Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.01/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai km

BUPATI BANGKA TENGAH

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN PESISIR DAN LAUT PENYUSUNAN STATUS MUTU LAUT KOTA BATAM DAN KABUPATEN BINTAN TAHUN 2015

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI BALI GUBERNUR BALI

PENDAHULUAN. dan km2 Lautan. NTT sebagai salah satu provinsi kepulauan, memiliki potensi yang cukup besar dalam

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 94 TAHUN 2008

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

VII. STRATEGI DAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK TANI KARYA AGUNG

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

UPAYA PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN CILACAP MELALUI KONSEP BLUE ECONOMY

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 2 - MEMUTUSKAN. 12. Kemitraan.../3 AZIZ/2016/PERATURAN/KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

- 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 23/Menhut-II/2007

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

REVITALISASI KEHUTANAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Nama Unit Pelaksana : Direktorat Kelautan dan Perikanan Email :ningsih@bappenas.go.id Abstrak Wilayah pesisir dan laut Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berjenis-jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi. Permasalahan utama yang sering terkait dengan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir adalah lemahnya keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan pengembangan kelautan dan wilayah pesisir. Kajian ini bertujuan pertama mengidentifikasi karakteristik sumberdaya kelautan dan kondisi wilayah pesisir di beberapa wilayah Indonesia, kedua mengidentifikasi dan menelaah berbagai kendala dan permasalahan yang muncul sehubungan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir, ketiga mengkaji dan menelaah langkah-langkah strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir melalui proses partisipatif, dan keempat menyusun program dan rekomendasi dalam rangka pengembangan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir. Kajian ini bertujuan pertama mengidentifikasi karakteristik sumberdaya kelautan dan kondisi wilayah pesisir di beberapa wilayah Indonesia, kedua mengidentifikasi dan menelaah berbagai kendala dan permasalahan yang muncul sehubungan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir, ketiga mengkaji dan menelaah langkah-langkah strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir melalui proses partisipatif, dan keempat menyusun program dan rekomendasi dalam rangka pengembangan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir. Hasil Kajian ini menemukan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan konsep pendekatan wilayah, yaitu dengan cara menentukan suatu wilayah di kawasan pesisir yang kondisi masyarakatnya miskin, telah terjadi degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, kelebihan tangkap (over eksploitasi), penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan pencemaran. Strategi pendekatan pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui pendekatan 4 (empat) bina: (1) bina manusia, (2) bina sumberdaya, (3)bina lingkungan, dan (4) bina usaha, yang dirangkaikan dengan metode partisipatoris (participatory approach). Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, maka kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir sesuai dengan peringkatnya/prioritasnya adalah sebagai berikut: (a) peningkatan kesejahteraan 1

