BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004]

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa indikasi dari meningkatnya muka air laut antara lain adalah :

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1Open Pit Mining dan Batubara [en.wikipedia.org]

BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB I PENDAHULUAN I.1.

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan

ISTILAH DI NEGARA LAIN

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

BAB 4. METODE PENELITIAN

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

GROUND PENETRATING RADAR (GPR)

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. mengalami suatu gaya geser. Berdasarkan sifatnya, fluida dapat digolongkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

Rahasia RADAR. Analogi dengan prinsip gema pada gelombang suara

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

BAB I PENDAHULUAN I.1.

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II GROUND PENETRATING RADAR (GPR)

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB III METODE PENELITIAN

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM-HUKUM OPTIK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Bab 2. Teori Gelombang Elastik. sumber getar ke segala arah dengan sumber getar sebagai pusat, sehingga

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 STUDI REFERENSI

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Transkripsi:

BAB II DASAR TEORI 2.1. Permasalahan Kenaikan Permukaan Air Laut Fenomena kenaikan muka air laut mengemuka seiring dengan terjadinya pemanasan global (global warming). Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect). Pemanasan global yang terjadi akan menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut. Pemanasan global juga menyebabkan mencairnya es abadi. Pemuaian air laut dan mencairnya salju-salju abadi, pada gilirannya akan menyebabkan naiknya permukaan air laut. Selain karena pemanasan global, kenaikan permukaan air laut juga disebabkan oleh gelombang badai yang melanda daerah-daerah pesisir pantai. Gelombang badai disebabkan oleh angin yang sangat kencang dan tekanan atmosfir yang rendah sehingga menyebabkan air yang ada di laut masuk ke daratan. Gelombang badai akan menyebabkan kenaikan permukaan laut yang sangat ekstrim jika kejadiannya bertepatan dengan saat pasang laut tertinggi. Ilustrasi dari kenaikan permukaan air laut dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004] Dampak naiknya permukaan air laut adalah: Berkurangnya luas kawasan pesisir dan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau (Gunawan, 2007), yang kesemuanya tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. 6

Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat, diantaranya: (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir; dan (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove. Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka: abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, dan pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan. Terjadinya perubahan lingkungan yang secara teoritis diakibatkan oleh naiknya permukaan air laut, akan menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat terutama yang bertempat tinggal di sekitar pantai. Ilustrasinya dapat di lihat pada gambar 2.2. Pada kondisi tersebut, masyarakat harus segera memikirkan: apa yang akan dan dapat dilakukan, dan bagaimana menyesuaikan atau mengadaptasikan diri terhadap perubahan dan kondisi lingkungan yang baru. Gambar 2.2. Dampak kenaikan permukaan air laur [Mackinnon, 2003] 2.2. Pemodelan dan Simulasi Secara 3D 2.2.1. Umum Naiknya permukaan air laut akan memberikan dampak yang sangat besar, baik dalam skala lokal maupun nasional. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu cara untuk melakukan pemodelan dan simulasi terhadap dampak kenaikan permukaan air laut tersebut. Salah 7

satu cara yang digunakan adalah dengan melakukan pemodelan dan simulasi secara tiga dimensi (3D). Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 2.3. Pemodelan dan simulasi secara 3D dilakukan untuk memberikan visulisasi secara detail terhadap objek-objek yang belum dan akan terkena dampak naiknya permukaan air laut tersebut. Pemodelan dan simulasi 3D tersebut merupakan sebuah kombinasi dari: prosedur matematika, kejadian logis, dan berbagai kriteria lainnya yang berfungsi untuk tujuan akhir dari pemodelan dan simulasi itu sendiri. Gambar 2.3. Pemodelan dan simulasi banjir secara 3D [Mackinnon, 2004] Pengertian pemodelan dan simulasi yang dikutip dari buku Hand book of simulation (Banks, 1998) adalah sebagai berikut: Pemodelan adalah suatu proses penyaringan dan penyeleksian terhadap berbagai data sehingga diperoleh: Data atau komponen sistem yang dapat dimodelkan Data atau komponen sistem yang kurang penting atau tidak relevan, yang dapat diasumsikan mampu mendukung tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan simulasi adalah: Program (software) komputer yang berfungsi untuk menirukan perilaku sistem nyata. Manipulasi sebuah model sedemikian rupa sehingga model tersebut bekerja dalam ruang dan waktu 8

