BAB 2 STUDI PUSTAKA Teori Pergerakan Benua dan Lempeng Tektonik. Teori yang membahas perihal pergerakan benua diajukan pada awal abad dua

dokumen-dokumen yang mirip
Analisa Resiko Gempa Kasus : Proyek Pengeboran Minyak Di Tiaka Field. Helmy Darjanto, Ir, MT

BAB II STUDI PUSTAKA

Analisis Dinamik Struktur dan Teknik Gempa

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Soil Ln (PGA) = M ln (R e 0.617M ) h Zt (2.8) Dimana: R = jarak terdekat ke bidang patahan (km)

BAB III METODOLOGI. Ms = 1.33 Mb (3.1) Mw = 1.10 Ms 0.64 (3.2)

Note : Kenapa Lempeng bergerak?

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA JL.

Metodologi Penelitian

PENGEMBANGAN PROGRAM ANALISIS SEISMIC HAZARD DENGAN TEOREMA PROBABILITAS TOTAL TUGAS AKHIR

Laporan Tugas Akhir Pemodelan Numerik Respons Benturan Tiga Struktur Akibat Gempa BAB I PENDAHULUAN

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

KONDISI UNSUR CUACA PADA SAAT GERHANA MATAHARI TANGGAL 9 MARET 2016 DI STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

STUDI PENGEMBANGAN PETA ZONA GEMPA UNTUK WILAYAH PULAU KALIMANTAN, NUSA TENGGARA, MALUKU, SULAWESI DAN IRIAN JAYA (INDONESIA BAGIAN TIMUR)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan Program Analisis Seismic Hazard dengan Teorema Probabilitas Total Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMA PERNYATAAN KATAPENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I.

BAB I PENDAHULUAN. lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, serta lempeng mikro yakni lempeng

BAB III PROGRAM ANALISIS RESIKO GEMPA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Kelompok VI Karakteristik Lempeng Tektonik ATRIA HAPSARI DALIL MALIK. M HANDIKA ARIF. P M. ARIF AROFAH WANDA DIASTI. N

Sulawesi. Dari pencatatan yang ada selama satu abad ini rata-rata sepuluh gempa

ANALISIS RESIKO GEMPA KOTA LARANTUKA DI FLORES DENGAN MENGGUNAKAN METODE PROBABILISTIC SEISMIC HAZARD

PENGENALAN. Irman Sonjaya, SE

Universitas Sumatera Utara

Time Histories Dari Ground Motion 1000 Tahun Periode Ulang Untuk Kota Surabaya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TEORI TEKTONIK LEMPENG

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB II GEMPA BUMI DAN GELOMBANG SEISMIK

Oleh : DAMAR KURNIA Dosen Konsultasi : Tavio, ST., M.T., Ph.D Ir. Iman Wimbadi, M.S

Berkala Fisika ISSN : Vol. 18, No. 1, Januari 2015, hal 25-42

BAB I PENDAHULUAN. adalah inti, putih telurnya adalah selubung, dan cangkang telurnya adalah kerak.

ANALISA RESIKO GEMPA DENGAN TEOREMA PROBABILITAS TOTAL UNTUK KOTA-KOTA DI INDONESIA YANG AKTIFITAS SEISMIKNYA TINGGI

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA

Ground Motion Modeling Wilayah Sumatera Selatan Berdasarkan Analisis Bahaya Gempa Probabilistik

ANALISIS RESIKO GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL

BAB III METODE PENELITIAN. Metode geofisika yang digunakan adalah metode seimik. Metode ini

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG EVALUASI TAPAK INSTALASI NUKLIR UNTUK ASPEK KEGEMPAAN

BAB III LANDASAN TEORI. A. Gempa Bumi

Dicetak ulang oleh: UPT Loka Uji Teknik Penambangan dan Mitigasi Bencana, Liwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2014

ANALISIS PERCEPATAN TANAH MAKSIMUM DENGAN MENGGUNAKAN RUMUSAN ESTEVA DAN DONOVAN (Studi Kasus Pada Semenanjung Utara Pulau Sulawesi)

RESPON DINAMIS STRUKTUR BANGUNAN BETON BERTULANG BERTINGKAT BANYAK DENGAN KOLOM BERBENTUK PIPIH

Tes Kemampuan Kognitif Materi Pokok Gempa Bumi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!!

STUDI PENGEMBANGAN PETA ZONA GEMPA UNTUK WILAYAH PULAU SUMATRA,JAWA DAN BALI (INDONESIA BAGIAN BARAT)

RESIKO GEMPA PULAU SUMATRA DENGAN METODA PROBABILISTIC SEISMIC HAZARD ANAL YSIS (PSHA) THESIS MAGISTER OLEH: D. PRAHERDIAN PUTRA

Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda?

matematis dari tegangan ( σ σ = F A

BAB 2 TEORI DASAR 2-1. Gambar 2.1 Sistem dinamik satu derajat kebebasan tanpa redaman

III. TEORI DASAR. A. Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. akumulasi stress (tekanan) dan pelepasan strain (regangan). Ketika gempa terjadi,

Bab IV Parameter Seismik

PENGUKURAN RESPONS SPEKTRA KOTA PADANG MENGGUNAKAN METODA PROBABILITAS ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang..I Maksud dan Tujuan Penulisan Tugas Akhir.I Pembatasan Masalah I Sistematika Laporan I 6

ANALISIS SEISMIC MENGGUNAKAN PROGRAM SHAKE UNTUK TANAH LUNAK, SEDANG DAN KERAS

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Tinjauan Teori Perambatan Gelombang Seismik. Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi

Estimasi Nilai Percepatan Tanah Maksimum Provinsi Aceh Berdasarkan Data Gempa Segmen Tripa Tahun Dengan Menggunakan Rumusan Mcguire

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau

HALAMAN PERSETUJUAN TESIS PETA DEAGREGASI HAZARD GEMPA WILAYAH JAWA DAN REKOMENDASI GROUND MOTION DI EMPAT DAERAH

PERSIAPAN PERENCANAAN JEMBATAN SELAT SUNDA

GEMPA BUMI DAN AKTIVITASNYA DI INDONESIA

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

Bab III Metodologi Penelitian

BABI PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PEMETAAN DAERAH RENTAN GEMPA BUMI SEBAGAI DASAR PERENCANAAN TATA RUANG DAN WILAYAH DI PROVINSI SULAWESI BARAT

DEAGREGASI SEISMIC HAZARD KOTA SURAKARTA`

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU

berhubungan dengan jumlah energi total seismic yang dilepaskan sumber gempa. Magnitude ialah skala besaran gempa pada sumbernya.

TUGAS TERSTRUKTUR ANALISIS LANSEKAP TEKTONISME

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik.

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

RESPONS SPEKTRA GEMPA BUMI DI BATUAN DASAR KOTA BITUNG SULAWESI UTARA PADA PERIODE ULANG 2500 TAHUN

Analisis Percepatan Tanah Maksimum Wilayah Sumatera Barat (Studi Kasus Gempa Bumi 8 Maret 1977 dan 11 September 2014)

ANALISIS DINAMIK BENDUNGAN SERMO DI JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MIKROZONASI GEMPA UNTUK KOTA SEMARANG TESIS MAGISTER. Oleh : OKKY AHMAD PURWANA

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA

SESAR MENDATAR (STRIKE SLIP) DAN SESAR MENURUN (NORMAL FAULT)

ANALISIS DINAMIK RAGAM SPEKTRUM RESPONS GEDUNG TIDAK BERATURAN DENGAN MENGGUNAKAN SNI DAN ASCE 7-05

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...