masyarakat pesisir; (b) peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan (3) konservasi dan perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP). A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan Indonesia mempunyai kurang lebih 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas karang lebih 3,1 juta km 2, yang terdiri dari 0,3 juta km 2 perairan teritorial dan 2,8 juta km 2 perairan nusantara. Wilayah pesisir dan laut Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berjenis-jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi. Selama periode 1982-1992, berdasarkan data yang bersumber dari Direktorat Bina Program Kehutanan, Departemen Kehutanan, luas areal hutan mangrove mengalami penurunan dari 5.209.543 ha pada tahun 1982 menjadi 2.496.185 ha pada tahun 1992. Potensi lahan budidaya rumput laut tersebar di 27 Propinsi dan mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi rata-rata sebesar 48.400 ton/th (Ditjen Perikanan 1991). Demikian juga halnya dengan ekosistem terumbu karang yang telah mengalami degradasi sebagai akibat eksploitasi sumberdaya perikanan yang tidak ramah lingkungan dan terkendali. Permasalahan utama yang sering terkait dengan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir adalah lemahnya keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan pengembangan kelautan dan wilayah pesisir. Munculnya masalah tersebut disebabkan oleh lemahnya sistem dan tata cara koordinasi antar stakeholder karena belum didukung dengan adanya sistem hukum yang mengatur kegiatan tesebut. Selain itu, lemahnya kualitas sumber daya manusia yang mempengaruhi proses partisipatif menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini sering berdampak pada munculnya ketidak-sepahaman dan konflik penggunaan ruang antar stakeholder dalam rangka menjaga keseimbangan keberlanjutan sumberdaya alam yang berada di sekitar wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, tekait dengan permasalahan-permasalahan tersebut di atas pengkajian kebijakan kelautan secara partisipatif dengan stakeholder dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir sangat diperlukan. B. Tujuan Kegiatan Kegiatan kajian ini dimaksudkan untuk mengkaji kebijakan bidang kelautan yang terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat pesisir. Sedangkan tujuan dari kegiatan kajian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi karakteristik sumberdaya kelautan dan kondisi wilayah pesisir di beberapa wilayah Indonesia, (2) mengidentifikasi dan menelaah berbagai kendala dan permasalahan yang muncul sehubungan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir, (3) mengkaji dan menelaah langkahlangkah strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir melalui proses partisipatif, dan (4) menyusun program dan rekomendasi dalam rangka pengembangan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir. 2

C. Ruang Lingkup Output yang diharapkan dari kegiatan kajian adalah: (1) masukkan bagi para pengambil kebijakan maupun perencana untuk memberikan prioritas program pembangunan kelautan sesuai dengan arah dan strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan pengembangan wilayah pesisir, (2) bahan masukkan untuk mengantisipasi terhadap munculnya masalah-masalah baru sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir yang tidak terkendali dan terencana dengan baik, dan (3) bahan untuk menyusun sistem perencanaan dan koordinasi secara partisipatif yang terkait dengan upaya pengelolaan sumberdaya kalutan dan pengembangan wilayah pesisir. D. Hasil Kajian Permasalahan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir, dapat diatasi melalui perbaikan segala faktor penunjang yang terkait dengan perkembangan perekonomian melalui pendekatan pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan konsep pendekatan wilayah, yaitu dengan cara menentukan suatu wilayah di kawasan pesisir yang kondisi masyarakatnya miskin, telah terjadi degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, kelebihan tangkap (over eksploitasi), penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan pencemaran. Strategi pendekatan pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui pendekatan 4 (empat) bina: (1) bina manusia, (2) bina sumberdaya, (3)bina lingkungan, dan (4) bina usaha, yang dirangkaikan dengan metode partisipatoris (participatory approach). Untuk mensinergikan keempat program tersebut guna memperkuat peran kelembagaan dari masing-masing bina, konsep pendekatan pemberdayaan disajikan pada Gambar 1. 3

BINA MANUSIA (SDM) N K E BINA SUMBER DAYA A A G PROGRAM PEMBERDAYAAN DENGAN PENDEKATAN WILAYAH A B M L E BINA LINGKU- NGAN BINA USAHA Gambar 1. Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan Empat Bina Pendekatan partisipasi dalam pemberdayaan bertujuan agar masyarakat tampil sebagai pelaku utama dalam pemecahan masalah dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam pendekatan partisipatoris, pemberdayaan merupakan suatu proses untuk memfasilitasi masyarakat agar mengalami proses belajar berdasarkan pengalaman (experience based learning process), sehingga dengan belajar dari pengalaman, kapabilitas mereka sebagai masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan dapat meningkat. Jadi pendekatan partisipatoris dapat diartikan sebagai dukungan untuk mengimplementasikan rencana pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan yang disepakati masyarakat dalam suatu wadah organisasinya sendiri. Dalam kajian ini, untuk menentukan prioritas kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir digunakan metoda analisis A WOT. Analisis A WOT merupakan metode hibrida (integrasi) antara AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan Analisis SWOT (Stengths, Weaknesses, Opportunities and Threats Analysis). Dari hasil survei yang dianggap mewakili wilayah pesisir di 3 (tiga) propinsi yaitu Jawa Barat, Riau dan Bali, serta mewakili usaha perikanan tangkap dan budidaya, baik perikanan laut maupun perikanan tawar, menunjukkan bahwa masyarakat pesisir sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan. Permasalahan utama yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kekurangan modal; rendahnya kualitas sumberdaya manusia; kurangnya sarana dan prasarana; kerusakan fisik habitat (kerusakan terumbu karang, kerusakan mangrove, kerusakan akibat pemanfaatan berlebih, pencemaran laut, intrusi air laut, erosi, 4

