PEMETAAN DAN ANALISIS INDEX VEGETASI MANGROVE DI PULAU SAPARUA, MALUKU TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

PERUBAHAN LUAS DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

Lalu Wima Pratama dan Andik Isdianto (2017) J. Floratek 12 (1): 57-61

STUDI TENTANG DINAMIKA MANGROVE KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN DATA PENGINDERAAN JAUH

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

PENENTUAN KERAPATAN MANGROVE DI PESISIR PANTAI KABUPATEN LANGKAT DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 5 TM DAN 7 ETM. Rita Juliani Rahmatsyah.

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

Jurnal Warta Rimba E-ISSN : Volume 6. Nomor 1. P-ISSN : Maret 2018


Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

A ALISIS SEBARA DA KERAPATA MA GROVE ME GGU AKA CITRA LA DSAT 8 DI KABUPATE MAROS

ANALISIS PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN BARRU

Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2

Interpretasi Citra Satelit Landsat 8 Untuk Identifikasi Kerusakan Hutan Mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Nursalam, dkk :Perubahan Kerapatan Mangrove Berdasarkan Karakteristik...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JOURNAL OF MARINE RESEARCH Volume 3, Nomor 4, Tahun 2014, Halaman Online di: /ejournal-s1.undip.ac.id/index.

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

Ronny Loppies Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura - Ambon

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

RIZKY ANDIANTO NRP

IV. METODE PENELITIAN

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA PERUBAHAN POLA DAN TATA GUNA LAHAN SUNGAI BENGAWAN SOLO dengan menggunakan citra satelit multitemporal

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN MANGROVE DI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT GILI PETAGAN KABUPATEN LOMBOK TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

ANALISIS PERUBAHAN LUASAN HUTAN MANGROVE MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT DI KABUPATEN ROKAN HILIR PROVINSI RIAU

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

BAB IV METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

ANALISIS PERUBAHAN LUASAN MANGROVE DI PANTAI TIMUR OGAN KOMERING ILIR (OKI) PROVINSI SUMATERA SELATAN MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT TM.

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

ANALISIS SEBARAN DAN KERAPATAN MANGROVE MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 DI SEGARA ANAKAN, CILACAP

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BANTEN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

PEMETAAN KERUSAKAN MANGROVE DI MADURA DENGAN MEMANFAATKAN CITRA DARI GOOGLE EARTH DAN CITRA LDCM

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

MONITORING PERUBAHAN LANSEKAP DI SEGARA ANAKAN, CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN CITRA OPTIK DAN RADAR a. Lilik Budi Prasetyo. Abstrak

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Gambar 4. Aktivitas nelayan dan berbagai produk perikanan yang dihasilkan dari perairan ekosistem mangrove (Foto oleh Onrizal)

KLASIFIKASI DARATAN DAN LAUTAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS Studi Kasus di Pesisir Timur Kota Surabaya

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE BERDASARKAN NDVI DAN KRITERIA BAKU DI KAWASAN HUTAN KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

ANALISIS PENENTUAN EKOSISTEM LAUT PULAU- PULAU KECIL DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT RESOLUSI TINGGI STUDY KASUS : PULAU BOKOR

PEMETAAN KERAPATAN VEGETASI MANGROVE DI SISI TENGGARA PULAU ENGGANO MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT. Okawati Silitonga, Dewi Purnama, Eko Nofridiansyah

Transkripsi:

