BAB IV ANALISA HADIS TENTANG LARANGAN DUDUK DI ATAS KUBURAN DALAM SUNAN ABU DAWUD



dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS HADIS SUGUHAN KELUARGA MAYAT. sanad. Adapun kritik sanadnya, antara lain sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. hal ihwal Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur an.

ULUMUL HADIS ULUMUL HADIS

BAB IV PEMAKNAAN DAN PENYELESAIAN HADIS TENTANG TATA CARA SUJUD DALAM SUNAN ABU DAWUD NO INDEKS 838 DAN 840

BAB III TINJAUAN REDAKSIONAL HADIS TENTANG LARANGAN DUDUK DI ATAS KUBURAN

BAB IV ANALISIS HADIS TENTANG PAHA LAKI-LAKI

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap sampel sanad hadis,

HADITS SUMBER AJARAN ISLAM KEDUA. Oleh Drs. H. Aceng Kosasih, M. Ag

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Yang Diizinkan Tidak Berpuasa

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Mengganti Puasa Yang Ditinggalkan

BAB I PENDAHULUAN. Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran, 1 sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Rasulullah SAW, hadis belumlah dibukukan, beliau tidak sempat

BAB I PENDAHULUAN. dengan ibadah shalat dan haji. Tanpa bersuci orang yang berhadas tidak dapat

BAB IV ANALISIS DAN PEMAKNAAN HADIS

KELUARGA SAMARA BERSAMA RADIO IMSA. Topik 2: TERUS TERANG DAN BATASANNYA

2. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina.

HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN

PEMBAGIAN HADITS NABI

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan paparan bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai

IRSYAD AL-HADITH SIRI KE-222: DAGING UNTA MEMBATALKAN WUDHUK

Menggapai Ridha Allah dengan Birrul Wâlidain. Oleh: Muhsin Hariyanto

BAB II METODE KRITIK HADIS DAN PEMAKNAANNYA

BAB IV ANALISIS HADIS TENTANG BACAAN TASHAHHUD DALAM SALAT

E٤٨٤ J٤٧٧ W F : :

Analisis Hadis Kitab Allah Dan Sunahku

BAB IV MUSNAD AL-SHĀFI Ī DALAM KATEGORISASI KITAB HADIS STANDAR. Ulama hadis dalam menentukan kitab-kitab hadis standar tidak membuat

BAB V PENUTUP. Berdasarkan penelitian hadits tentang Hadis-Hadis Tentang Aqiqah. Telaah Ma anil Hadits yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya,

Pembagian hadits ahad dilihat dari sisi kuat dan lemahnya sebuah hadits terbagi menjadi dua, yaitu:

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD3013 MUSTHOLAH AL-HADITH (Minggu 3)

BAB IV WANITA HAID MASUK MASJID

BAB V PENUTUP. 1. Kualitas sanad hadis-hadis tentang shalat dhuha dalam kitab al-targi>b. a. Hadis-Hadis Anjuran melaksanakan Shalat Dhuha

BAB I PENDAHULUAN. berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). 1. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan

Membaca Sebagian Al-Quran Dalam Khutbah Jum'at

Pengertian Hadits. Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi.

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 24 Tahun 2012 Tentang PEMANFAATAN BEKICOT UNTUK KEPENTINGAN NON-PANGAN

SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

TAKHRI<J DAN I TIBA<R HADIS

BAB IV ANALISA. A. Kesahihan Hadis Nomor 486 Dalam Al-Mu jam Al-Kabi>r. kesahihan sanad dan matan-nya. Petunjuk kesahihan sanad bisa diperoleh dari

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL SEKOLAH MENENGAH ATAS / MADRASAH ALIYAH KURIKULUM 2013 TAHUN PELAJARAN 2016/2017

Sunnah menurut bahasa berarti: Sunnah menurut istilah: Ahli Hadis: Ahli Fiqh:

Hadits Palsu Tentang Keutamaan Memakai Pakaian WOL

Written by Andi Rahmanto Wednesday, 29 October :49 - Last Updated Wednesday, 29 October :29

Hukum Selamatan Kematian (Tahlilan)

Puasa Sunah Asyura: Waktu dan Keutamaannya

Menzhalimi Rakyat Termasuk DOSA BESAR

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Orang Yang Meninggal Namun Berhutang Puasa

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Keutamaan Akrab Dengan Al Qur an

BAB IV ANALISIS SANAD DAN MATAN HADITS TENTANG SYAFAAT PENGHAFAL AL-QUR AN

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 09 Tahun 2014 Tentang JUAL BELI TANAH UNTUK KUBURAN DAN BISNIS LAHAN KUBURAN MEWAH

BAB II KAIDAH KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS

BAB I PENDAHULUAN. inilah yang dikatakan Agama, diputuskan oleh akal dan logika dan dibenarkan

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Narasumber: DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Video kajian materi ini dapat dilihat di

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD3013 MUSTHOLAH AL-HADITH (Minggu 4)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Islam, hadis menempati posisi kedua setelah al-qur an sebagai

Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang meninggal dunia.

ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU HADITS

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL SEKOLAH MENENGAH ATAS / MADRASAH ALIYAH KURIKULUM 2006 TAHUN PELAJARAN 2016/2017

KAIDAH KEMUTTASILAN SANAD HADIS (Studi Kritis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail)

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 23 Tahun 2012 Tentang MENYEMIR RAMBUT

BAB III BIOGRAFI AL-NASA> I> DAN DATA HADIS TENTANG BINATANG TERNAK BISA MENDENGAR SIKSA KUBUR

Pengertian Istilah Hadis dan Fungsi Hadis

Kecemburuan Seorang Suami Kepada Istri

Bab 34 Bagaimana Cara Dicabutnya Ilmu

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

HADITS MASYHUR. Definisi

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Narasumber: DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Video kajian materi ini dapat dilihat di

Bukti Cinta Kepada Nabi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Hadits-hadits Shohih Tentang

Peneliti Cacat Hadits

DAFTAR PUSTAKA. Abu Dawud, Sulaiman bin al-asy as al-sijistani H. Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar Ibn Hazm. Juz III.

PENYALAHGUNAAN DADAH DAN KEWAJARAN PERUNTUKAN HUKUMAN BERAT KE ATAS PENAGIH DADAH DI MALAYSIA MENURUT PERSPEKTIF SHARIAH

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

Metodologi Imam Tirmizi DR MUHAMAD ROZAIMI RAMLE

BAB II MUKHTALIF AL-HADITS. Mukhtalif al-hadits secara bahasa dapat dipahami dengan hadis-hadis

BAB IV ANALISIS A. Kualitas Sanad dan Matan Hadis tentang Mempercepat Pemakaman pada Jenazah

Definisi Khutbah Jumat

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Narasumber: DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Video kajian materi ini dapat dilihat di

MUZARA'AH dan MUSAQAH

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

Bab 5. Hadist: Sumber Ajaran Islam Kedua

Kewajiban berdakwah. Dalil Kewajiban Dakwah

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

Analisis Terhadap Hadis Larangan Menikah Ketika Ihram

Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Mengusap Muka Dengan Kedua Tangan Sesudah Selesai Berdo'a

Hukum Mengqadha' Puasa Ramadhan

Al-Hadits Tuntunan Nabi Mengenai Islam. Presented By : Saepul Anwar, M.Ag.

Menyikapi Fenomena Gerhana. Oleh: Muhsin Hariyanto

BAB II PEMBAGIAN HADITS

Seribu Satu Sebab Kematian Manusia

Engkau Bersama Orang Yang Kau Cintai

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

DZIKIR PAGI & PETANG dan PENJELASANNYA

Alhamdulillah Was Shalaatu Was Salaamu Alaa Rasuulillah, adapun setelah ini:

BENARKAH KHUTBAH SHOLAT DUA HARI RAYA DUA KALI

BAB IV KE-H}UJJAH-AN DAN PENYELESAIAN H}ADI>TH TENTANG MEMINANG PINANGAN ORANG LAIN

Derajat Hadits Puasa TARWIYAH

Transkripsi:

BAB IV ANALISA HADIS TENTANG LARANGAN DUDUK DI ATAS KUBURAN DALAM SUNAN ABU DAWUD Dalam studi hadis persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis sebagai sumber otoritas ajaran Nabi Muhammad saw. Kedua unsur itu begitu penting artinya dan antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan erat sehingga kekosongan salah satunya akan berpengaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Karenanya seperti disebutkan, suatu berita yang tidak memiliki sanad tidak dapat disebut hadis; demikian sebaliknya matan, yang sangat memerlukan keberadaan sanad. 1 A. Kritik Sanad Hadis Kritik sanad adalah metode penilaian dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari gurunya masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk kebenaran dan kualitas hadis. 2 Penelitian tentang kualitas sanad hadis dapat dilihat dari dua hal pokok yang mendasarinya, yakni: 1) Seluruh perawi dalam sanad tersebut harus bersifat tsiqah dan tidak terbukti melakukan tadlis. 1 Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah, (Jakarta: Kencana, 2003), 174. 2 Bustami, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), 7. 75

76 2) Keabsahan cara periwayatan masing-masing periwayat dilihat dari ketentuan tah{ammul wa ada al-hadi>th. 3 Adapun nilai sanad hadis tentang larangan duduk di atas kuburan dalam Sunan Abu Dawud no indeks 3229 ini terdiri dari enam perawi dan akan dianalisis dengan menggunakan kriteria ke-s}ah}i>h-an sanad hadis berikut ini. 1) Abu> Da>wud Abu> Da>wud adalah perawi terakhir dan juga sebagai Mukharrij yang menerima hadis dari Ibrahim bin Musa al-ra>zi. Abu> Da>wud adalah salah satu periwayat yang Thiqah, tidak seorang pun dari ulama kritikus hadis yang mencela pribadinya dalam periwayatan hadis bahkan mereka memujinya. Abu> Da>wud menerima hadis ini dengan menggunakan lambang periwayatan Haddathana, sebagaimana diketahui lambang periwatan tersebut adalah salah satu lafad sama yang mana menurut jumhur muhaddithin sebagai nilai periwayatan tertinggi. Abu> Da>wud lahir pada tahun 202 H sedangkan gurunya, Ibrahim bin Mu>sa al-ra>zi wafat pada tahun 220 H. Berarti pada saat itu Abu> Da>wud kira-kira berumur 18 tahun ketika gurunya tersebut wafat sehingga sangat dimungkinkan mereka semasa (mu asarah) dan bertemu (liqa ). Dengan demikian, maka pernyataan Abu> Da>wud yang telah menerima riwayat hadis dari gurunya, yaitu Ibrahim bin Mu>sa al-ra>zi dengan metode atau lambang periwayatan haddathana dapat dipercaya kebenarannya dan menunjukkan adanya ketersambungan sanad. 3 Syuhudi Ismail, Kaedah Kes{ah{ih{an Sanad Hadis; Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 185.

