BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan di bidang perekonomian memiliki tujuan mencapai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

S U M B E R P E N E R I M A A N N E G A R A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MAKRO YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PEMERINTAH DARI CUKAI HASIL TEMBAKAU OLEH SRI BAHADURI M E TAMBUNAN H

Keuangan Negara dan Perpajakan. Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara

Jenis Penerimaan & Pengeluaran Negara. Pertemuan 4 Nurjati Widodo, S.AP, M.AP

FASILITAS PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KANTOR PELAYANAN BEA DAN CUKAI PANARUKAN LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.437, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Cukai. Hasil Tembakau.

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (7) Undan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

BAHAN MATERI MATA PELAJARAN EKONOMI DAN BISNIS KOMPETENSI DASAR KETENTUAN PERPAJAKAN KELAS XI AP TAHUN PELAJARAN 2014/2015

1 of 5 21/12/ :02

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

ekonomi K-13 PERPAJAKAN K e l a s A. PENGERTIAN PAJAK Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

Hukum Pajak. Ciri-Ciri Pajak (Pertemuan #3) Semester Genap

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. pada sensus penduduk yang dilakukan pada 1 Mei 15 Juni 2010 tercatat paling

Makalah Penerimaan Negara

IMPORTASI BARANG KENA CUKAI

PENERIMAAN NEGARA. Kelompok 4 Opissen Yudisyus Muhammad Nur Syamsi Desyana Enra Sari LOGO

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN KONSUMSI

181/PMK.011/2009 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. peraturan perundang-undangan tanpa imbalan jasa secara langsung untuk. membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

BAB 1 BUKU SAKU PERPAJAKAN BAGI UMKM

KAJIAN KEBIJAKAN CUKAI ETIL ALKOHOL DAN MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL TAHUN 2014

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755]

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-46/BC/2010 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 ketentuan Umum dan Tata

Peran Pemerintah dalam Perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tahun 2009 dalam pasal 1 angka 1, sebagai berikut

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Lebih dari 100 jenis tembakau dihasilkan di Indonesia. Dari sekitar 200 juta kilogram

PER - 7/BC/2011 TATA CARA PEMUNGUTAN CUKAI ETIL ALKOHOL, MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL, DAN KONSEN

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

Analisis penerimaan dan potensi cukai pada. kantor pelayanan bea dan cukai tipe a. Surakarta periode Disusun oleh:

BAB I PENDAHULUAN. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor P3 dan Bea Meterai.

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ekonomi dan Bisnis Akuntansi

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam naungan

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP- 16 / BC / 1998 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU

BAB II URAIAN TEORITIS. tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undangundang

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-09/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

PERATURAN MENTERI KEUANGAN 203/PMK.011/2008 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN,

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G

Dasar-dasar Perpajakan. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

Kebijakan Kementerian Keuangan dalam Cukai dan Pajak Rokok

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber-sumber pendapatan negara yang digunakan untuk

P - 48/BC/2009 DESAIN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU DAN MINUMAN MENGANDUNG ETIL ALKOHOL

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

203/PMK.011/2008 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

BAB III TINJAUAN TEORI. senantiasa berpacu untuk meningkatkan pendapatan daerah, salah satunya

BAB 3 OBJEK DAN METODE PENELITIAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

1. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK DAERAH DI PROVINSI DKI JAKARTA Tahun

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-19/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan disegala sektor. Hal ini berkaitan dengan sumber dana

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

Pembedaan dan Penggolongan Pajak didasarkan pada suatu kriteria,seperti:

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 01 /BC/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

Transkripsi:

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Penerimaan Pemerintah BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Upaya pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang- Undang Dasar 1945, Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, peranan penerimaan pemerintah dalam pembiayaan kegiatan dimaksud penting dalam peningkatan kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembangunan. Penjelasan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, antara lain, menegaskan bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, penerimaan pemerintah di luar penerimaan perpajakan, yang menempatkan beban kepada rakyat, juga harus didasarkan pada undang-undang. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negaran dan undangundang No. 1 Tahun 2004 tentang perbehendaraan negara menyatakan bahwa penerimaan negara dapat dikelompokkan kedalam penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Terdapat berbagai jenis pajak di Indonesia, yakni pajak pusat dan pajak daerah. 10