MODUL III EPISENTER DAN HIPOSENTER GEMPA BUMI BAB I PENDAHULUAN

KAJIAN EKSPERIMENTAL PADA DINDING BATA DI LABORATORIUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE DISPLACEMENT CONTROL ABSTRAK

DISTRIBUSI BEBAN LATERAL PADA STRUKTUR AKIBAT BEBAN GEMPA

UNIT X: Bumi dan Dinamikanya

Transkripsi:

BAB 2 STUDI PUSTAKA 2.1. Teori Pergerakan Benua dan Lempeng Tektonik Teori yang membahas perihal pergerakan benua diajukan pada awal abad dua puluh. Menurut Kramer (1996), Wagener (1915) misalnya, yakin bahwa bumi dua ratus juta tahun yang lalu hanya terdiri dari satu benua yang disebut dengan Pangaea. Dia mengatakan bahwa Pangaea pecah menjadi kepingan-kepingan dan bergerak secara lambat sekali membentuk format benua dan pulau seperti sekarang ini. Teori tentang pergerakan benua tidak mendapat banyak perhatian sampai dengan sekitar tahun 1960, saat jaringan peralatan seismograf dunia mampu menentukan lokasi gempa secara akurat, dan mengkonfirmasikan bahwa deformasi jangka panjang terkonsentrasi relatif di sekitar zona antara blok-blok kerak bumi. Dalam waktu sepuluh tahun berikutnya, teori pergerakan benua sudah dapat lebih diterima secara meluas dan diakui sebagai kemajuan terbesar dalam ilmu pengetahuan tentang bumi. Menurut Gubbins (1990), kondisi geologi lantai samudera masih relatif sederhana dan berusia muda, yaitu hanya sekitar 5% dari usia bumi, dimana beberapa studi yang cukup detail memberikan dukungan bukti kuat terhadap sejarah pergerakan benua seperti yang diasumsikan pada teori pergerakan benua. 13

14 Teori orisinil pergerakan benua memberikan gambaran benua yang sangat besar mendesak melalui lautan dan melintasi lantai samudera. Diketahui bahwa lantai samudera terlampau kokoh untuk dapat mengijinkan pergerakan, dan teori ini semula ditolak oleh para ilmuwan. Dari latar belakang inilah sesungguhnya teori lempeng tektonik mulai berkembang. Hipotesa dasar dari lempeng tektonik adalah bahwa permukaan bumi terdiri dari sejumlah blok utuh yang besar disebut lempeng, dan lempeng-lempeng ini bergerak saling bersenggolan satu dengan lainnya. Kulit bumi dibagi atas enam lempeng yang seukuran benua (Afrika, Amerika, Antartika, Australia, Eurasia, dan Pasifik) serta terdiri atas empat belas lempeng sub-benua (Caribean, Cocos, Nazca, Phillipine, dan lain-lain) seperti pada Gambar 2.1. Lempeng yang lebih kecil, disebut lempeng mikro, juga sangat banyak bertebaran di sekitar lempeng yang lebih besar. Deformasi antara lempeng-lempeng tersebut terjadi hanya pada area di sekitar tepian atau batasnya. Deformasi dari lempeng ini dapat terjadi secara lambat dan terus-menerus (a seismic deformation) atau dapat pula terjadi secara tidak teratur dalam bentuk gempa bumi (seismic deformation). Apabila deformasi terjadi terutama pada batas-batas antara lempeng, dapat dipastikan bahwa lokasi-lokasi gempa terkonsentrasi di sekitar batas lempeng. Teori lempeng tektonik merupakan suatu teori kinematik yang menjelaskan mengenai pergerakan gempa tanpa membahas penyebab dari pergerakan itu. Sesuatu seharusnya menjadi penyebab pergerakan tersebut untuk menggerakkan massa yang sangat besar dengan tenaga yang sangat besar pula.

15 Reykjanes ridge EURASIA PLATE EURASIA PLATE NORTH AMERICA PLATE Aleutian trench Juan De Fuca Plate Kurli trench CARIBBEAN PLATE Japan trench Mexico Trench AFRICA PLATE PHILLIPINE PLATE Mid-Atlantic PACIFIC PLATE Cocos Plate Marianas trench J a Carlsberg ridge ridge SOUTH AMERICA PLATE rise v a t trench East Pacific r e n c h lle Nazca Plate u h Per i -C Kermadec-Tonga Trench AUSTRALIA PLATE e Atlantic-Ind g ia d n ri Chille rise Pacific-Antartic ridge rie Indian South East Macqua ridge rise ANTARCTIC PLATE ANTARCTIC PLATE Uncertain plate boundary Ridgeaxis Subduction zone Strike-slip (transform) faults Tanda Panah Menunjukkan Arah dari Pergerakan Lempeng. Gambar 2.1 Lempeng Tektonik Utama, Bubungan Tengah Lautan dan Transformasi Patahan dari Bumi (Kramer, 1996)

16 Penjelasan yang paling dapat diterima secara meluas tentang sumber pergerakan lempeng bersandar kepada hukum keseimbangan termomekanika material bumi. Lapis teratas dari kulit bumi bersentuhan dengan kerak bumi yang relatif dingin, sementara lapis terbawah bersentuhan dengan lapis luar inti panas. Jelas peningkatan temperatur pasti terjadi pada lapisan. Variasi kepadatan lapisan dan temperatur menghasilkan situasi tidak stabil pada ketebalan material (yang lebih dingin) di atas material lebih tipis (yang lebih panas) dibawahnya. Akhirnya, material tebal yang lebih dingin mulai tenggelam akibat gravitasi dan pemanasan, dan material yang lebih tipis mulai naik. Material yang tenggelam tersebut berangsur-angsur dipanaskan dan menjadi lebih tipis, sehingga akhirnya bergerak menyamping dan dapat naik lagi yang kemudian sebagai material didinginkan yang akan tenggelam lagi. Proses ini biasa disebut sebagai konveksi. Arus konveksi pada batuan setengah lebur pada lapisan mengakibatkan tegangan geser di bawah lempeng, yang menggeser lempeng tersebut ke arah yang bervariasi melalui permukaan bumi. Fenomena lain, seperti tarikan bubungan atau tarikan irisan dapat juga menjadi penyebab pergerakan lempeng. Karakteristik batas lempeng juga mempengaruhi sifat dasar dari gempa yang terjadi sepanjang batas lempeng tersebut. Pada beberapa area tertentu, lempeng bergerak menjauh satu dengan lainnya pada batas lempeng, yang dikenal sebagai bubungan melebar atau celah melebar. Batuan lebur dari lapisan dasar muncul ke permukaan dimana akan mendingin dan menjadi bahagian lempeng yang

17 merenggang. Dengan demikian, lempeng mengembang pada bubungan yang melebar. Tingkat pelebaran berkisar dari 2 hingga 18 cm/tahun; tingkat tertinggi ditemukan pada Lautan Pasifik, dan terendah ditemukan sepanjang Bubungan Mid- Atlantic. Telah diestimasi bahwa kerak bumi yang baru di lautan terbentuk pada tingkatan sekitar 3,1 km 2 /tahun di seluruh dunia. Kerak bumi yang masih berusia muda ini, disebut basal baru, terbentuk tipis di sekitar bubungan yang melebar. Hal ini juga dapat terbentuk oleh pergerakan ke atas magma yang relatif lambat, atau dapat pula oleh semburan yang cepat saat terjadinya aktivitas kegempaan. Lapisan material mendingin setelah mencapai permukaan pada celah lempeng yang melebar. Lapisan akan menjadi bersifat magnet sejalan dengan pendinginannya dengan kutub tergantung arah bidang magnet bumi saat itu. Bidang magnet bumi tidak konstan terhadap skala waktu geologi, karena berfluktuasi dan berbalik pada interval waktu yang tidak tentu, sehingga penyimpangan sifat magnetik yang tidak biasa pada bebatuan terbentuk pada pinggiran bubungan yang melebar. Karena ukuran bumi tetap konstan, maka pembentukan material lempeng baru pada bubungan melebar harus seimbang dengan berkurangnya material lempeng di lokasi yang lain. Hal ini terjadi pada batas zona subduksi dimana pergerakan relatif dari dua lempeng saling menghunjam satu dengan lainnya. Saat bersentuhan, salah satu lempeng menyusup ke bawah lempeng yang satunya. Batas zona subduksi sering ditemukan di sekitar pinggiran benua. Karena kerak lautan biasanya dingin dan tebal, maka zona subduksi akan tenggelam akibat berat

18 sendirinya di bawah kerak benua yang lebih ringan. Saat tingkat konvergensi lempeng tinggi, semacam saluran terbentuk pada batas antara lempeng. Sehingga batas zona subduksi biasa juga disebut sebagai batas saluran. Saat tingkat konvergensinya pelan, endapan terakumulasi pada suatu pertambahan irisan di atas perpotongan dari pengkerakan batuan, sehingga membuat saluran tertutup. Apabila lempeng mengakibatkan benua bertubrukan, maka dapat menjadi formasi jajaran pegunungan. Himalaya terbentuk dari dua pengkerakan lapisan yang dibentuk ketika lempeng Australia bertubrukan dengan lempeng Eurasia. Tubrukan antar benua dari lempeng Afrika dan lempeng Eropa mengakibatkan berkurangnya luas Laut Mediterania dan pada akhirnya nanti akan menjadi jajaran pegunungan. Transformasi patahan terjadi ketika lempeng bergerak dan berselisihan satu dengan yang lainnya tanpa menciptakan kerak bumi yang baru atau mengurangi kerak bumi yang sudah ada. Transformasi patahan ini biasanya ditemukan pada kelengkungan bubungan melebar, dan diidentifikasi berdasarkan penyimpangan sifat magnetiknya dan torehan yang terdapat pada permukaan kerak bumi. Kelengkungan penyimpangan magnetik memperlihatkan zona retakan yang dapat terjadi sepanjang ribuan kilometer. Lempeng tektonik memberikan suatu kerangka yang sangat berguna untuk dapat menjelaskan pergerakan dari permukaan bumi dan melokaliser gempa dan vulkanik. Lempeng tektonik juga menggambarkan pembentukan dari material kerak bumi yang baru serta pengurangan material kerak bumi yang lama sesuai dengan

