BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terbiasa dengan perilaku yang bersifat individual atau lebih

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN ASERTIVITAS DENGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA. Skripsi

Tri Windha Isnandar F

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan.

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jadi masih mengandung kemiskinan dimana-mana, baik di kota maupun di desa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan,

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN INTENSI ALTRUISME PADA SISWA SMA N 1 TAHUNAN JEPARA

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Anak jalanan yang banyak diketahui adalah anak yang mengais rejekinya dari

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

RPJMD Kab. Temanggung Tahun I X 101

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa. bantuan orang lain dan terjadi ketergantungan juga

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. jalan maupun di berbagai tempat umum. Padahal dalam Pasal 34 Undang-Undang

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

Dr. Alamsyah, M.Hum. Drs. Sugiyarto, M.Hum

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku altruistik adalah salah satu dari sisi sifat manusia yang dengan

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan

I. PENDAHULUAN. ekonomi merosot hingga minus 20% mengakibatkan turunnya berbagai. jumlah masyarakat penyandang masalah sosial di daerah perkotaan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. positif pula. Menurut Ginnis (1995) orang yang optimis adalah orang yang merasa

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. individu yang menjalani kehidupan didunia ini. Proses seorang individu dalam

I. PENDAHULUAN Sebagai ibukota negara, Jakarta telah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. data-data keluarga sejahtera yang dikumpulkannya. Menurut BKKBN yang

BAB I PENDAHULUAN. memberikan perhatian yang nyata untuk kesejahteraan orang lain, dan merasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekaligus menggiring manusia memasuki era globalisasi ini, agaknya memiliki

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia saat ini mudah dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan. martabat kemanusiaan (Sinegar, UUD 1945: 31).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada umumnya keteraturan, kedamaian, keamanan dan kesejahteraan dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing lagi melihat anak-anak mengerumuni mobil-mobil dipersimpangan lampu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menggambarkan budaya bangsa. Kalau buruk cara kita berlalu lintas maka

BAB I PENDAHULUAN. banyak masalah sosial yang ada sampai saat ini, pengemis adalah masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk. dasarnya ia memiliki ketergantungan. Inilah yang kemudian menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjelang pergantian tahun 2004, Indonesia dirundung bencana. Setelah

BAB II LANDASAN TEORI. tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain. A.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Menolong

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan masyarakat. Keberagaman tersebut mendominasi masyarakat dan

BAB IV DESKRIPSI SETTING PENELITIAN

Perda No.31 / 2004 Tentang Pembentukan,Kedudukan,Tugas,Fungsi, SOT Dinas Sosial Kab. Magelang PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 31 TAHUN 2004

2015 INTERAKSI SOSIAL ORANG D ENGAN HIV/AID S (OD HA) D ALAM PEMUD ARAN STIGMA

BAB I. A. Latar Belakang Masalah. untuk mendirikan bangunan sehingga sangat banyak bangunan yang di padati oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. aman belajar bagi dirinya sendiri, sekaligus bagi siswa lain yang berada di

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR : 6 TAHUN 2003 TENTANG LARANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMISAN SERTA PRAKTEK SUSILA DI KOTA MEDAN WALI KOTA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep negara

ANALISIS KEBIJAKAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEK PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PADA PEMBANGUNAN NASIONAL DI KAB.

Target Tahun. Kondisi Awal Kondisi Awal. 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 0,12 Program pengadaan, peningkatan dan penduduk (tiap 1000 penduduk

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah sebuah permasalahan yang diyakini dapat menghambat cita-cita bahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses hidup, manusia selalu membutuhkan orang lain mulai dari lingkungan

OPTIMISME HIDUP PENYANDANG KUSTA DI DUSUN NGANGET TUBAN JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BUPATI SIDOARJO PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. tertinggi di Asia Tenggara. Hal itu menjadi kegiatan prioritas departemen

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 44 TAHUN 2012 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan cenderung menutup diri dari lingkungannya. Pandangan masyarakat yang

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

KETENAGAKERJAAN DINAS TENAGA KERJA, TRANSMIGRASI, DAN SOSIAL Jumlah (Rp) Anggaran Setelah Perubahan

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian Negara Republik

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri,

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan.

