KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tanaman Hutan. Perbenihan.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 663/Kpts-II/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P. 06 /V-PTH/2007

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 1/Menhut-II/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 28/Menhut-II/2010 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN BENIH TANAMAN HUTAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL. Nomor : P. 05 /V-PTH/2007 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI MUTU BIBIT TANAMAN HUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 146/KPTS-II/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6885/Kpts-II/2002 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 33/Kpts-II/2003 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 625/KPTS-II/1998 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 335/KPTS-II/1997 TENTANG RENCANA KARYA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (RKPHTI) MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 253/Kpts/OT.140/4/2004 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/Permentan/SR.120/1/2014 TENTANG PRODUKSI, SERTIFIKASI, DAN PEREDARAN BENIH BINA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 07 /V-PTH/2007 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 106 /KPTS-II/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG

2 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 664/Kpts-II/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PERSUTERAAN ALAM MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.19/Menhut-II/2007 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN. NOMOR : 1017/Kpts/TP.120/12/98 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995 Tentang : Pembenihan Tanaman

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P. 2 / V-SET/2010 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG KERJASAMA OPERASI (KSO) PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 02/Pert/HK.060/2/2006 TENTANG PUPUK ORGANIK DAN PEMBENAH TANAH

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 66/Menhut-II/2008 TENTANG KRITERIA DAN KLASIFIKASI UNIT PELAKSANA TEKNIS PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. UPT. Pembenihan. Tanaman. Klasifikasi. Kriteria.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG

=DITUNDA= PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 04/Pert/SR.130/2/2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 58 TAHUN 2013 TAHUN 2013 TENTANG

2017, No Pengeluaran Benih Hortikultura sudah tidak sesuai lagi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR : 132/KPTS-II/2000 TENTANG

Penyiapan Benih Unggul Untuk Hutan Berkualitas 1

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 76/Permentan/OT.140/7/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.24/MEN/2008 TENTANG JENIS IKAN BARU YANG AKAN DIBUDIDAYAKAN

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEMANDIRIAN BENIH PERKEBUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERUSAHAAN\ KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1995 TENTANG PEMBENIHAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR SK. 44/MENHUT-II/2004 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 649 /KPTS/013/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

this file is downloaded from

II. TINJAUAN PUSTAKA

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.46/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.24/MEN/2008 TENTANG JENIS IKAN BARU YANG AKAN DIBUDIDAYAKAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: P. 2/Menhut-II/2008 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 05/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 05/Permentan/HK.060/3/06 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 75/Permentan/OT.140/11/2011 TENTANG LEMBAGA SERTIFIKASI PRODUK BIDANG PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR KEP. 41/MEN/2003 TENTANG TATA CARA PENETAPAN DAN PENCABUTAN KAWASAN KARANTINA IKAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.80/Menhut-II/2006 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 68/Permentan/OT.140/11/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 61/Menhut-II/2008 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.382/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 07/MEN/2004 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN BENIH IKAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 38/Permentan/OT.140/8/2006 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 063/KPTS-II/2000 TENTANG

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 telah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang Perbenihan Tanaman Hutan; b. bahwa sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tersebut, telah ditetapkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 673/Kpts-II/1997 tentang Perbenihan Tanaman Hutan, c. bahwa dengan adanya perkembangan menyangkut perbenihan tanaman hutan, maka perlu mengubah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 673/Kpts-II/1997 dengan Keputusan Menteri Kehutanan. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992; 2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992; 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994; 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999; 5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000; 8. Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000; 9. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000 jo Keputusan Presiden Nomor 289/M Tahun 2000. MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Perbenihan Tanaman Hutan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan benih tanaman hutan. 2. Benih Tanaman Hutan yang selanjutnya di dalam keputusan ini disebut benih, adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan atau mengembangbiakkan tanaman. 3. Sumber Benih adalah suatu tegakan hutan, baik hutan alam maupun hutan tanaman, yang ditunjuk atau dibangun khusus untuk dikelola guna memproduksi benih. 4. Pengelolaan Sumber Benih adalah kegiatan yang meliputi pencairan, pengumpulan, pembangunan sumber benih, pelestarian dan pemanfaatan sumber benih. 5. Pengelola Sumber Benih adalah Perorangan, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Swasta dan Instansi Pemerintah yang memiliki dan atau menguasai sumber benih sendiri, dan terhadap sumber benih tersebut diperlukan atau dikelola secara baik sehingga dapat menghasilkan benih yang berkualitas baik. 6. Pengadaan benih adalah kegiatan pencarian, permanenan, pengumpulan, sortasi dan penyimpanan benih sebelum benih yang bersangkutan digunakan atau diedarkan. 7. Peredaran Benih adalah kegiatan pengemasan, pengangkutan, penyimpanan, penyaluran dan pemasaran benih. 8. Sertifikasi Benih adalah proses pemberian sertifikasi benih tanaman hutan setelah melalui pemeriksaan, pengujian dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan. 9. Lembaga Sertifikasi adalah Badan Hukum (Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Swasta) yang telah mendapat akreditasi dari instansi berwenang untuk melaksanakan sertifikasi benih atau bibit. 10. Label Benih adalah keterangan tertulis yang pada benih atau benih yang sudah dikemas dan akan diedarkan yang memuat antara lain : jenis benih, tempat asal benih, mutu benih, data hasil uji laboratorium, serta akhir masa edar benih. 11. Zona Pengumpulan Benih adalah suatu wilayah atau kelompok wilayah di dalam hutan yang memiliki keadaan ekologis (ketinggian tempat, arah kemiringan dan iklim) yang seragam. Di dalam wilayah ini terdapat tegakan yang asli setempat dan merupakan suatu sumber benih geografik. 12. Tegakan Benih Teridentifikasi adalah tegakan alam atau tanaman dengan kualitas rata-rata digunakan untuk menghasilkan benih, dimana sebaran lokasinya dengan tepat dapat teridentifikasi. 13. Tegakan Benih Terseleksi adalah suatu tegakan alam atau tanaman dengan pohon fenotipe superior untuk sifat-sifat yang penting (pohon lurus, percabangan ringan dan lain-lain) dan digunakan untuk menghasilkan benih.