77 2) Ibrahim bin Mu>sa al-ra>zi Ibra>hi>m bin Mu>sa al-ra>zi adalah sebagai perawi hadis keenam (sanad pertama) dalam susunan sanad Abu> Da>wud. Ibra>hi>m bin Mu>sa al-ra>zi juga salah satu perawi hadis yang terhindar dari jarh (penilaian negatif) para kritikus hadis. Ibra>hi>m bin Mu>sa al-ra>zi wafat pada tahun 220 H, sedangkan gurunya, Isa bin Yu>nus wafat pada tahun 187 H. Sehingga sangat dimungkinkan ada indikasi mu a>s}arah (hidup sezaman) dan liqa> (pertemuan antara guru dan murid) antara Ibra>hi>m bin Mu>sa al-ra>zi dan Isa bin Yu>nus. Pernyataan Ibra>hi>m bin Mu>sa al-ra>zi dalam menerima hadis dari Isa dengan menggunakan lambang periwayatan akhbarana dapat dipercaya, karena cara periwayatan seperti ini oleh mayoritas ulama dinilai sebagai cara yang mempunyai kualitas tertinggi yaitu menerima hadis dengan metode al-sama. Dengan demikian, periwayatan Ibra>hi>m bin Mu>sa al-ra>zi yang menyatakan telah menerima riwayat hadis tersebut dari Isa bin Yu>nus dengan metode al-sama dapat dipercaya kebenarannya. Dalam hal ini ulama hadis juga sepakat mengatakan bahwa Ibra>hi>m bin Mu>sa al-ra>zi adalah murid dari Isa bin Yu>nus. Hal ini berarti sanad antara Ibra>hi>m bin Mu>sa al-ra>zi dan gurunya, Isa adalah bersambung (muttas}il). 3) Isa bin Yu>nus Isa bin Yu>nus adalah perawi kelima (sanad kedua) dalam susunan sanad Abu> Da>wud. Isa bin Yu>nus termasuk dari kalangan tabi al-tabi in yang thiqah dan tidak ada yang mencelanya. Isa bin Yu>nus wafat pada tahun 187 H,

78 sedangkan gurunya Ibnu Yazi>d bin Ja>bir wafat tahun 154 H. Dengan demikian sangat dimungkinkan mereka semasa dan bertemu. Pernyataan Isa bin Yu>nus dalam menerima hadis dari Ibnu Yazi>d bin Ja>bir dengan menggunakan lambang haddathana dapat dipercaya karena menggunakan metode al-sama yaitu mendengar langsung dari gurunya. Dari sini dapat dikatakan bahwa sanad antara Isa bin Yu>nus dan Ibnu Yazi>d bin Ja>bir dapat dikatakan sanadnya bersambung. 4) Ibnu Yazi>d bin Ja>bir Sebagaimana Isa bin Yu>nus, Ibnu Yazi>d bin Ja>bir juga ada dalam susunan sanad Abu> Da>wud. Ibnu Yazi>d bin Ja>bir adalah perawi keempat (sanad ketiga). Ibnu Yazi>d bin Ja>bir berasal dari kalangan Tabi' al-tabi'in yang thiqah dan tidak ada yang mencelanya. Ibnu Yazi>d wafat pada tahun 154 H, sedangkan gurunya Busr bin 'Ubaidillah wafat pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M/105-125 H). Dengan demikian sangat dimungkinkan mereka semasa dan bertemu. Ibnu Yazi>d bin Ja>bir menerima hadis dari gurunya dengan menggunakan lambang periwayatan an. Hadis mu an an dapat dianggap muttasil dengan syarat hadis tersebut selamat dari tadlis dan adanya keyakinan bahwa perawi yang menyatakan an dari itu, ada kemungkinan bertemu muka sebagaimana disyaratkan oleh Imam Bukhari. Sedang Imam Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi yang menyatakan an tersebut, hidupnya semasa dengan yang memberikan hadis. Jadi tidak perlu adanya keyakinan bahwa mereka bertemu muka. Tetapi dapat dipastikan mereka bertemu, dengan alasan