dan sedimentasi); kemiskinan penduduk pesisir; kurangnya pemahaman terhadap nilai sumberdaya; masalah kelembagaan (konflik pemanfaatan dan kewenangan, masalah ketidakpastian hukum). Berdasarkan hasil analisis A WOT secara umum dapat diindikasikan urutan prioritas kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir: (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir; (b) peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan (3) konservasi dan perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP). Dari hasil analisis tersebut menunjukan bahwa kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir lebih diprioritaskan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dibandingkan upaya peningkatan kualitas SDM dan konservasi dan perlindungan SDKP. Sedangkan berdasarkan program pemberdayaan masyarakat pesisir secara berurutan prioritas program mencakup: (1) pemberdayaan masyarakat berbasis perikanan tangkap pada wilayah yang sudah terjadi over fishing; (2) pemberdayaan masyarakat berbasis budidaya pada wilayah yang sumberdaya lahanya terbatas; (3) pemberdayaan masyarakat pada wilayah yang terjadi degradasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan; (4) pemberdayaan masyarakat pada kawasan konservasi dan pariwisata bahari; (5) pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis perikanan tangkap pada wilayah yang sumberdayanya masih melimpah; dan (6) pemberdayaan masyarakat berbasis budidaya pada wilayah yang sumberdayanya masih tinggi. Hasil analisis pada level komponen SWOT, menunjukkan bahwa komponen weaknesses menempati urutan teratas dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir, yang kemudian diikuti oleh beberapa level komponen SWOT yang lain, yaitu threats, strenght, dan opportunities. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa program pemberdayaan masyarakat pesisir mempunyai kelemahan dan tantangan yang besar jika dibandingkan dengan peluang dan kekuatannya. Faktor-faktor kelemahan (weaknesses) dalam pemberdayaan masyarakat pesisir jumlahnya cukup banyak, namun kelemahan yang paling utama adalah kualitas sumberdaya masyarakat pesisir yang rendah. Sedangkan faktor ancaman utama dalam pemberdayaan masyarakat pesisir adalah adanya penetapan prioritas pembangunan sektor perikanan, yang seringkali, lebih rendah apabila dibandingkan dengan sektor lainnya. Bagaimanapun akhir-akhir ini pemerintah terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir telah menunjukkan perhatian yang cukup meningkat dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Sedangkan faktor kekuatan pemberdayaan masyarakat pesisir adalah masih banyaknya masyarakat pesisir, yaitu nelayan, pembudidaya, pengolah dan pedagang ikan, yang perlu diberdayakan baik dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Sementara itu, faktor yang paling rendah adalah faktor peluang dalam kaitannya dengan pemberdayaan. Meskipun demikian, perhatian pemerintah yang cukup tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir ini merupakan peluang yang paling utama. Dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir masih sangat bergantung kepada dukungan pemerintah, walaupun peluang pendanaan dari pihak lain masih banyak, misalnya dana dari Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Badan Usaha Milik Negara 5