14. Areal Produksi Benih adalah suatu wilayah tegakan benih terseleksi yang kemudian ditingkatkan kualitasnya melalui penebangan pohonpohon inferior. 15. Tegakan Benih Provenan adalah tegakan yang dibangun dari benih yang provenannya telah teruji dan diketahui superioritasnya. 16. Kebun benih adalah suatu tegakan yang dibangun secara khusus untuk keperluan produksi benih. 17. Bibit adalah bahan tanaman yang dapat berupa benih atau anakan, baik berupa stek, anakan siap tanam, cangkokan atau anakan cabutan. 18. Pengadaan Bibit meliputi pembuatan perkecambahan (anak tanaman/bibit), pembuatan media tumbuh, pemindahan kecambah, pemeliharaan dan penyimpanan sebelum diedarkan dan atau digunakan. 19. Metoda Pembibitan adalah tehnik produksi bibit menurut bentuk benih yang digunakan yang mencakup pembibitan secara generatif berasal dari benih generatif dan pembibitan secara vegetatif berasal dari benih vegetatif. 20. Standar Mutu Benih dan atau bibit adalah syarat kualitas benih dan atau bibit yang harus dimiliki yang mencakup mutu genetik, fisik, fisiologik. 21. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. 22. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang perbenihan tanaman hutan. 23. Kepala Badan adalah Kepala Badan yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang penelitian dan pengembangan kehutanan. 24. Dinas Propinsi/ Kabupaten/ Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang perbenihan tanaman hutan. 25. Tim Penilai adalah Tim yang terdiri dari orang-orang profesional dibidang perbenihan tanaman hutan yang bertugas untuk menilai kelayakan sumber benih dan atau pengada dan pengedar benih/bibit dan atau kelayakan lembaga sertifikasi benih/bibit. Pasal 2 Pengaturan Perbenihan Tanaman Hutan bertujuan: a. Menjamin kualitas benih dan bibit tanaman hutan; b. Menjamin terpenuhinya kebutuhan benih berkualitas secara memadai dan berkesinambungan; c. Menjamin kelestarian sumber benih dan pemanfaatannya.

BAB II PENGADAAN DAN PEREDARAN BENIH Pasal 3 (1) Pengadaan benih dapat dilakukan melalui produksi dalam negeri dan atau pemasukan dari luar negeri. (2) Pengadaan benih yang berasal dari produksi benih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari sumber benih. Pasal 4 (1) Sumber benih sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) teridiri dari: a. Zona pengumpulan benih; b. Tegakan benih teridentifikasi; c. Tegakan benih terseleksi; d. Areal produksi benih e. Tegakan benih provenan f. Kebun benih. (2) Penetapan status sumber benih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh: a. Pemangku kawasan hutan untuk sumber benih di dalam kawasan hutan; b. Pemangku lahan untuk sumber benih di luar kawasan hutan. (3) Pengelolaan Sumber benih dilaksanakan oleh Pengelola Sumber benih yang telah ditetapkan sesuai kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Pengelola Sumber benih sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilaksanakan olah perorangan, Badan Hukum (BUMN, BUMS, Koperasi) atau Instansi Pemerintah. (5) Pengelola sumber benih sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) berhak melaksanakan kegiatan: a. Pencarian; b. Pengumpulan; c. Pembangunan sumber benih; d. Pelestarian dan pemanfaatan sumber benih

