I. PENDAHULUAN. masyarakat. Bila persaingan dipelihara secara konsisten, akan tercipta kemanfaatan

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh : Ni Luh Gede Putu Dian Arya Patni I Made Sarjana Marwanto Bagian Hukum PerdataFakultasHukumUniversitasUdayana ABSTRACT

KAJIAN HUKUM TERHADAP KASUS KARTEL MINYAK GORENG DI INDONESIA (STUDI PUTUSAN KPPU NOMOR 24/KPPU-1/2009) JURNAL ILMIAH

Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENGANTAR. penting yang mempengaruhi ketersediaan (supply) minyak goreng di pasar

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

I. PENDAHULUAN. segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha yaitu mencakup hal-hal

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk.

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

Hukum Persaingan Usaha

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya

I. PENDAHULUAN. di segala bidang. Persaingan usaha yang sangat tajam ini merupakan sebuah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENGGUNAAN BUKTI EKONOMI DALAM KARTEL BERDASARKAN HUKUM PESAINGAN USAHA

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Analisa deskriptif terhadap harga semen di Indonesia menunjukkan bahwa

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN...

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi. 7 Pengertian

2 Indonesia dalam hal melakukan penyelesaian permasalahan di bidang hukum persaingan usaha, yang diharapkan terciptanya efektivitas dan efisiensi dala

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

Bab I Pendahuluan. Minyak goreng (cooking oil), sebagai salah satu dari 9 (sembilan) bahan pokok 1,

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Perubahan Perilaku merupakan suatu bagian dari tahap dalam tata cara

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan mendorong pelaku usaha untuk melakukan pengembangan dalam

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAB I PENDAHULUAN. ditawarkan kepada pembeli dengan ketentuan jumlah, jenis, kualitas, tempat dan

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif

I. PENDAHULUAN. lahirnya perusahaan yang menjalani berbagai kegiatan usaha untuk memajukan

BAB III PEMBAHASAN. dan tujuan dilakukan hal tersebut agar menemukan ada tidaknya hal hal khusus dalam

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan usaha yang diselenggarakan terus menerus oleh masing-masing orang,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan

HUKUM PERSAINGAN USAHA

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB I PENDAHULUAN. Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

BAB I PENDAHULUAN. maka dibutuhkannya peranan negara dalam menyusun laju perekonomian

BAB III PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam menangani suatu perkara yaitu:

Penegakan Hukum atas Pelanggaran Terhadap Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie, Jimly Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Konpress. Jakarta.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

BAB IV ANALISIS HUKUM. A. Penerapan Tanggal Efektif Yuridis dalam Pengambilalihan Saham. yang Dilakukan PT Bumi Kencana Eka Sejahtera atas PT Andalan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru yang sarat dengan praktek korupsi, kolusi

BAB II URAIAN TEORI. 2.2 Pengertian KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I.PENDAHULUAN. pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. 1 Dengan berbagai

/ KERANGKA ACUAN KERJA SEMINAR PUBLIK

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang telah diuraikan pada

BAB III PENUTUP. persaingan usaha yang sehat di sektor perunggasan telah menjalankan

BAB I PENDAHULUAN. di luar perusahaan, antara lain melalui Penggabungan (merger), Pengambilalihan

P U T U S A N Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009

BAB I PENDAHULUAN. 1602, yaitu saat Pemerintah Belanda atas persetujuan State General. Arie Siswanto berpendapat dalam bukunya yang berjudul Hukum

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang yang cukup signifikan antar pelaku usaha, praktik monopoli atau

BAB III PENUTUP. 1. KPPU dalam melakukan penanganan perkara-perkara persekongkolan tender,

