PENGARUH SUHU RUANG FERMENTASI DAN KADAR AIR SUBSTRAT TERHADAP NILAI GIZI PRODUK FERMENTASI LUMPUR SAWIT

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI NILAI GIZI LUMPUR SAWIT HASIL FERMENTASI DENGAN ASPERGILLUS NIGER PADA BERBAGAI PERLAKUAN PENYIMPANAN

PENINGKATAN NILAI GIZI LUMPUR SAWIT MELALUI PROSES FERMENTASI : PENGARUH JENIS KAPANG, SUHU, DAN LAMA PROSES ENZIMATIS

SUHU FERMENTOR TERHADAP NILAI GIZI PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR PRODUK FERMENTASI BUNGKIL KELAPA SAWIT

EVALUASI NILAI GIZI LUMPUR SAWIT FERMENTASI DENGAN ASPERGILLUS NIGER SETELAH PROSES PENGERINGAN DENGAN PEMANASAN

Respon Broiler terhadap Pemberian Ransum yang Mengandung Lumpur Sawit Fermentasi pada Berbagai Lama Penyimpanan

FERMENTASI BUNGKIL INTI SAWIT SECARA SUBSTRAT PADAT DENGAN MENGGUNAKAN ASPERGILLUS NIGER

Evaluasi Nilai Gizi Fermentasi Lumpur Sawit dengan Penambahan Fosfor dari Sumber yang Berbeda

PERLAKUAN PENYEDUHAN AIR PANAS PADA PROSES FERMENTASI SINGKONG DENGAN ASPERGILLUS NIGER

PEMANFAATAN LUMPUR SAWIT UNTUK RANSUM UNGGAS: 3. PENGGUNAAN PRODUK FERMENTASI LUMPUR SAWIT SEBELUM DAN SETELAH DIKERINGKAN DALAM RANSUM AYAM PEDAGING

LUMPUR MINYAK SAWIT KERING (DRIED PALM OIL SLUDGE) SEBAGAI PENGGANTI DEDAK PADI DALAM RANSUM RUMINANSIA

NILAI GIZI LUMPUR KELAPA SAWIT HASIL FERMENTASI PADA BERBAGAI PROSES INKUBASI

Pengkajian Nilai Gizi Hasil Fermentasi Mutan Aspergillus niger pada Substrat Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

PEMANFAATAN AMPAS KELAPA LIMBAH PENGOLAHAN MINYAK KELAPA MURNI MENJADI PAKAN

1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke

KANDUNGAN LEMAK KASAR, BETN, KALSIUM DAN PHOSPOR FESES AYAM YANG DIFERMENTASI BAKTERI Lactobacillus sp

PENGARUH FERMENTASI Saccharomyces cerevisiae TERHADAP KANDUNGAN NUTRISI DAN KECERNAAN AMPAS PATI AREN (Arenga pinnata MERR.)

Mairizal 1. Intisari. Kata Kunci : Fermentasi, Kulit Ari Biji Kedelai, Aspergillus Niger, Ayam Pedaging.

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

PENGARUH WAKTU INKUBASI CAMPURAN AMPAS TAHU DAN ONGGOK YANG DIFERMENTASI DENGAN NEUROSPORA SITOPHILA TERHADAP KANDUNGAN ZAT MAKAN

PRODUK FERMENTASI LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI BAHAN PAKAN UNGGAS DI INDONESIA

PEMANFATAN LUMPUR SAWIT UNTUK RANSUM UNGGAS: 1. LUMPUR SAWIT KERING DAN PRODUK FERMENTASINYA SEBAGAI BAHAN PAKAN AYAM BROILER

I. PENDAHULUAN. Industri peternakan di Indonesia khususnya unggas menghadapi tantangan

PEMANFAATAN LUMPUR SAWIT UNTUK RANSUM UNGGAS: 2. LUMPUR SAWIT KERING DAN PRODUK FERMENTASI SEBAGAI BAHAN PAKAN ITIK JANTAN YANG SEDANG TUMBUH

KANDUNGAN DAN NILAI KECERNAAN IN VITRO BAHAN KERING, BAHAN ORGANIK DAN PROTEIN KASAR CASSAPRO DENGAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA

BAB I PENDAHULUAN. Pakan sangat penting bagi kesuksesan peternakan unggas karena dalam