(PUKK BUMN) dan dari swasta.. Oleh karena itu, pihak pemerintah harus sudah mempersiapkan dari awal, untuk dapat bekerjasama dengan BUMN dan swasta, agar proyek pemberdayaan ini tidak berhenti setelah pemberdayaan dari pemerintah selesai. Konsep pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dilakukan melalui pendekatan wilayah. Konsep ini dapat dikatakan merupakan konsep kombinasi dari beberapa program dalam suatu wilayah dan setiap program yang dilakukan dapat saling terkait antara satu program dengan program yang lain. Hal ini dikarenakan, pada suatu wilayah, dapat saja mempunyai beberapa permasalahan dan setiap permasalahan dapat diselesaikan secara terpadu dan terintegrasi. Program pemberdayaan masyarakat pesisir, kegiatan utamanya adalah penyaluran dana secara bergulir kepada pemerintah daerah (Gubernur/Bupati), yang kemudian menyalurkannya kepada Kelompok Sasaran melalui lembaga keuangan (BANK). Selain itu, juga dilakukan pembinaan dan pengawasan langsung kepada kelompok sasaran melalui penyediaan bantuan teknis/tenaga teknis. Dalam pelaksanaannya, bank berfungsi sebagai tempat mendistribusikan dana. Fungsi bank dibagi dalam 2 (dua) tahap, yaitu (1) bank berfungsi sebagai chanelling agent, dan (2) bank berfungsi sebagai executing agent. Tahap pertama: dimana bank berfungsi sebagai chaneling agent. Pada tahapan ini BAPPENAS sebagai badan perencana membuat konsep perencanaan, kebijakan dan program-program pemberdayaan masyarakat pesisir. Konsep perencanaan, kebijakan, dan program tersebut, kemudian, dijadikan pedoman dan dijabarkan oleh masing-masing instansi terkait ke dalam kegiatan operasional/ teknis. Sementara itu, Departemen Keuangan akan mendukung dari segi pendanaannya. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan masyarakat pesisir ini, menjadi tanggung jawab departemen pelaksana kegiatan dan bekerjasama dengan pihak swasta dan depertemen atau intansi yang terkait. Dalam realisasi pelaksanaan program ini, departemen pelaksana kegiatan berjasama dengan PUKK BUMN untuk meneruskan dana ke Propinsi/Daerah melalui Gubenur/Bupati. Namun, koordinasi penyaluran dana tersebut tetap menjadi tanggung jawab PUKK BUMN. Selanjutnya, Gubernur atau Bupati sebagai pengelola dana pinjaman/kredit (chanelling agent) kepada kelompok sasaran memberikan dana tersebut ke BANK dan menginstruksikan kepada kantor dinas sektor pelaksana kegiatan propinsi/daerah dan dinas-dinas lain yang terkait. Dalam penyaluran dana/kredit, kantor dinas dan dinas-dinas terkait tersebut bekerja sama dengan pihak BANK dalam menentukan siapa dan berapa jumlah kredit yang layak dipinjamkan kepada masing-masing kelompok sasaran. Jumlah yang diberikan harus betul-betul sesuai dengan kebutuhan dan dirinci di dalam RDKK yang diusulkan oleh petani/nelayan melalui UPT atau UPL sebagai pembina di lapangan. Sebagai pemberi dana, pihak departeman atau instansi lain dan pihak swasta bekerjasama dengan departemen pelaksana kegiatan, melakukan koordinasi langsung kepada kelompok sasaran melalui pelaksana teknis lapangan. Di pihak lain, PUKK BUMN bekerjasama dengan departemen pelaksana kegiatan berkoordinasi dengan Gubernur/Bupati melakukan pemantauan kepada kelompok sasaran melalui dinas sektor pelaksana kegiatan dan dinas-dinas lain di daerah. Skema penyaluran dana/kredit pemberdayaan dimana BANK berfunsi sebagai chanelling agent dapat dilihat pada Gambar 2. 6