19 ketiga jenis pergerakan lempeng seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2. Batas bubungan melebar Batas bubungan melebar Batas zona subduksi Zona retakan Batas transformasi patahan Lempeng subduksi Batuan pendorong lapisan Lempeng subduksi Gambar 2.2 Interrelasi di Antara Bubungan Melebar, Zona Subduksi dan Batas Patahan Lempeng, (Kramer, 1996) 2.2. Patahan Panjang patahan bervariasi dari beberapa meter saja hingga ratusan kilometer dan kedalamannya dapat bertambah dari permukaan tanah hingga belasan kilometer. Pemunculannya bisa nyata, seperti yang direfleksikan pada topografi permukaan, atau dapat pula sangat sulit untuk dideteksi. Pemunculan patahan bisa jadi bukan merupakan ekspektasi dari suatu gempa, karena pergerakan yang terjadi merupakan gerakan seismic (kontinyu namun lambat), atau bisa juga karena patahan tersebut tidak aktif. Kurangnya pengamatan pada patahan permukaan, di sisi lain, bukan menyatakan secara langsung bahwa gempa tidak dapat terjadi, karena kenyataannya, rekahan patahan tidak mencapai permukaan bumi pada kebanyakan gempa yang terjadi.

20 2.2.1. Bentuk geometri dari patahan Standar notasi geologi digunakan untuk menentukan orientasi suatu bidang patahan. Apabila permukaan suatu patahan besar adalah tak-tentu, maka biasanya diperkirakan sebagai suatu bidang datar. Orientasi bidang patahan ditentukan berdasarkan tabrakan (strike) dan hunjamannya (dip). Tabrakan patahan merupakan garis horizontal yang dihasilkan dari perpotongan bidang patahan dengan bidang horizontal (Gambar 2.3). Azimuth tabrakan digunakan untuk menentukan orientasi patahan yang mengacu terhadap arah utara. Kemiringan ke bawah dari bidang patahan ditentukan oleh sudut hunjaman, yang mana merupakan sudut antara bidang patahan dengan bidang horizontal dihitung tegak lurus terhadap tabrakan. Patahan vertikal memiliki sudut hunjuman sebesar 90 0 Bidang Patahan Vektor Tabrakan Sudut Hunjaman Bidang Horizontal Vektor Hunjaman Gambar 2.3 Notasi Geometri Untuk Pendeskripsian dari Orientasi Bidang Patahan, (Kramer, 1996) 2.2.2. Pergerakan menghunjam (dip slip movement) Pergerakan patahan yang terjadi terutama dalam arah menghunjam (atau tegak lurus terhadap tabrakan) dinyatakan sebagai pergerakan dip slip. Pematahan normal

21 terjadi ketika komponen horizontal pergerakan hunjaman adalah suatu perpanjangan ketika material di atas patahan bergerak miring relatif menuju material di bawahnya. Bidang Patahan Gambar 2.4 Pematahan Normal, (Kramer, 1996) Pematahan normal biasanya terjadi bersamaan dengan tegangan regang pada kerak bumi dan menghasilkan suatu pemanjangan pada kerak bumi. Saat komponen horizontal gerakan menghunjam dimampatkan dan material patahan bergerak relatif ke atas menuju material dibawah patahan, maka pematahan terbalik yang terjadi. Pergerakan patahan terbalik seperti pada Gambar 2.5 menghasilkan suatu pemendekan kerak bumi secara horizontal. Suatu jenis khusus dari patahan terbalik merupakan suatu patahan tusukan, yang terjadi ketika bidang patahan membentuk sudut hunjaman yang kecil. Gambar 2.5 Pematahan Terbalik, (Kramer, 1996)

22 2.2.3. Pergerakan tabrakan (strike-slip movement) Pergerakan tabrakan pada patahan biasanya hampir mendekati vertikal dan dapat menghasilkan gerakan besar. Patahan strike-slip lebih jauh diketegorikan oleh arah relatif pergerakan dari material di setiap sisi patahan. Gambar 2.6 Pematahan Strike-Slip Lateral Arah ke Kiri, (Kramer, 1996) Suatu pengamat berdiri di dekat patahan strike-slip lateral arah kanan akan melihat permukaan di sisi sebelahnya bergerak ke arah kanan pula, dan demikian juga sebaliknya suatu pengamat yang berdiri di dekat patahan strike-slip lateral arah kiri akan melihat permukaan di sisi sebelahnya bergerak ke arah kiri. 2.3. Gelombang Gempa Pelepasan energi tegangan mendadak oleh rekahan pada tepian lempeng tektonik merupakan penyebab utama dari aktifitas gempa, yang menyebabkan menjalarnya getaran pada bahagian bumi dalam bentuk gelombang. Gelombang gempa terdiri atas gelombang badan (body waves) dan gelombang permukaan (surface waves). Gelombang badan merambat di dalam bumi serta terdiri

23 atas dua tipe, yaitu : p-waves dan s-waves. Tipe p-waves dikenal juga dengan sebutan gelombang utama, atau gelombang kompresi, atau gelombang membujur yang akan menekan dan merapatkan material padat maupun material cair yang dilaluinya (Gambar 2.7 a). Sementara s-waves disebut juga sebagai gelombang sekunder, gelombang geser, atau gelombang memotong yang menyebabkan deformasi geser pada material yang dilaluinya. Kompresi Media Undisturbed (a) Perapatan Panjang Gelombang Media Undisturbed (b) Panjang Gelombang Gambar 2.7 Deformasi yang Diakibatkan Oleh Gelombang Badan; (a) P-Waves dan (b) SV-Waves, (Kramer, 1996) Pergerakan setiap partikel yang merambat searah dengan s-waves dapat pula dibagi atas dua komponen, yaitu vertikal terhadap bidang pergerakan (SV-waves, Gambar 2.7 b) dan horizontal terhadap bidang gerakan (SH-waves). Sementara kecepatan rambat gelombang badan bervariasi berdasarkan kekakuan dari material yang dilaluinya. Karena material geologi akan lebih kaku dalam kondisi terkompresi, maka p-waves merambat lebih cepat dari pada tipe gelombang lainnya.

24 Gelombang permukaan terjadi akibat interaksi antara gelombang badan dengan bagian permukaan lapisan bumi. Gelombang ini menjalar sepanjang permukaan bumi dengan panjang gelombang (amplitude) yang semakin berkurang secara eksponensial terhadap kedalamannya. Akibat interaksi tersebut, gelombang permukaan akan lebih besar efeknya pada jarak yang semakin jauh dari sumber gempa. Panjang Gelombang Media Undisturbed (a) Panjang Gelombang Media Undisturbed (b) Gambar 2.8 Deformasi Yang Diakibatkan Oleh Gelombang Permukaan (a) Gelombang Rayleigh dan (b) Gelombang Love, (Kramer, 1996) Untuk tujuan analisa ada dua jenis gelombang permukaan yang paling penting diketahui, yaitu gelombang Rayleigh (Gambar 2.8 a) yang terjadi akibat interaksi antara p-waves dan SV-waves dengan gelombang permukaan, termasuk gerakan vertikal dan horizontal dari partikel, serta gelombang Love (Gambar 2.8 b) yaitu gelombang yang dihasilkan dari interaksi antara SH-waves dengan permukaan tanah lunak dan tidak memiliki komponen gerakan horizontal dari partikel. Dalam beberapa hal, gelombang Rayleigh mirip dengan gelombang yang terjadi saat sebutir batu dicemplungkan ke suatu kolam.