(6) Kriteria, Standar dan Prosedur Pengelolaan Sumber Benih diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. Bagian Kedua Pengada dan Pengedar Benih Pasal 5 (1) Pengada dan Pengedar benih dapat dilakukan oleh Perorangan, Badan Hukum (BUMN, BUMS, Koperasi) dan Instansi Pemerintah yang bergerak di bidang perbenihan. (2) Penetapan untuk menjadi pengada dan pengedar benih terdaftar dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/ Kota yang bersangkutan berdasarkan hasil rekomendasi yang dilaksanakan oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan. (3) Pengada dan Pengedar benih sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berhak melaksanakan kegaitan : a. pencarian; b. pemanenan; c. pengumpulan; d. sortasi; e. penyimpanan benih; f. pengemasan; g. pengangkutan; h. penyaluran dan pemasaran benih. (4) Kriteria, standar dan prosedur untuk menjadi pengada dan pengedar benih terdaftar diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. Pasal 6 (1) Pengadaan Benih melalui pemasukan dari luar negeri dilakukan; a. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan benih di dalam negeri. b. Benih yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; c. Untuk penelitian dan pengembangan hutan tanaman. (2) Benih melalui pemasukan dari luar negeri harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Benih berkualitas yang dilengkapi dengan sertifikasi asal-usul (Certificate of origin); b. Memiliki sertifikasi kualitas (Certificate of quality) dari negara asal; c. Sertifikat kesehatan benih (Certificate of Phytosanitary) yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.

Pasal 7 (1) Pemasukan benih kedalam wilayah Republik Indonesia dilakukan oleh pengada dan pengedar benih yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. (2) Pemasukan benih dapat dilaksanakan apabila telah mendapat ijin pemasukan dari Instansi yang berwenang. (3) Ijin Pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah: a. Direktur Jenderal dalam hal ijin pemasukan untuk pembangunan hutan tanaman. b. Kepala Badan dalam hal ijin pemasukan untuk penelitian dan pengembangan hutan. (4) Permohonan ijin pemasukan benih diajukan kepada instansi yang berwenang seperti tersebut pada ayat (3) dengan mencantumkan : tujuan, jenis, kuantitas, asal-usul benih, asal negara. Pasal 8 (1) Benih yang diproduksi atau diedarkan oleh pengada dan pengedar benih harus : a. memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan; b. berasal dari sumber benih. (2) Pengedar benih wajib menjaga mutu benih yang diedarkan (3) Penjagaan mutu benih sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan sesuai dengan persyaratan mengenai pengemasan, penyimpanan, pengangkutan dan masa edar benih. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. Pasal 9 Pengedar benih wajib memberikan laporan kepada Balai Perbenihan Tanaman Hutan sesuai dengan wilayah kerjanya. Bagian Ketiga Sertifikasi Pasal 10 (1) Sertifikasi benih bertujuan untuk: a. Menjamin kualitas benih tanaman hutan; b. Meningkatkan penggunaan benih yang berkualitas; c. Memberikan perlindungan intelektual kepada para pemulia pohon. (2) Sertifikasi dilakukan terhadap benih yang akan diedarkan atau digunakan.

(3) Sertifikasi terdiri dari sertifikasi sumber benih, sertifikasi mutu benih, dan sertifikasi kesehatan benih (phytosanitary). (4) Sertifikasi kesehatan benih sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hanya dilakukan untuk benih yang berasal dari luar negeri. (5) Sertifikasi kesehatan benih sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan oleh Pusat Karantina Tumbuh-tumbuhan Hutan. Pasal 11 (1) Sertifikasi sumber benih bertujuan untuk mengetahui klasifikasi sumber benih meliputi kegiatan pemeriksaan terhadap keadaan tegakan, kondisi fisik lapangan, pengelolaan sumber benih dan sarana prasarana. (2) Sumber benih yang lulus sertifikasi merupakan sumber benih yang memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Pasal 12 (1) Sertifikasi mutu benih bertujuan mengetahui kualitas benih yang meliputi mutu genetik, mutu fisik dan fisiologis. (2) Sertifikasi mutu benih dilakukan terhadap benih yang akan diedarkan dan atau digunakan. (3) Pemeriksaan mutu genetik seperti dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan melalui pemeriksaan sumber benih (4) Pemeriksaan laboratorium atas mutu fisik dan fisiologis dilakukan berdasarkan standar International Seed Testing Association (ISTA). (5) Kriteria, Standar dan Prosedur Sertifikasi Mutu Benih diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pasal 13 (1) Sertifikasi Sumber Benih dan Mutu Benih dilaksanakan oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan atau Lembaga Sertifikasi. (2) Badan Hukum (Koperasi, BUMN, BUMS) dapat menjadi lembaga sertifikasi apabila mendapat ijin akreditasi dari Balai Perbenihan Tanaman Hutan. (3) Kriteria, standar dan prosedur permohonan ijin untuk menjadi lembaga sertifikasi diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. BAB III PENGELUARAN BENIH Pasal 14