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di

BAB I PENDAHULUAN. sosial lainnya. Krisis global membawa dampak di berbagai sektor baik di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial

DOKUMEN PELAKSANAAN PERUBAHAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2017

BAB I PENDAHULUAN. kasih sayang, dan perlindungan oleh orangtuanya. Sebagai makhluk sosial, anakanak

KERTAS KEBIJAKAN. Evaluasi Rancangan Perda Mengenai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Kalimantan Utara. Permasalahan Mendasar

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak manusia lahir, manusia telah hidup dengan orang lain. Mereka saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Sebagai contoh, saat manusia dilahirkan ke dunia, mereka membutuhkan bidan atau dukun beranak untuk membantunya keluar dari rahim ibunya. Dari dasar kebutuhan dan ketergantungan inilah manusia memiliki dorongan yang kuat untuk berinteraksi dengan orang lain. Berinteraksi dengan lingkungan adalah salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan manusia untuk bertahan hidup (Soekanto, 1982). Dari interaksi antar manusia tersebut, maka ada proses simpati yang merupakan sebuah proses saat seseorang tertarik pada orang lain untuk suatu keperluan. Misalnya, saat seseorang simpati pada orang yang terlihat sedang kesulitan, maka seseorang tersebut akan membantunya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Perilaku inilah yang biasa disebut dengan perilaku prososial (Baron dan Byrne, 2005) Menurut asusmsi penulis, perilaku prososial biasa muncul pada orang yang mampu, atau dari golongan orang dengan kondisi keuangan menengah keatas. Mereka memungkin untuk mengeluarkan uang atau hartanya untuk membantu orang lain. Posisi mereka sebagai orang yang lebih superior juga akan selalu diminta bantuannya untuk membantu orang yang membutuhkan. Lalu bagaimana orang yang berada dibawah dengan kondisi ekonomi rendah dan posisi inverior mereka, misalnya pengemis. Menurut Departemen Sosial (2006), mengemis merupakan sebuah pekerjaan untuk mendapat belas kasihan dari orang lain dengan menampilkan kondisi yang sangat memprihatinkan agar orang lain merasa iba. Kondisi memprihatinkan ini

2 biasanya ditampilkan dengan berpakaian lusuh oleh seseorang yang tua renta atau cacat fisik, atau oleh perempuan sambil menggendong anak balita yang malang dan sangat memprihatinkan serta membutuhkan pertolongan pangan dan sandang. Jadi, dari pekerjaan meminta dan mengiba (mengemis) seperti ini membuat seseorang akan selalu bergantung pada orang lain karena selalu mendapat pertolongan dari orang lain. Dari Departemen Sosial (2006), pengemis biasanya juga penyandang masalah kesejahteraan ganda. Selain pengemis mereka merupakan penyandang cacat, lanjut usia terlantar, anak terlantar, penderita penyakit kronis seperti kusta dan tentunya fakir miskin Mengemis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang serba kekurangan dari segi fisik dan materi, tetapi banyak juga ditemukan pengemis yang masih muda dan kuat. Mereka lebih memilih menjadi pengemis dibanding menjadi pekerja. Penghasilan sebagai pengemis cukup besar bahkan jauh lebih besar dibandingkan jika mereka bekerja sebagai buruh tani atau pekerjaan lainnya (Departemen Sosial, 2006). Dari PMKS DEP-SOS RI tahun 2004, jumlah pengemis di Indonesia mencapai angka 28.305 jiwa. Jumlah pengemis tidak dapat disebutkan secara pasti karena setiap waktu mengalami peningkatan. Misalnya jumlah pengemis di kota Bandung pada tahun 2000, sekitar 100 jiwa dan di tahun 2010 bertambah menjadi 459 jiwa (Antara JABAR, 2010). Dari Dinas Kesejahteraan Sosial kota Surakarta, yaitu 300 orang tahun 2002, 300 orang tahun 2003, 400 orang tahun 2004 dan 505 orang tahun 2005 dan terus meningkat dari tahun ke tahun (Moh. Soeharsono, Berita Jawa Pos, 2005). Pada tahun 2005, Pemerintah Daerah Kota Badung sudah mengeluarkan peraturan larangan beredarnya pengemis dan gelandangan di jalanan demi ketertiban, kebersihan dan keindahan kota. Dalam Pasal 15 Perda K3 tersebut disebutkan, pemerintah daerah melakukan penertiban terhadap tuna susila, anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan tuna wisma. Pemda juga mengupayakan