25 2.4. Ukuran Gempa Ukuran besar dari suatu gempa merupakan parameter penting, yang dapat dideskripsikan dengan beberapa cara berbeda. Sebelum berkembangnya instrumentasi modern, metoda mengukur besarnya gempa didasarkan atas deskripsi kualitatif dan deskripsi kasar dari efek suatu gempa. Namun dengan keberadaan seismograf dapat dikembangkan suatu ukuran gempa yang bersifat kuantitatif. 2.4.1. Intensitas gempa Ukuran besarnya gempa yang paling tua adalah intensitas gempa. Intensitas adalah deskripsi kualitatif efek gempa pada suatu lokasi tertentu, yang didadasarkan atas reaksi manusia dan kerusakan yang terjadi pada lokasi tersebut. Karena deskripsi kualitatif efek gempa tersedia dalam rekaman sejarah, maka konsep intensitas ini dapat diberlakukan untuk mengestimasi besar dan lokasi gempa yang terjadi sebelum adanya instrumentasi kegempaan modern. Intensitas gempa sangat bermanfaat dalam mengkarakterisasi tingkat perulangan gempa dengan ukuran yang berbeda di berbagai lokasi, yang merupakan suatu langkah kritis dalam mengevaluasi kemungkinan resiko kegempaan. Intensitas dapat juga digunakan untuk memperkiraan tingkat kekuatan gerakan tanah (strong ground motion), sebagai perbandingan efek gempa pada daerah geografis yang berbeda, dan untuk mengestimasi kerugian yang diakibatkan oleh gempa.

26 Skala intensitas Rossi-Forel (RF), merupakan deskripsi intensitas gempa dengan nilai berkisar I X, yang dikembangkan pada tahun 1880-an dan telah digunakan selama bertahun-tahun. Namun negara-negara yang berbahasa Inggris telah mengganti skala intensitas ini dengan skala intensitas Mercalli yang dimodifikasi (MMI, Modified Mercalli Intensity) yang awalnya dikembangkan oleh seimologist Italia bernama Mercalli dan dimodifikasi pada tahun 1931 agar dapat menggambarkan lebih baik kondisi-kondisi di California. Skala intensitas MMI mempunyai nilai I XII sebagai berikut : I : Getaran tidak dirasakan kecuali dalam keadaan luar biasa oleh beberapa orang. II : Getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda-benda ringan yang digantung bergoyang. III : Getaran dirasakan nyata dalam rumah, terasa getaran seakan-akan ada truk berlalu. IV : Pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, malam hari dapat membangunkan orang, piring-piring pecah, jendela / pintu gemeretak dan dinding bergetar V : Getaran dirasakan oleh hampir semua orang; malam hari orang banyak terbangun, piring-piring pecah, jendela-jendela pecah, barang-barang terpelanting, tiang-tiang dan barang-barang besar tampak bergoyang, bandul lonceng dapat berhenti.

27 VI : Getaran dirasakan oleh semua orang; kebanyakan semua terkejut dan lari keluar, plester dinding retak dan cerobong asap pada pabrik rusak, kerusakan ringan. VII : Tiap-tiap orang keluar rumah. Kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan bangunan dan konstruksi yang baik sedangkan pada bangunan dengan konstruksi kurang baik terjadi retak-retak dan kemudian cerobong asap pecah. Terasa oleh orang yang naik kendaraan. VIII : Kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat; retak-retak pada bangunan yang kuat, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong asap dari pabrik-pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh. IX : Kerusakan pada bangunan yang kuat rangkanya; rumah menjadi tidak lurus dan banyak retak-retak pada bangunan yang kuat. Rumah tampak agak berpindah dari fondamennya. Pipa-pipa dalam rumah putus. X : Bangunan dari kayu yang kuat rusak; rangka-rangka rumah lepas dari fondamennya; tanah terbelah; rel melengkung; tanah longsor ditiap-tiap sungai dan ditanah-tanah yang curam. XI : Bangunan-bangunan hanya sedikit yang tetap berdiri.; jembatan rusak, terjadi lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai sama sekali; tanah terbelah; rel sangat melengkung. XII : Hancur sama sekali. Gelombang tampak pada permukaan tanah. Pemandangan menjadi gelap. Benda-benda terlempar ke udara.

28 Tabel 2.1 Perbandingan Beberapa Skala Intensitas Terhadap Modified Mercalli Intensity (MMI), (Chen & Scawthorn, 2003) a gals MMI Modified Mercalli R F Rossi Forel MSK Medvedev Sponheur Karnik JMA Japan Meteorological Agency 0.7 1.5 3.0 7.0 15 32 68 147 316 681 (1468)* (3162)* I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII I I II III IV V V VI VI VII VIII VIII+ to IX IX+ X I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII 0 I II II III III IV IV V V V VI VI VII Jawatan Meteorologi Jepang (JMA, Japanese Meteorological Agency) memiliki skala intensitasnya sendiri, yang terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan berdasarkan pengamatan gempa yang terjadi di Jepang, sementara skala intensitas Medvedev- Spoonheuer-Karnik (MSK) yang dibuat berdasarkan pengamatan di Rusia digunakan di negara-negara sentral Eropa dan Eropa timur. Perbandingan beberapa skala intensitas yang telah disebutkan di atas terhadap Modified Mercalli Intensity (MMI). Intensitas gempa pada umumnya diperoleh dari wawancara setelah peristiwa terjadinya suatu gempa. Observasi dengan wawancara dapat tersebar lebih luas dibanding observatorium kegempaan menyebar instrumen kegempaannya, dan pengamatan intensitas dapat memberi informasi untuk membantu karakterisasi pendistribusian guncangan tanah pada suatu area. Plot-plot laporan intensitas gempa

29 di lokasi berbeda pada suatu peta akan memberikan pemetaan kontur intensitas gempa yang sama. Peta sedemikian disebut dengan peta isoseismal. Intensitas terbesar biasanya berada di sekitar episenter gempa. Peta Isoseismal menunjukkan bagaimana berkurangnya intensitas gempa, dengan meningkatnya jarak ke episenter. 2.4.2. Magnitude gempa Kemungkinan untuk memperoleh ukuran suatu gempa sejalan dengan berkembangnya instrumentasi modern untuk mengukur besarnya gerakan tanah selama terjadinya gempa. Instrumentasi kegempaan dapat mengukur secara objektif kuantitatif besarnya gempa, yang disebut sebagai magnitude. 2.4.2.1. Richter local magnitude Pada tahun 1935, Charles Richter dengan menggunakan seismometer Wood- Anderson mendefinisikan skala magnitude untuk gempa dangkal dan gempa lokal (jarak episenter lebih kecil dari 600 km) di selatan California. Skala magnitude yang didefinisikan oleh Richter ini dikenal sebagai magnitude lokal (local magnitude, M L ) dan merupakan skala magnitude yang terkenal dan dipakai hingga saat ini. 2.4.2.2. Magnitude gelombang permukaan Richter Local Magnitude tidak memperhitungkan adanya gelombang yang berbeda. Skala magnitude lain mulai dikembangkan berdasarkan amplitudo

30 gelombang tertentu yang dihasilkan akibat adanya gempa. Pada jarak episentral yang besar, gelombang badan biasanya mengalami penyebaran dan pelemahan, sehingga menghasilkan gerakan yang didominasi oleh gelombang permukaan. Magnitude gelombang permukaan (surface wave magnitude, M S ) merupakan skala magnitude yang berdasarkan amplitudo gelombang Rayleigh dengan periode sekitar 20 detik, yang diperoleh dari persamaan berikut : M S = log A + 1.66 log Δ + 2.0 (2.1) dimana : A = perpindahan tanah maksimum (mikrometer) Δ = jarak episentral terhadap seismometer (dalam derajat) Magnitude gelombang permukaan ini biasanya digunakan untuk mendeskripsikan besarnya gempa dangkal, dengan jarak menengah hingga jauh (lebih 1000 km). 2.4.2.3. Magnitude gelombang badan Untuk gempa dengan fokus yang dalam, besar gelombang permukaan lebih kecil daripada yang disyaratkan untuk melakukan pengukuran magnitude gelombang tersebut. Magnitude gelombang badan (body wave magnitude, m b ) merupakan skala magnitude yang didasarkan pada amplitudo beberapa siklus pertama dari p-wave, dimana tidak terlalu dipengaruhi oleh kedalaman fokus. Magnitude gelombang badan diperoleh dari persamaan empiris berikut ini :