P P Departemen P E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol., No. 1, Hal. 50-58, Juni 010 ) PEMETAAN DAN ANALISIS INDEX VEGETASI MANGROVE DI PULAU SAPARUA, MALUKU TENGAH 1) MAPPING AND INDEX VEGETATION ANALYSES OF MANGROVE IN SAPARUA ISLAND, CENTRAL MOLUCCAS 1) Harold J. D. WaasP P dan ) Bisman NababanP PJurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, Ambon. Email: joppiewaas@rocketmail.com Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor ABSTRACT TMapping and index vegetation analyses of mangrove in coastal areas of Saparua Island, Central Moluccas was conducted using Landsat 7/ETM+ satellite data acquired in April to May 007. The results showed that the distributions of mangrove vegetation were concentrated in the north, south, and west of the region with the area of 18.88 ha (38.6%), 105.1 ha (18.38%), and 48.04 ha (43.36%), respectively. Total area of mangrove vegetation in this island was about 57.04 ha (5.7 kmp P), or 3.49% of the island area. Vegetation indexes (NDVI) in the north, south, and west of the region were dominated by values of >0.7 (very high density). Keyword: Mangrove, NDVI, Landsat Satellite, Saparua, Central Maluku ABSTRAK Pemetaan dan analisis index vegetasi hutan bakau di wilayah pesisir Pulau Saparua, Maluku Tengah dilakukan dengan menggunakan data citra satelit Landsat 7/ETM+ aquisisi bulan April- Mei 007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran vegetasi hutan bakau terkonsentrasi pada wilayah pesisir utara, selatan, dan barat dengan luasan masing-masing sebesar 18,88 Ha (38,6%), 105,1 Ha (18,38%), dan 48,04 Ha (43,36%). Luasan total vegetasi hutan bakau di wilayah ini diperoleh sebesar 57,04 Ha (5,7 KmP P) atau 3,49 % dari total luas pulau. Nilai indeks vegetasi (NDVI) pada wilayah pesisir utara, selatan, dan barat didominasi dengan nilai >0,7 (kerapatan sangat lebat). Kata kunci: Hutan Bakau, index vegetasi, Satelit Landsat, Saparua, Maluku Tengah I. PENDAHULUAN Hutan bakau (mangrove) adalah tipe hutan yang ditumbuhi dengan pohon bakau (mangrove) yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Hogarth, 1999; Tomlinson, 1986; Nontji, 1987). Hutan bakau ini sering juga disebut sebagai hutan pantai atau hutan pasut. Hutan bakau umumnya tumbuh berbatasan dengan darat pada jangkauan air pasang tertinggi, sehingga ekosistem ini merupakan daerah transisi yang eksistensinya juga dipengaruhi oleh faktor faktor darat dan laut (Hogarth, 1999; Tomlinson, 1986; Nontji, 1987). Hutan bakau mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Fungsi fisik hutan bakau yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan tebing sungai terhadap pengikisan atau erosi pantai, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar. Fungsi lainnya adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan sumber makanan biota, tempat berlindung dan 50 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB

P memiliki Waas dan Nababan memijah berbagai jenis udang, ikan, dan berbagai biota lainnya (Bosire et al., 005; Bowen et al., 001; Bengen, 000). Pulau Saparua dengan luas ± 164 kmp sumberdaya hutan bakau yang cukup potensial. Kehadirannya memberikan andil yang besar bagi produktivitas perairan sekitarnya seperti Teluk Tuhaha, Teluk Saparua dan Selat Saparua sehingga mampu menunjang keberlangsungan perikanan pole and line di Pulau Ambon dan sekitarnya. Penelitian-penelitian tentang ekosistem bakau di pulau Saparua selama ini telah dilakukan oleh Pattileamonia (1998), Tahalele (001), Sopacua (00), Souisa (00), dan Tetelepta (007). Namun disadari bahwa penelitianpenelitian tersebut lebih ditekankan pada aspek ekologi dan terbatas pada areal yang sempit sementara informasi kepadatan, sebaran dan luasan sangat diperlukan untuk kebutuhan teknis seperti perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Seiring dengan perkembangan teknologi remote sensing yang pesat, keberadaan ekosistem ini dapat di deteksi dan dipetakan dengan mudah. Penginderaan jauh vegetasi bakau didasarkan atas dua sifat penting yaitu bahwa bakau memiliki klorofil dan tumbuh di daerah pesisir. Dua hal ini menjadi pertimbangan penting di dalam mendeteksi bakau melalui satelit karena klorofil memberikan sifat optik dan lokasinya di daerah pesisir mempermudah untuk membedakannya dengan daratan ataupun perairan. Sifat optik klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan dengan kuat pada spektrum infra merah (Green et al., 000). Vegetasi bakau dan vegetasi terrestrial yang lain memang mepunyai sifat optik yang hampir sama dan sulit dibedahkan tetapi mengingat bakau hidup dekat dengan air laut maka biasanya antara kedua dapat dipisahkan dengan memperhitungkan jarak pengaruh air laut atau bahwa dalam banyak kasus antara kedua vegetasi ini terpisah oleh lahan terbuka, padang lumpur, daerah pertambakan, atau pemukiman sehingga memudahkan pemisahan antara keduanya. Dari pertimbanganpertimbangan tersebut maka deteksi luasan serta kerapatan bakau dapat dilakukan melalui satelit (Susilo, 000). Penelitian ini bertujuan untuk (1) Memetakan sebaran dan luasan vegetasi bakau; dan () Menentukan tingkat kerapatan atau kesehatan vegetasi bakau dengan menggunakan indeks vegetasi (Normalized Difference Vegetation Index) di pulau Saparua. II. METODOLOGI.1. Lokasi, Bahan, dan Alat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil lokasi kawasan pesisir Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku dengan batasan koordinat 3 9 17-3 37 39 LS dan 18 3 43-18 43 49 BT (Gambar 1). Data satelit yang digunakan adalah citra satelit Landsat 7/ETM + P108/R63 dan P109/R6 aquisisi bulan April - Mei 007 yang telah terkoreksi atmosfir, geometrik dan radiometric. Untuk validasi data di lapangan digunakan alat GPS Garmin 1 XL. Perangkat lunak ErMapper versi 7, Mapinfo versi 9, dan microsoft Excel 007 digunakan sebagai sarana perhitungan, pengolahan, dan interpretasi data. http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt1 51