Pemodelan dan simulasi kenaikan permukaan air laut merupakan suatu model Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG berfungsi sebagai instumen untuk menghasilkan berbagai macam informasi dengan berbagai kriteria dan prosedur yang harus dilakukan. Dengan menggunakan instrumen SIG tersebut, pemodelan dan simulasi kenaikan permukaan air laut dibuat sedemikian rupa sehingga dapat merepresentasikan kejadian aktual dan prediksi terhadap bencana tersebut. 2.2.2. Pelaksanaan Pemodelan dan Simulasi Kenaikan Permukaan Air Laut Secara 3D Pelaksanaan pemodelan dan simulasi kenaikan permukaan air laut secara 3D terdiri dari: 1. Penentuan level ketinggian banjir Untuk melakukan pemodelan terhadap kenaikan muka air laut, dibutuhkan beberapa level ketinggian. Level ketinggian tersebut antara lain: level air laut tertinggi yang pernah terjadi disuatu wilayah, MSL, datum vertikal, dan level ketinggian air yang diprediksi untuk masa mendatang. Semua level ketinggian tersebut mengacu kepada datum vertikal. Pada pemodelan banjir, datum vertikal dijadikan sebagai titik referensi nol. Ilustrasi level ketinggian yang diperlukan dalam pemodelan banjir dapat dilihat pada gambar 2.4. Level banjir Level air tertinggi Kedalaman MSL banjir Datum vertikal Gambar 2.4. Level banjir 9

2. Penentuan kedalaman banjir Ketika memperkirakan bahaya yang ditimbulkan dari efek banjir, maka Grid kedalaman dari banjir harus diketahui. Grid kedalaman banjir ditentukan secara matematis dari data ketinggian air banjir. Ketinggian dari datum vertikal dinyatakan sebagai level ketinggian nol (grid baru). Nilai dari kedalaman banjir dinyatakan sebagai tinggi antara datum vertikal dengan level ketinggian air banjir. Daerah yang berada di atas datum vertikal akan bernilai positif dan sebaliknya akan bernilai negatif jika berada di bawah datum vertikal. Ilustasinya dapat dilihat pada gambar 2.5. Hasil akhir dari grid kedalaman banjir direpresentasikan oleh nilai kedalaman pada saat berada di area perluasan banjir Level Banjir Bernilai + 0 m (Datum vertikal) Bernilai - Gambar 2.5. Kedalaman banjir 3. Penentuan Area Perluasan Banjir Layer perluasan banjir menjelaskan seberapa jauh level ketinggian air akan meluas dan masuk ke daratan. Layer tersebut diturunkan secara matematis menggunakan beberapa level ketinggian. Layer perluasan banjir akan membagi DEM menjadi daerah-daerah di atas dan di bawah permukaan level banjir. Pemilihan level ketinggian yang dijadikan referensi awal dari perluasan banjir tergantung dari data yang tersedia. Pada umumnya referensi awal dari perluasan banjir adalah Level Air Tertinggi (LAT) yang pernah terjadi di suatu wilayah. Nilai LAT tersebut dapat diperoleh dari data stasiun pasut. 10

4. Pembuatan Animasi Banjir Animasi adalah sebuah alat yang tepat untuk menvisualisasikan secara cepat seberapa serius banjir bisa terjadi pada suatu wilayah. Animasi banjir secara tiga dimensi (3D) diciptakan untuk membantu visualisasi arah pergerakan banjir tersebut. Untuk lebih efektif maka animasi harus bisa menunjukan banyak detail. Untuk melakukan pemodelan dan simulasi kenaikan permukaan air laut secara 3D, maka dibutuhkan data topografi suatu daerah pesisir pantai tersebut. Data topografi tersebut dapat diperoleh dengan mengunakan suatu teknologi laser yang mampu menghasilkan informasi kedalaman dan topografi detail secara cepat dan akurat. Teknologi tersebut dinamakan Light Detection and Ranging (LIDAR). Berikut ini akan dibahas tentang penggunaan teknologi LIDAR. 2.3. Pengantar Teknologi LIDAR 2.3.1. Umum Pada sekitar tahun 1980-an, beberapa negara seperti: Kanada, Amerika Serikat, Swedia, dan Australia mencoba mengembangkan metode optik dalam pengukuran data topografi permukaan bumi dan kedalaman. Metode tersebut memanfaatkan sinar laser dan prinsip-prinsip optik untuk melakukan pengukuran. Dalam menjalankan operasinya, perangkat optik tersebut diangkut oleh suatu wahana terbang berupa pesawat terbang atau helikopter. Teknologi tersebut dinamakan Airborne Laser Scanning (ALS). Negara-negara seperti: Amerika, Kanada, dan Swedia menamakan teknologi ALS tersebut dengan nama LIDAR (Light Detecting and Ranging). LIDAR merupakan pengembangan terbaru dari RADAR (Radio Detection and Ranging). Bila Radar menggunakan emisi gelombang radio, maka LIDAR menggunakan emisi gelombang cahaya. Jadi, LIDAR merupakan suatu sistem penginderaan jauh aktif yang menggunakan sinar laser untuk menghasilkan informasi ketinggian dari suatu objek. Ilustrasi dari LIDAR dapat dilihat pada gambar 2.6 di bawah ini. 11