79 mereka merupakan guru dan murid. Maka periwayatan Ibnu Yazi>d bin Ja>bir dan Busr bin Ubaidillah dapat dikatakan bersambung. 5) Busr bin 'Ubaidillah Busr bin Ubaidillah wafat pada masa khilafah Hisyam bin Abdul Malik (antara 724-743 M/105-125 H) sedangkan gurunya, Wa>thilah bin al- Asqa wafat tahun 85 H. Sehingga dapat dipastikan mereka pernah semasa dan bertemu. Busr bin 'Ubaidillah adalah perawi hadis yang juga terhindar dari jarh para kritikus hadis. Selanjutnya Busr bin Ubaidillah dalam menerima hadis dari Wa>thilah bin al-asqa dengan menggunakan lambang sami tu sehingga tidak ada keraguan lagi kalau sanadnya muttasil. 6) Wa>thilah bin al-asqa' Wa>thilah bin al-asqa adalah perawi kedua (sanad kelima) dalam susunan sanad Abu> Da>wud. Wa>thilah bin al-asqa termasuk dari kalangan sahabat dan tidak diragukan ke-thiqah-annya. Wa>thilah bin al-asqa wafat pada tahun 85 H, sedangkan gurunya Kinnaz bin al-hushain (Abu Martsad al- Ghanawi) wafat tahun 12 H. Dengan demikian sangat dimungkinkan mereka semasa dan bertemu tatap muka. Pernyataan Wa>thilah bin al-asqa dalam menerima hadis dari Abu> Martsad al-ghanawi dengan menggunakan lambang sami tu dapat dipercaya karena mendengar langsung dari gurunya. Dari sini dapat dikatakan bahwa sanad antara Wa>thilah bin al-asqa dan Abu> Martsad al-ghanawi dapat dikatakan sanadnya bersambung.

80 7) Abu> Martsad al-ghanawi Kinnaz bin al-hushain bin Yarbu' yang lebih dikenal dengan nama Abu> Martsad al-ghanawi wafat bersama anaknya pada saat perang Badar. Abu> Martsad al-ghanawi wafat pada tahun 12 H. Tidak ada yang mengkritik Abu> Martsad al-ghanawi karena beliau adalah salah satu sahabat Nabi. Abu> Martsad al-ghanawi menerima hadis ini langsung dari Nabi dengan metode sami tu sehingga tidak diragukan lagi ke-muttasil-an sanadnya. Setelah diuraikan secara jelas tentang penilaian ulama terhadap kepribadian masing-masing periwayat, maka dapat diketahui bahwa semua periwayat adalah thiqah, hafiz{ dan tidak ada celaan terhadap mereka. Sedangkan pada persambungan sanadnya dikatakan muttas{il marfu ah atau bersambung langsung dengan Nabi Saw. Dari sini dapat dinyatakan bahwa kualitas hadis tentang larangan duduk di atas kuburan dalam Sunan Abu> Da>wud ini adalah s{ah{i>h{ al-sanad karena sudah memenuhi kriteria ke- s{ah{i>h{ -an sanad, yaitu: sanadnya bersambung, seluruh perawi bersifat Adil, seluruh perawi bersifat D{abit}, tidak ada kejanggalan (Shudhudh) dan terhindar dari cacat ( illat). B. Kritik Matan Hadis Setelah dilakukan penelian kualitas sanad hadis, maka di dalam penelitian ini juga perlu diadakan penelitian terhadap matannya, hal ini bertujuan untuk mengetahui kebenaran teks hadis tersebut. Dalam penelitian matan tidak

81 mesti sejalan dengan penelitian sanad, oleh karena itu penelitian matan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Penelitian matan hadis ini tidaklah sama dengan upaya ma a>ni> al-h}adi>th. Penelitian matan ini berupaya meneliti kebenaran teks sebuah hadis yaitu apakah matan hadis benar-benar berasal dari Nabi SAW. Adapun kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam ma a>ni> al-h}adi>th berupaya untuk memahami hadis dan syarah hadis tersebut. Sebelum penelitian terhadap matan dilakukan, berikut ini akan dipaparkan kutipan redaksi matan hadis dari mukharrij Abu Dawud beserta redaksi matan hadis pendukungnya, guna untuk mempermudah dalam mengetahui perbedaan lafaz} antara hadis satu dengan hadis lainnya. Berikut ini teks sanad dan matan hadis secara keseluruhannya: a) Riwayat dari mukharij Abu> Da>wud, dalam Kitab al-jana>iz, bab fi> kara>hiyati al-qu u>di ala al-kubri ح د ث ن ا إ ب ر اى يم ب ن م وس ى الر از ي أ خ ب ر ن ا ع يس ى ح د ث ن ا ع ب د الر ح ن ي ع ن اب ن ي ز يد ب ن ج اب ر ع ن ب س ر ب ن ع ب ي د ا لل ق ال : س ع ت و اث ل ة ب ن ا ل س ق ع ي ق ول : س ع ت أ ب ا م ر ث د ال غ ن و ي ي ق ول : ق ال ر س و ل ا لل ص ل ى هللا ع ل ي و و س ل م : ل ت ل س وا ع ل ى ال ق ب و ر و ل ت ص ل وا إ ل ي ه ا b) Riwayat dari mukharij Muslim II.a, dalam Kitab al-kusu>f, bab al-nahyu an tajshis>hi al-qabri wa al-bina> i alaihi