(1) Pengeluaran benih dari wilayah Republik Indonesia dilakukan oleh pengada dan pengedar benih yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1). (2) Pengeluaran benih dapat dilaksanakan apabila telah mendapat ijin dari Direktur Jenderal atau Kepala Badan. (3) Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memberikan ijin pengeluaran untuk pembangunan kehutanan. (4) Kepala Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) memberikan ijin pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan kehutanan. Pasal 15 (1) Benih tanaman hutan yang dapat dikeluarkan adalah : a. benih bermutu yang berasal dari tanaman hutan yang telah berkembang di Indonesia. b. tidak termasuk tanaman yang langka atau hampir punah serta yang dilindungi oleh perundang-undangan. c. bebas dari hama dan penyakit yaitu benih dilengkapi dengan sertifikasi kesehatan benih (phytosanitary certificate) yang dikeluarkan oleh Pusat Karantina Tumuh-tumbuhan Hutan. d. benih berlabel dari Balai Perbenihan Tanaman Hutan atau Lembaga Sertifikasi yang telah mendapat otoritas dari pemerintah. (2) Menteri menetapkan jenis-jenis benih yang dapat dikeluarkan dari wilayah Republik Indonesia. (3) Ketentuan mengenai prosedur cara pengeluaran benih diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. BAB IV PEMBIBITAN Pasal 16 (1) Pengada dan pengedar bibit dapat dilakukan oleh perorangan, Badan Hukum (BUMN, BUMN, Koperasi), Instansi Pemerintah yang bergerak di bidang pembibitan. (2) Penetapan untuk menjadi pengada dan pengedar bibit terdaftar dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/ Kota yang bersangkutan berdasarkan rekomendasi dari Balai Perbenihan Tanaman Hutan. (3) Kriteria, standar dan prosedur untuk menjadi pengada/ pengedar bibit terdaftar diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. Pasal 17 (1) Sertifikasi bibit bertujuan untuk mengetahui kualitas bibit menjadi mutu fisik biologis.

(2) Sertifikasi bibit dilakukan terhadap bibit yang akan diedarkan dan atau digunakan. (3) Bibit yang lulus sertifikasi merupakan bibit yang telah memenuhi standar mutu bibit yang ditetapkan. (4) Kriteria, standar dan prosedur sertifikasi bibit diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. Pasal 18 (1) Bibit yang diproduksi atau diedarkan harus memenuhi standar mutu bibit yang telah ditetapkan. (2) Pengedar bibit wajib menjaga bibit yang diedarkan. (3) Penjagaan mutu bibit sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan sesuai dengan persyaratan mengenai pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan diatur lebih lanjut Direktur Jenderal. Pasal 19 Pengedar bibit wajib memberikan laporan kepada Balai Perbenihan Tanaman Hutan sesuai dengan wilayah kerjanya. BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 20 Menteri dapat melarang pengadaan, peredaran dan penanaman benih dari jenis yang ternyata merugikan masyarakat, budidaya tanaman, sumberdaya alam lain atau lingkungan hidup. Pasal 21 (1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan atas Perbenihan Tanaman Hutan. (2) Kepala Badan melakukan penelitian atas Perbenihan Tanaman Hutan (3) Dinas Propinsi/ Kabupaten/ Kota dibantu oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan melakukan pengawasan, pemantauan dan fasilitas atas kegiatan Perbenihan Tanaman Hutan di daerah. BAB VI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22 (1) Dengan berlakunya keputusan ini maka Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Kpts-II/1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. (2) Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : JAKARTA Pada tanggal : 15 Maret 2001 MENTERI KEHUTANAN, ttd. Dr. Ir. NUR MAHMUDI ISMA'IL, MSc. Salinan keputusan ini disampaikan kepada Yth: 1. Sdr. Pejabat Eselon I Lingkup Departemen Kehutanan; 2. Sdr. Gubernur Propinsi di Seluruh Indonesia; 3. Sdr. Bupati/Walikota di Seluruh Indonesia; 4. Sdr. Ketua Badan Benih Nasional; 5. Sdr. Kepala Pusat Karantina Pertanian Departemen Pertanian; 6. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi di seluruh Indonesia; 7. Sdr. Direktur Utama BUMN lingkup Departemen Kehutanan; 8. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia 9. Sdr. Kepala UPT lingkup Departemen Kehutanan di seluruh Indonesia 10. Sdr. Para Pemegang HPH dan HPHTI.