Gambar 2.6. Ilustrasi penggunaan teknologi LIDAR [Miller, 2006] 2.3.2. Prinsip Kerja LIDAR 2.3.2.1. Prinsip Kerja LIDAR Secara Umum Prinsip kerja LIDAR secara umum adalah sensor memancarkan sinar laser kepada sebuah target lalu sinar tersebut dipantulkan kembali ke sensor. Berkas sinar yang kembali kemudian dianalisis oleh peralatan detektor. Perubahan komposisi cahaya yang diterima dari sebuah target ditetapkan sebagai sebuah karakter objek. Waktu perjalanan sinar saat dipancarkan dan diterima kembali diperlukan sebagai variabel penentu perhitungan jarak dari benda ke sensor. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 2. 7 di bawah ini. Gambar 2.7. Prinsip pengukuran jarak dengan laser [Lohani, 1996] 12

Gambar 2.8. Geometri sinar laser (Brenner, 2006) Bentuk dari geometri sinar laser dapat dilihat pada gambar 2.8. Waktu tempuh sinar laser diukur antara batas tepi awal antara sinar yang dipancarkan dan dipantulkan. Ilustrasinya dapat kita lihat pada gambar 2.9 di bawah ini. Gambar 2.9. Waktu tempuh pada saat pulsa di pancarkan dan diterima kembali (Brenner, 2006) Jarak dihitung dengan menggunakan rumus: R = T L C 2 Kemudian resolusi jarak dan jarak maksimum dihitung dengan menggunakan rumus: ΔR = C Δ T L R max = C T Lmax 2 2 Dapat disimpulkan bahwa resolusi jarak pengukuran sangat tergantung dari resolusi pengukuran waktu tempuh yang sangat tergantung dari keakuratan jam yang ada pada 13

sensor. Jarak maksimum yang dapat diukur tergantung dari waktu maksimum yang dapat diukur dan energi dari sinar laser. Tidak semua gelombang yang dipancarkan dan dipantulkan merupakan gelombang garis lurus (gambar 2.10). Ada kalanya gelombang tersebut berbentuk seperti gelombang berkelanjutan (continious wave ranging) yang ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 2.10. Tipe gelombang berkelanjutan [Lohani, 1996] Gelombang berkelanjutan digunakan untuk mengukur jarak antara transmitter dan reflektor. Pengukuran ini diaplikasikan jika terjadi perbedaan fase antara gelombang yang dipancarkan dan yang diterima, waktu tempuh sinyal dapat ditulis dengan rumus: T L = nt + φ T 2 π Dimana n adalah jumlah dari gelombang penuh yang dihasilkan, T adalah waktu tempuh untuk satu gelombang sedangkan φ adalah beda fase. 2.3.2.2. Prinsip Survei Batimetri dengan LIDAR Pemetaan batimetri dengan wahana udara (ALH) bekerja berdasarkan transmisi sinar laser secara vertikal ke bawah dari pesawat udara dan mengukur selisih waktu antara sinar pantul dari permukaan laut dan dari dasar laut. Survei dilaksanakan oleh pesawat terbang yang terbang dengan ketinggian dan kecepatan (ground speed) tertentu. Arah 14

penerbangan (track) atau pola perum berupa garis lurus menyilang jalur survei dengan spasi interval tertentu. Sinyal laser dengan bantuan pasangan optik, memecah output sinar laser menjadi dua komponen sinar laser, yaitu: sinar infra merah, dan sinar hijau (lihat gambar 2.11). Sinar hijau digunakan untuk melakukan scanning area secara menyilang jalur survei, selanjutnya dipantulkan kembali oleh permukaan dan dasar perairan. Pulsa infra merah berfungsi sebagai laser altimeter, ditransmisikan vertikal dari pesawat udara dan dipantulkan oleh permukaan laut yang berfungsi sebagai referensi awal dari tinggi pesawat. Berkas pantul sinar hijau diterima oleh lensa penjejak dan diteruskan ke teleskop penerima sinar hijau. Sinar dideteksi oleh sensor hijau. Berkas pantul pulsa infra merah diterima oleh sensor infra merah. Kedua berkas sinyal pantul yang telah diterima oleh perangkat penerima selanjutnya diproses dan disimpan dalam bentuk digital. Hasil proses pengolahan sinar tersebut yaitu berupa data kedalaman. Gambar 2.11. Sinar hijau dan sinar infra merah [Miller, 2006] 15

