS IKIP Yogyakarta..(1999a). Kecerdasan dan Budaya. Makalah dipresentasikan dalam seminar kelas Program Doktor UGM. (Tidak diterbitkan)..(1999b). Konsep dan Tehnik analisis Jender. Makalah dalam Pelatihan Metode Penelitian Berpersfektif Jender di Lembaga Penelitian UII Yogyakarta 20 Nopember 1999.. (2000). Pengaruh jenis Kelamin Terhadap Perilaku Agresif: Suatu Kajian Meta-Analisis. Laporan Penelitian (dalam proses pelaporan). Johnson, R.S. & Meddinnus, G.R., (1974). Child psychology behavior and development. New York: John Wiley and Sons. Kantor Menteri Negara UPW. 1997. Petunjuk Penyusunan Perencanaan Pembangunan Berwawasan Kemitrasejajaran dengan Pendekatan Jender. Jakarta: Kantor Men.UPW. Kartono, K., (1974). Teori-teori kepribadian dan mental hygiens. Bandung: Alumni Maccoby, E. & Jaclin, c. 1974. The psychology of sex differences. Stanford: Stanford University. Matsumoto, D. (1996). Culture and psychology. Padific Grove: Brooks/Cole Publishing Company. Pulkkinen, L., Pitkanen, T. (193). Continuities in aggressive behavior form children to adulthodd. Aggresive Behavior,19: 249-263. Steward, A.C & Koch, J.B. (1983). Children development through addolesence. New York: John Wiley & Sons Inc. Sugiah, Siti. 1995. Konsep Jender dalam Program Pembangunan Makalah Pelatihan Metodologi Studi Jender dan Pembangunan, IPB Bogor. Tilker, H.A., (1975). developmental psychology today. 2 nd ed. New York: Random Hause, Onc. White, J.W., (1983). Sex and gender issues in aggression research. dalam Geen., R.G. and donnerstein, G.I. (Eds). Aggression: Theoritical and empirical reviews. London: Academic Press Inc. Ltd. 12

Wimbarti, S. (1997). Child-rearing practices and temperament of children: are they really determinants of children s aggression?. Psikologika, 2, II: 5-17. 13