Pemetaan Dan Analisis Index Vegetasi Mangrove Di Pulau Saparua, Maluku Tengah Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian yang Ditunjukkan dengan Lingkaran.. Metode Analisis Data Analisis data citra untuk penentuan vegetasi bakau mengacu pada hasil eksplorasi citra komposit RGB 453 dengan input minimum dan maksimum (30 & 60) transform setting dan supervised classification (Green et al., 000). Nilai kerapatan vegetasi bakau ditentukan dengan menggunakan metode ratio antara kanal infra merah dan kanal merah (Green et al., 000) dengan formula sebagai berikut: ( infrared red ) NDVI =...(1) (infrared + red) dimana: NDVI = Normalized Difference Vegetation Index Infrared = kanal 4 citra Landsat 7/ETM + red = kanal 3 citra Landsat 7/ETM + Nilai kerapatan vegetasi bakau ditentukan dengan mengacu pada Kadi (1996) dalam Susilo (000) dengan kriteria sebagai berikut: NDVI < 0.0001 = tidak bervegetasi NDVI 0.0001 0.1 = sangat jarang NDVI 0.1 0. = vegetasi jarang NDVI 0. 0.3 = vegetasi sedang NDVI 0.3 0.4 = vegetasi lebat NDVI >0.4 = vegetasi sangat lebat, sedangkan kesehatan vegetasi bakau ditentukan dengan kriteria bahwa Secara teoritis nilai NDVI berkisar antara -1 hingga +1, namun nilai indek vegetasi ini secara tipikal akan bersub domain antara +0,1 hingga +0,7. Nilai yang lebih besar dari domain ini diasosiasikan sebagai representasi dari tingkat kesehatan vegetasi yang lebih baik (Prahasta, 008). Tingkat akurasi pemetaan ditentukan dengan menggunakan Uji ketelitian klasifikasi mengacu pada Short (198) dalam Purwadi (001) dengan formula: MA = (Xcr pixel)/(xcr pixel + Xo pixel + Xco pixel)...() Dimana: MA = ketelitian pemetaan (mapping accuracy) Xcr = jumlah kelas X yang terkoreksi 5 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol., No.1, Juni 010