2.3.3. Komponen LIDAR 2.3.3.1. Sensor Gambar 2.12. Sensor LIDAR [www.airbornelasermapping.com] Sensor LIDAR (gambar 2.12) berfungsi untuk memancarkan gelombang/sinar laser ke objek dan merekam kembali gelombang pantulannya setelah mengenai objek. Pada umumnya gelombang yang dipancarkan oleh sensor terdiri atas dua bagian, yaitu: gelombang hijau, dan gelombang infra merah. Gelombang hijau berfungsi sebagai gelombang penetrasi jika suatu sinar laser mengenai daerah perairan. Sinar hijau berfungsi untuk mengukur data kedalaman atau batimetri, sedangkan sinar infra merah berfungsi untuk mengukur data topografi daratan atau permukaan bumi. Kekuatan sensor LIDAR sangat erat kaitannya dengan: kekuatan sinar laser yang dihasilkan, cakupan dari pancaran sinar gelombang laser, dan jumlah sinar laser yang dihasilkan tiap detiknya. Semua bagian dari sensor LIDAR tersebut sangat mempengaruhi kualitas data yang dihasilkan. Karakteristik sensor LIDAR secara umum dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini. Parameter Besaran Min dan Besaran umumnya Max Panjang gelombang (nm) 810-1500 1000-1200 Sudut scan (derajat) 14-75 20-40 Rate pulse (khz) 5-83 5-15 Tinggi terbang (m) 20-6100 200-300 (Helicopter) 500-1000 (Pesawat terbang) 16

Lebar Swath (m) 0.25 h-1.5 h 0.3 h-0.7 h GPS frekuensi (Hz) 1-10 1-2 IMU frekuensi (Hz) 40-200 50 Diameter tapak kaki (m) 0.05-2 0.25-1 Spasi antar garis scan (m) 0.1-10 0.5-2 Spasi antar titik (m) 0.06-10 0.3-1 Akurasi jarak (cm) 2-30 5-15 Akurasi ketinggian (cm) 10-60 15-20 Tabel 2.1. Karakteristik sensor LIDAR secara umum [Istarno, 2007] Karakteristik sensor ALH dapat juga di lihat pada tabel 2.2 di bawah ini. Kedalaman maksimum (m) 70 Ketinggian topografi maksimum (m) 50 meter Kemampuan sounding (sounding/ detik) 900 Pola sounding (m) Lebar swath (m) Kecepatan pesawat (knot) 5 X 5 ( lebar swath 240, kecepatan pesawat 175) 4 X 4 ( lebar swath 200, kecepatan pesawat 140) 3 X 3 ( lebar swath 100, kecepatan pesawat 150) 2 X 2 ( lebar swath 50, kecepatan pesawat 140) Ketinggian pesawat (m) 366-670 Daya tahan pesawat (jam) 8 Akurasi horizontal (m) IHO orde-1 (2.5) Akurasi kedalaman (m) IHO orde-1 (0.25) Tabel 2.2. Karakteristik sensor ALH [Fugro, 2006] Sensor LIDAR juga memiliki kemampuan dalam hal pengukuran multiple return. Multiple return digunakan untuk menentukan bentuk dari objek atau vegetasi yang menutupi permukaan tanah. Gelombang yang dipancarkan dan dipantulkan tidak hanya mengenai permukaan tanah, tetapi juga mengenai objek-objek yang ada di atas permukaan tanah. Masing-masing pantulan yang dihasilkan diukur intensitasnya, sehingga diperoleh gambaran atau bentuk dari objek yang menutupi permukaan tanah tersebut. Pantulan pertama akan mengukur jarak dari objek pertama yg ditemui, contohnya pohon. Pantulan terakhir akan mengukur jarak objek terakhir, contohnya 17

tanah. Dengan memperhatikan data pertama dan terakhir secara simultan, maka akan diperoleh tinggi pohon dan topografi permukaan tanah. Multiple return biasanya diaplikasikan untuk daerah-daerah yang vegetasinya sangat padat. Ilustrasi dan prinsip Multiple return tersebut dapat dilihat pada gambar 2.13. Gambar 2.13. Konsep multiple return [Gaynor, 2007] 2.3.3.2. Inertial Measurement Units (IMU) Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang optimal dengan tingkat kesalahan seminimum mungkin, maka pada wahana udara diberi perlengkapan tambahan untuk dapat merekam posisi pesawat saat melakukan scanning area. IMU akan memonitor akselerasi (menggunakan accelerometer ) dan rotasi (menggunakan gyroscopes ) dari pesawat (sensor). IMU akan menghasilkan nilai dari 3 sumbu utama, yaitu sumbu: X (roll), Y (pitch), dan Z (yaw atau heading). Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 2.14. Sistem IMU ini nantinya akan memberikan atau menentukan orientasi 3D setiap pusat proyeksi LIDAR. Gambar 2.14. Koreksi Posisi Pesawat [Bobby, 2004] 18