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan 1 yang dimilki setiap individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi perdagangan dipasar. Persaingan usaha diyakini sebagai mekanisme untuk dapat mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Bila persaingan dipelihara secara konsisten, akan tercipta kemanfaatan bagi masyarakat konsumen, yaitu berupa pilihan produk yang bervariatif dengan harga pasar serta dengan kualitas tinggi. Sebaliknya, bila persaingan dibelenggu oleh peraturan-peraturan, atau dihambat oleh perilaku-perilaku usaha tidak sehat dari perilaku pasar, maka akan muncul dampak kerugian pada konsumen. 2 Negara Indonesia sendiri, pernah mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan pada tahun 1997 dan mengalami puncak krisis pada tahun 1998 yang pada akibatnya memicu reformasi dan restrukturisasi pada berbagai bidang, yang salah satunya 1 Seperti yang tertuang dalam asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2 bahwa: Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945. 2 Irna Nurhayati. Kajian Hukum Persaingan Usaha : Kartel Antara Teori dan Praktik. (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Vol.30-No.2-Tahun 2011). Hlm.6.

2 adalah kebijakan dalam kompetisi atau persaingan usaha yang ada di Indonesia. 3 Jangka waktu yang dibutuhkan untuk merestrukturisasi peraturan mengenai persaingan usaha ini memakan waktu yang cukup lama, yang pada akhirnya Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatur tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999). 4 Undang-undang ini memberikan substansi tentang larangan praktek monopoli, persaingan usaha tidak sehat diantara para pelaku usaha, menjabarkan perbuatan apa saja yang dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dapat merusak persaingan usaha melalui monopoli, monopsoni, kartel, oligopoli, oligopsoni, dan persekongkolan. UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur mengenai 3 Aturan hukum mengenai persaingan usaha atau aturan sejenis sebenarnya telah ada pada masa itu, dimulai dari Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah mengamanatkan bahwa dalam demokrasi ekonomi harus dihindarkan monopoli yang merugikan masyarakat. Kemudian pada UU No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: Pemerintah wajib mengatur, membentuk, dan mengembangkan industri demi penciptaan persaingan yang sehat dan pencegahan persaingan curang. Pada penjelasan : Pemerintah mencegah investasi yang menimbulkan kondisi persaingan yang curang dan tidak jujur di bidang industri. Dan tertuang juga di KUHP Pasal 382, yang berbunyi: barang siapa mendapatkan, melangsungkan, atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana denda bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkurenkonkuren atau konkuren orang lain. 4 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 pada tanggal 5 Maret 1999. Andi Fahmi Lubis, et.all, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. (Jakarta: Creative Media, 2009), Hlm. 14. Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaingan usaha, setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 pada tanggal 5 Maret 1999, akhirnya Undang-undang tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan. Berlakunya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.

3 komisi independen yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau yang selanjutnya disingkat KPPU yang mengatur mengenai sanksi dan prosedur penegakan hukum persaingan usaha. 5 Dapat dipahami bahwa dalam pasar bebas, harus dicegah penguasaan pasar oleh satu, dua atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli/oligopoli ). Dalam Pasar hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha, maka akan terbuka peluang untuk menghindari atau mematikan bekerjanya mekanisme pasar, sehingga harga-harga yang ditetapkan secara sepihak dan merugikan konsumen. 6 Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit membuat berbagai perjanjian atau kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran, mengatur harga, kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang ditawarkan guna memperoleh keuntungan setinggi-tingginya dalam waktu yang singkat atau yang lebih sering disebut dengan kartel. 7 Dengan melakukan praktik kartel merupakan salah satu kentungan dan ancaman bagi para pelaku usaha yang lain. Kartel merupakan jenis perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang anti terhadap persaingan. Para pelaku usaha ini melakukan 5 Andi Fahmi Lubis, et.all, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. (Jakarta : Creative Media, 2009), Hlm.311. Untuk mengawasi pelaksanaan UU No 5 Tahun 1999 (UU Antimonopoli) dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU. 6 Johnny Ibrahim, Hukum dan Persaingan Usaha; Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), Hlm 3. 7 UU No. 5 Tahun 1999 mengkategorikan kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Dimana kartel diatur dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 berbunyi: pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