11 Tabel 2.1 Jenis pajak di Indonesia Pajak Pusat Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn- BM) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Bea Meterai Pajak Daerah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Pajak Hotel dan Restoran (PHR) Pajak Reklame Pajak Hiburan Pajak Bahan Bakar Bea Masuk Cukai Pajak Ekspor Sumber: Mangkoesobroto, Ekonomi Publik 2.1.2. Penerimaan Negara Bukan Pajak Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) memiliki dua aspek yaitu aspek pemungutan dan aspek penggunaan. Aspek pemungutan artinya pengelolaan PNBP terdiri dari kegiatan pemungutan dan kegiatan lain yang terkait dengan pengelolaan kegiatan pemungutan PNBP itu sendiri. Seperti halnya pajak, maka pemungutan PNBP antara lain memiliki kegiatan pemungutan PNBP, penagihan PNBP, pemeriksaan PNBP, pengembalian PNBP, pengangsuran PNBP, keberatan

12 PNBP dan pelaporan PNBP. Aspek penggunaan artinya hasil pemungutan PNBP nantinya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang menghasilkan PNBP tersebut. Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP). PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Undang-undang tersebut juga menyebutkan kelompok PNBP meliputi: 1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah 2. Penerimaan dari pengelolaan sumber daya alam 3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaaan negara yang dipisahkan 4. Penerimaan dari pelayanan yang dilakasanan pemerintah 5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi. 6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah 7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri Kecuali jenis PNBP yang ditetapkan dengan undang-undang, jenis PNBP yang tercakup dalam kelompok sebagaimana terurai diatas, ditetapkan dengan peraturan

13 Pemerintah. Artinya diluar jenis PNBP yang terurai diatas, dimungkinkan adanya PNBP lain melalui undang-undang. Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau termasuk ke dalam penerimaan negara jenis pajak. Semakin meningkatnya Harga Jual Ecer (HJE) dan tarif cukai tembakau maka penerimaan pemerintah dari cukai hasul tembakau juga meningkat. 2.1.3. Pajak Mangkoesoebroto (1995:31) menyebutkan pajak adalah pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah, pemungutan berdasarkan undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang dapat langsung ditunjukkan penggunaannya. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Salah satu ciri pungutan pajak adalah pemungutan pajak berdasarkan undangundang. Undang-undang perpajakan yang saat ini berlaku di Indonesia diantaranya : 1. Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) 2. Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

14 3. Undang-undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 4. Undang-undang No. 17 Tahun 2000 tentang PPh (Pajak Penghasilan) 5. Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 6. Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak dapat dibagi dua, yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang bebannya diderita oleh wajib pajak atau orang yang dimaksud dalam undang-undang, contohnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak kekayaan, dan lain-lain. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya diharapkan akan ditanggung konsumen, contohnya pajak penjualan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), cukai, dan lain-lain. 2.1.4. Pungutan lain selain pajak Di samping pajak, ada beberapa pungutan lain yang serupa dengan pajak tetap mempunyai perlakuan dan sifat yang berbeda dengan pajak, yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Pungutan tersebut antara lain : 1. Bea materai, yaitu pungutan yang dikenakan atas dokumen dengan menggunakan benda materai ataupun benda lain. 2. Bea masuk dan bea keluar. Bea masuk adalah pungutan atas barang-barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean berdasarkan harga/nilai barang itu atau berdasarkan tarif yang sudah ditentukan. Bea keluar adalah pungutan yang dilakukan atas barang yang dikeluarkan dari daerah pabean berdasarkan tarif yang sudah ditentukan bagi masing-masing golongan barang.

15 3. Cukai, yaitu pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu, dengan tujuan mengontrol konsumsi masyarakat terhadap barang tersebut. Contoh: tembakau, minuman keras, dan lain-lain. 4. Retribusi, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar. Contoh: parkir, pasar, jalan tol, dan lain-lain 5. Iuran, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan pembayar. 6. Pungutan lain yang sah /legal berupa sumbangan wajib, misalnya Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) dan Sumbangan Wajib Perbaikan Jalan (SWPJ). 2.2. Cukai Menurut Undang-undang 11 Tahun 1995, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu atau pungutan negara terhadap Barang Kena Cukai (BKC). Barang kena cukai adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik, yang : 1. Konsumsinya perlu dikendalikan. 2. Peredarannya perlu diawasi. 3. Pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.