Waas dan Nababan Xo = jumlah kelas X yang masuk ke elas lain (omisi) Xco = jumlah kelas X tambahan dari kelas lain (komisi) Ketelitian seluruh hasil klasifikasi (KH) diperoleh dari formula: KH = (jumlah pixel murni semua kelas)/(jumlah semua pixel)......(3) Untuk lebih jelas mendapatkan gambaran tentang penelitian ini maka diagram alur penelitian disajikan secara lengkap pada Gambar. Gambar. Diagram Alir Penelitian III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Validasi dan Akurasi Pemetaan Validasi merupakan tahapan penting untuk menentukan tingkat akurasi peta yang dihasilkan. Selama penelitian telah dilakukan validasi bukan saja terhadap vegetasi bakau tetapi juga objek laut dan daratan. Validasi vegetasi bakau dilakukan pada 54 stasiun sampling yang tersebar pada komunitas bakau pesisir pantai utara, selatan dan barat (Gambar 3). Hasil uji tingkat ketelitian klasifikasi menggunakan matrix kesalahan (confusion matrix) seperti disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 tampak bahwa hasil ketelitian pemetaan (MA) untuk komunitas bakau sebesar 78% yang mengindikasikan bahwa peta tematik vegetasi bakau yang dihasilkan memiliki tingkat akurasi yang cukup memadai dan dapat dipercayai tingkat kebenarannya. Tingkat kevalidan peta tematik yang dihasilkan dari citra Landsat 7/ETM+ dalam penelitian ini jika dibandingkan dengan tingkat akurasi pemetaan beberapa sensor satelit terhadap ekosistem yang sama (Tabel ) ternyata hasil yang diperoleh masih berada pada nilai kisaran yang dihasilkan oleh sensor-sensor tersebut yang umumnya berada di atas nilai 70%. http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt1 53

Pemetaan Dan Analisis Index Vegetasi Mangrove Di Pulau Saparua, Maluku Tengah Namun jika disimak lebih jauh tenyata akurasi pemetaan tidak hanya tergantung dari nilai resolusi spasial citra satelit yang digunakan tetapi diduga turut dipengaruhi oleh jumlah titik validasi yang diambil. Hal ini tampak jelas pada citra CASI yang memiliki resolusi spasial paling tinggi ternyata memiliki nilai akurasi yang sama dengan penelitian ini. Dugaan ini selaras dengan 54 titik validasi bakau yang digunakan dalam penelitian ini belum proposional dengan luas sebaran vegetasi bakau di Pulau Saparua. Gambar 3. Stasiun Validasi Vegetasi Bakau yang Ditandai dengan Warna Merah DATA KLASIFIKASI Tabel 1. Matriks Kesalahan klasifikasi (confusion matrix) DATA REFERENSI Bakau Laut Darat Total Baris Omisi Pixel MA (%) Bakau 46 7 1 54 8 78 Laut 3 40 5 48 8 70 Darat 30 34 4 75 Total /KH 51 49 36 136 0 85 Komisi Pixel 5 9 6 0 54 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol., No.1, Juni 010