4 perjanjian untuk mempengaruhi harga melalui pengaturan proses produksi maupun pengaturan wilayah pemasaran produk, sebagai akibat daripada perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan konsumen selaku pemakai barang dan jasa juga kepada pemerintah dan terlebih bagi pelaku usaha lainnya yang tidak termasuk dalam cartellist. Padahal kegiatan kartel merupakan sebuah perjanjian yang jelas-jelas dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999, dan tindakan para pelaku usaha yang melakukan praktik kartel tersebut adalah merupakan tindakan yang melanggar etika dalam kegiatan hukum bisnis. Umumnya, kartel dilakukan oleh asosiasi dagang bersama dengan anggotanya. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Komisi No. 04 Tahun 2010 tentang Pedoman pelaksana Pasal 11 tentang Kartel (selanjutnya disebut Perkom No. 4 Tahun 2010), pengertian kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan/atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan wajar. Kartel termasuk pelanggaran berat dari hukum persaingan usaha. Karena dampaknya terhadap penurunan kesejahteraan social ( social welfare) dianggap cukup nyata. Oleh karena itu, dapat dipahami jika KPPU gelisah untuk melakukan investigasi. Di Amerika serikat, kartel termasuk dalam ketentuan per se illegal. 8 Beda halnya di Indonesia, dengan adanya frasa yang dapat mengakibatkan 8 Andi Fahmi Lubis, et.all, Op.Cit, Hlm.55. Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. Penerapan pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang

5 terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat maka ketentuan kartel dalam UU No. 5 Tahun 1999 termasuk dalam rule of reason. 9 Proses pembuktian adanya dugaan praktik perjanjian kartel diantara para pelaku usaha menjadi suatu masalah bagi KPPU dalam menyelesaikan perkara persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal pembuktian kartel, kebanyakan otoritas persaingan usaha di berbagai negara sangat hati-hati dalam pembuktian kartel. Sebagai contoh, berbagai keadaan yang sering ditengarai sebagai indikator adanya kartel sebenarnya perbedaannya sangat tipis dengan situasi dimana persaingan secara sehat berlangsung. Misalnya, tentang indikasi harga yang paralel (price parallelism) sering dianggap sebagai tindakan yang dilakukan secara bersama-sama secara kolusif untuk menentukan harga ( price fixing) oleh para anggota kartel. Dalam praktiknya, terlalu banyak faktor yang menyebabkan terjadinya parallelism harga, yang terjadi justru karena pasarnya bersaing secara kompetitif. menyatakan istilah dilarang. Lebih lanjut lihat Mustafaa Kamal Rokan, S.H.I.,M.H., Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.60. Larang an-larangan yang bersifat per se illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas, dan mutlak dalam rangka member kepastian bagi para pelaku usaha.pendekatan per se illegal harus memenuhi dua syarat. Pertama, harus ditujukan lebih kepada perilaku bisnis daipada situasi pasar. Kedua, adanya identifikasi secara tepat dan mudah mengenai praktik atau batasan perilaku yang terlarang. 9 Ibid. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Penerapan pendekatan rule of reason terdapat pencantuman kata-kata yang dapat mengakibatkan dan atau patut diduga. Lebih lanjut lihat Mustafaa Kamal Rokan, S.H.I.,M.H., Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.66. Teori rule of reason mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan, atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persingan. Dalam substansi UU No. 5 Tahun 1999 umumnya mayoritas menggunakan pendekatan rule of reason.