31 m b = log A log T + 0.01 Δ + 5.9 (2.2) dimana : A = amplitudo (mikrometer) T Δ = perioda p-wave (biasanya sekitar satu detik) = jarak episenter terhadap seismometer (dalam derajat) 2.4.2.4. Moment magnitude Magnitude gempa yang diuraikan di atas merupakan magnitude gempa empiris berdasarkan berbagai pengukuran dengan bantuan instrumentasi karakteristik guncangan tanah. Ketika sejumlah energi terlepas saat terjadinya peningkatan gempa, karakteristik guncangan tanah belum tentu meningkat pula. Pada gempa yang besar, karakteristik guncangan tanah kurang sensitif terhadap besarnya gempa dibanding pada gempa yang lebih kecil. Fenomena ini dikenal sebagai kejenuhan; gelombang badan dan Richter local magnitude menjadi jenuh pada magnitude 6 hingga 7; dan magnitude gelombang permukaan menjadi jenuh pada M S = 8. Untuk mendeskripsikan ukuran gempa yang sangat besar, dibutuhkan suatu skala magnitude yang tidak tergantung pada tingkat guncangan tanah dan tidak akan jenuh. Skala magnitude yang tidak akan menjadi jenuh adalah moment magnitude (Kanamori. 1977; Hanks dan Kanamori, 1979) karena didasarkan pada momen gempa, yang diukur langsung dari faktor keruntuhan sepanjang patahan. Moment magnitude M w ini diperoleh dari persamaan :

32 M w = log M 0 1.5 10.7 (2.3) dimana M 0 adalah momen gempa dalam dyne-cm. 2.4.3. Energi gempa Besar total energi yang dilepaskan selama terjadinya suatu gempa dapat diestimasi dari persamaan berikut : log E = 11.8 + 1.5 M S (2.4) di mana E adalah energi yang dilepaskan (dalam ergs) 2.5. Resiko Gempa Peristiwa gempa merupakan gejala alam yang bersifat acak yang tidak dapat ditentukan dengan pasti, baik besar, tempat maupun waktu kejadiannya. Dengan konsep probabilitas, terjadinya gempa dengan intensitas dan perioda ulang tertentu dapat diperkirakan. Angka kemungkinan (probability) inilah yang mencerminkan resiko gempa. Resiko tahunan (R A ) dari suatu intensitas gempa adalah angka kemungkinan terjadinya atau terlampauinya intensitas tersebut dalam jangka waktu 1 tahun. Sedangkan perioda ulang rata-rata (T) dari suatu intensitas merupakan perbandingan terbalik dari resiko tahunan. Jika resiko tahunan untuk suatu intensitas tertentu diketahui, maka :

33 T = 1 R A (2.5) Resiko gempa (R N ) didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya gempa dengan intensitas dan perioda ulang tertentu selama masa layan bangunan (N tahun). Dengan asumsi bahwa resiko-resiko dalam tahun-tahun yang berurutan tidak saling bergantungan, maka hubungan antara resiko per tahun (R A ), dan resiko dalam jangka waktu N tahun (R N ), dapat dinyatakan sebagai berikut : R N = 1 (1 R A ) N (2.6) Tabel 2.2 Hubungan Antara Resiko Gempa Untuk Periode Ulang Tertentu Terhadap Masa Layan Bangunan, (Sibero, 2004) Tingkatan Beban Gempa Sedang Kuat Sangat Kuat Perioda, T (Tahun) 5 10 20 50 100 200 500 1000 R A (%) 20.00 10.00 5.00 2.00 1.00 0.50 0.20 0.10 N = 10 Tahun 89.26 6513 40.13 18.29 9.56 4.89 1.98 1.00 R N (%) N = 30 Tahun 99.88 95.76 78.54 45.45 26.03 13.96 5.83 2.96 N = 50 Tahun 100.00 99.48 92.31 63.58 39.50 22.17 9.52 4.88 N = 100 Tahun 100.00 100.00 99.41 86.74 63.40 39.42 18.14 9.52 Resiko gempa untuk setiap kategori dengan berbagai macam masa layan bangunan dapat dilihat pada Tabel 2.2. Wangsadinata mengusulkan kriteria gempa yang didasarkan pada resiko gempa untuk bangunan dengan masa layan 100 tahun sebagai berikut : 1. Gempa Ringan

34 Resiko terlampaui (risk of exceedance, R N ) adalah 60 % atau mempunyai perioda ulang 100 tahun. 2. Gempa Menengah Resiko terlampaui (risk of exceedance, R N ) adalah 40 % atau mempunyai perioda ulang 200 tahun. 3. Gempa Kuat Resiko terlampaui (risk of exceedance, R N ) adalah 20 % atau mempunyai perioda ulang 400 tahun. 4. Gempa Desain (Maksimum) Resiko terlampaui (risk of exceedance, R N ) adalah 10 % atau mempunyai perioda ulang 1000 tahun. Pada Tabel 2.3 disajikan perbandingan penentuan perioda ulang gempa untuk masing-masing kriteria yang dipakai pada peraturan pembebanan gempa di berbagai negara. Tabel 2.3 Perbandingan Penentuan Perioda Ulang Gempa, (Sibero, 2004) Minor Earthquake Return Period (years) Moderate Earthquake Major Earthquake Uniform Building Code (UBC), 1984 5 475 Code of Practice for general Structure Design and Design Loadings for Buildings of New Zealand, 1992 10 475 Tri-Services Manual for Seismic Design of Essential Buildings, 1986 73 950 Wangsadinata, 1995 100 200 450

35 2.6. Analisa Resiko Gempa Analisa resiko gempa (seismic hazard analysis) meliputi estimasi kuantitatif dari goncangan tanah (ground-shaking) pada suatu lokasi tertentu. Resiko gempa dapat dianalisa secara deterministik dengan mengambil suatu asumsi tertentu mengenai kejadian gempa atau secara probabilisitik dimana dalam analisa juga mempertimbangkan secara ekspiisit ketidakpastian dari besarnya gempa, lokasi maupun waktu teriadinya. 2.6.1. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) Salah satu metoda analisa resiko gempa adalah metoda Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA), dimana dalam metoda ini evaluasi dari gerakan tanah (ground motion) untuk suatu wilayah didasarkan kepada skenario gempa wilayah tersebut. Skenario gempa ini berisi tentang kejadian gempa dengan besar (magnitude) tertentu yang akan terjadi pada lokasi tertentu. Prosedur analisa resiko gempa dengan metoda DSHA ini secara sistematika dapat dilihat pada Gambar 2.9. Secara tipikal, analisa resiko gempa dengan metoda DSHA ini dapat dibagi menjadi 4 (empat) proses tahapan (Reiter, 1990) sebagai berikut : 1. Identifikasi dan karakterisasi semua sumber gempa yang mempunyai kapasitas menghasilkan gerakan tanah pada suatu lokasi. Karakterisasi sumber ini termasuk juga pendefinisian geometri dari masing-masing sumber (source zone) dan potensi gempa.

36 2. Pemilihan parameter jarak dari sumber ke lokasi (source-to-site distance parameter). Biasanya dalam metoda DSHA, jarak yang dipilih adalah jarak terdekat antara zona sumber gempa (source zone) dengan lokasi yang ditinjau. Jarak yang digunakan dapat diekspresikan sebagai jarak dari episenter atau jarak dari hiposenter, dimana hal ini tergantung pada pengukuran jarak dari persamaan empiris yang akan digunakan untuk memprediksi pada tahap berikutnya. 3. Pemilihan controlling earthquake, yaitu gempa yang diperkirakan akan menghasilkan tingkat goncangan yang terkuat, dimana biasanya diekspresikan dalam parameter gerakan tanah pada suatu lokasi. Pemilihan ini dilakukan dengan membandingkan tingkat goncangan yang dihasilkan oleh gempa (yang diidentifikasi dalam tahap pertama) yang diasumsikan terjadi pada jarak yang diidentifikasi pada tahap kedua. Controlling earthquake ini biasanya dideskripsikan dengan besar (umumnya diekspresikan sebagai magnitude) dan jaraknya dari lokasi yang bersangkutan. 4. Resiko yang terjadi pada suatu lokasi kemudian didefinisikan biasanya dalam bentuk gerakan tanah yang terjadi pada lokasi tersebut akibat controlling earthquake. Karakteristik tersebut biasanya dideskripsikan oleh satu atau lebih parameter gerakan tanah yang diperoleh dari persamaan empiris yang digunakan. Percepatan puncak (peak acceleration), kecepatan puncak (peak velocity) dan ordinat spektrum respon (response spectrum ordinates) biasanya digunakan untuk mengkarakteristikkan resiko gempa.

