BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II LANDASAN TEORI. bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

PENGERTIAN DAN DEFINISI CIRI CIRI YANG MELEKAT PADA DEFINISI PAJAK ISTILAH-ISTILAH PERPAJAKAN

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

PERSEPSI ATAS BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013

Repositori STIE Ekuitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat dominan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN. Nomor : SE-42/PJ/2013 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH definisi pajak yaitu iuran rakyat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. atau definisi pajak yang berbeda-beda, namun demikian berbagai definisi

2013, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembara

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB II KAJIAN TEORI. menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat. untuk menyelenggarakan pemerintahan.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Tabel Penerimaan Dalam Negeri Tahun (dalam miliar rupiah)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN LABA BERSIH SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI PAJAK PENGHASILAN BADAN TAHUN 2013 SITI SALAMA AMAR NURUL HASANAH

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. memaksimalkan kesejahteraan mereka. Penyatuan kepentingan seperti ini,

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan negara. Karena pajak mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pembangunan nasional yang berlangsung terus menerus dan

BAB III PEMBAHASAN TENTANG PENERAPAN PENGHITUNGAN, PEYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 ATAS WAJIB PAJAK BADAN.

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA

Perpajakan 1. Pengantar, Pungutan Lain, Fungsi Pajak, Dasar Teori Pemungutan Pajak, Kedudukan Hukum Pajak, Hk. Pajak Materil dan Formil

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. Pajak mempunyai definisi yang berbeda-beda menurut sudut pandang yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. langsung berhubungan dengan teori keahlian yang diterima diperkuliahan. Praktik

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib. membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang)

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Tinjauan Teori Pengertian Pajak

TINJAUAN UMUM HUKUM PAJAK

APAKAH TARIF PAJAK BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGGUNA NORMA SUDAH ADIL? STUDI KASUS PEDAGANG ECERAN MINUMAN DI JAKARTA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

BAB III. 2. Pengertian Pajak Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. dalam buku Resmi (2013) yaitu:

BAB II KAJIAN PUSTAKA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. negara. Hal ini dapat dilihat dari persentase dalam APBN tahun 2006 yang terdiri

Pelaksanaan Penelitian Dan Pemeriksaan Spt Tahunan Pph Badan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum berlandaskan Pancasila dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum kita mengetahui pengertian with holding system kita harus

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjadi negara maju. Memiliki penduduk yang termasuk padat tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rumah tangga Negara telah lama dikenal sejak zaman sebelum masehi. Diawali

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian Pajak menurut Resmi (2013) adalah kontribusi wajib kepada negara

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang memiliki

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber dana luar negeri, misalnya pinjaman luar negeri dan hibah ( grant),

PENGANTAR PERPAJAKAN BENDAHARA

membiayai segala pengeluaran-pengeluarannya. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik. untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil dan makmur.

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Pajak Secara umum pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah. Beradasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya akan digunakan pemerintah untuk membiayai pengeluaran negara. Beberapa ahli mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain: Djajadiningrat, S.I dalam buku Siti Resmi (2013:1) Pajak adalah suatu kewajiban penyerahan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum Soeparman Soemahamidjaja, dalam buku Waluyo (2013:3) Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hokum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum Rochmat Soemitro, dalam buku Waluyo (2013:3) Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontaprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi pajak oleh Rochmat Soemitro dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur pajak adalah : a. Iuran masyarakat kepada Negara. b. Berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan). c. Tanpa jasa timbale (prestasi) dari negara yang dapat langsung ditunjuk.

d. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum. 2.1.2 Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Khusunya di dalam pelaksanaan pembangunan, karena pajak merupakan sumber pendapatan negara. Pajak digunakan untuk membiayai semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu : 1. Fungsi budgetair (anggaran) Pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana ke kas negara secara optimal. Berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Fungsi budgetary adalah fungsi yang letaknya disektor publik dan pajak merupakan suatu alat atau sumber untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya kedalam kas negara yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. (Priantara,2012:4) Hal yang sama juga dirumuskan oleh Nurmantu, yaitu mendefinisikan fungsi budgetair. Suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undangundang perpajakan yang berlaku. Yang dimaksud dengan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku adalah : a. Jangan sampai ada wajib pajak / subyek pajak yang tidak memenuhi sepenuhnya kewajiban perpajakannya.