6 Pada dasarnya harga yang sama atau satu jenis produk bukan merupakan suatu hal yang salah, hal tersebut menjadi salah apabila harga yang sama tersebut dibentuk bersama berdasarkan kesepakatan, dan untuk menyimpulkan adanya kesepakatan tersebut maka perlu adanya dukungan suatu bukti. Dengan kata lain, parallel price atau uniform price atau persamaan harga tidak serta-merta membuktikan adanya kesepakatan kartel diantara pelaku usaha pesaing. Indikasi-indikasi ekonomi seperti itulah yang sering disebut sebagai indirect evidence atau bukti tidak langsung. 10 Jika melihat Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009 11 berkaitan dengan dugaan Kartel Industri Minyak Goreng Sawit dan Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 12 berkaitan dengan dugaan penetapan harga dan kartel Industri Semen, maka kasus ini diputus berdasar atas indirect evidence. Hal tersebut menunjukkan bahwa indirect evidence memiliki fungsi dalam proses pembuktian hukum persaingan usaha, walaupun UU No. 5 Tahun 1999 tidak menyebutkan hal ini secara eksplisit. Indirect evidence 10 Peraturan Komisi No. 04 Tahun 2010 tentang Pedoman pelaksana Pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, Hlm.11. Indirect evidence, yang antara lain dilakukan melalui penggunaan berbagai hasil analisis ekonomi yang dapat membuktikan adanya korelasi antar satu fakta ekonomi dengan fakta ekonomi lainnya, sehingga akhirnya menjadi sebuah bukti kartel yang utuh dengan identifikasi sejumlah kerugian bagi masyarakat di dalamnya. 11 KPPU yang memeriksa dugaan terhadap pelanggaran Pasal Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berkaitan dengan Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia, yang dilakukan oleh: PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Agrindo Indah Persada, PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Megasurya Mas, PT Agro Makmur Raya, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Indo Karya Internusa, PT Permata Hijau Sawit, PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Nubika Jaya, PT Smart Tbk, PT Salim Ivomas Pratama, PT Bina Karya Prima, PT Tunas Baru Lampung, PT Berlian Eka Sakti Tangguh, PT Pacific Palmindo Industri, dan PT Asian Agro Agung Jaya. 12 KPPU yang memeriksa dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berkaitan dengan Penetapan Harga dan Kartel Dalam Industri Semen yang dilakukan oleh: PT Indocement Tunggal Prakarsa, PT Holcim Indonesia, PT Semen Baturaja (Persero), PT Semen Gresik (Persero) Tbk, PT Semen Andalas Indonesia, PT Semen Tonasa, PT Semen Padang, dan PT Semen Bosowa Maros.

7 (khususnya analisa ekonomi) digunakan oleh KPPU sebagai alat bantu untuk menghasilkan rasio dibalik sebuah keputusan yang tepat. Bahkan Perkom No. 4 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa indikator-indikator ekonomi hanyalah petunjuk awal yang mendorong terjadinya kartel. Untuk itu, diperlukan pembuktian lebih lanjut dalam bentuk bukti langsung yang menunjukkan benar-benar telah terjadi kesepakatan kartel. Perdebatan-perdebatan pun timbul, mengenai dasar KPPU menggunakan indirect evidence sebagai alat bukti. Berdasarkan permasalahan tersebut, Penulis akan mengkaji dan membahas mengenai permasalahan ini dalam penelitian yang berjudul Implementasi Indirect Evidence (Alat Bukti Tidak Langsung) sebagai Alat Bukti KPPU terhadap Pembuktian Terjadinya Kartel. B. Rumusan Masalah dan Lingkup Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi indirect evidence (alat bukti tidak langsung) sebagai alat bukti KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel? Untuk itu pokok bahasan dalam penelitian ini adalah: 1. Kedudukan indirect evidence dalam pembuktian kartel. 2. Proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel. 3. Akibat hukum dari penggunaan indirect evidence atas terjadinya kartel.

8 Lingkup penelitian ini meliputi lingkup pembahasan dan lingkup bidang ilmu. Lingkup pembahasan adalah bagaimana implementasi indirect evidence (alat bukti tidak langsung) sebagai alat bukti KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel. Sedangkan lingkup bidang ilmu adalah Hukum Keperdataan (ekonomi) khususnya Hukum Persaingan Usaha. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi lengkap, rinci, jelas, dan sistematis mengenai: 1. Kedudukan indirect evidence dalam pembuktian kartel. 2. Proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel. 3. Akibat hukum dari penggunaan indirect evidence atas terjadinya kartel. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis penelitian ini adalah sebagai dasar pemikiran dalam upaya perkembangan secara teoritis disiplin ilmu, khususnya hukum ekonomi dan untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum yang berkenaan dengan persaingan usaha.

9 2. Kegunaan Praktis Secara praktis penelitian ini berguna untuk: a. Sebagai upaya pengembangan wawasan keilmuan dan pengetahuan Peneliti dibidang ilmu hukum khususnya hukum persaingan usaha. b. Sebagai bahan literatur bagi mahasiswa selanjutnya yang akan melakukan penelitian mengenai hukum persaingan usaha. c. Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.