82 وح د ث ن ع ل ي ب ن ح ج ر الس ع د ي ح د ث ن ا ال و ل يد ب ن م س ل م ع ن اب ن ج اب ر ع ن ب س ر ب ن ع ب ي د هللا ع ن و اث ل ة ع ن أ ب م ر ث د ال غ ن و ي ق ال : ق ال ر س ول هللا ص ل ى هللا ع ل ي و و س ل م :» ل ت ل س وا ع ل ى ال ق ب و ر و ل ت ص ل وا إ ل ي ه ا c) Riwayat dari mukharij Muslim I.b وح د ث ن ا ح س ن ب ن الر ب يع ال ب ج ل ي ح د ث ن ا اب ن ال م ب ار ك ع ن ع ب د الر ح ن ب ن ي ز يد ع ن ب س ر ب ن ع ب ي د ع ن و اث ل ة ب ن ا ل س ق ع ع ن أ ب م ر ث د ال غ ن و ي ق ال : س ع ت ر س ول هللا هللا ع ن أ ب إ د ر يس ا ل و ل ن ص ل ى هللا ع ل ي و و س ل م ي ق ول : ل ت ص ل وا إ ل ال ق ب ور و ل ت ل س وا ع ل ي ه ا d) Riwayat dari mukharij al-nasa I, dalam Kitab al-kiblati, bab al-nahyu an al-sala>ti ila al-kubri أ خ ب ر ن ا ع ل ي ب ن ح ج ر ق ال : ح د ث ن ا ال و ل يد ع ن اب ن ج اب ر ع ن ب س ر ب ن ع ب ي د ا لل ع ن و اث ل ة ب ن ا ل س ق ع ع ن أ ب م ر ث د ال غ ن و ي ق ال : ق ال ر س ول ا لل ص ل ى هللا ع ل ي و و س ل م : ل ت ص ل وا إ ل ال ق ب و ر و ل ت ل س وا ع ل ي ه ا. e) Riwayat dari Mukharij Turmudzi, dalam Kitab abwa>bu al-jana>iz, bab ma> ja> a fi> kara>hiyati al-masyyi ala al-kubu>r, wa al-julu>si alaiha>, wa al-sala>ti ilaiha>

83 ح د ث ن ا ى ن اد ق ال : ح د ث ن ا ع ب د ا لل ب ن امل ب ار ك ع ن ع ب د الر ح ن ب ن ي ز يد ب ن ج اب ر ع ن ب س ر ب ن ع ب ي د ا لل ع ن أ ب إ د ر يس ا ل و ل ن ع ن و اث ل ة ب ن ا ل س ق ع ع ن أ ب م ر ث د الغ ن و ي ع ل ي و و س ل م : ل ت ل س وا ع ل ى الق ب و ر و ل ت ص ل وا إ ل ي ه ا ق ال : ق ال الن ب ص ل ى ا لل Adapun kriteria-kriteria dalam penelitian matan hadis adalah tidak bertentangan dengan Alquran, tidak bertentangan dengan hadis dan sira>h bawiyyah, tidak bertentangan dengan akal, indra dan sejarah, tidak mirip dengan sabda kenabian yakni bahasa Arab fasih dan penelusuran ulang nisbah pemberitaan dalam matan hadis kepada narasumber. 4 Dalam teks matan di atas, secara substansial tidak terdapat perbedaan dalam pemaknaan hadis, perbedaan hanya terdapat pada redaksi matan yang berbeda, akan tetapi mempunyai pemaknaan yang sama. Ulama hadis dapat mentolelir adanya perbedaan redaksi matan hadis asalkan tidak mengakibatkan perbedaan makna yang didukung dengan sanad yang sahih. 5 Untuk mengetahui matan hadis di atas apakah s{ah{i>h{ atau tidak maka akan dilakukan penelitian terhadap matan hadis sebagai berikut: Pertama: matan hadis di atas sama sekali tidak bertentangan dengan Alquran, bahkan di dalam Alquran tidak ditemukan suatu ayat yang menyebutkan secara langsung tentang larangan duduk di atas kuburan. Jadi matan hadis di atas 4 Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadits, cet. I (Surabaya: IAIN SA Press, 2013), 85-90. 5 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang: 1992), 131.