2.3.3.3. Global Positioning System (GPS) GPS merupakan sistem penentuan posisi secara tiga dimensi (3D) yang berguna untuk menentukan posisi pusat proyeksi setiap citra LIDAR. Penentuan posisi pusat proyeksi LIDAR dapat dilakukan secara differensial. Penentuan posisi secara differensial dapat digunakan untuk penentuan posisi obyek-obyek yang diam maupun bergerak. Syarat penentuan posisi secara differensial adalah: - Memerlukan minimal 2 buah receiver, satu ditempatkan pada titik yang telah diketahui koordinatnya (monitor station) dan satunya lagi ditempatkan pada titik yang akan ditentukan posisinya. - Posisi titik ditentukan relatif terhadap monitor station. Data GPS yang telah dihasilkan kemudian diolah secara post processing dan kemudian digabungkan dengan data IMU sehingga diperoleh koordinat yang terdefenisi secara geografis. GPS dipasang pada wahana pesawat dan di tanah (ground). Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 2.15 di bawah ini. Gambar 2.15. GPS untuk pengukuran LIDAR [Burtch, 2002] 2.3.4. Prosedur Pelaksanaan Pengukuran LIDAR 2.3.4.1. Prosedur Pelaksanaan Pengambilan Data LIDAR Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pengambilan data LIDAR, antara lain: penentuan atau survei pendahuluan terhadap daerah proyek, dan penyediaan titik kontrol. 19

A. Survei Pendahuluan Koordinat-koordinat batas dari area proyek terlebih dahulu harus diketahui, hal tersebut merupakan permasalahan yang sangat penting untuk penyediaan titik kontrol dan pengaturan jalur terbang ketika melakukan misi pengambilan data. Tipe dari area proyek harus disurvei terlebih dahulu, hal tersebut dilakukan untuk memperhitungkan: vegetasi, pohon, bangunan, dan hal-hal lainnya yang berpengaruh terhadap pengambilan data. Contohnya, jika model topografi tanah merupakan produk akhir yang dihasilkan dan harus ada beberapa jarak yang cukup diantara vegetasi yang memungkinkan sinar laser masuk dan menghasilkan model topografi tanah, maka mengharuskan penggunaan sistem yang memiliki kemampuan seperti: kecepatan dalam melakukan scanning yang tinggi, kecepatan terbang yang rendah, dan sudut pancar (small beam) yang kecil. Kesemuanya berfungsi untuk menghasilkan spasi titik yang rapat dan memungkinkan pulsa laser sampai ke tanah. B. Titik Kontrol Tanah Pelaksanaan titik kontrol tanah terdiri dari: base stasiun, kontrol kalibrasi, dan kontrol area proyek. Semua titik kontrol tersebut harus mengacu ke suatu jaring titik kontrol geodesi yang berguna untuk konsistensi, dan pemeriksaan kesalahan yang diakibatkan oleh sistem LIDAR. B.1. Base Station (Stasiun Titik Kontrol) Stasiun titik kontrol harus terletak pada jarak 30 sampai 40 km dari area proyek. penentuan tersebut sangat penting, mengingat jarak antara area proyek dengan base stasion sangat berpengaruh terhadap akurasi vertikal dan horizontal. Akurasi vertikal dan horizontal dari titik kontrol harus sesuai dengan yang telah ditetapkan, sehingga akurasi dari hasil akhir akan dapat terpenuhi. Untuk memenuhi kriteria jarak yang diinginkan, maka base stasion harus diletakkan berdekatan dengan tempat pesawat pada saat melakukan take-off dan landing. B.2. Kontrol Kalibrasi Sistem LIDAR Dalam rangka untuk meyakinkan bahwa sistem LIDAR bekerja dengan baik, sejumlah titik kalibrasi harus didirikan dekat dengan area proyek. Pesawat akan melakukan take off dan akan terbang di sekitar bandara, tujuannya adalah untuk melakukan kalibrasi dari sistem yang digunakan. Biasanya titik kalibrasi tersebut 20