b. Jangan sampai ada objek pajak yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak kepada fiskus. c. Jangan sampai ada objek pajak yang terlepas dari pengamatan atau perhitungan fiskus (Nurmantu,2005:30) Dapat disimpulkan bahwa untuk dapat mengoptimalisasi pemasukan dana ke kas negara. Tidak hanya tergantung kepada fiskus atau kepada wajib pajak saja, namun juga kepada kedua-duanya. Berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. 2. Fungsi regulerend (mengatur) Pajak digunakan sebagai alat ukur untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Disebut sebagai fungsi tambahan karena hanya sebagai fungsi pelengkap dari fungsi utama pajak sebagai sumber pemasukan dan penerimaan dana bagi pemerintah. (Priantara,2012:4) Dalam hal fungsi mengatur ini, kadangkala menyebabkan sisi penerimaan justru tidak menguntungkan. Sebagai contoh adalah cukai minuman keras, apabila nilai pemasukan dari cukai minuman keras sedikit. Maka dapat diindikasikan bahwa masyarakat tidak lagi mengkonsumsi minuman keras. Dalam hal ini pemerintah dianggap berhasil mengurangi konsumsi minuman keras, namun jika dikaitkan dengan sisi budgetair tidak menguntungkan. Apabila dikaitkan dengan salah satu dimensi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, maka fungsi ini tidak lepas dari fungsi pengendalian (sturen) (Nurmantu,2005:36)

2.1.3 Asas Pemungutan Pajak Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas atau dasar. Asas yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk pengenaan pajak adalah : 1. Asas Tempat Tinggal Menurut asas ini wajib pajak yang bertempat kediaman di Indonesia dikenakan pajak atas segala pendapatan yang diperoleh di Indonesia maupun luar negeri. 2. Asas Kebangsaan Asas kebangsaan secara negatif muncul dalam bentuk pajak bangsa asing di Indonesia, yang mewajibkan umumya setiap orang yang bukan kebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia membayar pajak itu. 3. Asas Sumber Dalam hal ini cara pemungutan pajak tergantung dari sumber dalam suatu negara memungut pajak. Jika di Indonesia terdapat suatu sumber pendapatan, maka fiskusnya dapat memungut pajak pendapatan dengan tidak mengingat dimana wajib pajak bertempat tinggal. 2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Dalam pelaksanaan pemungutan pajak, terdapat empat sistem pemungutan pajak, yaitu (Priantara, 2012:7-8)

1. Official Assesment System Official Assesment System yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk meghitung besarnya pajak terhutang oleh seseorang berada pada pemungut atau aparatur pajak, dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif, menunggu ketetapan dari aparatur pajak. Dengan demikian berhasil atau tidaknya pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur pajak karena inisiatif kegiatan dan peran dominan berada pada aparatur pajak (Priantara, 2012:7) Dalam sistem ini fiskus cukup dominan dalam melakukan perhitungan dan penetapan besaran utang pajak. Sistem ini lebih umum diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan masyarakat luas dan wajib pajak dipandang belum mampu untuk diberikan tanggung jawab untuk menghitung besaran pajaknya, salah satu contohnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 2. Self Assesment System Self Assesment System yaitu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menghitung besarnya pajak terhutang berada pada wajib pajak, dalam sistem ini wajib pajak harus aktif menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak turut campur dalam perhitungan besarnya pajak terhitung kecuali wajib pajak menyalahi aturan. Dengan demikian berhasil atau tidaknya pemungutan pajak banyak tergantung pada wajib pajak karena inisiatif kegiatan dan peran dominan