3 pemulangan tuna wisma, pengemis, pengamen, tuna susila, dan orang telantar dalam perjalanannya ke daerah asalnya. Dalam praktiknya, penertiban pengemis ini baru mulai gencar dilakukan pada akhir tahun 2013. Menurut hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap seorang pengemis yang biasa bekerja di bawah jembatan Pasteur-Surapati, ia terpaksa melakukan pekerjaan ini demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Rata-rata penghasilannya Rp. 20.000,00 perhari, Pengemis tersebut berpendapat bahwa, dirinya tidak memiliki keahlaian apapun untuk bekerja, sedangkan untuk memulai usaha, ia tidak memiliki modal. Pengemis tersebut juga menyebutkan bahwa, ia tinggal bersama dengan para pengemis lainnya dalam suatu kontrakan di daerah Sukajadi, dan mereka hidup saling berbagi disana. Berdasarkan penelitian sebuah lembaga survey di Jakarta, pendapatan bruto mereka antara Rp. 50.000,- sampai dengan Rp. 100.000,- perhari (Jawaposonline, 2006). Dalam perkembangannya, banyak sekali pengemis yang ditemukan memiliki penghasilan yang cukup besar. Ditulis oleh Hutajulu (dalam Okezone.com, 2013), Dinas Sosial Jakarta Selatan pernah menemukan pengemis yang mengantongi uang sejumlah Rp. 3.500.000,00 dari hasil mengemis selama 10 hari. Kasus ini adalah satu dai banyak kasus pengemis dengan penghasilan yang cukup besar. Di penampilan yang mereka tampakkan dalam mencari uang sungguh memperhatinkan dan membuat orang lain iba sehingga orang-orang tersebut ingin mendermakan uang mereka kepada pengemis. Padahal banyak pengemis yang sebetulnya hidup makmur, namun ada juga yang hidup dalam kemiskinan. Dalam penelitian Habibullah (2010) mengenai konsep diri pengemis di PSBK kota Bekasi, sebanyak 57% pengemis memiliki konsep diri yang baik. Konsep diri ini termasuk dalam beberapa aspek yaitu mempunyai penilaian baik terhadap fisik diri sendiri, kondisi psikis, penilaian yang baik terhadap interaksi sosial dengan individu lain dan lingkungannya, hubungan yang baik dengan Tuhan, penilaian yang baik tentang sesuatu yang dianggap baik dan tidak baik, dan

4 perasaan dan penilaian yang baik terhadap seorang individu sebagai anggota keluarga. Dalam penelitian Koswara (2009), bagi mereka yang memiliki konsep diri yang buruk, mereka memiliki perasaan-perasaan malu dan terhina atas pekerjaan mereka sebagai pengemis yang dianggap sampah masyarakat dan penyandang masalah sosial oleh masyarakat. Perilaku prososial pada dasarnya ada pada setiap manusia, hal ini terjadi karena naluri alamiah sebagai makhluk yang saling membutuhkan tidak akan dapat dihilangkan dari diri manusia. Rasa ketergantungan seperti kebutuhan untuk dibantu ketika musibah muncul secara spontan tanpa bisa dibendung (Baron dan Byrne, 2005). Menurut Limyati (dalam Suara Pembaharuan, 2007), keikutsertaan seseorang dalam memberikan bantuan didasari oleh berbagai alasan. Secara sadar ataupun tidak, selain demi kebaikan orang lain, seseorangpun memperoleh keuntungan dari pertolongan yang diberikannya, juga mendapatkan kepuasan tersendiri dalam dirinya. Perpaduan kepuasan dan pengorbanan yang dilakukan oleh pemberi pertolongan ini terjadi baik pada tindakan yang relatif aman seperti membantu orang menyebrang atau tindakan yang berbahaya sekalipun seperti menolong orang asing yang tenggelam (Baron dan Byrne, 2005). Menurut Papilaya (dalam Asia, 2008), saat ini dalam masyarakat umum, perilaku prososial sudah jarang ditemui. Orang sudah tidak mau lagi berkorban untuk meringankan beban orang lain. Misalnya, dalam bus yang sesak, seorang ibu hamil yang tidak mendapatkan tempat duduk, dibiarkan saja berdiri bedesakdesakkan dengan orang-orang yang berdiri. Menurut Hamidah (dalam Asia, 2008), manusia cenderung egois dan berbuat sesuatu untuk mendapatkan suatu imbalan (materi). Sikap ini menimbulkan ketidakpedulian terhadap lingkungan sosialnya. Dampaknya terutama di kota-kota besar, orang menampakkan sikap materialistik, acuh pada lingkungan sekitar dan cenderung mengabaikan norma-norma yang tertanam sejak dulu. Jadi, perilaku prososial tidak memandang bulu bagi siapa saja

5 yang melakukan, baik kaya ataupun miskin, asalkan orang tersebut memiliki kepeduli pada lingkungan. Menurut Staub (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2006). terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, seperti, self-gain yaitu harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan. Faktor selanjutnya adalah empati, seperti hubungan antara besarnya empati dengan kecenderungan menolong. Hubungan antara empati dengan perilaku menolong secara konsisten ditemukan pada semua kelompok umur. Ketika melihat suatu kejadian yang membutuhkan pertolongan orang dihadapkan pada dilema menolong atau tidak menolong. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan untuk menolong atau tidak menolong adalah biaya untuk menolong dibanding biaya tidak menolong. Pertimbangan ini meliputi situasi saat terjadinya peristiwa, karakteristik orangorang yang ada di sekitar, karakteristik orang yang akan ditolong, dan kedekatan hubungan antar orang yang akan ditolong dengan penolong. Latar belakang kepribadian juga menjadi faktor dalam perilaku prososial, misalnya individu yang mempunyai orientasi sosial yang tinggi cenderung lebih mudah memberi pertolongan, demikian juga orang yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi Menurut asusmsi penulis, pada fenomena pengemis ini, pekerjaan mereka sebagai pengemis ini menuntut orang lain untuk berperilaku prososial. Dalam keadaan yang lusuh, cacat, membawa bayi, dan tidak berdaya akan membangkitkan empati orang lain. Dengan kondisi memprihatinkan seperti itu, orang lain akan mempersepsikan kondisi mereka itu sebagai kondisi darurat, kemudian mereka akan memberi pertolongan. Dari fenomena ini, maka timbul pertanyaan bagaimana pengemis berperilaku prososial. Pemberian pertolongan secara terus-menerus kepada pengemis, tentu akan mempengaruhi perilaku prososial pada pengemis. Individu yang sering mendapatkan pertolongan, dan pertolongan tersebut dijadikan sebagai cara untuk mencari nafkah, akan menimbulkan dua kemungkinan dalam