Waas dan Nababan Tabel. Perbandingan tingkat akurasi beberapa sensor satelit Tipe Habitat Akurasi Sensor ETM+ ETM+ MSS XS CASI Bakau 78* 83** 85 81 78 Sumber : Green et al. (000) Ket : * Hasil penelitian 008 (tidak dipublikasikan), ** Kalay dan Waas (005) 3.. Pemetaan Vegetasi Bakau Hasil analisis citra komposit RGB 453 (straching input limit 30 & 60) dan citra klasifikasi terselia menunjukkan bahwa keberadaan ekosistem ini hanya ditemukan menyebar pada pesisir pantai utara, selatan dan barat pulau Saparua (Gambar 4). Kehadiran vegetasi bakau pada setiap wilayah pesisir sangat spesifik dimana proporsi terbesar kehadiran dijumpai pada daerah teluk yang dicirikan oleh adanya pengaruh aliran sungai. Wilayah pantai utara kehadiran vegetasi bakau dijumpai menyebar sepanjang pesisir Teluk Tuhaha mulai dari Desa Kulor sampai dengan Desa Ihamahu (± 11,8 Km). Lebar luasan secara vertikal dalam hal ini jarak batas distribusi kehadiran vegetasi bakau di darat tegak lurus sampai batas distribusinya ke arah laut berkisar antara 30 940 m. Total luas vegetasi bakau pada wilayah ini adalah sebesar 18,88 Ha (,18 KmP P). Pada wilayah pesisir selatan kehadiran ekosistem ini mendominasi daerah teluk yaitu Teluk Haria dan Teluk Saparua dengan sebaran vertikal masing-masing berkisar antara 6 510 m dan 6 470 m. Sedangkan pada pesisir selatan (Haria pantai Waipia) jalur distribusi vegetasi bakau diperkirakan sebesar ± 4,1 Km dengan sebaran luasan vertikal yang sangat sempit berkisar antara 7-9 m. Total luas vegetasi bakau pada wilayah ini adalah sebesar ± 105,10 Ha (1,051 KmP P). Berbeda dengan vegetasi bakau pantai utara dan selatan, pada wilayah pesisir barat kehadiran vegetasi ini hanya terkonsentrasi pada daerah pertuanan Desa Porto dengan proporsi terbesar terkonsentrasi pada daerah pesisir Sirsaoni. Jalur distribusi vegetasi bakau sepanjang wilayah ini adalah ± 7,01 Km. distribusi luasan secara vertikal berkisar antara 340 1.190 m. Daerah distribusi kearah selatan cukup sempit berkisar antara 6 9 m. Total luas vegetasi ini adalah ± 48,04 Ha (,48 KmP P). Dari ketiga wilayah distribusi ini dapat diketahui bahwa total luas vegetasi bakau yang hidup di daerah pesisir Pulau Saparua adalah sebesar 57,04 Ha (5,7 KmP P). Dengan perbandingan proporsi luasan yang hanya 3,49% dari total luas Pulau Saparua, namun ekosistem ini mampu mensuplai perairan sekitarnya dengan seresah daun dan nutrien sehingga mampu menopang dan mempertahankan keberlangsungan aktivitas perikanan rakyat di perairan sekitar pulau tersebut, terutama perairan sekitar Teluk : Tuhaha, Haria, Saparua dan Selat Saparua. http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt1 55

Pemetaan Dan Analisis Index Vegetasi Mangrove Di Pulau Saparua, Maluku Tengah Gambar 4. Peta disribusi vegetasi bakau di Pulau Saparua 3.3. Indeks Vegetasi (NDVI) Indeks vegetasi (NDVI) dapat merepresentasikan kerapatan (biomassa) atau tingkat kehijauan dihitung sebagai rasio antara pantulan terukur dari band merah (R) dan band infra merah dekat (NIR) pada spektrum gelombang elektromagnetik. Kedua band ini dipilih karena hasil ukurannya paling dipengaruhi oleh penyerapan klorofil daun. Sinar merah (R) sangat sedikit dipantulkan sedangkan sinar inframerah dekat (NIR) dipantulkan dengan kuat. Secara teoritis nilai NDVI berkisar antara -1 hingga +1 namun nilai indek vegetasi bakau secara umum berada pada kisaran antara +0,1 hingga +0,7. Nilai NDVI yang lebih besar dari kisaran ini diasosiasikan sebagai representasi dari tingkat kesehatan vegetasi yang lebih baik (Prahasta, 008). Hasil penelitian ini menunjukkan sebaran indeks vegetasi bakau Pulau Saparua dipetakan seperti tertera pada Gambar 5. Pada peta distribusi tampak bahwa nilai indeks NDVI pesisir pantai utara dikategorikan atas kerapatan vegetasi sangat jarang hingga sangat lebat dengan nilai berkisar antara +0,01 hingga +0,75. Distribusi nilai kerapatan sangat lebat lebih dominan (lebih luas) jika dibandingkan dengan kategori lainnya dan cenderung mendominasi vegetasi bakau pada wilayah ini. Nilai kategori yang sama juga ditunjukkan oleh vegetasi bakau pada wilayah pesisir pantai selatan dengan nilai indeks berkisar antara +0,08 hingga +0,75. Kategori kerapatan vegetasi sangat lebat pada wilayah ini dominan dijumpai pada vegetasi bakau di Teluk Haria dan Teluk Saparua dengan luasan yang luas sedangkan pada luasan yang sempit kerapatan vegetasi bervariasi dengan nilai lebih rendah terutama menyebar pada bagian pesisir pantai selatan (Gambar 5). Distribusi nilai indeks NDVI pada vegetasi bakau pesisir pantai barat berkisar antara +0,01 hingga +1. Sama halnya dengan vegetasi bakau pada pantai utara dan selatan, vegetasi bakau pada wilayah ini juga didominasi dengan kerapatan sangat lebat yang terkonsentrasi pada daerah Sirsaoni (Gambar 5). 56 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol., No.1, Juni 010