16 4. atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Sehubungan dengan penetapan jenis barang kena cukai sebagaimana disebutkan di atas sesuai Undang-Undang 11 Tahun 1995 Tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tentang Cukai. Saat ini untuk sementara waktu kita baru mengenal tiga jenis barang kena cukai secara umum, yaitu: 1. Etil Alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dalam proses pembuatannya; etil alkohol adalah barang cair, jernih, dengan rumus kimia C2H5OH yang diperoleh baik secara peragian dan/atau penyulingan maupun sintesa kimiawi 2. Minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol; sabagai contoh bir, shandy, anggur, dan lain-lain. MMEA adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman dan mengandung etil alkohol, sedangkan konsentrat yang mengandung etil alkohol adalah bahan yang mengandung etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alcohol. 3. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak

17 mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya. Tidak menutup kemungkinan perubahan jenis Barang Kena Cukai. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) merencanakan untuk memperluas obyek barang kena cukai, berkaitan dengan semakin berat beban anggaran dan pendapatan negara untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka kesinambungan pembangunan. Sehubungan dengan rencana perluasan obyek cukai tersebut DJBC telah mengadakan kajian atas dua belas obyek yang dianggap layak dikenakan cukai yaitu minuman ringan, semen, sabun, detergen, air mineral, sodium cyclamate dan sacharine, gas alam, methanol, ban, kayu lapis, bahan bakar minyak, dan batere kering. Surjono (2004) berpendapat sebagai berikut. Tujuan kebijakan pemerintah di bidang cukai adalah menjamin keamanan penerimaan cukai, mengontrol dan membatasi tingkat konsumsi serta menciptakan keadilan, dan iklim usaha yang sehat. Sasaran kebijakan cukai adalah berupaya menghasilkan penerimaan cukai secara optimal dan mencapai target, menciptakan dan mempertahankan kesempatan kerja, menciptakan dan membina iklim persaingan yang sehat dan kepastian berusaha serta melindungi dan membina industri khususnya berskala kecil dalam negeri. Besarnya tarif cukai yang ditentukan oleh pemerintah ditetapkan dengan dua cara, yaitu 1. Tarif ad valorem, dimana cukai dikenakan dengan cara menetapkan besaran prosentase tarif terhadap harga jual barang kena cukai. 2. Tarif nominal, dimana cukai dikenakan dengan menetapkan besaran rupiah terhadap satuan volume barang kena cukai, seperti Rp/batang dan Rp/liter.

18 Besarnya tarif cukai yang telah ditetapkan berdasarkan tarif prosentase atau tarif nominal akan menentukan besarnya penerimaan cukai bagi pemerintah. Pada sistem ad varolem, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai sangat tergantung pada ketepatan dalam memproyeksikan Harga Jual Eceran (HJE) dan besarnya volume penjualan. Dari dua variabel yang diproyeksikan tersebut, maka dapat diperkirakan besarnya penerimaan negara dari cukai yaitu perkalian antara prosentase tarif cukai dengan HJE dan besarnya volume penjualan. Sedangkan pada sistem tarif nominal, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai hanya ditentukan dari ketepatan dalam memperkirakan besarnya volume penjualan. Tjahjaprijadi dan Indarto (2003:115) menyebutkan dengan variabel volume penjualan tersebut, maka penerimaan cukai dapat diperhitungkan besarnya dengan cara mengalikan tarif cukai untuk setiap satuan barang kena cukai dengan besarnya volume penjualan barang kena cukai. 2.2.1. Cukai Hasil Tembakau Cukai hasil tembakau adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barangbarang hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia dimulai sejak tahun 1932 di mana pemerintah masih menggunakan kebijaksanaan induk warisan pemerintah Hindia Belanda sebagai landasan hukum pungutan yaitu Ordonansi Cukai Tembakau 1932. Pada saat itu, cukai tembakau sama untuk semua jenis hasil tembakau yaitu sebesar 20 persen. Namun, sejak tahun 1936 tarif cukai hasil tembakau mulai dibedakan berdasarkan jenis produknya, yaitu: 1. 30 persen untuk semua sigaret yang dibuat dengan mesin dan tembakau iris