BUNGKIL INTI SAWIT DAN PRODUK FERMENTASINYA SEBAGAI PAKAN AYAM PEDAGING

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

KUALITAS NUTRISI CAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN ONGGOK YANG DIFERMENTASI MENGGUNAKAN

Onggok Terfermentasi dan Pemanfaatannya dalam Ransum Ayam Ras Pedaging

Uji Nilai Nutrisi Kulit Ubi Kayu yang Difermentasi dengan Aspergillus niger (Nutrient Value Test of Cassava Tuber Skin Fermented by Aspergillus niger)

15... Stand ar Amilase Nilai Aktifitas Enzim Amilase Anali sis Statistik Aktifitas Enzim Amilase... 50

KAJIAN PERBEDAAN ARAS DAN LAMA PEMERAMAN FERMENTASI AMPAS SAGU DENGAN Aspergillus niger TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pemecahan masalah biaya tinggi pada industri peternakan. Kelayakan limbah pertanian

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 6. No. 3. Th. 2001

I. PENDAHULUAN. hasil produksi pengembangan ayam broiler akan semakin tinggi.

Kualitas Gizi Fermentasi Ransum Konsentrat Sapi Pedaging Berbasis Lumpur Sawit dan Beberapa Bahan Pakan Lokal dengan Bionak dan EM 4

INTEGRASI SAPI-SAWIT: UPAYA PEMENUHAN GIZI SAPI DARI PRODUK SAMPING

KORELASI ANTARA AKTIVITAS ENZIM MANANASE DAN SELULASE TERHADAP KADAR SERAT LUMPUR SAWIT HASIL FERMENTASI DENGAN ASPERGILLUS NIGER

Fermentasi Lemna sp. Sebagai Bahan Pakan Ikan Untuk Meningkatkan Penyediaan Sumber Protein Hewani Bagi Masyarakat

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang

PEMANFAATAN LUMPUR SAWIT UNTUK BAHAN PAKAN UNGGAS

BAB I PENDAHULUAN. Advisory (FAR), mengungkapkan bahwa Indonesia adalah penyumbang

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

Penggunaan Bungkil Inti Sawit Terfermentasi untuk Sapi Perah

PENGANTAR. Latar Belakang. Sebagian komponen dalam industri pakan unggas terutama sumber energi

PROSES PENGOLAHAN UBI KAYU / SINGKONG MENJADI CASSAPRO

KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK TONGKOL JAGUNG (Zea mays) YANG DIFERMENTASI DENGAN Aspergillus niger SECARA IN VITRO

NILAI GIZI BUNGKIL KELAPA TERFERMENTASI DALAM RANSUM ITIK PETELUR DENGAN KADAR FOSFOR YANG BERBEDA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

JITV Vol. 7. No. 3. Th. 2002

PENGGUNAAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN PRODUK FERMENTASINYA DALAM RANSUM ITIK SEDANG BERTUMBUH

PERUBAHAN NILAI BILANGAN PEROKSIDA BUNGKIL KELAPA DALAM PROSES PENYIMPANAN DAN FERMENTASI DENGAN ASPERGILLUS NIGER

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ikan merupakan salah satu hewan yang banyak dibudidayakan oleh

I. PENDAHULUAN.. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim

PENINGKATAN KUALITAS GIZI KULIT BUAH MARKISA MELALUI PROSES FERMENTASI DENGAN ASPERGILLUS NIGER SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK

NILAI NUTRISI TEPUNG KULIT ARI KEDELAI DENGAN LEVEL INOKULUM RAGI TAPE DAN WAKTU INKUBASI BERBEDA

BAB I PENDAHULUAN. dapat mencapai 60%-80% dari biaya produksi (Rasyaf, 2003). Tinggi rendahnya

Roeswandy. Departemen Perternakan, Fakultas Pertanian USU

ENERGI METABOLIS DAN DAYA CERNA BAHAN KERING RANSUM YANG MENGANDUNG BERBAGAI PENGOLAHAN DAN LEVEL CACING TANAH (LUMBRICUS RUBELLUS)

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan,

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. tercatat sebesar 237 juta jiwa dan diperkirakan bertambah 2 kali lipat jumlahnya. ayam sebagai salah satu sumber protein hewani.

