BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. yang telah memenuhi jumlah minimal sampel sebanyak Derajat klinis dibagi menjadi 4 kategori.

ABSTRAK. Sienny, Pembimbing I : Penny Setyawati Martioso, dr, Sp.PK, M Kes Pembimbing II : Dani Brataatmadja, dr, Sp.PK

BAB I PENDAHULUAN. Tumor secara umum merupakan sekumpulan penyakit. yang membuat sel di dalam tubuh membelah terlalu banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i. LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii. KATA PENGANTAR...iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR TABEL... vii

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. penyakit Lupus. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran seperti dijelaskan dalam Astuti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

BAB I PENDAHULUAN. kematian pada perempuan. Penyakit ini telah merenggut nyawa lebih dari

BAB 1 PENDAHULUAN. antara variasi genetik dimana faktor ini berperanan penting dalam predisposisi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua di dunia yang sampai saat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tubuh manusia dan akan menyerang sel-sel yang bekerja sebagai sistem kekebalan

BAB I PENDAHULUAN. muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan sinar. pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu. 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PROFIL RADIOLOGIS TORAKS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLIKLINIK PARU RSUD DR HARDJONO-PONOROGO SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis, merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Apendisitis akut adalah peradangan/inflamasi dari apendiks vermiformis

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 90 % dan biasanya menyerang anak di bawah 15 tahun. 2. Demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat karena

BAB I PENDAHULUAN. fertilitas gaya hidup dan sosial ekonomi masyarakat diduga sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. menular di seluruh dunia setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV). 1 Sepertiga

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Low back pain ( LBP) atau nyeri punggung bawah merupakan

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian non eksperimental dan

BAB I PENDAHULUAN. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara tiap penduduk tiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker payudara merupakan diagnosis kanker yang paling sering terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT ATRIAL SEPTAL DEFECT DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG, PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2009

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Lima belas juta orang di dunia setiap tahunnya terkena serangan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. darah tersebut melintas kelipatan paha (Oswari, 2000). penurunan fungsi organ (Oswari, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

BAB I PENDAHULUAN. tipe Herpes Virus yang telah teridentifikasi. Human Herpes Virus antara lain

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit yang cukup banyak mempengaruhi angka kesakitan dan angka. kematian yang terjadi di kawasan Asia Tenggara (WHO, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dan perawatan orang sakit, cacat dan meninggal dunia. Advokasi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar bagi pasien dan keluarganya, khususnya di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. suplai darah kebagian otak (Baughman, C Diane.dkk, 2000). Menurut europen

BAB I PENDAHULUAN. absolute atau relatif. Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tidak langsung dapat meningkatkan angka usia harapan hidup. Di tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDEKATAN DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK DI SELURUH PUSKESMAS KEPERAWATAN WILAYAH KABUPATEN JEMBER PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2007

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang, umumnya

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis

Transkripsi:

BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Systemic Lupus Erithematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai organ dengan manifestasi gejala yang bervariatif (Nasution & Kasjmir, 1995). Penyakit ini mempunyai ciri khas yaitu adanya peradangan di seluruh tubuh yang timbul secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakanjaringan terutama pada pembuluh darah (Nasution & Kasjmir, 1995). Penyakit SLE sudah dikenal sejak zaman Hipocrates (430-370 SM) sebagai lupus esthiomenos, kemudian pada tahun 1928, dunia kedokteran menamakan penyakit ini sebagai penyakit SLE. Sejak awal tahun 1970, para ahli di dunia kedokteran mulai tertarik untuk mempelajari SLE karena adanya pemeriksaan penunjang dan banyaknya masyarakat yang terkena penyakit SLE (Nasution & Kasjmir, 1995). Insidensi penyakit SLE terutama pada usia produktif yaitu pada usia 16-36 tahun dengan persentase terbesar pada wan ita yaitu sebanyak 97,1%. Rasio insidensi penyakit SLE pada wanita dibandingkan pria adalah 66 : 2 (33 : 1). Prevalensi penyakit SLE belum dapat diketahui secara pasti, karena keterbatasan data dan jumlah pasien penderita SLE. Sejak tahun 1970 insidensi dan prevalensi penyakit SLE meningkat secara drastis karena adanya pemeriksaan penunjang yang lebih baik tetapi perlu biaya cukup mahal dan alat khusus (Kalim & Handono, 1995). Hasil penelitian Feng dan kawan-kawan pada 1982, di Amerika Serikat mendapatkan bahwa prevalensi lebih tinggi pada orang-orang Asia (18-24 tiap 100.000) daripada orang kulit hitam (4 tiap 100.000) atau Puerto Rico (1 di antara 100.000) dan lebih lanjut lagi dilaporkan bahwa prevalensi SLE dikatakan lebih sering pada orang-orang Cina dan Asia Tenggara (Kalim & Handono, 1995). Diagnosis penyakit SLE ditegakkan bila 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan oleh American College of Rheumatology (ACR) 1997. Di antara 11 kriteria ACR, 1