6 dalam berperilaku prososial. Mungkin mereka akan memiliki perilaku prososial yang baik karena mereka beranggapan bahwa mereka selalu ditolong maka mereka juga harus menolong atau mereka kurang memiliki perilaku prososial karena menganggap dirinya juga dalam kondisi tidak berdaya yang perlu dibantu. Di sisi lain, banyak dari mereka yang memiliki penghasilan yang cukup besar dari pekerjaan mengemis dan memiliki konsep diri yang baik, yang seharusnya dapat mencegah diri mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut. B. Fokus Penelitian Berdasarkan apa yang telah dicantumkan dalam latar belakang masalah, penelitian ini difokuskan pada perilaku prososial pengemis. Hal ini mencakup bagaimana bentuk dan kesediaan mereka dalam membantu, menolong, serta menyejahterakan orang lain, motif dan faktor-faktor yang mempengaruhi mereka dalam berperilaku prososial C. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini bertujuan untuk memfokuskan kajian, sehingga mempermudah proses pengambilan data dan pelaporan hasil penelitian. Penelitian ini berfokus pada perilaku prososial pada pengemis. Perilaku prososial merupakan tindakan menolong orang lain tanpa menyediakan suatu keuntungan bagi penolong bahkan akan melibatkan suatu resiko bagi penolong. Hal ini mencakup bagaimana kesediaan mereka dalam membantu, menolong, dan menyejahterakan orang lain dengan tulus, tanpa meminta imbalan meskipun berresiko pada dirinya. Sebagai berikut pertanyaan penelitian: 1. Bagaimanakah gambaran perilaku prososial pada pengemis dilihat dari kesediaan mereka dalam membantu, menolong, dan menyejahterakan orang lain?

7 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perilaku prososial pada pengemis? D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui gambaran perilaku prososial pada pengemis dilihat dari kesediaan mereka dalam membantu, menolong, dan menyejahterakan orang lain. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial pada pengemis. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis. Manfaat teoritis yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah untuk memperkaya teori mengenai perilaku prososial, khusunya perilaku prososial pada pengemis. Sementara itu, manfaat praktis yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membantu pihak pekerja sosial untuk memberi gambaran perilaku prososial pengemis sebagai acuan dalam pemberdayaan pengemis. 2. Bagi masyarakat luas, memberi gambaran perilaku prososial pengemis agar memacu mereka melakukan perilaku prososial dengan lebih baik lagi. 3. Bagi responden, memberikan gambaran umum tetang perilaku prososial dengan tujuan untuk meningkatkan konsep dirinya. F. Struktur Organisasi Skripsi

8 berikut: Struktur organisasi skripsi dari Bab I sampai Bab V dapat dijelaskan sebagai 1. Bab I Pendahuluan, berisi mengenai uraian latar belakang mengapa perilaku prososial pengemis di Kota Bandung menjadi topik dalam penelitian ini. Selanjutnya dalam Bab ini dijelaskan fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta struktur organisasi skripsi. 2. Bab II Kajian Teori, berisi tentang konsep perilaku prososial dan pengemis. Hal ini akan memberi pandangan awal pada pembaca mengenai perilaku prososial dan pengemis yang akan dibahas di Bab berikutnya. 3. Bab III Metode Penelitian, berisi mengenai metode yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini berupa penjelasan rinci mengenai desain penelitian, definisi operasional, metode pemilihan subjek dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data, teknis analisis data dan pengujian keabsahan data. 4. Bab IV Hasil Penelitian, berisi tentang pemaparan hasil dan pembahasan mengenai perilaku prososial pada pengemis di Kota Bandung sebagai sebuah temuan dari penelitian ini. 5. Bab V Kesimpulan dan Saran, berisi tentang uraian kesimpulan dari hasil pembahasan dan saran bagi pihak-pihak yang berkaitan dalam penelitian ini.