berada pada wajib pajak, meskipun masih ada peran aparatur pajak dalam hal wajib pajak menyalahi aturan (Priantara, 2012:8) Menurut Nurmantu, dalam sistem self assesment terdapat istilah 5M yaitu: a. Mendaftarkan diri di KPP untuk mendapatkan NPWP b. Menghitung atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terhutang c. Menyetor pajak tersebut ke Bank Persepsi atau Kantor Giro Pos d. Melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak e. Menetapkan sendiri jumlah pajak yang terhutang melalui pengisian SPT dengan baik dan benar (Nurmantu,2005:108) 3. Full Self Assesment Full Self Assesment yaitu suatu sistem perpajakan dimana wewenang untuk menghitung besarnya pajak terhutang oleh wajib pajak berada pada wajib pajak itu sendiri dalam menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak terhutang seperti halnya self assesment system berhasil atau tidaknya pemungutan pajak banyak tergantung pada wajib pajak karena inisiatif kegiatan dan peran dominan berada pada wajib pajak (Priantara, 2012:8) Diberlakukannya sistem self assesment dalam pemungutan pajak di Indonesia memiliki tujuan yang hendak dicapai, yaitu : a. Meningkatkan kesadaran pajak (tax conciousness) dari wajib pajak guna mengetahui dan melaksanakan segala kewajiban-kewajiban pajaknya sesuai sengan perundang-undangan yang berlaku.

b. Adanya hasrat dan minat yang tinggi (tax mindedness) wajib pajak untuk membayar pajak tepat waktunya seperti yang telah ditetapkan peraturan yang berlaku. c. Adanya kepatuhan membayar pajak (tax compliance/ tax obidience) dan adanya disiplin dalam melaksanakan pembayaran pajak tepat pada waktunya (tax-dicipline). d. Adanya kejujuran wajib pajak (honesty), yaitu kejujuran wajib pajak dalam mengisi dan membayar angsuran pajak dan mengisi SPT Tahunan sesuai dengan keadaan). e. Terhindar dari timbulnya wajib pajak yang tidak taat membayar pajak yang terhutang (tax-dodger) (Wahyutomo,1994:12). 4. Semi Full Self Assesment Semi Full Self Assesment yaitu sistem pemungutan pajak campuran antara self assesment dan official assessment (Priantara, 2012:8). Sistem pemungutan pajak yang dianut oleh Indonesia adalah self assessment. Yang mengharuskan wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban pajaknya sendiri. Dalam hal ini wajib pajak dianggap paling tahu mengenai besarnya pajak terhutang karena wajib pajak tentu lebih memahami penghasilannya sendiri. Dengan self assessment, apa yang telah dihitung, disetor dan dilaporkan oleh wajib pajak dianggap benar oleh fiskus. Perhatikan Pasal 12 ayat (1) UU KUP yang menyebutkan, Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya

surat ketetapan pajak, dan Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan bahwa Jumlah Pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2.1.5 Subjek Pajak Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak (Waluyo, 2010, hal.89). Pasal 1 UU PPh menyebutkan bahwa PPh dikenakan terhadap subjek pajak. Atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang menjadi subyek pajak adalah: 1. Orang pribadi Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun diluar Indonesia. Ini berarti pengenaan PPh didasarkan atas penerimaan atau perolehan penghasilan dari Indonesia oleh siapapun yang berada, bertempat tinggal, berlokasi dimanapun baik di Indonesia ataupun di luar Indonesia (Priantara, 2012:180) 2. Badan Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan Lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan bentuk

apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (Waluyo, 2010:89) 3. Bentuk Usaha Tetap Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau badan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia (Waluyo, 2010:89) 2.1.6 Tarif Pajak Dalam penerapan pajak penghasilan, terdapat empat macam tarif pajak yaitu: 1. Tarif Pajak Proposional / Sebanding Tarif pajak proposional atau sebanding ialah tarif pemungutan pajak dengan menggunakan prosentase yang tetap (tidak berubah) berapapun jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak (Munawir, 1998:15). 2. Tarif Pajak Progresif Tarif pajak progresif atau meningkat adalah suatu tarif pemungutan pajak dengan prosentase pemungutan yang semakin besar dengan semakin dengan semakin besarnya jumlah yang dikenakan pajak (Munawir, 1998:16). Keutamaan dari sistem tarif progresif ini ditujukan kepada pajak-pajak subjektif yang memperhatikan gaya pikul wajib pajak