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

KOMPOSISI FRAKSI SERAT DARI SERAT BUAH KELAPA SAWIT (SBKS) YANG DI FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN FESES KERBAU PADA LEVEL BERBEDA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

PRODUKTIVITAS KAMBING KACANG DENGAN PEMBERIAN PAKAN KOMPLIT KULIT BUAH MARKISA (Passiflora Edulis Sims. F. Edulis Deg) TERFERMENTASI Aspergillus niger

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al.,

KECERNAAN RANSUM SAPI BALI DENGAN KONSENTRAT FERMENTASI BERBASIS LUMPUR SAWIT DAN BAHAN PAKAN LOKAL

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga

KANDUNGAN PROTEIN DAN SERAT KASAR TONGKOL JAGUNG YANG DIINOKULASI Trichoderma sp. PADA LAMA INKUBASI YANG BERBEDA ABSTRACT ABSTRAK PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan pada tiap tahunnya dari ekor pada tahun

Pengaruh Dosis Inokulum dan Lama Fermentasi Buah Ketapang (Ficus lyrata) oleh Aspergillus niger terhadap Bahan Kering, Serat Kasar, dan Energi Bruto

NILAI KADAR PROTEIN DAN AKTIVITAS AMILASE SELAMA PROSES FERMENTASI UMBI KAYU DENGAN Aspergillus niger

PENINGKATAN NILAI KECERNAAN PROTEIN KASAR DAN LEMAK KASAR PRODUK FERMENTASI CAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN DEDAK PADI PADA BROILER

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian. Universitas Lampung, Lampung INTI SARI

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

Pengaruh Pemakaian Urea Dalam Amoniasi Kulit Buah Coklat Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara in vitro

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan

Pengaruh Pemberian Ampas Teh (Camellia sinensis) Fermentasi dengan Aspergillus niger pada Ayam Broiler

I. PENDAHULUAN. Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan

FERMENTASI LIMBAH KULIT BUAH KAKAO (Theobroma cacao L) DENGAN Aspergillus niger TERHADAP KANDUNGAN BAHAN KERING DAN ABU

Yosi Fenita, Irma Badarina, Basyarudin Zain, dan Teguh Rafian

I. PENDAHULUAN. pakan ternak. Produksi limbah perkebunan berlimpah, harganya murah, serta tidak

Pengaruh Bungkil Inti dan Lumpur Sawit yang Difermentasi dengan Aspergillus sp asal Akar Bambu terhadap Kandungan Lemak Ayam Broiler

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,

Perubahan Nilai Gizi Tepung Eceng Gondok Fermentasi dan Pemanfaatannya sebagai Ransum Ayam Pedaging

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

Transkripsi:

PENGARUH SUHU RUANG FERMENTASI DAN KADAR AIR SUBSTRAT TERHADAP NILAI GIZI PRODUK FERMENTASI LUMPUR SAWIT A.P. SINURAT, T. PURWADARIA, J. ROSIDA, H. SURACHMAN, H. HAMID, dan I.P. KOMPIANG Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia (Diterima dewan redaksi 28 Desember 1998) ABSTRACT A.P. SINURAT, T. PURWADARIA, J. ROSIDA, H. SURACHMAN, H. HAMID, dan I.P. KOMPIANG. 1998. The effect of fermentor temperatures and moisture content of substrate on the nutritive value of fermented palm oil sludge. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (4): 225-229. A series of experiment was designed in order to improve the nutritive value of palm oil sludge (POS) through fermentation. POS was fermented in a fermentor chamber with different temperatures (28 and 32 o C) and initial moisture content of the substrate (50,55 and 60%). The nutrient content (crude protein, true protein, in vitro- dry matter and protein digestibility and crude fibre) of the fermented products were evaluated at different stages of the fermentation, i.e.: before incubated (F0), 3 d after aerobic incubation (F3) and 2 d anaerobic incubation after F3 (EN). Cellulase and mannanase activity of the EN products were also measured before and after dried at 60 o C. Fermentation at 32 o C produced better product (higher nutritive values), although the in vitro dry matter digestibility was not affected by the temperatures. All parameters measured were not significantly influenced by the initial moisture content of the substrate. The nutritive value of unincubated POS (F0) was significantly poorer than the F3 and EN and there was no different in nutrient value between F3 and EN. Soluble nitrogen and in vitro dry matter digestibility were not significantly affected by the stages of the fermentation. Mannanase activity in the EN product was significantly higher when the fermentation was performed at 32 o C than those at 28 o C and the enzyme activity was reduced after dried (320.7 vs 201.8 U/g DM). The cellulase activity of the fresh/wet fermented product produced at 28 o C was significantly higher than those produced at 32 o C, but the reverse was occurred in the dry products. It is concluded that fermentation process of palm oil sludge at 32 o C and initial moisture content of 50-60% produced better (in vitro) nutritive value. Key words: Palm oil sludge, fermentation, nutritive value ABSTRAK A.P. SINURAT, T. PURWADARIA, J. ROSIDA, H. SURACHMAN, H. HAMID, dan I.P. KOMPIANG. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (4): 225-229. Serangkaian penelitian dirancang untuk meningkatkan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi. Lumpur sawit difermentasi pada suhu ruangan (28 dan 32 o C) dan kadar air substrat yang berbeda (50, 55 dan 60%). Produk yang dihasilkan kemudian dianalisis nilai gizinya (kadar protein kasar, protein sejati, daya cerna in vitro bahan kering dan protein dan kadar serat kasar) pada berbagai tahapan proses fermentasi: saat sebelum inkubasi (F0), 3 hari setelah inkubasi aerobik (F3) dan 2 hari proses enzimatis anaerobik setelah F3 (EN). Aktivitas enzim selulase dan mananase produk fermentasi EN juga diukur sebelum dan setelah dikeringkan pada suhu 60 o C. Proses fermentasi pada suhu 32 o C menghasilkan kadar gizi yang lebih baik. Akan tetapi, daya cerna bahan kering in vitro tidak nyata dipengaruhi oleh suhu ruangan. Kadar air substrat ternyata tidak berpengaruh terhadap semua parameter yang diukur. Nilai gizi lumpur sawit yang belum diinkubasi (F0) nyata lebih rendah daripada F3 dan EN, sedangkan antara F3 dan EN tidak berbeda nyata. Kadar nitrogen terlarut dan daya cerna bahan kering in vitro tidak nyata dipengaruhi oleh tahapan proses fermentasi. Aktivitas enzim mananase produk fermentasi yang dihasilkan pada suhu ruangan 32 o C nyata lebih tinggi dari pada suhu ruangan 28 o C dan aktivitas enzim mananase menurun setelah dikeringkan (320,7 vs 201,8 U/g BK). Aktivitas enzim selulase produk segar/basah yang dihasilkan pada suhu 28 o C lebih tinggi daripada yang dihasilkan pada suhu ruangan 32 o C, tetapi keadaan sebaliknya terjadi pada produk fermentasi setelah dikeringkan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa proses fermentasi lumpur sawit akan menghasilkan produk dengan nilai gizi (in vitro) yang lebih baik bila dilakukan pada suhu 32 o C, dengan kadar air substrat antara 50-60%. Kata kunci : Lumpur sawit, fermentasi, nilai gizi 225