37 Sumber 1 Sumber 3 Lokasi yang ditinjau M 3 R 3 R 1 M 1 R 2 M 2 Sumber 2 STEP 1 STEP 2 Paremeter Gerakan Tanah, y M 3 M 2 M 1 Controlling Earthquake Y = Y 1 Y 2. Y N R3 R 2 R 1 Jarak STEP 3 STEP 4 Gambar 2.9 Empat Tahapan Analisa Resiko Gempa dengan Metode Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA), (Kramer, 1996) 2.6.2. Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) Metoda lain yang dapat digunakan untuk menganalisa resiko gempa adalah dengan konsep probabilitas, yaitu Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA). Dengan metoda ini ketidakpastian dari besar, lokasi dan kecepatan perulangan (rate of recurrence) dari gempa maupun variasi dari karakteristik gerakan tanah akibat besar dan lokasi gempa secara eksplisit ikut diperhitungkan dalam evaluasi resiko gempa. Metodologi PSHA ini serupa dengan metoda yang dikembangkan oleh Cornell (1968) dan Algermissen et al. (1982).

38 Metoda PSHA ini dapat dideskripsikan dalam 4 (empat) tahapan prosedur (Reiter, 1990) sebagai berikut: 1. Tahap pertama adalah identifikasi dan karakterisasi sumber gempa, termasuk didalamnya adalah karakterisasi distribusi probabilitas dari lokasi rupture yang berpontensi pada sumber. Dalam kebanyakan kasus, diterapkan distribusi probabilitas yang sama untuk masing-masing zona sumber. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa gempa mungkin sama-sama akan terjadi pada setiap titik dalam zona sumber gempa. Distribusi ini, dikombinasikan dengan bentuk geometri sumber untuk mendapatkan distribusi probabilitas yang sesuai dengan jarak sumber ke lokasi. 2. Langkah berikutnya adalah karakterisasi dari seismisitasi atau distribusi sementara dari perulangan kejadian gempa. Hubungan empiris perulangan kejadian gempa (recurrence relationship), yang mengekspresikan kecepatan ratarata (average rate) dari suatu gempa dengan besar yang berbeda akan terlampaui, digunakan untuk mengkarakterisasikan seismisitasi dari masing-masing zona sumber gempa. Hubungan empiris ini dapat mengakomodasikan besamya magnitude maksimum dari gempa. 3. Gerakan tanah yang terjadi disuatu lokasi akibat adanya gempa dengan besar gempa berapapun dan lokasi kejadian dimanapun dalam masing-masing zona sumber gempa, dapat ditentukan dengan menggunakan predictive relationships. 4. Langkah terakhir adalah mengkombinasikan ketidakpastian dari lokasi gempa,

39 besarnya gempa dan prediksi parameter gerakan tanah untuk mendapatkan probabilitas dimana parameter gerakan tanah akan terlampaui selama perioda waktu tertentu. Metodologi analisa resiko gempa dengan metoda Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) ini dapat dilihat pada Gambar 2.10. Sumber 1 Sumber 3 R Lokasi yang ditinjau R Log (# gempa > m) 2 1 3 Sumber 2 R STEP 1 STEP 2 Magnitude, x Parameter gerakan tanah, Y Jarak, R Nilai parameter STEP 3 STEP 4 Gambar 2.10 Empat Tahapan Analisa Resiko Gempa dengan Metode Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA), (Kramer, 1996) 2.7. Model Matematika Probabilitas Resiko Gempa Teorema probabilitas total yang digunakan untuk memecahkan masalah resiko gempa telah banyak dikembangkan dan diusulkan oleh para peneliti, antara lain Cornell (1968) dan McGuire (1976).

40 2.7.1. Model USGS (McGuire, 1976) Teorema probabilitas total yang dikembangkan oleh McGuire tahun 1976 ini didasarkan atas konsep probabilitas yang dikembangkan oleh Cornell pada tahun 1968, dengan mengambil asumsi bahwa harga kekuatan gempa (M) dan jarak hiposenter (R) sebagai variabel acak bebas yang menerus (continuous independent random variable). Teori ini mempunyai bentuk persamaan sebagai berikut : P [I i ] = rm P [I i M dan R ]. f M. f R dm dr (2.7) dimana : f M f R = density function dari kekuatan gempa (magnitude) = density function dari jarak hiposenter P [I i M dan R ] = probabilitas berkondisi dari intensitas I intensitas i di suatu lokasi, dengan kekuatan gempa M dan jarak hiposenter R. Metoda yang dikembangkan oleh beberapa peneliti, seperti Esteva (1970), Donovan (1974) dan McGuire (1974), untuk probabilitas berkondisi dengan intensitas I, sama atau lebih besar dari itensitas i di suatu lokasi dengan kekuatan gempa M dan jarak hiposenter R, mempunyai bentuk umum sebagai berikut : m (M, R) = C 1 + C 2 M + C 3 ln (R + r o ) (2.8) dimana : M R = ukuran besar gempa = jarak hiposenter (km)

41 C 1, C 2, C 3, dan r o = konstanta Dengan menggunakan standar deviasi intensitas σ 1, distribusi normal dan Persamaan (2.8), maka intensitas probabilitas berkondisi dengan intensitas I sama atau tebih besar dari i untuk suatu lokasi dengan kekuatan gempa M dan jarak hiposenter R, dapat dituliskan sebagai berikut : P [I i M dan R ] = φ* 1- C - C 2 M - C3 ln (R + r σ 1 1 o ) (2.9) dimana φ* merupakan kumulatif komplementer (complementary cummulative) dari distribusi normal standar. Tingkat kejadian rata-rata tahunan (disebut juga sebagai resiko tahunan ratarata) dari gempa yang mempunyai besaran (magnitude) sama dengan atau lebih besar dari M pada suatu daerah sumber gempa, mempunyai hubungan sebagai berikut (Gutenberg-Richter, 1958) : log n(m) = a b M (2.10) dimana : n(m) = tingkat kejadian tahunan rata-rata (mean annual rate of exceedance) 10 a = tingkat kejadian tahunan untuk gempa dengan magnitude lebih besar dari 0 b = konstanta yang menunjukkan kemungkinan relatif tentang besar kecilnya (magnitude) gempa yang terjadi

42 Secara spesifik parameter b merupakan parameter seismisitasi yang menggambarkan karakteristik tektonik atau kegempaan suatu daerah. Sedangkan parameter a adalah parameter seismisitasi yang tidak menggambarkan karakteristik kegempaan tetapi lebih merupakan parameter yang menerangkan karakteristik data pengamatan. Konstanta a ini tergantung dari lamanya pengamatan dan tingkat seismisitasi dari daerah sumber gempa. Untuk menentukan konstanta a dan b ini, dilakukan plot grafik yang menggambarkan hubungan antara. magnitude M dengan logaritma dari jumlah gempa yang mempunyai magnitude lebih besar atau sama dengan M (log n(m)). Selanjutnya analisis regresi linier dilakukan pada setiap titik yang diplot pada grafik untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b (Gambar 2.11). log n(m) log n(m) = a - bm 10 a b 1 Gambar 2.51 Penyebaran Magnitude Gempa pada Suatu Daerah Secara grafis harga b dapat ditentukan dengan hubungan sebagai berikut : M b = d log n(m) dm (2.11)

43 Jadi harga b merupakan perbandingan antara penurunan relatif tingkat kejadian gempa terhadap perbesaran magnitudenya. Secara umum dapat dikatakan bahwa harga b yang besar menunjukkan tingkat aktivitas kegempaan yang tinggi. Persamaan (2.10) di atas dapat juga dinyatakan sebagai berikut: n(m) = 10 a bm = exp (α β M) (2.12) dimana : α = a ln 10 dan β = b ln 10 Untuk kepentingan rekayasa, besarnya magnitude gempa dibatasi dengan m o, dimana gempa-gempa dengan magnitude dibawah m o dianggap tidak menyebabkan kerusakan yang berarti. Oleh karena itu, tingkat kejadian rata-rata tahunan adalah : n(m) = v. exp (-β (m m o )); m o < m < m 1 (2.13) dimana : v = exp (α β m o ) Dengan mengasumsikan besaran gempa dan sejumlah kejadian gempa tidak tergantung satu sama lain (independent), maka dapat ditentukan distribusi kumulatif dari tiap-tiap kejadian gempa sebagai berikut : F M (m) = P[M < m M > m o ] = n (m o ) - n (m) n(m ) o = 1 e -β (m m o ) (2.14) Jika magnitude gempa yang diperhitungkan juga dibatasi oleh harga maksimum m 1, maka distribusi kumulatif adalah :