didirikan di bandara dimana pesawat mulai melakukan misi pengambilan data. Ilustrasi dari kontrol kalibrasi sistem LIDAR dapat dilihat pada gambar Gambar 2.16. B.3. Kontrol Area Proyek Kontrol area proyek digunakan untuk melakukan pengujian terhadap akurasi dari sistem yang digunakan dan produk akhir yang dihasilkan. Jumlah titik kontrol yang dibutuhkan sangat tergantung dari jenis proyek yang akan dilakukan dan harus mempertimbangkan vegetasi dan tipe topografi daerah proyek. Gambar 2.16. Gambar titik kontrol di bandara [www.airbornelasermapping.com] Serangkaian titik kontrol geodesi yang terletak di lokasi kalibrasi bandara dan sepanjang area proyek merupakan syarat yang harus dipenuhi guna mendapatkan nilai kontrol kualitas yang lengkap. Walaupun LIDAR sangat konsisten untuk pengukuran individual, tetapi LIDAR merupakan sistem yang berentang dua arah sehingga mempengaruhi terjadinya bias. Untuk mendeteksi dan menghilangkan kesalahan dari bias yaitu dengan melakukan cek data secara keseluruhan dengan mendirikan serangkain titik kontrol pada area bandara (seperti yang terlihat pada gambar 16), serangkaian titik kontrol tersebut juga harus diletakkan di sepanjang lokasi proyek. Setelah semua sistem telah disusun dan garis penerbangan dibuat, selanjutnya operator akan memonitor perkembangan dari pengumpulan data dan memastikan bahwa data telah dikirim kembali ke sensor. Operator akan mengetahui apakah sistem tersebut bekerja dengan baik atau tidak antara lain dengan melakukan cek terhadap: sinar laser yang dipancarkan (apakah laser bekerja dengan baik atau tidak), komponen IMU dan GPS (apakah data yang dihasilkan oleh komponen IMU dan GPS 21

konsisten). Secara umum garis penerbangan yang sebelum dengan sesudahnya disusun sedemikian rupa sehingga bisa memenuhi sidelap sebanyak 30%, yang dapat dilihat pada gambar 2.17. Gambar 2.17. Overlap pada misi penerbangan LIDAR [Burtch, 2002] 2.3.4.2. Pola Scanning (Penyiaman) LIDAR Pola scanning (penyiaman) yang dihasilkan sangat tergantung dari sensor yang digunakan. Pola yang dihasilkan juga sangat tergantung dari jenis terrain, dan tingkah laku pesawat pada saat terbang sepanjang jalur proyek. 1. Pola zig-zag Pada pola ini sebuah kaca osilasi akan mengarahkan sinyal laser sepanjang swath. Dengan menggunakan galvanometer maka pola ini dapat dibuat lebih seragam. Data titik-titik akan terus menerus dihasilkan dari dua arah penyiaman. Gambar 2.18. Pola zig-zag [Lohani, 1996] 2. Pola Garis Pararel Sebuah kaca mengarahkan sinyal laser sepanjang garis pararel di sepanjang daerah swath. Data titik-titik dihasilkan dari hasil scanning satu arah. Keuntungannya adalah penyebarann titik-titik pada tanah akan lebih seragam. 22

Gambar 2.19. Pola garis pararel [Lohani, 1996] 3. Pola Ellips Pola ellips dihasilkan melalui kaca nutasi yang berotasi sepanjang sumbunya. Permukaan dari kaca akan berinklinasi pada sumbu rotasi sehingga titik-titik yang dihasilkan akan berbentuk pola ellips. Gambar 2.20. Pola ellips [Lohani, 1996] 4. Pola Garis Pararel Toposys Sinar laser ditembakkan melalui susunan dari serat optik kemudian pulsa yang dipantulkan dikumpulkan melalui sistem yang sama. Susunan serat optik memastikan garis-garis penyiaman adalah pararel dan secara seragam terpetakan. Gambar 2.21. Pola garis pararel toposys [Lohani, 1996] 2.2.5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Sinar Laser LIDAR Di Darat dan Di Perairan Kemampuan penetrasi LIDAR sangat tergantung pada medium yang dilewatinya,apakah itu udara atau wilayah perairan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan pulsa LIDAR di darat dan di perairan adalah: 23