A. P. SINURAT et al. : Pengaruh Suhu Ruang Fermentasi dan Kadar Air Substrat terhadap Nilai Gizi Produk Fermentasi PENDAHULUAN Salah satu masalah pokok dalam pengembangan usaha peternakan, terutama unggas, adalah masalah penyediaan pakan. Meskipun Indonesia menghasilkan bahan pakan seperti jagung, tepung ikan dan dedak, namun jumlahnya masih jauh dari mencukupi, sehingga kekurangannya harus diimpor termasuk jagung, tepung ikan, bungkil kedelai, tepung daging dan tulang. Jumlah impor tiap tahun makin bertambah sesuai dengan pertumbuhan peternakan. Sebagai gambaran, untuk memenuhi kebutuhan bahan pakan pada tahun 1994, Indonesia mengimpor jagung 1.118.300 ton, tepung daging dan tulang 189.375 ton, tepung ikan 247.918 ton dan bungkil kedelai 498.590 ton (FAO, 1995). Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar saat ini, dirasakan sangat memukul industri perunggasan (produsen dan konsumen), karena mengakibatkan harga pakan yang sangat mahal dan juga harga telur dan daging ayam. Di lain pihak, di Indonesia juga terdapat bahan pakan yang belum umum digunakan (inkonvensional) seperti limbah industri pertanian. Salah satu di antaranya adalah limbah industri sawit berupa lumpur sawit. Pada saat ini, produksi inti sawit di Indonesia adalah 993.644 ton/tahun (DITJENBUN, 1995) atau setara dengan 1.987.000 ton/tahun buah tandan segar. Menurut DEVENDRA (1977), bungkil inti sawit dan lumpur sawit akan dihasilkan masing-masing sebanyak 2% bahan kering dari tandan buah segar. Dengan demikian, produksi bungkil inti sawit dan lumpur sawit masing-masing adalah 94.936 ton bahan kering/ tahun (DITJENBUN, 1995). Jumlah ini masih akan ber-tambah sejalan dengan luas perkebunan kelapa sawit yang terus meningkat. Luas perkebunan kelapa sawit tahun 1995 adalah 1.951.609 ha dan perkiraan luas tahun 1996 adalah 2.077.472 ha (DITJENBUN, 1995). Lumpur sawit sebagai bahan pakan unggas belum lazim dilakukan. Bahkan lumpur sawit dinggap sebagai sumber polusi karena tidak digunakan (YEONG, 1982). Hal ini karena kedua bahan tersebut mempunyai nilai gizi yang rendah, terutama karena kandungan serat kasar yang tinggi (12-16%) dan kandungan protein/asam amino yang rendah. Oleh karena itu, faktor pembatas ini perlu diatasi agar kedua bahan tersebut dapat digunakan sebagai pakan unggas. Melalui teknologi fermentasi, kemungkinan kadar protein bahan baku tersebut di atas dapat ditingkatkan dan kadar serat kasarnya dapat diturunkan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa fermentasi lumpur sawit dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan kadar protein sejati (protein kasar dikurangi nitrogen terlarut x 6,25) dari 10,4% menjadi 17% dan menurunkan kadar serat ADF dan NDF, masing-masing dari 44,3 dan 62,8% menjadi 39,9 dan 52,1% (PASARIBU, et al., 1998). Akan tetapi, dalam proses fermentasi perlu diperoleh teknik agar produk fermentasi mempunyai mutu yang baik, stabil dan sesuai dengan kebutuhan unggas. Kualitas yang stabil sangat diperlukan dalam formulasi pakan unggas. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kualitas produk (kadar protein) sangat bervariasi antar batch pembuatan. Hal ini akan menjadi kendala dalam penyusunan ransum yang tepat. Oleh karena itu, faktor lingkungan yang mem-pengaruhi keragaman kualitas produk ini akan diteliti. Penelitian yang dilakukan pada tahun sebelumnya (PASARIBU et al., 1998) terutama terfokus pada teknologi fermentasi dalam menentukan jenis mikroorganisme, lama dan suhu proses enzimatis serta campuran mineral yang optimum. Dari penelitianpenelitian sebelumnya diduga bahwa kualitas produk fermentasi substrat padat sangat bervariasi. Oleh karena itu, penelitian ini dirancang untuk mencari teknologi fermentasi dalam hal penentuan suhu fermentasi dan kadar air substrat yang optimum agar produk yang dihasilkan mempunyai kualitas yang stabil dan kandungan nutrisi yang lebih tinggi. MATERI DAN METODE Untuk penelitian ini, dibangun suatu ruangan berukuran 4x3x2,5 m sebagai fermentor. Ruangan dilengkapi dengan pengatur suhu dan kelembaban. Prosedur fermentasi dilakukan seperti yang telah diuraikan oleh PURWADARIA et al. (1995). Proses fermentasi lumpur sawit dilakukan dalam ruangan dengan mengubah-ubah suhu (28 dan 32 o C) dan kadar air (50, 55 dan 60%) substrat pada awal fermentasi. Kelembaban dalam ruang fermentor dipertahankan 80%. Untuk mengetahui perubahan komposisi lumpur sawit selama proses fermentasi maka diambil sampel lumpur sawit yang difermentasi 0 jam (setelah dikukus, ditambah mineral dan inokulum F0), setelah fermen-tasi 3 hari (F3) dan setelah fermentasi yang dilanjutkan dengan enzimatis 2 hari (EN). Sampel lumpur sawit kering yang tidak difermentasi (LS) juga diambil sebagai pembanding. Sampel-sampel tersebut kemudian dianalisis nilai gizinya (kadar protein kasar, protein sejati, daya cerna in vitro bahan kering dan protein, kadar serat kasar, aktivitas enzim selulase dan mananase produk fermentasi basah dan kering. Kadar serat kasar ditentukan menurut metode VAN SOEST dan ROBERTSON (1968), protein kasar dan nitrogen terlarut ditentukan menurut metoda AOAC (1984), daya cerna bahan kering dan protein-in vitro ditentukan menurut uraian SAUNDERS et al. (1973) dan aktivitas enzim selulosa diukur dengan menentukan aktivitas CMC-ase, seperti diuraikan oleh HAGGETT et al. (1979) dan mananase ditentukan menurut metoda yang diuraikan oleh PURWADARIA et al. (1994) pada contoh ekstrak enzim dengan larutan dasar 0,1 M Na-Sitrat, ph 5,8. 226