19 2. 20 persen untuk sigaret yang dibuat dengan tangan 3. 30 persen untuk tembakau iris rajangan 4. 20 persen untuk cerutu, klembak menyan dan hasil tembakau lainnya. Kebijakan cukai yang menarik saat itu yakni melarang pemasukan hasil tembakau buatan luar negeri yang dimasukkan ke dalam daerah pabean Indonesia dalam upaya mengamankan dan meningkatkan produksi hasil-hasil tembakau dalam negeri kecuali untuk para anggota perwakilan negara asing untuk dipakai sendiri dan untuk hal tersebut masih terbatas jumlahnya. Namun tahun 1968, hasil tembakau buatan luar negeri diperbolehkan masuk asalkan membayar cukai serta pajak lainnya dan ini berlangsung hingga sekarang. 2.2.2. Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau Tarif cukai rokok digolongkan berdasarkan produksi tahunan dan jenis rokok yang diproduksi. Terdapat tiga macam jenis rokok di Indonesia, yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM) atau rokok kretek yang menggunakan filter, Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau rokok kretek tanpa filter, dan Sigaret Putih Mesin (SPM) atau rokok putih. Produksi rokok tahunan dihitung berdasarkan pemesanan pita cukai rokok, yang terbagi dalam tiga golongan, yaitu: 1. Golongan I atau produsen berskala besar adalah produsen yang memiliki produksi tahunan lebih dari dua miliar batang per tahun. 2. Golongan II atau produsen skala medium adalah untuk produsen yang memiliki produksi tahunan 500 juta batang hingga dua miliar batang per tahun.

20 3. Golongan III atau produsen berskala kecil adalah produsen yang memproduksi kurang dari 500 juta batang per tahun. Sesuai dengan golongan produksi tahunan yang dimiliki, tarif cukai rokok yang diberlakukan juga berbeda. Sebagai contoh pada tahun 2003 untuk golongan I jenis SKM dan SPM, masing-masing dikenai cukai sebesar 40 persen. Adapun untuk golongan II jenis yang sama dikenai tarif cukai sebesar 36 persen. SKT dikenai tarif cukai yang lebih rendah, di mana untuk golongan I sebesar 22 persen dan 16 persen untuk golongan II. Menurut Tjahjaprijadi dan Indarto (2003:114), tarif cukai rokok yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat majemuk, artinya besarnya tarif cukai dibedakan berdasarkan tiga hal, yaitu: 1. Proses produksi; dalam proses produksi, besarnya tarif cukai ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan karakteristik produksinya 2. Besar kecilnya volume penjualan (strata volume); kemampuan produksi maupun strategi usaha pada tiap industri rokok akan menentukan banyaknya jumlah rokok yang akan diproduksi 3. Harga jual eceran (strata harga); penetapan harga jual eceran ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri rokok. 2.2.3. Penetapan Harga Jual Eceran (HJE) Berdasarkan Tabel 2.2 pada halaman 21, jenis rokok yang diproduksi, tarif cukai rokok SKT adalah yang paling rendah dibandingkan dengan jenis rokok SKM dan SPM. Harga jual eceran merupakan angka yang menunjukkan batas maksimal dan minimal yang dihasilkan oleh suatu industri rokok yang dapat dijual ke masyarakat, yang ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya

21 industri rokok. Harga jual eceran juga mencakup harga pokok serta keuntungan produsen, distributor, dan penjual eceran, sebagai tambahan pada cukai dan PPN. Pemerintah juga menetapkan HJE minimum berdasarkan jenis rokok serta golongan produsen rokok Tabel 2.2. Struktur Tarif Cukai dan HJE Minimum Rokok di Indonesia Skala Rokok yang Dijual Tarif Cukai HJE Minimum Perusahaan (batang/tahun) (% HJE minimum) (Rp/batang) SKT SKM SPM SKT SKM SPM Besar >2milyar 22 40 40 340 400 270 Sedang <500 juta->2 milyar 16 36 36 280 330 210 Kecil <500 juta 8 26 26 270 320 200 Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003 Besarnya tarif cukai dan harga jual eceran minimum akan semakin kecil seiring dengan semakin kecilnya skala usaha produksi rokok. Industri rokok dengan skala produksi lebih besar diberi beban pengenaan cukai lebih besar dibanding industri rokok yang lebih kecil. Contohnya untuk SKM golongan pada skala perusahaan

22 besar, tarif cukai yang dikenakan sebesar 40 persen, pada skala perusahaan sedang, tarif cukai yang dikenakan sebesar 36 persen, dan tarif yang ditetapkan semakin kecil pada skala perusahaan kecil yaitu sebesar 26 persen. Adalah sangat relevan bahwa kemampuan untuk menghasilkan rokok yang lebih besar harus diikuti dengan pengenaan tarif cukai yang lebih tinggi agar penerimaan cukai bagi negara juga dapat lebih besar. 2.3. Faktor-Faktor Makro Yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau Bidang ekonomi secara tradisional dibagi dalam dua sub bidang luas, yaitu ekonomi mikro dan ekonomi makro. Ekonomi mikro mengkaji bagaimana rumah tangga dan perusahaan membuat keputusan dan bagaimana mereka berinteraksi di pasar, sedangkan ekonomi makro mengkaji fenomena perekonomian secara luas, seperti inflasi, pengangguran, PDB, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi. Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau dapat dipengaruhi dari sisi makro maupun sisi mikro. Faktor mikro yang dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau misalnya adalah faktor produksi rokok seperti jumlah bahan baku, pemakaian tenaga kerja, upah buruh rokok dan harga jual eceran rokok, sedangkan asumsi makro yang digunakan dalam memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah jumlah penduduk, dan konsumsi rokok

23 2.3.1. Konsumsi Mankiw (2000:55) berpendapat konsumsi terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu, barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa. Produk hasil tembakau khususnya rokok termasuk barang tidak tahan lama karena rokok merupakan barang yang habis dipakai dalam jangka pendek. Secara garis besar konsumsi ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang benar-benar amat sangat dibutuhkan orang dan sifatnya wajib untuk dipenuhi. Kebutuhan sekunder adalah merupakan jenis kebutuhan yang diperlukan setelah semua kebutuhan pokok primer telah semuanya terpenuhi dengan baik. Kebutuhan sekunder sifatnya menunjang kebutuhan primer. Misalnya seperti makanan yang bergizi, pendidikan yang baik, pakaian yang baik, perumahan yang baik, dan sebagainya yang belum masuk dalam kategori mewah. Kebutuhan tersier adalah kebutuhan manusia yang sifatnya mewah, tidak sederhana dan berlebihan yang timbul setelah terpenuhinya kebutuhan primer dan kebutuhan skunder (Nordhaus, 2010). Dapat disimpulkan konsumsi rokok di Indonesia termasuk dalam kebutuhan sekunder, karena menurut WHO Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia dengan jumlah rokok yang dikonsumsi pada tahun 2002 sebanyak 182 miliar batang rokok setiap tahun setelah Cina (1.697 miliar batang), Amerika