44 F M (m) = k (1 exp (-β (m m o )) ; m o < m < m 1 (2.15) dimana : β = b ln (10) k = [(1 exp (-β (m m o ))] -1 m o = batas minimum besaran gempa dari area sumber gempa m 1 = batas maksimum besaran gempa dari area sumber gempa Dari Persamaan (2.15) dapat diperoleh persamaan density function untuk besaran gempa, dengan menurunkan persamaan tersebut terhadap m : F M (m) = F M (m) m = βk exp (-β (m m o )) ; m o < m < m 1 (2.16) Dengan mensubstitusikan Persamaan (2.9) dan (2.16) ke dalam Persamaan (2.7), dapat ditentukan probabilitas untuk intensitas I sama atau lebih besar dari intensitas i di suatu lokasi : m 1 i - C1 - C 2 M - C3 ln (R + ro ) P [ I i] = φ *. σ r mo βk exp (-β (m m o )) f R (r) dmdr (2.17) Integrasi Persamaan (2.17) dapat ditulis secara analitis (hasil manipulasi aljabar oleh Cornell dan Merz, McGuire), sebagai berikut :

45 P [I i] = + + z' * k z * k) (1- r 1 σ 1 φ σ φ + + + + 2 2 2 1 2 o 2 1 2 C C o 2 C m C C C - i exp ) r (R k 2 3 σ β β β β β. dr (r) f C b - z' * - C b - z * R 1 2 2 1 1 2 2 1 σ σ φ σ σ φ (2.18) dengan : z = i C 1 C 2 m 1 C 3 ln (R + r o ) dan z = i C 1 C 2 m o C 3 ln (R + r o ) Maka probabilitas total tahunan dari kejadian-kejadian dengan intensitas I sama atau lebih besar dari i pada suatu lokasi adalah dengan menjumlahkan angka kemungkinan seluruh area sumber gempa. Dalam bentuk matematis : N A = = n 1 i 1 N (M m o ) 1 P [ I i ] (2.19) dimana : N A = tingkat kejadian tahunan total dari kejadian-kejadian dengan I > i pada suatu lokasi. P [I i] = resiko kejadian tunggal untuk intensitas I yang sama atau lebih besar dari intensitas i di lokasi untuk satu daerah sumber gempa. N 1 (M m o ) = tingkat kejadian tahunan dari gempa yang mempunyai M m o untuk satu daerah sumber gempa.

46 Besarnya nilai resiko tahunan untuk kejadian gempa tersebut diasumsikan terdistribusi dalam Distribusi Poisson sebagai berikut : R A = 1 e (-N A ) (2.20) 2.7.2. Model gumbel (point sources) Dalam melakukan analisis resiko gempa, dapat juga menggunakan teorema probabilitas total yang berkaitan dengan nilai ekstrim. Metoda statistik ini disebut Jenis I atau lebih dikenal dengan Distribusi Gumbel. Dengan distribusi tersebut, dapat ditentukan peak baserock acceleration (PBA) untuk berbagai perioda ulang. Pengaruh dari setiap kejadian gempa pada titik yang ditinjau ditentukan dalam bentuk percepatan dengan menggunakan fungsi-fungsi atenuasi, dengan asumsi masing-masing kejadian gempa independen terhadap titik tersebut. Distribusi gempa menurut Gumbel : G(M) = e (-α exp (-βm)) ; M 0 (2.21) dimana : α = jumlah gempa rata-rata per tahun β = parameter yang menyatakan hubungan antara distribusi gempa dengan magnitude M = Magnitude gempa

47 Bentuk Persamaan (2.21) dapat disederhanakan menjadi persamaan garis lurus sebagai berikut : ln G(M) = -α e -βm ln (- ln G(M)) = ln α βm (2.22a) (2.22b) Persamaan di atas identik dengan persamaan linier : y = A + B x (2.23) dimana : y = ln (- ln G(M)) α = e A β = B x = percepatan Persamaan garis ini terdiri dari titik-titik x j, y j ; dimana : x j = a j = percepatan gempa ke-j j = nomor urut kejadian gempa yang disusun dari tahun kejadian terbesar kurang tahun kejadian terkecil yang disebut dengan selang waktu, yang masuk dalam radius 300 km ditempatkan di nomor urut paling bawah. N = selang waktu pengamatan yj = ln ( ln G(M)) = ln ( ln j N +1 )

48 Karena titik-titik ini selalu membentuk garis lurus, maka digunakan metode kuadrat terkecil (least square) untuk menentukan garis yang paling tepat : A = B = y j. x n 2 j - 2 x j x j - ( x. (x j 2 j) n (x j. y j) - x j. y j 2 2 n x j - ( x j) - y j ) (2.24) (2.25) berikut : Sedangkan hubungan perioda ulang (T) dengan percepatan (a) adalah sebagai a = ln (T. α) β (2.26) 2.8. Fungsi Atenuasi dan Faktor yang Mempengaruhinya Prediksi hubungan empiris untuk parameter gempa yang melemah (berkurang) sejalan dengan bertambahnya jarak, seperti percepatan puncak dan kecepatan puncak, dikenal sebagai fungsi atenuasi (attenuation relationship atau attenuation function). Analisa resiko gempa dengan menggunakan model USGS maupun Gumbel memerlukan nilai percepatan tanah akibat gempa. Pada analisis resiko gempa apabila lokasi yang ditinjau (site interest) tidak mempunyai data rekaman gempa, maka untuk memperkirakan besarnya percepatan maksimum tanah digunakan fungsi

49 atenuasi. Yang dimaksud dengan fungsi atenuasi adalah suatu fungsi yang menggambarkan korelasi antara intensitas (i) gerakan tanah setempat, magnitude (M) dan jarak (R) dari sumber titik dalam daerah sumber gempa. Memperkirakan fungsi atenuasi untuk gerakan tanah akibat gempa, telah menjadi subjek yang menarik dalam penelitian bidang kegempaan. Fungsi atenuasi merupakan alat yang penting dalam mengaplikasikan resiko kegempaan dalam perencanaan bangunan tahan gempa. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi atenuasi adalah : 1. Mekanisme gempa Gempa-gempa besar biasanya terjadi karena pergeseran tiba-tiba lempeng tektonik yang mengakibatkan terlepasnya energi yang sangat besar. Pergeseran lempeng tektonik ini bias terjadi pada daerah subduction, ataupun pada patahan yang tampak di permukaan bumi, seperti patahan semangko di sumatera. Gempa yang terjadi pada daerah subduction biasanya merupakan gempa dalam yang mempunyai kandungan frekuensi yang berbeda dengan gempa dangkal. Gempa dalam biasanya mempunyai gelombang permukaan yang lebih sedikit, sehingga memberikan spectrum respon yang lebih rendah pada periode tinggi. Oleh karena itu rumus-rumus atenuasi untuk gempa subduction harus dipisahkan dari gempa strike slip.

50 2. Jarak episenter Respon spectrum dari gempa yang tercatat pada batuan mempunyai bentuk yang berbeda tergantung jarak episenternya (near field, mid field, dan far field). Gempa near field memberikan respon yang tinggi pada perioda yang rendah tapi mengecil secara drastic dengan bertambah perioda. Di lain pihak, gampa far field pada perioda rendah tetapi responnya terlihat konstan sampai perioda sekitar satu detik. Hal ini menunjukkan adanya perubahan kandungan frekuensi gempa dengan semakin jauhnya suatu daerah yang ditinjau ke episenter. 3. Kondisi tanah lokal Kondisi tanah lokal mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan respon suatu daerah terhadap gelombang gempa. Respon gempa yang tiba dibatuan dasar bisa diperkuat, diperlemah atau berubah kandungan frekuensinya karena tersaringnya getaran berfrekuensi tinggi. Sejak percepatan puncak secara umum digunakan untuk mendeskripsikan parameter gerakan tanah (ground motion), banyak persamaan atenuasi yang dikembangkan dan diusulkan oleh para peneliti, antara lain Fukushima dan Tanaka (1990), Crouse (1991), Joyner dan Booer (1981, 1988), Youngs et al (1997) dan lainnya.