2 terdapat 2 kriteria laboratorium penyakit SLE terpenting (kriteria 10 dan 11), yaitu kriteria tentang pemeriksaan antibodi (AI bar, 1996). Menurut kriteria 10 pada ACR 1997 kelainan imunologi ditandai dengan adanya sel LE (Albar, 1996). Sel LE pertama kali ditemukan oleh Hargraves. Sel LE adalah sel neutrofil normal yang memfagosit materi inti neutrofil rusak. Sel LE dapat ditemukan pada sediaan apus darah tepi, sediaan apus cairan pleura, cairan perikardial, cairan sendi dan cairan serebrospinal (Wallace, 1993). Kriteria sel LE sebagai diagnosis penunjang pada pen yak it SLE telah dihapuskan dari kriteria ACR pada tahun 1997 padahal pemeriksaan sel LE pengerjaannya cukup sederhana dan biayanya relatif lebih murah tetapi butuh ketelitian dalam pemeriksaan. Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui berapa persentase sel LE positif pada penderita penyakit SLE dengan cara menghitung sel LE pada tersangka penderita SLE sehingga kita dapat mengetahui apakah kriteria tersebut masih dapat digunakan sebagai diagnosis penunjang pada penyakit SLE atau tidak. 1.2 Identifikasi Masalah 1.2.1 Berapa persentase sel LE positif pada penderita SLE? 1.2.2 Apakah kriteria sel LE positif masih sesuai sebagai diagnosis penunjang penyakit SLE? 1.3 Maksud dan Tujuan 1.3.1 Maksud: Mengetahui apakah kriteria sel LE masih dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis penunjang penyakit SLE.

3 1.3.2 Tujuan: 1.3.2.1 Mengetahui persentase sel LE positif pada penyakit SLE. 1.3.2.2 Mengetahui apakah sel LE positif masih dapat digunakan sebagai diagnosis penunjang penyakit SLE. 104 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan : 104.1 Manfaat Akademis 104.1.1 Mengetahui persentase sel LE positif pada penyakit SLE. 104.1.2 Mengetahui validitas sel LE positif dalam menunjang diagnosis penyakit SLE. 104.2 Manfaat Praktis Memberikan masukan kepada klinisi bahwa pemeriksaan sel LE + mempunyai makna klinis sebagai diagnostik penunjang penyakit SLE terutama bagi mereka yang bekerja di peri fer dimana sarana untuk mendeteksi penyakit SLE masih sangat minim. 1.5 Kerangka Pemikiran Systemic Lupus Erithematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai organ yang dapat menimbulkan gejala klinik yang rmgan hingga berat (Nasution & Kasjmir, 1995). Etiologi penyakit SLE belum dapat diketahui dengan jelas (Zuljasri, 1995). Banyak faktor lain yang juga berperan sebagai penyebab timbulnya penyakit SLE salah satunya yaitu faktor sinar matahari. Pada masyarakat yang tinggal di daerah

