Bagaimana Kebebasan Menyikapi Prostitusi di Indonesia? Oleh: Fadly Noor Azizi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. Surabaya, kegiatan prostitusi di lokalisasi prostitusi Dolly merupakan kegiatan

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB V PENUTUP. kriminalitas namun perdagangan anak juga menyangkut tentang pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah

Institute for Criminal Justice Reform

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK:

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang. berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

Bentuk Kekerasan Seksual

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Anak

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lembar Fakta. Diskusi tentang Antara Perlindungan dan Pembatasan: Pengawasan Isi Siaran Bermuatan Seksualitas dan Perempuan Jakarta, 18 Desember 2013

BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut seolah-olah berjalan dengan mulus. mewah yang dapat dibanggakan dan menjadi pusat perhatian.

BAB I PENDAHULUAN. serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang. ditentukan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007.

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan sebagai subjek pelaksana cita-cita perjuangan bangsa. Berdasarkan

B A B 1 P E N D A H U L U A N. Perdagangan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan terjadi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. telinga masyarakat Indonesia. Human trafficking adalah salah satu kejahatan

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Di masa lalu

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SANKSI PIDANA SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN HUMAN TRAFFICKING DI DUNIA MAYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja

Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

I. PENDAHULUAN. perkembangan yang signifikan terhadap dunia teknologi informasi.

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya membina. terjadi dikalangan masyarakat pada umumnya.

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual dewasa ini bukan

Pekeja Seks Bukan Masalah, tapi Bagian dari Solusi. Adelia & Aldo Forum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan & IAKMI Kupang 4-7 September 2013

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

BAB I PENDAHULUAN. rapi dan sangat rahasia keberadaannya. 2

PENGUATAN PERAN LEMBAGA SOCIAL DEVELOPMENT CENTER FOR CHILD (SDC) DALAM PENGENTASAN KASUS SEXUAL CRIME TERHADAP ANAK JALANAN

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK JALANAN ATAS EKSPLOITASI DAN TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dunia meningkat sangat pesat, ditandai dengan

24 HUKUM DALAM PERMASALAHAN PERDAGANGAN ANAK DI INDONESIA. Oleh: Andi Rezky Aprilianty Punagi, Ishartono, & Gigin Ginanjar Kamil Basar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan Orang khususnya perempuan dan anak kembali ramai

LATAR BELAKANG. Click to edit Master subtitle style

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penyebaran arus informasi yang tidak terbatas dan dibatasi menyebabkan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Antara Budak dan Manusia Merdeka

BAB I PENDAHULUAN. BKKBN tahun 2006 menunjukkan bahwa di kota-kota besar seperti Medan, sudah pernah melakukan hubungan seks pra-nikah.

Laporan Hasil Penelitian Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem, Rencana Strategi dan Struktur Penegak Hukum Dalam Penanganan Korban Perdagangan Anak

Pendahuluan. Bab I. A. Latar Belakang. Kebutuhan manusia akan komunikasi dan informasi pada zaman modern ini

UPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN TENAGA KERJA (TRAFFICKING IN PERSON FOR LABOR) DI INDONESIA

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menjelaskan atau menganalisis

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN ANAK

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) TERUTAMA PEREMPUAN & ANAK DI KALIMANTAN BARAT

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK

BAB 1 PENDAHULUAN. masa dewasa dan relatif belum mancapai tahap kematangan mental sosial

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan yang besar. Perubahan tersebut membawa dampak, yaitu munculnya problema-problema terutama dalam lingkungan pada

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. sangat mengkhawatirkan. Pada era globalisasi sekarang ini, modern slavery marak

2 Oleh karena itu Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada para calon Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

BAB IV. A. Analisis Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

Transkripsi:

