BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah dasar (subgrade) secara umum dapat didefinisikan sebagai lapisan tanah yang letaknya paling bawah pada suatu konstruksi jalan raya. Tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya tergolong baik, tanah urugan yang memiliki material tanah lebih baik dibandingkan dengan tanah aslinya, atau tanah asli yang distabilisasi dengan menggunakan bahan tambah (additive). Fungsi tanah dasar (subgrade) adalah menerima tekanan akibat beban lalu lintas yang berada di atasnya sehingga harus mempunyai kapasitas dukung yang optimal dan mampu menerima tekanan akibat beban lalu lintas tanpa mengalami perubahan dan kerusakan yang berarti. Salah satu jenis tanah yang dianggap buruk sebagai tanah dasar pada konstruksi jalan adalah tanah lempung lunak organik. Masalah utama pada tanah lempung lunak adalah faktor kembang susut yang besar dan nilai kuat dukung tanah yang rendah, sedangkan pada tanah lempung lunak organik, selain, kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah lempung pun menimbulkan masalah. Menurut Hardiyatmo (2010), jika kandungan bahan organik dalam tanah lempung melampaui batas maksimum yang disyaratkan (>2%), maka bahan organik tersebut akan mereduksi kekuatan dari campuran tanah lempung yang distabilisasi dengan bahan tambah. Oleh sebab itu, tanah lempung lunak organik memiliki masalah yang lebih kompleks dibandingkan tanah lempung lunak pada umumnya jika dijadikan sebagai tanah dasar (subgrade). Penanganan yang sering dilakukan terhadap tanah lempung lunak adalah mengganti tanah tersebut dengan tanah yang lebih baik, yaitu tanah yang memiliki kuat dukung tanah yang tinggi dan sifat kembang susut yang rendah. Namun cara tersebut akan membutuhkan biaya yang cukup besar, karena bergantung pada volume tanah baik yang digunakan untuk mengganti tanah dasarnya. Pilihan yang lain adalah dengan stabilisasi tanah dengan cara tanah dasarnya dipadatkan atau 1
2 mencampur tanah dasar dengan bahan tambah (additive) yang sifatnya dapat menguatkan struktur tanah. Stabilisasi dengan menggunakan bahan tambah mempunyai tujuan utama yaitu memperbaiki sifat-sifat teknis tanah dasar (subgrade) menjadi lebih baik, seperti kapasitas dukung dan potensi pengembangan. Bahan tambah yang umumnya digunakan berupa bahan tambah buatan pabrik seperti semen, kapur, dan aspal, atau bahan tambah yang berasal dari limbah seperti abu terbang (fly ash) dan abu sekam padi. Akan tetapi untuk jenis tanah lempung organik (kadar bahan organik >2%), stabilisasi tanah dengan menggunakan bahan tambah seperti yang telah disebutkan di atas secara langsung akan memberikan hasil yang tidak optimal. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba merekayasa tahapan stabilisasi tanah pada umumnya, tetapi menggunakan bahan tambah seperti yang telah disebutkan di atas. Bahan tambah yang digunakan memanfaatkan abu vulkanik Gunung Kelud. Selain itu, bahan tambah yang digunakan berupa kapur padam dan semen Portland yang diperoleh dari toko bahan bangunan di kota Yogyakarta. Peristiwa meletusnya Gunung Kelud pada tanggal 13 Februari 2014 mengakibatkan hujan abu vulkanik di beberapa kota di Jawa Tengah termasuk Yogyakarta. Abu vulkanik hasil letusan Gunung Kelud jarang dimanfaatkan oleh masyarakat di kota Yogyakarta. Menurut beberapa sumber, abu vulkanik tersebut hanya dijadikan sebagai tanah timbunan, karena volumenya yang begitu besar. Sedangkan beberapa penelitian menyatakan bahwa abu vulkanik mengandung silika, aluminium, besi, kalsium, magnesium, dan natrium. Silika (SiO2) merupakan unsur penyusun utama dalam pembentukan semen, dengan demikian dapat dikatakan bahwa abu vulkanik memiliki sifat pozolanik. Sifat pozolanik memiliki perilaku mengikat mineral lain yang ada di lempung sehingga menjadi semakin keras dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan kalsium dapat menetralisir kandungan bahan organik yang berlebih pada tanah.