24 Serikat (480 miliar batang), Jepang (230 miliar batang), dan Rusia (230 miliar batang). Jumlah uang yang dibelanjakan penduduk Indonesia untuk tembakau 2,5 kali lipat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan dan 3,2 kali lipat dari biaya kesehatan. Diperkirakan 4 persen rata-rata pendapatan per kapita rakyat Indonesia dihabiskan untuk konsumsi rokok.. 2.3.1.1. Hubungan antara konsumsi dan pendapatan. Terdapat beberapa faktor yang menentukan tingkat pengeluaran rumah tangga (secara unit kecil atau dalam keseluruhan ekonomi). Pendapatan rumah tangga merupakan yang terpenting. Tabel 2.3 yang menggambarkan hubungan diantara konsumsi rumah tangga dan pendapatannya dinamakan daftar (skedul) konsumsi. Daftar konsumsi pada dasarnya menggambarkan besarnya konsumsi rumah tangga pada tingkat pendapatan yang berubah-ubah. Misalnya, seperti dapat dilihat dalam tabel 2.2, pada waktu pendapatan seseorang adalah Rp 500.000,-, konsumsinya adalah Rp. 500.000,-. Pada waktu pendapatannya Rp 900.000,-, konsumsinya adalah Rp 800.000,-. Tabel 2.3 secara terperinci menunjukkan hubungan diantara tingkat pendapatan disposebel dengan pengeluaran konsumsi dan tabungan rumah tangga. Kolom (1) ditunjukkan berbagai tingkat pendapatan yang mungkin diterima oleh suatu rumah tangga, sedangkan dalam kolom (2) ditunjukkan berbagai jumlah pengeluaran konsumsi yang akan dilakukan oleh rumah tangga tersebut. Jumlah tabungan (atau kelebihan pendapatan sesudah melakukan pengeluaran konsumsi yang

25 akan dilakukan oleh rumah tangga pada berbagai tingkat pendapatan yang mungkin diterimanya) ditunjukkan dalam kolom (3). Tabel 2.3. Hubungan Pendapatan, Konsumsi dan Tabungan ( dalam ribu rupiah) Pendapatan disposable (Y d ) (1) 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Pengeluaran konsumsi (C) (2) 125 200 275 350 425 500 575 650 725 800 Tabungan (S) (3) -125-100 -75-50 -25 0 25 50 75 100 125 875 Sumber: Sukirno, Sadono. 2010. Makroekonomi Teori Pengantar. Edisi 1. Jakarta: Rajawali Pers Pengeluaran rumah tangga mempunyai tiga ciri utama berikut: (a) faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran rumah tangga adalah pendapatan yang diterimanya, (b) pada pendapatan sebesar nol (Y d = 0), yaitu apabila rumah tangga tidak bekerja, konsumsi tetap akan dilakukan dan ini dinamakan pengeluaran otonomi (pengeluaran yang tidak bergantung pada pendapatan nasional); dan (c) apabila berlaku pertambaha pendapatan akan berlaku pertambahan konsumsi, tetapi pertambahannya kurang daripada pertambahan pendapatan.

26 Berdasarkan kepada tiga ciri ini, konsumsi rumah tangga dapat dinyatakan sebagai berikut: C = a + by d.. (2) di mana: a adalah pengeluaran otonomi (pengeluaran ketika Y d = 0) b adalah MPC (atau perbandingan atau rasio di antara pertambahan konsumsi ( C) dan pertambahan pendapatan disposebel ( Y d ) Y d adalah pendapatan disposebel. Berdasarkan kepada tiga ciri konsumsi seperti dinyatakan diatas, secara grafik dapat dibentuk fungsi konsumsi dan fungsi tabungan, yang secara grafik menunjukkan hubungan di antara konsumsi, tabungan, dan pendapatan nasional.(sukirno, 2010:143) 2.3.1.2. Konsumsi rokok Rata-rata pengeluaran sebulan untuk konsumsi rokok cenderung meningkat lebih besar terjadi di daerah perkotaan dari pada di pedesaan. Hal ini tentunya tidak lepas dari lebih besarnya tingkat pendapatan yang dapat mendorong kenaikan konsumsi rokok di daerah perkotaan. Meskipun rata-rata pengeluaran untuk konsumsi rokok di daerah pedesaan lebih kecil dibanding daerah perkotaan, namun tetap menunjukkan bahwa desa memiliki rata-rata pengeluaran terhadap konsumsi rokok yang terus