Bagaimana Kebebasan Menyikapi Prostitusi di Indonesia? Oleh: Fadly Noor Azizi Maraknya berita tentang para selebriti ibukota yang menjalani pekerjaan lain sebagai pelaku prostitusi online di media massa menggelitik saya untuk berkomentar. Ditambah dengan mendengar statement sebagian media yang kategorikan kasus tersebut sebagai tindak perdagangan orang atau human trafficking. Nyatanya, mereka yang terlibat dalam kasus tersebut melakukan transaksi atas kemauan mereka sendiri tanpa ada paksaan orang lain. Lantas layakkah tindakan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan human trafficking? Dengan kilasan sejarah, dapat dilihat bahwa prostitusi akan selalu ada selama permintaan akan hal tersebut juga hadir. Sama seperti kebutuhan kita akan air dan makanan, seks juga merupakan kebutuhan fundamental yang dimiliki oleh setiap manusia. Maka tak menjadi sesuatu hal yang aneh bila manusia akan terus memenuhi hak atas kebutuhan tersebut selama tidak mencederai hak orang lain. Hal-hal tersebut terjadi karena manusia berusaha memenuhi kebutuhan alaminya, yaitu seks. Di Indonesia, arus praktek prostitusi tidak diimbangi dengan kebijakan yang tepat pada akhirnya malah berdampak buruk dan meluas kepada masyarakat. Hal ini didasari oleh beberapa stigma yang melekat pada kebijakan dan hukum di Indonesia pada saat ini. Pertama, melekatnya norma agama pada kebijakan dan hukum negara Indonesia. Sudah menjadi momok besar bahwa hukum kita sangatlah berbau agama tertentu yang tidak hanya melukai keberagaman antar umat beragama dan berkeyakinan tetapi juga melukai kebebasan individu bahkan privasi seseorang. Sering terlihat di berita bahwa penggerebekan wisma atau kost-kostan dengan aling-aling menjaga ketertiban umum? Atau bagaimana dengan hukum pasangan yang memilih untuk hidup bersama tanpa status pernikahan? Seakan fakta-fakta tersebut menggambarkan bahwa pemerintah harus tahu dan mengendalikan segala aspek sipil sampai

menyentuh ke urusan ranjang. Mengapa pemerintah harus ikut campur akan hal yang bersifat privat, khususnya persoalan hubungan seksual. Segala tindakan dan risiko dalam berhubungan seks seharusnya dikembalikan kepada para pelaku. Soal agama merupakan norma yang dapat dipilih untuk diyakini atau tidak diyakini oleh seseorang, bukan sebagai nilai universal yang harus diterapkan dalam kebijakan dan hukum. Maka dari itu, perbuatan seks yang melanggar hukum itu seharusnya cukup pada tindak pelecehan dan pemerkosaan saja. Kedua, penindakan hukum terhadap pelaku prostitusi dilandasi dengan alasan perlindungan atas hak anak. Saya teringat perkataan Wali Kota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini, pada saat diliput oleh media dan ditanya alasan mengapa membubarkan Lokalisasi Dolly. Di antara sekian alasan yang diungkapkan, salah satunya ialah ketakutannya akan perlindungan atas hak anak di sekitaran Lokalisasi Dolly. Menurut saya, membubarkan Lokalisasi Dolly bukan kebijakan yang tepat dalam perlindungan atas hak anak. Justru dengan dibubarkannya Lokalisasi Dolly maka praktek prostitusi akan tersebar secara acak masuk ke pemukiman-pemukiman warga. Pada akhirnya pemerintah tidak dapat pemantau pengguna jasa tersebut apakah terklasifikasi sebagai orang dewasa atau anak-anak. Ketiga, penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS dan penyakit seks menular lainnya tidak dapat terarah ketika prostitusi tidak dilokalisir. Bagaimana penyebaran penyakit tersebut dapat dikendalikan bila kelompok yang rentan akan HIV/AIDS dan penyakit seks menular lainnya tidak dilokalisir dalam suatu lokasi. Berkaitan dengan hal tersebut, mengutip kata-kata psikolog dan seksolog Baby Jim Aditya pada suatu talkshow di TVRI pada tanggal 11 Desember 2015 yang mengatakan bahwa, Upaya terpenting untuk pencegahan HIV/AIDS dan penyakit seksual lainnya adalah bagaimana kita mengintervensi psikologi para remaja untuk memikirkan risiko yang dihadapi atas perilaku hubungan seksual yang dilakukannya. Dengan begitu, baik pada pekerja seks di lokalisasi, remaja maupun anak-anak harus mendapatkan edukasi dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan risiko terjangkit