84 tidak bertentangan dengan Alquran dan bisa dikatakan bahwa inilah salah satu fungsi hadis, yaitu sebagai pembuat syariat yang belum terdapat dalam Alquran selama selama hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis yang lain. Kedua: Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. Ketiga: hadis di atas juga tidak bertentangan dengan akal, idra dan sejarah. Jika matan hadis diamati dan dianalisa, maka apa yang disampaikan di dalamnya dapat masuk akal karena setiap mukmin dengan mukmin itu bersaudara jadi satu sama lain itu dilarang saling menyakiti, baik itu saat masih hidup maupun sudah meninggal. Hadis di atas tidak bertentangan dengan panca indera, karena petunjuk ini adalah petunjuk yang masuk akal dan menurut sejarah, larangan ini bersifat global bagi seluruh umat manusia, khususnya orang Islam sendiri karena orang yang sudah meninggal juga harus dihormati dan dimulyakan, bukan malah dihina atau diremehkan kuburannya. Keempat: hadis di atas sudah sesuai dengan sabda kenabian dan bersumber dari Nabi secara langsung, dengan kata lain hadis di atas tidak dibuat-buat sebagaimana orang-orang yang memalsukan hadis demi kepentingan dirinya atau kelompok tertentu.. Melalui kriteria-kriteria kesahihan matan di atas, dapat disimpulkan bahwa matan hadis tentang larangan duduk di atas kuburan dalam sunan Abu> Da>wud ini adalah s}ahi>h} al-matan. Karena matan hadis di atas sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan sebagai syarat-syarat kesahihan suatu matan hadis.

85 C. Analisa Kehujjahan Hadis Hadis itu bisa dijadikan hujjah apabila hadis tersebut maqbul sedangkan makna dari hadis maqbul itu sendiri adalah hadis yang telah sempurna syaratsyarat penerimaannya. Sedangkan Diantara syarat Maqbu>l suatu hadis adalah berhubungan erat dengan sanad hadis tersebut, yakni: (1) sanadnya bersambung, (2) diriwayatkan oleh rawi yang adil, (3) dan d{a>bit{. Dan syarat yang berhubungan dengan matan hadis adalah, (4) hadisnya tidak shadh, dan (5) tidak terdapat padanya I lat (cacat). 6 Setelah diadakan penelian kualitas sanad dan matan hadis tentang duduk di atas kuburan no. indeks 3229, maka dapat dinyatakan bahwa penyebutan perawi hadis mulai dari pertama sampai terakhir seluruhnya sanadnya bersambung (muttas{il) baik mulai dari awal sampai akhir, semua perawinya bersifat thiqah (adil dan d{a>bit{), terhindar dari kejanggalan (syadh) dan tidak cacat (illat), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis tentang duduk di atas kuburan ini nilainya s{ah{i>h{ li dhatihi. Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima sabagai hujjah. Sedangkan yang termasuk dalam kategori hadis maqbul adalah 6 H. Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus, Ilmu Mus{t{olah Hadith (Jakarta: PT Hadikarya Agung, 1984), 96.

86 Hadis s{ah{i>h{, baik yang lizatihi maupun ligoirihi dan hadis hasan, baik yang li dhatihi maupun ligorihi. Sedangkan Hadis maqbul sendiri dibagi menjadi dua, yaitu maqbu>l ma mu>lun bihi dan maqbu>l ghairu ma mu>lun bihi. 1) Hadith Maqbu>l Ma mu>lun Bihi adalah hadis maqbul yang dapat diterima dan dapat diamalkan. Yang termasuk kategori ini meliputi: hadis muhkam, hadis muhtalif, hadis rajih dan hadis nasikh 2) Hadith Maqbu>l ghairu Ma mu>lun Bihi adalah hadis maqbul yang dapat diterima tetapi hadis tersebut tidak dapat diamalkan. Yang termasuk kategori ini meliputi: hadis mutashabih, hadis mutawaqqaf fihi, hadis marjuh dan hadis mansukh. Setelah diteliti kembali mengenai hadis tersebut, maka hadis ini termasuk kategori hadis muhkam 7 karena tidak mempunyai saingan dengan hadis yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadis lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hukum lantaran dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikit pun. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa hadis tentang larangan duduk di atas kuburan dalam sunan Abu> Da>wud ini termasuk hadis maqbul karena mempunyai status s{a>h{ih{ li dhatihi dan hadis maqbul itu wajib diterima sebagai hujjah. Disamping maqbul, hadis ini juga bisa diamalkan (maqbu>l ma'mu>l bihi) karena termasuk kategori hadis muhkam. 7 Hadis muhkam ini termasuk kategori hadis Maqbul Ma mulun Bih, yaitu hadis maqbul yang dapat diterima dan dapat diamalkan.

87 D. Pemaknaan Hadis tentang Larangan Duduk di Atas Kuburan Dalam pemaknaan ini, dijelaskan bahwa terkait dengan permasalahan larangan duduk di atas kuburan dalam sunan Abu> Da>wud no indeks 3229. Kajian ini difokuskan pada lafadz matan hadis: ل ت ل س وا ع ل ى الق ب ور Janganlah kalian duduk di atas kuburan. Setelah diketahui bahwa hadis ini berasal dari nabi dan kualitasnya itu s{a>h{ih{ li dzatihi karena sudah memenuhi kriteria ke-s{a>h{ih{-an hadis dan juga hadis ini termasuk hadis maqbu>l ma mu>lun bihi, maka perlu juga dipahami makna larangan duduk di atas kubur ini ditujukan pada orang atau keadaan yang bagaimana sehingga akan jelas makna larangan tersebut. Lafad al-qubu>r merupakan jama dari al-qabr, yang bermakna tempat memakamkan orang mati ( د ف ن ال م و ت (م و ض ع atau tempat pemakaman manusia 8 Hal yang menjadi pembahasan dalam hadis ini adalah duduk di.(م د ف ن ا ل ن س ان ( atas kuburan atau yang diistilahkan dengan pusara. 8 Majid al-di>n Abu> al-sa a>da>h al-shaiba>ny al-juzri Ibnu al-athi>r, Al-Niha>yah fi Ghari>b al-hadi>th jilid 4 (Bairut : al-maktabah al- Ilmiyah, 1979), 4