A. Di Perairan 1. Turbiditas Suatu energi sinar yang melalui air intensitasnya akan dipengaruhi dua proses, yaitu: Penyerapan (absorsi) dan konveksi kebentuk energi lain Penghamburan energi ke segala arah Akibat adanya kedua komponen ini akan mengurangi intensitas berbanding lurus dengan jarak/kedalaman yang telah ditempuh. Pengurangan intensitas yang diakibatkan oleh kedua proses di atas disebut dengan turbiditas. Turbiditas mempunyai nilai besar pada area perairan dimana dasar suspensi padat, klorofil, dan material organik tak terurai yang memiliki konsentrasi tinggi. Dapat disimpulkan bahwa perairan yang jernih akan memiliki kemampuan penetrasi energi laser yang lebih baik. 2. Komposisi Dasar Perairan Kemampuan penetrasi juga tergantung kepada komposisi dasar perairan daerah survei. Vegetasi dasar laut akan mempengaruhi reflektifitas dasar perairan dan mengurangi kemampuan penetrasi kedalaman. 3. Kondisi Cuaca Kondisi cuaca di daerah survei seperti kabut, asap, dan hujan dapat mempengaruhi kemampuan penetrasi sinar laser. Pada pengukuran kedalaman, pengaruh angin yang terlalu kencang dan pasang surut yang terlalu tinggi juga menyebabkan adanya pergerakan massa air atau arus yang membawa sedimen dasar perairan ke dalam kolom air dan menyebabkan berkurangnya kejernihan air. Angin juga dapat menimbulkan busa pada permukaan air, yang menyebabkan berkurangnya kemampuan penetrasi kedalaman. Selain itu, gelombang laut juga menyebabkan bertambahnya kesalahan penentuan tinggi pesawat dan efek pembelokan arah sudut pancar (beam). 24

4. Backround noise Teknik ALH sangat tergantung pada nilai SNR (Signal to Noise Ratio) yang diterima oleh receiver. Untuk menghilangkan/mengurangi efek sinyal pantulan matahari, maka sistem ini harus dilengkapi oleh fiber optis. B. Di Darat 1. Komposisi Dasar Permukaan Topografi Kemampuan penetrasi juga tergantung kepada komposisi dari permukaan topografi daerah survei. Vegetasi atau objek-objek di atas permukaan topografi akan mempengaruhi reflektifitas dan mengurangi kemampuan penetrasi. 2. Kondisi Cuaca Kondisi cuaca di daerah survei seperti kabut, asap, dan hujan dapat mempengaruhi kemampuan penetrasi sinar laser. 3. Backround noise Untuk menghilangkan/mengurangi efek sinyal pantulan matahari, maka sistem ini harus dilengkapi oleh fiber optis. Sedangkan faktor-faktor yang juga sangat berpengaruh terhadap pengukuran di darat maupun di perairan adalah kemampuan dari sistem LIDAR tersebut, seperti: Besarnya sudut penjejak (θ) Panjang gelombang sinar laser Karakteristik receiver yang digunakan Banyaknya gelombng sinar laser yang dipancarkan Tinggi terbang pesawat 2.3.5. Georeferensi Data LIDAR 2.3.5.1.Umum Sebelum melakukan pengolahan data LIDAR, hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan kerangka referensi dari data LIDAR tersebut. 25

Besaran-besaran yang harus ditentukan atau diukur untuk menentukan georeferensi dari data LIDAR. Pengukuran jarak laser yang diperoleh dengan menggunakan waktu tempuh dari masing-masing pulsa laser. Sudut scanning Akselerasi Pesawat Roll, pitch, dan yaw. Penentuan koordinat antena GPS. Sistem LIDAR terdiri atas tiga sensor utama, yaitu: Laser Scanner, INS (IMU), dan GPS (lihat gambar 2.22). Ketiga sensor tersebut bekerja pada frekuensi masingmasing. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah mengetahui berbagai macam sistem koordinat yang terlibat dan hubungannya antar sistem koordinat tersebut. 3.3.5.2. Sistem Referensi LIDAR 1. Sistem referensi instrumen Sistem ini berada pada pusat kaca dari instrumen. Dimana sumbu Z berada sepanjang sinar laser yang berada pada pusat atau tengah-tengah dari area swath. Sumbu X searah dengan hidung pesawat dan sumbu Y dapat ditentukan sesuai dengan prinsip tangan kanan. 2. Sistem referensi Scanning Garis merah yang ada pada gambar 2.22 mengindikasikan pulsa laser dengan sumbu Z menjadi arah dari perjalanan sinar laser. Sumbu X dan Y searah atau sama dengan sumbu X dan Y instrumen. Sumbu Z akan sangat bergantung terhadap besarnya sudut scan. 3. Sistem referensi INS INS merupakan gambaran dari keadaan gravitasi lokal dan sumbu utara sebenarnya ketika pesawat mengalami pergerakan. INS bekerja dengan cara melakukan deteksi terhadap rotasi dari bumi dan gravitasi. Sistem referensi INS terdiri dari koordinat 26