27 meningkat setiap tahunnya. WHO menyatakan masyarakat miskin adalah kelompok masyarakat yang paling dirugikan dari industri rokok karena menggunakan penghasilannya untuk membeli rokok yang justru membahayakan kesehatan. Bahkan di negara maju, jumlah perokok terbanyak berasal dari kelompok masyarakat miskin. Besarnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok akan mempengaruhi besarnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Ketika terjadi peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok yang mengindikasikan terjadinya peningkatan permintaan rokok, maka pabrik rokok akan meningkatkan jumlah produksi yang artinya tingkat penawaran rokok meningkat dan akhirnya penerimaan cukai hasil tembakau juga akan meningkat. Sesuai dengan hukum penawaran dengan menganggap faktor lain konstan, kuantitas barang yang ditawarkan akan meningkat ketika harga barang meningkat karena adanya peningkatan permintaan barang. Hal ini juga didukung oleh teori Marshall mengenai keseimbangan permintan dan penawaran di pasar. Sebagai langkah awal, diasumsikan bahwa harga-harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Melalui mekanisme permintaan- penawaran ini terbentuk keseimbangan harga (P*) pada tingkat dimana permintaan sama dengan penawaran yang dapat dijelaskan pada gambar 2.1 halaman 18.

28 Lereng kurva penawaran yang meningkat menunjukan hukum penawaran dan menjelaskan bahwa ketika harga naik, produsen akan lebih banyak berproduksi dan membawa lebih banyak barang ke pasar. Lereng kurva permintaan yang menurun menunjukan hukum permintaan dan menjelaskan bahwa ketika harga turun konsumen akan membeli lebih barang dalam jumlah yang lebih besar. Permintaan dan penawaran menentukan harga tiap barang dan jumlah tiap barang yang akan diproduksi. Harga (P) Penawaran P* Permintaan Q1 Q2 Kuantitas (Q) Gambar 2.1. Perpotongan Permintaan dan Penawaran Sumber: Sukirno, Sadono. 2010. Makroekonomi Teori Pengantar. Edisi 1. Jakarta: Rajawali Pers Marshall berpendapat bahwa persaingan akan mendorong harga aktual menjadi harga keseimbangan (P*). Jika harga barang ditetapkan diatas harga keseimbangan (P*), produsen tidak akn mampu menjual barang sehingga persediaannya menumpuk.

29 Hal ini memberikan tanda bahwa produsen harus menurunkan harga dan mengurangi produksi. Disisi lain, jika harga barang ditetapkan dibawah harga keseimbangan (P*), konsumen akan membeli lebih banyak sehingga persediaan barang menurun. Hal ini merupakan tanda untuk produsen menaikan harga dan menambah produksi. Dengan demikian kuantitas dan harga barang menuju titik keseimbangan (P*) karena pada titik inilah perusahaan dapat menjual semua produk mereka. 2.3.2. Jumlah Penduduk Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua: 1. Orang yang tinggal di daerah tersebut 2. Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain. Schumpeter menjelaskan pendekatan pertumbuhan ekonomi Adam Smith sebagai berikut: Dengan menganggap benar faktor-faktor kelembagaan, politik dan alam, Smith berangkat dari asumsi bahwa suatu kelompok sosial (atau suatu bangsa) akan mengalami laju pertumbuhan ekonomi tertentu yang tercipta karena naiknya jumlah mereka dan melalui tabungan. Jumlah penduduk yang besar menjadikan Indonesia sebagai pasar yang prospektif bagi industri rokok. Ini mendorong meluasnya pasar yang pada gilirannya meningkatkan pembagian kerja dan dengan demikian meningkatkan produktivitas.

30 Meskipun dewasa ini berbagai kebijakan dilakukan dalam upaya membatasi konsumsi rokok, di antaranya kenaikan tarif cukai rokok, larangan merokok di tempat umum, undang-undang kesehatan, dan rancangan peraturan pemerintah tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif, tak dapat dipungkiri, pasar industri rokok di Indonesia masih besar. Sifat permintaan produknya yang cukup inelastis terhadap harga ikut memperkuat tingginya permintaan rokok di Indonesia. 2.4. Penelitian Terdahulu Roy (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan analisis regresi berganda. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Minitab for Windows. Hasil analisis menunjukkan selama periode 1984 sampai 2003, tingkat konsumsi rokok kretek nasional memiliki kecederungan meningkat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi rokok kretek antara lain produksi rokok kretek, harga rokok kretek, kebijakan tarif cukai, dan peubah dummy peraturan pemerintah. Hasil analisis dilihat bahwa hanya peubah produksi rokok kretek yang memiliki pengaruh nyata dan arahnya positif dengan tingkat konsumsi. Keadaan ini membuat perusahaan rokok kretek Indonesia tidak merasa khawatir untuk memproduksi rokok karena konsumsi yang terus dilakukan seiring dengan adanya produksi. Sedangkan peubah harga rokok kretek dan tarif cukai tidak berpengaruh secara nyata dan