3 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui kandungan kimia yang terkandung dalam abu vulkanik Gunung Kelud, 2. Mengetahui pengaruh penggunaan abu vulkanik Gunung Kelud dan kapur padam dengan kadar yang bervariasi terhadap kandungan bahan organik dalam tanah lempung sebelum dilakukan proses stabilisasi dengan semen Portland, 3. Mengetahui pengaruh penambahan 5% semen Portland terhadap stabilisasi tanah lempung organik, yang terlebih dahulu telah dicampur dengan abu vulkanik Gunung Kelud dan kapur padam, 4. Mengetahui variasi campuran yang optimum antara tanah lempung organik dengan variasi abu vulkanik Gunung Kelud, variasi kapur padam, 10% kapur padam dan 25% abu vulkanik Gunung Kelud yang diperam selama 3 hari, kemudian masing-masing ditambahkan 5% semen Portland lalu kembali diperam selama 3 hari berdasarkan parameter sifat fisis dan mekanis tanah. 1.3 Batasan Masalah Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Tanah yang digunakan berupa tanah lempung organik hasil pencampuran tanah lempung yang diperoleh dari daerah Kasongan, Bantul, Yogyakarta dengan pupuk kompos yang diperoleh dari Toko Tani Maju, Yogyakarta, 2. Abu vulkanik Gunung Kelud yang jatuh di daerah Kasongan, Bantul, Yogyakarta dan kapur padam yang diperoleh dari toko bahan bangunan di Yogyakarta, digunakan sebagai bahan untuk menetralkan atau menurunkan kandungan bahan organik di dalam tanah lempung, 3. Semen Portland yang diperoleh dari toko bahan bangunan di Yogyakarta, digunakan untuk menstabilisasi tanah lempung organik, yang awalnya telah dicampur dengan abu vulkanik Gunung Kelud dan kapur padam,
4 4. Komposisi campuran terdiri dari tanah dan abu vulkanik, penambahan persentase abu vulkanik sebesar 15%, 20%, dan 25%, tanah dan kapur padam, penambahan persentase kapur padam sebesar 6%, 8%, dan 10%, serta tanah ditambahkan 25% abu vulkanik dan 10% kapur. Ketiga campuran tersebut diperam selama 3 hari. Setelah 3 hari, ketiga campuran di atas ditambahkan dengan 5% semen Portland, lalu kembali diperam selama 3 hari, 5. Pengujian yang dilakukan terdiri dari : a. Uji kandungan bahan organik (BO) di Laboratorium Tanah Umum Fakultas Pertanian UGM terhadap tanah hasil pencampuran antara tanah lempung dengan pupuk kompos, serta tanah hasil pencampuran dengan variasi abu vulkanik, variasi kapur padam, 10% kapur dan 25% abu vulkanik yang diperam selama 3 hari, tanah hasil pencampuran terlebih dahulu melewati proses penyaringan, b. Uji leaching dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectroscopy) di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UGM (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada) terhadap abu vulkanik Gunung Kelud dalam kondisi asli belum melewati proses penyaringan terlebih dahulu, c. Uji pemadatan dengan standar Proctor yang dilakukan secara manual, d. Uji kuat dukung tanah, CBR (California Bearing Ratio) rendaman (soaked) dilakukan dengan masa perawatan 4 hari, e. Uji potensi pengembangan yang dilakukan bersamaan dengan pengujian CBR rendaman, 6. Air yang digunakan diambil dari saluran air bersih di Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan FT UGM. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan dalam penyelesaian masalah tanah lempung lunak dengan kandungan bahan organik 5% dan pengembangan untuk penelitian selanjutnya tentang tanah yang mengandung bahan organik di atas 5%, serta pemanfaatan abu vulkanik yang merupakan
5 limbah hasil letusan gunung berapi, kapur dan semen dalam pembangunan, khususnya pemanfaatannya dalam pekerjaan stabilisasi tanah dasar pada proyek pembangunan jalan raya. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian tentang stabilisasi tanah gambut dengan menggunakan bahan tambah telah banyak dilakukan, salah satunya yang dilakukan oleh Yunan Arief Rahman (2003), yang mengambil judul Stabilisasi Tanah Gambut Rawa Pening dengan Semen Portland dan Gypsum Sintetis (CaSO4.2H2O). Penelitian ini mencoba menstabilisasi tanah gambut dengan menambahkan 5% semen Portland dengan variasi gypsum yaitu 5%, 10%, 15% dari berat kering tanahnya dan diperam selama 0 hari, 14 hari, dan 28 hari. Hasilnya menunjukkan campuran antara tanah gambut dengan 5% semen Portland dan 10% gypsum untuk masa perawatan 28 hari merupakan campuran yang paling optimum, dengan nilai CBR sebesar 8,17%. Nilai CBR tersebut telah memenuhi persyaratan dari SNI 03-1732-1989, yang mensyaratkan nilai CBR tanah yang dapat dijadikan sebagai tanah dasar (subgrade) minimal sebesar 3% dalam kondisi terendam. Penelitian ini mencoba menggunakan tanah lempung organik hasil pencampuran tanah lempung dengan pupuk kompos, yang kemudian distabilisasi melalui dua tahapan yaitu pra-stabilisasi dan stabilisasi. Tujuan tahapan pra-stabilisasi yaitu menetralkan atau menurunkan kadar bahan organik dari tanah organik hasil modifikasi dengan menggunakan variasi abu vulkanik sebesar 15%, 20%, 25%, variasi kapur sebesar 6%, 8%, 10%, serta gabungan antara keduanya yaitu abu vulkanik sebesar 25% dan kapur sebesar 10% yang diperam selama 3 hari. Setelah pemeraman 3 hari, tanah hasil modifikasi dicampur masing-masing dengan semen Portland sebesar 5%, kemudian kembali diperam selama 3 hari.