Waas dan Nababan Gambar 5. Peta disribusi kerapatan vegetasi bakau di PulauSaparua IV. KESIMPULAN Distribusi vegetasi bakau di Pulau Saparua secara umum terkonsentrasi pada tiga wilayah pesisir yaitu (1) pesisir pantai utara atau sepanjang pesisir Teluk Tuhaha meliputi Desa Kulor Ihamahu sebesar 18,88 Ha (38,6%); () pesisir pantai selatan meliputi Teluk Haria, Teluk Saparua dan pesisir Haria pantai hingga Tiow seluas 105,1 Ha (18,38%), dan (3) wilayah pesisir pantai barat pulau khususnya pada pertuanan Desa Porto dengan luasan 48,04 Ha (43,36%). Luasan total vegetasi bakau yang dipetakan adalah sebesar 57,04 Ha (5,7 KmP P) atau 3,49 % dari total luas pulau. Nilai indeks vegetasi (NDVI) bakau di wilayah pesisir Pulau Saparua berkisar antara +0,01 hingga +1 dimana tingkat kerapatan hutan bakau sangat lebat (NDVI > 0,7) mendominasi distribusi hutan bakau di daerah ini. DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bosire, J.O., F. Dahdouh-Guebas, L.P. Jayatissa, N. Koedam, D. Lo Seen, D. Nitto. 005. How Effective were Mangroves as a Defense Against the Recent Tsunami? Current Biology, 15:443-447. Bowen, J.L., I. Valiela, and J.K. York. 001. Mangrove Forests: One of the World's Threatened Major Tropical Environments. Bio Science, 51:10,807 10,815. Prahasta, E. 008. Remote Sensing. Informatika bandung. English, S., C. Wilkinson, and V. Baker. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. Australia Institute of Marine Science,Townsville Australia. http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt1 57

Pemetaan Dan Analisis Index Vegetasi Mangrove Di Pulau Saparua, Maluku Tengah Green, E.P., P.J. Mumbay, A.J. Edwards, and C.D. Clark. 000. Remote Sensing Hand Book for Tropical Coastal Management.Unesco Publishing. Hogarth, P.J. 1999. The Biology of Mangroves. Oxford University Press, Oxford Kalay, D.E. and H.J.D.Waas. 005. Aplikasi Data Citra Satelit Landsat 7/ETM+ untuk Menentukan Kerapatan Vegetasi Bakau di Pulau Nusalaut, Maluku Tengah. Triton. Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan. 3(1):33 40. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan Jakarta Pattileamonia, M.1998. Komposisi Jenis Bakau Di Desa Haria Kecamatan Saparua. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura. Ambon. Purwadi, F.S.H. 001. Interpretasi Citra Digital. PT.Grasindo. Jakarta. Souisa, B.R. 00. Tinjauan Komunitas Bakau di Kawasan Pesisir Beberapa Lokasi Pulau Haruku dan Pulau Saparua. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura. Ambon. Sopacua, D.C. 00. Kajian Komunitas Bakau Di Perairan Pantai Kampung Mahu, Pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura. Ambon. Susilo, S.B. 000. Penginderaan Jauh Terapan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tahalele, G.J.M. 001. Kajian Komunitas Bakau Di Perairan Pantai Desa Tuhaha, Pulau Saparua. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura. Ambon. Tetelepta, B. 007. Komposisi Jenis Mangrove di Desa Porto, Pulau Saparua.Yayasan Nusa Bahari, Ambon (Tidak Dipublikasikan). Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press, Cambridge. 58 E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol., No.1, Juni 010