X,Y,Z yang didefenisikan oleh roll, pitch, dan yaw. INS nantinya akan menghasilkan nilai dari roll, pitch, dan yaw tersebut. Gambar 2.22. Hubungan berbagai macam sistem referensi pada LIDAR [Lohani,1996] 4. Sistem referensi Earth Tangential (ET) Sistem ini bersumber dari sistem koordinat antena GPS (lihat gambar 2.22). Sumbu X dinyatakan sebagai arah dari sumbu utara yang sebenarnya, dan sumbu Z berada sepanjang pusat massa bumi. Sistem referensi ET berhubungan dengan INS yang direalisasikan melalui roll, pitch, dan yaw yang menghasilkan koordinat X, Y, dan Z berurutan sepanjang waktu pengambilan. ET juga dihubungkan dengan sistem instrumen yang dinyatakan oleh vektor GPS. ET juga bisa dihubungkan dengan WGS 84 yang dinyatakan oleh lokasi dari antena GPS pada setiap pengambilan data. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 2.23. Hubungan antara ET dengan WGS 84 [Lohani, 1996] 27

2.3.6. Data dan Aplikasi LIDAR 2.3.6.1. Kepadatan Data LIDAR Kepadatan dari suatu data LIDAR merupakan parameter penting dalam pengukuran LIDAR. Kepadatan sebuah data tergantung dari aplikasi dari data yang diinginkan. Kepadatan sebuah data LIDAR tergantung dari: Ketinggian pesawat Kecepatan pesawat Frekuensi scan Pola scanning Kekuatan pulsa Geometri tanah dan reflektivitas dari objek yang dipantulkan Jika ketinggian dari pesawat H, sudut scan θ, maka lebar swath S (Gambar 2.24) dapat dihitung dengan menggunakan rumus: S = 2 H tan (θ /2) (Lihat gambar 2.24) Garis scan Lebar Swath Si Si Ji Ji Gambar 2.24. Kepadatan data LIDAR Jika banyaknya titik yang dihasilkan dalam satu kali scan adalah N, banyaknya garis yang diperoleh dalam waktu satu detik adalah K, lebar swath adalah S, dan kecepatan pesawat adalah V, maka dapat ditentukan: 28

1. Kepadatan data (titik per panjang unit) dapat ditulis dengan rumus: 2. Spasi antar titik diperoleh dengan rumus: ds = N S Si = S N 3. Spasi antar garis scan diperoleh dengan rumus: Ji = V K 2.3.6.2. Pengklasifikasian Data LIDAR Pengklasifikasian data LIDAR dilakukan secara otomatis menggunakan analisis morphological filter. Analisis ini akan menggolongkan data dalam titik-titik tanah dan non-tanah. Klasifikasi selanjutnya dapat didefinisikan sebagai titik kanopi. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. x,y,z x,y,z x,y,z x,y,z x,y,z x,y,z x,y,z x,y,z x,y,z Gambar 2.25. Pengklasifikasian data LIDAR [Karvak, 2007] 2.2.6.3. Format Data LIDAR dan Aplikasinya Format data LIDAR pada umumnya berisi informasi tentang: Return Number Nilai X,Y, Z Arah scan Besar sudut scan Ketinggian 29

Waktu GPS Jarak sinar laser Format data LIDAR pada umumnya adalah ASCII dan LAS. Dari berbagai format data LIDAR tersebut dapat dilakukan proses konversi ke format data lain. Proses konversi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai software, seperti: ArcGIS, Global Mapper, dan software-software pendukung lainnya. Proses konversi tersebut akan mempermudah pembentukan dan analisis Digital Terrain Model (DEM) dan bentuk-bentuk detail lainnya yang dihasilkan dari data LIDAR tersebut. Data LIDAR yang telah diolah dapat digunakan untuk berbagai aplikasi, seperti: 1. Pemodelan Banjir. 2. Pemodelan Kota 3D 3. Kehutanan 4. Perencanaan tower transmisi 5. Pengembangan kawasan Real Estate 6. Survei konstruksi 7. Survei eksplorasi minyak dan gas 8. Pemetaan batimetri, dan lain sebagainya. Ilustrasi dari berbagai aplikasi data LIDAR dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Pemodelan kota 3D Batimetri Tower transmisi kehutanan DEM Survei konstruksi Gambar 2.26. Contoh berbagai aplikasi data LIDAR [Karvak, 2007] 30