51 2.8.1. Atenuasi Fukushima dan Tanaka (1990) Fungsi atenuasi ini dikembangkan untuk percepatan maksimum horizontal yang berlaku pada sumber gempa di sekitar Jepang. Data yang digunakan terdiri dari 1372 komponen percepatan tanah maksimum horizontal dari 28 gempa yang terjadi di Jepang dan 15 gempa yang terjadi di Amerika serta di negara lain. Model atenuasi yang digunakan untuk menghitung bagaimana penyebaran geometrik dari gelombang gempa. Beberapa peneliti dari Indonesia menganjurkan penggunaan persamaan ini untuk patahan (fault) permukaan yang ada di Sumatera dan Jawa. Persamaan empiris dari persamaan fungsi atenuasi ini adalah : log (PBA) = 1.30 + 0.41 M S log [R + 0.032 x 10 0.41 M S] 0.0034R (2.27) dimana : M S = magnitude gelombang permukaan R = jarak terdekat dari lokasi ke sumber gempa (km) 2.8.2. Atenuasi Crouse (1991) Fungsi atenuasi yang dikembangkan oleh Crouse ini berdasarkan data gempa yang mempunyai mekanisme subduksi yang diambil dari zona subduksi Cascadia Pasifik Utara bahagian barat. Bentuk empiris dari fungsi atenuasi tersebut adalah sebagai berikut :

52 ln (PBA) = 11.5 + 0.657 M 2.09 ln [R + 63.7 x e 0.128.M ] 0.00397.h (2.28) dimana : M = magnitude gempa R = jarak terdekat dari lokasi ke sumber gempa (km) h = kedalaman fokus (km) 2.8.3. Atenuasi Joyner dan Boore (1981, 1988) Fungsi atenuasi yang diperoleh Joyner dan Boore adalah fungsi atenuasi percepatan horizontal maksimum, kecepatan horizontal maksimum dan pseudo spectral relative velocity. Fungsi ini menggunakan data berdasarkan gempa di Amerika Utara bahagian barat dengan magnitude gempa antara 5.0 7.0 dalam jarak 100 km dari proyeksi pada permukaan. Bentuk empiris dari fungsi atenuasi ini pertama kali di publikasikan pada tahun 1981 yakni sebagai berikut : ln (PBA) = 0.249.M W log R 0 0.00255.R 0 1.02 (2.29) dimana : M W = momen magnitude R 0 = 2 R + 7.3 2 R = jarak terdekat dari lokasi ke proyeksi vertical dari gempa akibat aktivitas pada permukaan tanah (km)

53 menjadi : Pada tahun 1988, persamaan (2.29) diatas dimodifikasi oleh Joyner dan Boore ln (PBA) = 0.43 + 0.23.(M W 6) log R 0.0027.R 0 0.0027.R 0 (2.30) dimana : M W = momen magnitude R 0 = 2 R + 8 2 R = jarak terdekat dari lokasi ke proyeksi vertical dari gempa akibat aktivitas pada permukaan tanah (km) 2.8.4. Atenuasi Youngs et al. (1997) Pada tahun 1997, Youngs et al. mengusulkan suatu fungsi atenuasi yang dikembangkan berdasarkan data gempa dengan mekanisme subduksi. Bentuk dari fungsi atenuasi tersebut adalah sebagai berikut : Untuk bebatuan (rock) : ln (PBA) = 0.2418 + 1.414 M W 2.552 ln [r rup + 1.7818 e 0.554M W ] + 0.00607 H + 0.3846 Z t (2.31) Untuk tanah (soil) : ln (PBA) = 0.6687 + 1.438 M W 2.329 ln [R + 1.097 e 0.617M W ] + 0.00648 H + 0.3643 Z t (2.32)

54 dimana : r rup = jarak terdekat ke rupture (km) H Z t = kedalaman (km) = tipe sumber gempa (0 untuk interface, dan 1 untuk interslab) σ = standar deviasi, sebesar 1.54 0.1 M W. 2.9. Spektrum Respon Spektrum respon (response spectra) adalah suatu kurva yang menggambarkan respon maksimum dari perpindahan, kecepatan, percepatan ataupun besaran yang diinginkan dari suatu sistem derajad kebebasan tunggal (single degree of freedom, SDOF) dengan redaman pada berbagai macam variasi frekuensi. Istilah teknik yang digunakan untuk menyatakan respon tersebut, yaitu spektrum simpangan (Sd) menunjukkan respon maksimum perpindahan, spektrum kecepatan pseudo (Sv) yang menunjukkan respon maksimum kecepatan, dan percepatan pseudo (Sa) yang menunjukkan respon maksimum percepatan. Bentuk tipikal dari spektrum respon ini menggambarkan bahwa nilai puncak spektrum percepatan, kecepatan dan perpindahan dikaitkan dengan frekuensi atau perioda yang berbeda. Untuk mendapatkan spektrum respon ini, dapat digunakan persamaan empiris yang telah diusulkan oleh para peneliti sebelumnya, dimana dalam persamaan tersebut telah diperhitungkan pengaruh magnitude, jarak episenter dari sumber gempa, kondisi geologi maupun mekanisme terjadinya gempa.

55 y - y s max y m f.. y (t) s (a) Bentuk spektrum respon (b) Sistem berderajad kebebasan tunggal yang dipengaruhi pergerakan tanah Gambar 2.62 Konsep Spektrum Respon Secara sederhana, spektrum respon adalah plot respon maksimum (perpindahan, kecepatan, dan percepatan maksimum) dengan fungsi beban tertentu dari sistem berderajad kebebasan satu. Absis dari spektrum adalah frekuensi natural (atau perioda) dari sistem, dan ordinat adalah respon maksimum. Plot dari tipe ini ditunjukkan pada Gambar 2.12 dimana bangunan yang dipengaruhi perpindahan tanah dinyatakan sebagai fungsi y s (t). Lengkung spektrum respon pada Gambar 2.12 (a) memperlihatkan perpindahan relatif maksimum dari massa m terhadap perpindahan pondasi dari suatu sistem berderajad kebebasan satu. y s c k m y k (y - y ) s. mẏ. c (y - y ) s Gambar 2.73 Model Struktur dan Freebody

56 Masalah penting dalam struktur dinamik, seperti halnya gempa, adalah sistem yang dipengaruhi oleh beban pada pondasi struktur. Contoh untuk hal ini adalah gerakan bolak-balik dengan redaman yang merupakan model struktur seperti pada Gambar 2.13. Pada kasus ini, fungsi percepatan merupakan pengaruh seperti yang dinyatakan pada Gambar 2.14. Perpindahan relatif u didefinisikan sebagai u = y y s. Solusi kasus sedemikian ini dapat diselesaikan dengan menggunakan Duhamel integral... y s(t) t Gambar 2.84 Fungsi Percepatan yang Mempengaruhi Struktur pada Gerak Bolakbalik dari Suatu Sistem Berderajad Kebebasan Tunggal 2.10. Pengaruh Tanah Terhadap Percepatan Gempa Menurut Lysmer et al. (1977) adanya suatu struktur di bawah permukaan tanah, misalnya terowongan, akan mempengaruhi respon dinamis struktur lainnya pada saat terjadinya gempa. Pengaruh gempa terhadap interaksi antara tanah dan struktur pada umumnya dianalisis dengan dua metode. Metode pertama adalah analisis dengan memperhitungkan variasi-variasi pergerakan struktur dan tanah di sekitamya. Metode kedua adalah analisis kelembaman, yaitu analisis yang mengasumsikan tanah disekitar struktur yang ditinjau akan mengalami pergerakan yang sama untuk setiap titiknya.

57 Untuk memperoleh hasil analisis yang lengkap, permasalahan interaksi antara tanah dan struktur, harus memperhitungkan respon dari struktur pada saat teriadi gempa yang pergerakannya bervariasi dari satu titik ke titik lainnya antara batuan dasar ke permukaan tanah. Permasalahan tersebut dalam analisis diidealisasi dengan menganggap pergerakan tanah di sekitar struktur adalah akibat rambatan vertikal gelombang badan (body wave) dari formasi tanah yang lebih kaku. Kontrol pergerakan (control motion) yang dispesifikasi untuk suatu titik di lapangan dapat dijadikan acuan untuk menentukan pergerakan tanah pada suatu kedalaman, seperti pada perbatasan antara tanah dan batuan. Untuk keperluan tersebut dapat digunakan teori amplifikasi. Pergerakan yang dihitung pada kedalaman tersebut digunakan sebagai data masukan (input) pergerakan tanah pada model sistem elemen hingga antara tanah dengan struktur. Analisis dilakukan secara interaktif untuk memperoleh regangan yang sesuai dengan karakteristik tanah yang non-linier melalui prosedur anlisis linier (Seed dan Idriss, 1970). Prosedur ini dikenal juga dengan nama metode linier ekivalen (equivalent linier method). Untuk memperolah harga damping ratio yang diinginkan, dapat digunakan metode analisis respon kompleks. 2.10.1. Rambat gelombang satu dimensi Selama berlangsungnya gempa, terjadinya perambatan gelombang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah setempat. Hampir semua peneliti mengambil asumsi