4 tropis seperti Asia akan lebih ban yak kontak dengan sinar matahari sehingga faktor resiko terkena penyakit SLE lebih besar. Insidensi penyakit SLE terutama pada usia produktif yaitu pada usia 16-36 tahun dengan persentase terbesar ada1ah wan ita yaitu sebanyak 97,1%. Rasio insidensi penyakit SLE pada wanita dibandingkan pria adalah 66 : 2 (33 : 1). lnsidensi penyakit SLE di RSHS Bandung pada peri ode Juli 1999 sampai dengan Juni 2000 sebesar 32 dari 292 kasus penyakit rheumatik dengan rasio wanita dibandingkan dengan pria 29 : 3 (Jamil dkk, 2000). Prevalensi penyakit SLE belum dapat diketahui secara pasti, karena keterbatasan data dan jumlah pasien penderita SLE. Sejak tahun 1970 insidensi dan prevalensi penyakit SLE meningkat secara drastis karena adanya pemeriksaan penunjang yang 1ebih baik tetapi periu biaya cukup mahal dan a1at khusus (Kalim & Handono, 1995). Diagnosis penyakit SLE ditegakkan bila 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan oleh American College of Rheumatology (ACR) yaitu kriteria ACR 1997. Oi antara 11 kriteria ACR, terdapat 2 kriteria 1aboratorium penyakit SLE terpenting (kriteria 10 dan 11), yaitu kriteria tentang pemeriksaan antibodi (Albar, 1996). Sistem imun dalam tubuh yang normal terdapat kemampuan untuk membedakan sel dari diri sendiri ("self') dan bukan diri sendiri ("non se(f'). Pada penyakit SLE sistem imun tidak mampu untuk membedakan antara "self" dan "non self", sehingga sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri (Baratawidjaja, 1995). Menurut kriteria 10 pada ACR 1997 kelainan imunologi ditandai dengan adanya sel LE (Albar, 1996). Sel LE pertama kali ditemukan oleh Hargraves. Sel LE adalah sel neutrofil normal yang memfagosit materi inti neutrofil rusak. Sel LE dapat ditemukan pada sediaan apus darah tepi, sediaan apus cairan pleura, cairan perikardial, cairan sendi dan cairan serebrospinal. Jika pada satu sediaan apus sel LE dapat ditemukan 2: 2 sel LE maka dianggap positif menderita penyakit SLE (Wallace, 1993).

5 1.6 Rumusan Hipotesis Berdasarkan kasus-kasus tersebut di atas dibuat sebagai hipotesis yang akan menjawab masalah yang ada: Hipotesis 1 Persentase sel LE positif pada penyakit SLE cukup tinggi. Hipotesis 2 Kriteria sel LE positif masih dapat digunakan sebagai diagnosis penunjang penyakit SLE. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Bentuk Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian retrospektif terhadap data rekam medik yang diambil dari Bag IPO dan dokumentasi sediaan sel LE penderita tersangka SLE dari Bag Patologi Klinik RSHS Bandung. 1.7.2 Variabel Penelitian 1.7.2.1 Variabel tergantung (dependent) adalah hasil pemeriksaan sel LE. 1.7.2.2 Variabel bebas (independent) adalah diagnosis olahan dokter spesialis IPO yang ditegakkan sedikitnya 4 kriteria dari II kriteria ACR 1997 untuk SLE.

6 1.7.3 Cara Pengumpulan Subjek Penelitian Sampel dikumpulkan dari data rekam medik yang diambil dari Bag IPD dan dokumentasi sediaan sel LE penderita tersangka SLE dari Bag Patologi Klinik RSHS Bandung. 1.7.4 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan uji diagnostik. 1.8 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha Bandung. Penelitian dimulai dari bulan Maret 2004 sampai dengan Desember 2004. Mulai dari penelusuran kepustakaan sampai dengan penulisan hasil penelitian. Pengumpulan bahan pemeriksaan dilakukan selama 6 bulan, dari bulan Oktober 2002 sampai dengan Maret 2003.