penyakit seks menular. Pemerintah seharusnya bukan hanya terus menerus membuat kebijakan yang sifatnya pelarangan dan menekan, namun edukasi menjadi hal terpenting dalam penyadaran kesehatan reproduksi di segala segmen. Keempat, bahwa tidak semua pekerja seks atau pelaku prostitusi merupakan korban human trafficking. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam salah satu dari 3 Protokol Palermo mendefinisikan Human Trafficking sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktekpraktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh. Sering sekali semua pekerja seks dianggap sebagai korban human trafficking atau penjualan manusia. Namun, tak sedikit pula pekerja seks melakukan pekerjaannya tanpa ada paksaan dan berdasarkan kesepakatan bersama, termasuk pada kasus prostitusi online yang sekarang sedang marak diperbincangkan. Terkecuali dengan pekerja seks di bawah umur dan korban human trafficking, maka tidak ada yang dirugikan atau melanggar hak orang lain atas tindakan dan pekerjaan tersebut karena seluruhnya dilakukan atas kehendak sendiri. Maka, mengapa prostitusi yang tidak mengandung unsur penjualan manusia tersebut masih dikriminalisasi? Dari keseluruhan stigma dan permasalahan tersebut yang paling terpenting dalam memahami persoalan prostitusi adalah dengan mengetahui konsep hak atas tubuh. Tubuh ini merupakan milik kita sendiri, di mana pemegang hak (diri sendiri) memiliki kekuasaan yang luas dan kuat terhadap tubuhnya sendiri. Griggs L (Devereux, 2002)

menjelaskan hal ini dengan Ownership in this sense is the largest bundle of rights known to property law. It allows the person the fullest enjoyment of the property and the ability to use, manage and freely alienate that thing. Bahwa kita sebagai manusia memiliki kehendak atas tubuh kita sendiri dan bagaimana memperlakukannya, baik menjaga maupun memanfaatkannya. Tubuh ini dilindungi oleh hukum, maka tidak dapat dipergunakan orang lain secara serampangan tanpa ada izin dan kerelaan sang pemilik (diri sendiri). Sementara Murray Rothbard berargumen bahwasanya satu-satunya hak mutlak yang dimiliki seorang individu adalah hak atas kepemilikan yang dimilikinya. Dengan menggunakan pendekatan Rothbard tersebut, melihat hak kepemilikan atas tubuh sendiri merupakan hal yang mutlak. Maka dari itu, manusia memiliki kebebasan untuk memperlakukan tubuhnya berdasarkan kehendak sendiri, termasuk memilih untuk dimanfaatkan secara ekonomis. Namun, bukan tanpa batas, kebebasan ini juga dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain dan tidak terlepas dari risiko yang melekat dari segala tindakan yang diperbuat. Selaras dengan argumen Friedrich Hayek yang mengatakan bahwa, Liberty not only means that the individual has both the opportunity and the burden of choice; it also means that he must bear the consequences of his actions... Liberty and responsibility are inseparable. Lalu, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap dalam persoalan ini? Pemerintah harus menghentikan tindakan kriminalisasi pelaku prostitusi yang tidak mengandung unsur human trafficking dan eksploitasi anak di bawah umur. Kemudian, pemerintah perlu akui pekerja seks sebagai profesi yang dilindungi oleh pemerintah. Sebab ketika mereka yang merupakan bagian dari masyarakat sipil Indonesia tidak dilindungi yang terjadi adalah maraknya tindak kekerasan yang menimpa mereka. Selain itu, membuat lokalisasi tempat prostitusi jauh dari jangkauan anak di bawa umur dan melakukan pemantauan secara ketat. Kontrol pasar prostitusi online agar tidak mudah diakses oleh anak di bawah umur. Beri pendidikan dan penyuluhan kesehatan reproduksi di setiap lokalisasi

prostitusi. Perlu juga untuk memberi pengetahuan dan pendidikan kesehatan reproduksi dan ketubuhan sedini mungkin kepada masyarakat. ***** Fadly Noor M. Azizi merupakan mahasiswa program studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satu Pendiri dari Indo-Libertarian dan Ketua dari forum kajian Liberty Studies. Bisa dihubungi melalui kontak email : fadlynoorr@gmail.com dan twitter @fdlynr