(Brotodihardjo,2003:183). Alasan yang mendukung penggunaan tarif progresif adalah sebagai berikut: a. Pertumbuhan ekonomi dan stabilitas b. Mengurangi ketidak adilan ekonomi c. Adanya prinsip ability to pay Dalam tarif ini dapat dilihat sebuah keadilan. Dimana mereka yang mempunyai penghasilan tinggi dikenakan pajak yang lebih berat. Dan yang mempunya penghasilan rendah juga membayar pajak pajak lebih ringan. Bagi Indonesia tarif ini sangat berdampak positif untuk penerimaan Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (APBN). 3. Tarif Pajak Degresif Tarif degresif atau menurun ialah tarif pemungutan pajak dengan menggunakan prosentase yang semakin kecil dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak (Munawir, 1998:15). 4. Tarif Pajak Tetap Tarif pajak tetap ialah tarif pemungutan pajak dengan jumlah yang sama untuk setiap jumlah, sehingga besarnya pajak yang terhutang tidak tergantung pada suatu jumlah yang dikenakan pajak (Munawir, 1998:16). 2.1.7 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu memutuskan : Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :

1. Undang Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Pasal 2 (1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. (2) Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wjib pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak.

(3) Tidak termasuk wajib pajak orang pribadi sebagimana dimaksud pada ayat (2) adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya : a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntunkan bagi tempat usaha atau berjualan. (4) Tidak termasuk wajib pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah : a. Wajib pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau b. Wajib pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pasal 3 (1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). (2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. (3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. (4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 4 (1) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. (2) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 5 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 6 Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penhasilan dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 7 Pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri atas penghasilan dari luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya. Pasal 8 Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut : a. Kompensasi kerugian dilakukan muali Tahun Pajak berikutnya berturutturut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak; b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya. Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperolah wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi

secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 10 Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut : 1. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan; 2. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Perturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini dibulan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku; 3. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Pasal 11 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 01 Juli 2013.

Adapun selain Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 diatas terdapat peraturan lain yang masih berkaitan dengan peraturan tersebut seperti Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 107/PMK.011/2013, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-42/PJ/2013. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 107/PMK.011/2013 menjelaskan tentang tata cara perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE 42/PJ/2013 menjelaskan tentang Pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 46 tahun 2013 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Peraturan ini dapat memberikan acuan dalam rangka pelaksanaan ketentuan pajak penghasilan bagi wajib pajak yang memilki peredaran bruto tertentu. Agar pelaksanaan ketentuan pajak penghasilan bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertantu dapat berjalan dengan baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya. Dalam peraturan ini menjelaskan tentang pembebasan dari pemotongan dan permohonan pemindahbukuan oleh wajib pajak. Permohonan pemindahbukuan oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf F nomor 6. Pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu yang disetor tidak menggunakan Kode akun pajak 411128 dan Kode jenis setoran 420 dapat

mengajukan pemindahbukuan. Ke dalam setoran pajak Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan. ( Format pengajuan pemindahbukuan dapat dilihat di lampiran ). Peraturan ini juga menjelaskan tentang penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam huruf G nomor 2. Sehubungan dengan tujuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 yang digunakan untuk memberikan keringanan atas sanksi yang dikenakan terhadap wajib pajak. Ketentuan ini hanya berlaku pada awal pemberlakuan peraturan yaitu dari masa juli sampai dengan masa desember 2013. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 menjelaskan tentang tata cara pembebasan dari pemotong dan / atau pemungutan pajak penghasilan bagi wajib pajak yang dikenai pajak penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Yang dimaksud dalam peraturan ini adalah wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Wajib pajak dapat mengajukan surat keterangan bebas pemotongan dan / atau pemungutan pajak penghasilan oleh pihak lain yang dapat dikreditkan. Pembebasan dari pemotongan dan / atau pemungutan pajak penghasilan yang dapat dikreditkan diberikan oleh Direktur Jendral Pajak melalui surat keterangan bebas. Kepala kantor pelayanan pajak atas nama Direktur Jendral Pajak yang menerbitkan Surat keterangan bebas. Wajib pajak dapat mengajukan surat

permohonan untuk pembebasan yang diajukan secara tertulis kepada Kepala kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak menyampaikan kewajiban perpajakannya. Surat Keterangan bebas diajukan untuk setiap pemotongan dan / atau pemungutan pajak penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor dan / atau Pasal 23. ( Format pengajuan SKB dapat dilihat di lampiran ). 2.2 Rerangka Pemikiran GAMBAR 2 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 1. Pemerataan Tarif 1% 2. Kekurangan dan kelebihan Pendapat Wajib Pajak Pendapat Fiskus