31 arahnya adalah negatif. Pada dasarnya bila tarif cukai dinaikkan akan berimplikasi pada kenaikan harga rokok, karena tarif cukai merupakan pajak yang dibebankan pada konsumen yang dimasukkan pada harga jual eceran rokok. Untuk peubah dummy peraturan pemerintah tidak mengindikasikan adanya perbedaan antara tahuntahun dikeluarkannya peraturan tersebut. Hal ini terjadi karena belum tersosialisasinya peraturan pemerintah tersebut kepada berbagai pihak dan perusahaan rokok belum merasa siap untuk melaksanakannya. Hasil analisis Putri (2004) tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pangsa pasar terbesar pada industri rokok kretek di Indonesia pada tahun 2003 diperoleh nilai rasio konsentrasi (CR4) sebesar 75,8 persen, yang berarti industri rokok kretek digolongkan ke dalam stuktur pasar oligapoli. Analisis kinerja industri rokok kretek, perkembangan tingkat keuntungan setiap tahunnya cenderung fluktuatif pada tahun tertentu, sedangkan perkembangan tingkat efisiensi internalnya cenderung tinggi setiap tahun, dan perkembangan tingkat utilitas kapasitas produksi setiap tahun cenderung stabil. Hasil analisis hubungan struktur dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia, variabel bebas yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan adalah CR4, efisiensi internal, dan skala ekonomis. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaanperusahaan rokok kretek memiliki efisiensi internal yang berperan besar dalam mempengaruhi tingkat keuntungan.

32 2.5. Kerangka Pemikiran Masalah-masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia menuntut pemerintah agar lebih cermat lagi dalam menentukan langkah-langkah apa yang harus diambil untuk memulihkan perekonomian. Untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi, dibuat penyesuaian-penyesuaian alat kebijakan agar dapat digunakan secara tepat, bermanfaat, dan mencapai sasarannya. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan dan menstabilkan perekonomian adalah melalui peranan kebijakan fiskal. Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pajak. Penerimaan pemerintah dari sektor pajak terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pemerintah Faktor faktor makro: pajak Bukan pajak 1.GDP 2.Konsumsi rokok 3.Jumlah penduduk Pajak perdagangan Internasional Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Pajak Dalam Negeri Cukai hasil tembakau Penerimaan pemerintah dari sektor cukai termasuk ke dalam penerimaan pajak dalam negeri. Ada tiga jenis barang kena cukai, yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Dari ketiga barang kena cukai tersebut yang paling besar peranannya dalam penerimaan pemerintah adalah cukai hasil

33 tembakau yang terdiri dari Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan Sigaret Putih Mesin (SPM) yaitu sekitar 95 persen. Asumsi makro yang digunakan dalam memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah GDP, konsumsi rokok dan jumlah penduduk. 2.6. Hipotesis Rumusan jawaban sementara mengenai permasalahan dari tulisan ini berdasarkan teori dan konsep adalah: 1. Konsumsi rokok dan jumlah penduduk secara simultan (bersama-sama) berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau di Indonesia pada tahun 1992-2010. 2. Konsumsi rokok dan jumlah penduduk secara parsial (sendiri-sendiri) berpengaruhsignifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau di Indonesia pada tahun 1992-2010. 2.7. Model Analisis Model yang digunakan untuk mengetahui konsumsi rokok dan jumlah penduduk terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah model regresi berganda menggunakan data time series. Adapun modelnya ialah sebagai berikut: CU t = β 0 + β 1 KR t + β 2 JP t + μ t (3)

34 Dimana : CU = Penerimaan cukai KR = Konsumsi Rokok JP = Jumlah Penduduk β 0 = Intersep β 1 β 4 = Koefisien kemiringan parsial μ = Unsur gangguan stokastik t = Observasi ke -t