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 3 No. 4 Th. 1998 Aktivitas enzim dalam produk fermentasi diukur dari produk segar/basah dan yang sudah dikeringkan dengan oven pada suhu 60 o C. Data nilai gizi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam pola faktorial 2x3x3, dengan faktor utama : suhu ruangan saat fermentasi (28 dan 32 o C, kadar air substrat (50, 55 dan 60%) dan tahapan proses fermentasi (F0, F3 dan EN). Sementara itu data aktivitas enzim dianalisis dengan analisis sidik ragam pola faktorial 2x3x2 (suhu ruang x kadar air substrat x proses pengeringan). Bila sidik ragam menunjukkan perbedaan secara nyata (P<0,05), maka dilakukan uji lanjutan dengan uji beda nyata terkecil (STEEL dan TORRIE, 1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis nilai gizi lumpur sawit yang difermentasi pada tahapan, suhu ruang fermentor dan kadar air substrat yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Untuk parameter kadar protein kasar, nitrogen terlarut, protein sejati, serat kasar, daya cerna bahan kering dan daya cerna protein in vitro, tidak nyata dipengaruhi oleh interaksi antara faktor-faktor peubah yang diteliti, karena itu data disajikan menurut faktor utama saja. Kadar air substrat yang dibuat bervariasi dari 50% hingga 60% pada awal proses fermentasi ternyata tidak berpengaruh terhadap kadar protein kasar, nitrogen terlarut, protein sejati, serat kasar, daya cerna bahan kering dan daya cerna protein in vitro produk fermentasi lumpur sawit. Oleh karena itu, proses fermentasi lumpur sawit dapat dilakukan pada kisaran kadar air antara 50-60%. Hasil penelitian YANG et al. (1993) menunjukkan bahwa kadar air substrat awal sangat mempengaruhi kadar protein produk fermentasi limbah ubi dengan menggunakan Saccharomyces sp., maupun dengan Rhizopus sp. Selanjutnya dilaporkan bahwa kadar air substrat pada awal fermentasi yang menghasilkan protein tertinggi adalah >68%. Tahapan proses fermentasi nyata mempengaruhi kadar protein kasar (P<0,05), protein sejati (P<0,01), serat kasar (P<0,05) dan daya cerna protein in vitro (P<0,01), tetapi tidak nyata berpengaruh terhadap kadar nitrogen terlarut dan daya cerna bahan kering in vitro. Protein kasar, protein sejati dan daya cerna protein in vitro nyata lebih tinggi pada produk fermentasi setelah diinkubasi secara aerob 3 hari (F3) dan dilanjutkan dengan proses anaerob 2 hari (EN) dibandingkan dengan produk yang hanya dikukus, ditambah mineral dan spora tanpa inkubasi (F0). Sebaliknya, kadar serat kasar F3 dan EN nyata lebih rendah dari kadar serat kasar F0. Akan tetapi, kadar protein kasar, protein sejati dan serat kasar antara F3 dan EN tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa proses enzimatis yang dilakukan setelah inkubasi aerob tidak memberi manfaat bila ditinjau dari segi parameter ini. Suhu ruangan di dalam ruang fermentor selama proses inkubasi aerob nyata berpengaruh terhadap kadar protein kasar (P<0,01), nitrogen terlarut (P<0,05), protein sejati (P<0,01), serat kasar (P<0,05) dan daya cerna protein in vitro (P<0,01), tetapi tidak nyata berpengaruh terhadap daya cerna bahan kering in vitro (P>0,05) produk fermentasi lumpur sawit. Dari semua parameter ini terlihat bahwa proses fermentasi lumpur sawit yang dilakukan pada ruangan dengan suhu 32 o C menghasilkan produk yang mempunyai nilai gizi lebih tinggi dibandingkan dengan bila dilakukan pada suhu 28 o C. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa pada suhu 32 o C pertumbuhan A. niger lebih baik, sehingga dapat membentuk protein dan merombak serat kasar lebih banyak. FRAZIER dan WESTHOFF (1978) mengemukakan bahwa umumnya kapang tumbuh optimum pada kisaran suhu 25-30 o C, tetapi Aspergillus dapat tumbuh optimum pada suhu yang lebih tinggi. Tabel 1. Nilai gizi lumpur sawit sebelum dan sesudah difermentasi pada suhu dan kadar air yang berbeda Kandungan gizi Tahapan proses Suhu fermentor Kadar air medium (%) Kontrol F0 F3 EN 28 o C 32 o C 50 55 60 Protein kasar (%) 22,3a 25,0b 24,5b 23,2A 24,7B 23,8 23,9 24,1 12,21 Nitrogen terlarut x 6,25 (%) 9,2 9,4 9,0 9,4a 9,0b 9,0 9,2 9,3 3,9 Protein sejati (%) 13,1A 15,6B 15,6B 13,8B 15,7B 14,8 14,7 14,8 8,9 Serat kasar (%) 23,0a 17,6b 19,9b 21,8b 18,6b 19,5 20,5 20,5 29,76 Daya cerna bahan kering in vitro (%) 27,9 28,5 29,2 28,0 29,0 27,9 28,5 29,3 15,19 Daya cerna protein in vitro (%) 33,2A 40,0B 38,8B 34,7A 40,0B 37,2 37,4 37,3 30,0 Keterangan: F0 = tanpa inkubasi, F3 = inkubasi aerob 3 hari, EN = F3 + inkubasi anaerob 2 hari Huruf kecil (P <0,05) dan besar (P<0,01) di atas nilai pada baris dan faktor yang sama menunjukkan berbeda nyata Penurunan kadar serat kasar lumpur sawit setelah proses fermentasi adalah merupakan hasil aktivitas dari enzim yang dihasilkan, seperti disajikan pada Tabel 2. Aktivitas enzim mananase yang dihasilkan tidak nyata (P>0,05) dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan dan kadar air substrat, tetapi sangat nyata (P<0,01) 227