88 Dalam hadis ini tidak menyebut kata al-maqbarah, namun al-qubu>r, karena al-maqbarah itu sendiri bermakna م و ض ع ال ق ب و ر atau area pemakaman. 9 Dalam kitab al-taisi>r bi Syarhi al-jami> al-shagi>r dijelaskan bahwa duduk di atas kuburan itu hukumnya dimakruhkan karena duduknya itu berarti meremehkan si mayyit. 10 Begitu pula dalam kitab Faidu al-qadi>r, makna larangan duduk itu adalah makruh karena itu berarti meremehkan mayyit, dan seharusnya orang-orang Islam yang sedang berziarah ke kuburan kerabatnya atau saat ikut dalam prosesi kubur itu (supaya) menjaga kehormatan ahli kubur setelah kematiannya. Duduk di atas kubur juga merupakan tindakan yang sangat tercela karena termasuk menghina tulang belulang yang dulunya telah dihidupkan Allah, dan dimuliakan dengan menjadi hambanya, dan diletakkan di sisinya di surga. 11 Sedangkan menanggapi hadis yang menjelaskan ancaman keras bagi orang yang duduk diatas kuburan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: ل ن ي ل س أ ح د ك م ع ل ى ج ر ة ف ت ح ر ق ث ي اب و ف ت خ ل ص إ ل ج ل د ه خ ي ر ل و م ن ا ل ل وس ع ل ي و 9 Al-Khali>l bin Ahmad al-fara>hidi al-bas{ry, Kita>b al- Ain jus 5 (ttp: Da>r wa Maktabah al-hila>l, tt), 157. 10 Muhammad al-mad u bi Abd al-rouf, al-taisi>r bi Syarhi al-jami> al-shagi>r, juz 2(Da>r al-ma rifah: Bairut-Libanon,tt), 491. 11 Muhammad al-mad u bi Abd al-rouf, Faidu al-qadi>r, juz 6 (Da>r al-ma rifah: Bairut-Libanon,tt), 390.

89 Dari Abi Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: sekiranya salah seorang dari kalian duduk di atas bara api kemudian pakaiannya terbakar sampai mengenai kulitnya, adalah lebih baik baginya daripada duduk di atas kuburan. Maksud dari duduk dalam hadis ini dimungkinkan adalah membuang hajat sebagaimana pendapat Imam Malik dan orang yang setuju dengannya. Sehingga duduk di atas kuburan itu dilarang sebagaimana pendapat ulama dikarenakan membuang hajat. Demikian pula Imam Hanifah yang berpendapat seperti pendapat Imam Malik yang juga diterangkan dalam kitab al-fath al-bary. Adapun komentar (pengarang kitab Subul al-salam) mengenai masalah ini adalah : Dalil telah menetapkan keharaman duduk dan lewat di atasnya karena sabda Nabi: ل ت ؤ ذ ص اح ب ال ق ب. Jangan menyakiti ahli kubur. Hadis ini menjelaskan tentang larangan menyakiti ahli kubur mukmin, dan menyakiti mukmin merupakan tindakan haram. 12 Dan hadis yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir: ل ن أ م ش ي ع ل ى ج ر ة أ و س ي ف أ و أ خ ص ف ن ع ل ي ب ر ج ل ي أ ح ب إ ل م ن أ ن أ م ش ي ع ل ى ق ب 13 م س ل م و م ا أ ب ا ل أ و س ط ال ق ب ور ق ض ي ت ح اج ت أ و و س ط الس وق. 12 Ibid., 342. 13 Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Ma>jah (Makkah: Maktabah Tijariyah, 1952), 275.