A. P. SINURAT et al. : Pengaruh Suhu Ruang Fermentasi dan Kadar Air Substrat terhadap Nilai Gizi Produk Fermentasi dipengaruhi oleh suhu. Aktivitas enzim mananase lebih tinggi pada produk fermentasi yang dilakukan pada ruang dengan suhu 32 o C dibanding dengan pada ruang dengan suhu 28 o C (331,9 vs 201,8 U/g BK). Hasil ini sejalan dengan nilai gizi yang dicantumkan pada Tabel 1. WANG et al. (1979) mengemukakan bahwa suhu sangat mempengaruhi pertumbuhan maksimum suatu kapang dan aktivitas enzim yang dihasilkan. Demikian juga aktivitas mananase produk fermentasi menurun drastis setelah mengalami proses pengeringan (320,7 vs 202,2 U/g BK), meskipun pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu 60 o C. Penurunan ini menunjukkan ketidak-stabilan enzim yang dihasilkan. Aktivitas enzim selulase produk fermentasi nyata dipengaruhi oleh interaksi antara proses pengeringan dengan suhu ruang fermentasi. Aktivitas enzim selulase produk fermentasi segar yang lebih tinggi (48,0 U/g BK) dihasilkan bila proses fermentasi dilakukan pada suhu ruang 28 o C dibandingkan dengan pada suhu 32 o C (34,8 U/g BK). Kejadian sebaliknya terjadi bila produk tersebut dikeringkan, di mana aktivitas enzim selulase lebih tinggi bila proses fermentasi dilakukan pada suhu 32 o C (22,7 U/g BK) dibandingkan bila pada suhu 28 o C (10,3 U/g BK). Sama halnya seperti enzim mananase, aktivitas enzim selulase juga sangat nyata (P<0,001) menurun setelah mengalami proses pengeringan. Akan tetapi, penurunan aktivitas enzim selulase produk fermentasi yang dihasilkan pada suhu 32 o C (18%) lebih kecil bila dibandingkan dengan yang dihasilkan pada suhu 28 C (79%). Dengan perkataan lain, aktivitas enzim selulase produk fermentasi kering lebih stabil bila proses fermentasi dilakukan pada suhu 32 o C dibandingkan dengan pada suhu 28 o C. Berbagai peneliti telah melaporkan bahwa Aspergillus dapat menghasilkan enzim-enzim yang dapat memecah serat seperti lignoselulosa (DUARTE et al., 1994). Hasil penelitian yang disajikan dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa aktivitas enzim selulase yang dihasilkan lebih rendah dari aktivitas enzim mananase. Hal ini sejalan dengan laporan XUE et al. (1992), yang mengemukakan bahwa penurunan kadar selulosa lebih kecil dibandingkan dengan persentase penurunan kadar hemiselulosa pada produk fermentasi ampas gula beet dengan A. tamarii 827. Tabel 2. Aktivitas enzim mananase dan selulase produk fermentasi lumpur sawit yang dihasilkan pada suhu dan kadar air yang berbeda Jenis produk fermentasi Kadar air media ( % ) Suhu ruang fermentor 50 55 60 28 C 32 C Mananase (U/g BK) Produk segar 293,7 341,3 327,1 284,4 357,0 Produk kering 255,7 188,7 149,0 119,2 301,8 Selulase (U/g BK) Produk segar 40,3 39,8 44,1 48,0 34,8 Produk kering 18,1 18,3 13,0 10,3 22,7 Hasil analisis statistik (taraf nyata): Mananase Selulase Kadar air substrat (A) P > 0,05 P > 0,05 Suhu fermentor (S) P < 0,01 P > 0,05 Pengeringan (P) P < 0,01 P < 0,001 Interaksi A x S P > 0,05 P > 0,05 Interaksi A x P P > 0,05 P > 0,05 Interaksi P x S P > 0,05 P < 0,01 KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai gizi lumpur sawit dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi. Proses fermentasi sebaiknya dilakukan pada suhu ruang 32 o C karena menghasilkan protein kasar, protein sejati, daya cerna protein in vitro yang lebih tinggi, kadar serat kasar yang lebih rendah dan aktivitas enzim mananase yang lebih tinggi. Kadar air substrat pada kisaran antara 50 dan 60% tidak 228

Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 3 No. 4 Th. 1998 menyebabkan perbedaan dalam nilai gizi produk fermentasi. Proses enzimatis anaerob yang dilakukan setelah fermentasi tidak nyata berpengaruh terhadap kandungan gizi produk fermentasi, sedangkan proses pengeringan produk fermentasi nyata menurunkan aktivitas enzim yang dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Washington. DEVENDRA, C. 1977. Utilization of feedingstuffs from the oil palm. In: Feedingstuffs for Livestock in South East Asia. Malaysian Society of Animal Productions. Serdang, Malaysia. p. 116-131. DITJENBUN. 1995. Statistik Perkebunan Indonesia 1994-1996: Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. DUARTE, J.C. and M. COSTA-FERREIRA. 1994. Aspergilli and lignocellulosics: Enzymology and biotechnological applications. FEMS Microbiol. Rev. 13:377-386. FAO. 1995. FAO Yearbook Trade. FAO, Rome. FRAZIER, W. C. dan D. C. WESTHOFF. 1978. Food Microbiology. McGraw Hill Book Co. New York. HAGGETT, K. D., P. P. GRAY, and N. W. DUNN. 1979. Crystalline cellulose degradation by a strain of Cellulomonas and its mutant derivatives. Eur. J. Appl. Microb. Biotech. 8:83-190. PASARIBU, T., A. P. SINURAT, T. PURWADARIA, SUPRIYATI, J. ROSIDA, dan H. HAMID. 1998. Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi: Pengaruh jenis kapang, suhu, dan lama proses enzimatis. J. Ilmu Ternak Vet. (In press). PURWADARIA, T., T. HARYATI, dan J. DARMA. 1994. Isolasi dan seleksi kapang mesofilik penghasil mananase. Ilmu dan Peternakan 12:26-29. PURWADARIA, T., T. HARYATI, A.P. SINURAT, J. DARMA, and T. PASARIBU. 1995. In vitro nutrient value of coconut meal fermented with Aspergillus niger NRRL 337 at different enzimatic incubation temperatures. Proceeds. 2nd Conf. on Agriculture Biotechnology, Jakarta - Indonesia. SAUNDERS, R. M., M. A. CONNOR, A. N. BOOTH, E. M. BICKOFF, and G. O. KOHLER. 1973. Measurement of digestibility of alfalfa protein concentrates by in vivo and in vitro methods. J. Nutr. 103:530. STEEL, R. G. D. dan J. H. TORRIE. 1980. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. McGraw Hill Book Co. New York. VAN SOEST, P. J. and J. B. ROBERTSON. 1968. System of analysis for evaluating fibrous feeds. In: Standarization of Analytical Methodology for Feed. W.J. PIGDEM, C.C. BALCH, and M. GRAHAM (eds). IDRC, Canada. WANG, D. I. C., C. L. COONEY, A. L. DEMAIN, P. DUNNILL, A. E. HUMPREY, and M. D. LILLY. 1979. Fermentation and Enzime Technology. John Wiley & Sons, Inc., New York. XUE, M., D. LIU, H. ZHANG, H. QI, and Z. LEI. 1992. A pilot process of solid state fermentation from sugar beet pulp for the production of microbial protein. J. Fermentation and Bioeng. 73:203-205. YANG, S. S., H. D. JANG, C. M. LIEW, and J. C. DU PREEZ. 1993. Protein enrichment of sweet potato residue by solid-state cultivation with mono- and co-cultures of amylolytic fungi. W. J. Microbiol. and Biotech. 9:258-264. YEONG, S.W. 1982. The nutritive value of palm oil byproducts for poultry. In: Animal Production and Health in the Tropics. (JAINUDEEN, M.R. and A.R. OMAR, eds.). Penerbit Universiti Pertanian Malaysia, Selangor. p. 217-222 229