90 Sungguh menginjak bara api, atau berada di ujung pedang aku ikat sandalku dengan kakiku, itu lebih aku sukai dibanding aku berjalan di atas orang muslim, dan aku tidak peduli saat aku qadhi al hajat itu apakah berada di kuburan, atau berada di tengah pasar. Imam Nawawi berpendapat bahwa maksud dari julu>s adalah duduk menurut jumhur ulama, sedangkan Imam Malik yang mengatakan bahwa maksud dari julu>s adalah buang hadath, dan ini merupakan takwilan yang lemah dan salah. Mushannif berpendapat : Fanatisme yang berlebihan akan membawa pengikutnya untuk melakukan tindakan yang lebih dari ini, bagaimana bisa Imam Nawawi berkata bahwa pendapat Imam Malik adalah salah dan lemah, padahal Imam Malik lebih alim dibanding dirinya. Imam Nawawi menyangka bahwa Imam Malik saja yang berpendapat demikian sebagaimana penjelasannya dalam Sharh Muhadzdzab Madzhab Abu Hanifah adalah sama dengan jumhur ulama. Demikian pula Imam Ibn Jauzy yang juga menyangka demikian dengan mengatakan Jumhur ulama sepakat atas kemakruhan duduk di atas kubur, kecuali Imam Malik. Padahal sebenarnya tidak demikian, bahkan Imam Abu Hanifah dan golongannya berpendapat seperti pendapat Imam Malik sebagaimana yang dinukil Imam al-t{ahawi dari mereka dengan hujjah hadis Ibn Umar yang disebut sebelumnya, dan juga hadis yang dikeluarkan dari Ali bin Abi Thalib. 14 Jadi, pendapatku (mushannif) bahwa pernyataan jumhur ulama memakruhkan duduk di atas kuburan itu tidak dapat diterima. Karena pihak yang tidak sependapat dengan pernyataan tersebut cukup banyak, yakni Imam Malik, Abdullah bin Wahab, Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad al- 14 Badruddi>n Abi> Muhammad Mahmu>d bin Ahmad al- Aini>, Umdatu al-qa>ri> Syarhi Sahi>h al-bukha>ri juz 8 (Bairut -Libanon: Da>r al-kutub al- Ilmiyyah.tt), 267.

91 Thahawy, dan dari golongan sahabat adalah Abdullah bin Umar dan Ali bin Abi Thalib. Karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa kemakruhan itu pendapat jumhur ulama? Kita juga bisa mengatakan bahwa jumhur ulama tidak memakruhkannya. Jumhur ulama yang menghukumi makruh duduk di atas kubur itu diperkuat dengan hadis riwayat Imam Ahmad dari hadis Umar bin Hazm secara marfu ل تقعدوا على ال ق ب ور dan dari Umar bin Hazm pula dengan sanad yang sahih. ر آن ر س ول هللا صلى هللا ع ل ي و و سلم و أ نا متكىء على قب ف ق ا ل: ل تؤذ ص احب ال ق ب Kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan julu>s adalah qu u>d (duduk) dalam hakikatnya. Aku berpendapat bahwa maksud larangan duduk di atas kubur adalah duduk dengan tujuan membuang hadath, sehingga dengan demikian tidak ada pertentangan antara periwayatan di atas dengan periwayatan Abu Hurairah, dan larangan duduk di atas kuburan dengan tujuan membuang hajat tidak menafikan duduk secara hakiki, jadi boleh duduk di atas kuburan, jika tidak berkehendak membuang hajat. 15 Dari berbagai pendapat di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa para ulama itu berbeda pendapat dalam dalam makna larangan duduk di atas kuburan tersebut. 15 Ibid.

92 Duduk di atas kuburan itu dihukumi makruh apabila duduknya itu secara mutlak karena duduknya itu sama seperti menyakiti mayyit, dan merupakan tindakan yang sangat tercela dengan menghina tulang belulang yang dulunya telah dihidupkan Allah, dimuliakan dengan menjadi hambanya, dan diletakkan di sisinya di surga. Jumhur ulama yang menghukumi makruh duduk di atas kubur itu diperkuat dengan hadis riwayat Imam Ahmad dari hadis Umar bin Hazm secara marfu ل تقعدوا على ال ق ب ور dan dari Umar bin Hazm pula dengan sanad yang sahih. ر آن ر س ول هللا صلى هللا ع ل ي و و سلم و أ نا متكىء على قب ف ق ال : ل تؤذ ص احب ال ق ب Kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan julus adalah qu ud (duduk) dalam hakikatnya. Sedangkan duduk di atas kuburan itu dihukumi haram apabila duduknya itu karena hadas (buang air kecil atau buang air besar). Dan semua ulama sepakat akan keharaman ini karena berangkat dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah, sebagaimana sabda Nabi: ل ن ي ل س أح د ك م ع ل ى ج ر ة ف ت ح ر ق ث ي اب و ف ت خ ل ص إ ل ج ل د ه خ ي ر ل و م ن أن ي ل س ع ل ى ق ب

93 Hadis tersebut dita'wil, bahwa ancaman tersebut diberlakukan bagi orang yang duduk di atas kuburan untuk buang air (berak atau kencing) yang diharamkan menurut ijma' (kesepakatan ulama). 16 Jadi, kandungan hadis tentang larangan duduk di atas kuburan (pusara) dalam sunan Abu Dawud ini menurut ijma ulama hukumnya haram jika duduk untuk buang air kecil (kencing) dan buang air besar (berak). Sedangkan menurut pendapat yang diunggulkan hukumnya makruh jika duduknya bukan karena buang air kecil dan buang air besar. Diperbolehkan duduk apabila duduknya itu bukan di atas kuburan, tetapi di area pemakaman. 16 Syamsuddin dan Muhammad bin Ahmad Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughnil Muhtaj Ila Ma'rifati Alfadhil Minhaj, Juz: 2 (Bairut Lebanon: Darul Ma'rifat, 1997), 41.