BAPPENAS Departemen Keuangan Departemen atau Instansi Yang Terkait Departemen Pelaksana Kegiatan Swasta Ditjen pelaksana kegiatan dan ditjen terkait PUKK BUMN Gubernur/ Bupati BANK Dinas sektor pelaksana kegiatan Dinas-dinas lain yang terkait Keterangan : Kelompok Sasaran PUKK = Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi 1 5 % dari keuntungan BUMN Jalur Instruksi Jalur Koordinasi Jalur Kerjasama Gambar 2. Skema Struktur Organisasi Pengelolaan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dinama BANK Sebagai Chanelling. Dana/kredit disalurkan kepada kelompok sasaran (petani ikan/nelayan) dengan bunga pinjaman sebesar 10 persen per tahun. Rincian bunga pinjaman sebesar 10 persen tersebut antara lain digunakan untuk fee kepada bank sebesar 2 persen, fee pembinaan dan pendampingan oleh dinas sektor pelaksana kegiatan Kabupaten/Kota sebesar 2 persen, fee untuk kegiatan sosial sebesar 1 persen, dan sebesar 5 persen untuk pembentukan modal (capital). Tahapan kedua, dimana pihak perbankan bukan lagi berfungsi sebagai chanelling agent tetapi setelah 5 (lima) tahun dana tersebut digulirkan dalam satu kelompok. Berdasarkan model ini, pihak BANK berfungsi sebagai executing 7

agent, artinya bahwa setiap kelompok sasaran yang telah mendapatkan dana bergulir sebelumnya, harus menggunakan agunan pada saat melalukan pinjaman kedit di BANK untuk pengembangan usahanya. Alternatif pembiayaan lainnya adalah dana departemen pelaksana kegiatan yang disalurkan ke daerah melalui dinas sektor pelaksana kegiatan Kabupaten/Kota dijadikan modal untuk mendirikan BPR/BPRS/BMT. Dana pemberdayaan yang dijadikan modal untuk pendirian BPR/BPRS/BMT ini tentunya harus mendapat persetujuan Departemen Keuangan dan Bappenas. Dengan dijadikannya dana pemberdayaan masyarakat pesisir sebagai modal, maka akan terdapat banyak BPR yang bergerak dalam sektor unggulan dalam hal ini bidang kelautan dan perikanan yang memberikan pinjaman tanpa agunan. Dengan sistem perbankan ini, diharapkan masyarakat tidak lagi melihat program pemberdayaan sebagai proyek amal. Secara skematis model ini disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan kajian terhadap data hasil survey lapangan maupun data sekunder, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Permasalahan umum yang dijumpai dalam upaya pemberdayaan masyarakat pesisir adalah kurangnya modal usaha; rendahnya kualitas sumberdaya manusia; kurangnya sarana dan prasarana; kerusakan fisik habitat; kemiskinan penduduk pesisir; kurangnya pemahaman terhadap nilai sumberdaya; dan masalah kelembagaan. Masalah lain dalam pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir adalah kurangnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir, sehingga prorgam-program di wilayah pesisir tidak dapat berjalan secara optimal. 2. Berdasarkan hasil analisis A Wot diperoleh bahwa komponen weaknesses menempati urutan teratas dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir, kemudian diikuti berturut-turut oleh komponen threats, strenght dan opportunities. Hal tersebut menunjukkan bahwa program pemberdayaan masyarakat pesisir mempunyai kelemahan dan tantangan yang besar jika dibandingkan dengan kekuatan dan peluangnya. 8

Menteri Departemen pelaksana kegiatan Ditjen pelaksana kegiatan dan ditjen terkait Gubernur/ Bupati BPR/BPRS/ BMT Dinas sektor pelaksana kegiatan Dinas-dinas lain yang terkait Keterangan : Jalur bantuan teknis Jalur Instruksi Kelompok Sasaran Jalur Pemegang Saham Jalur Kerjasama Gambar 3. Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dimana Dana Pemberdayaan Digunakan sebagai Modal Pembentukan BPR/BMT. 3. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir mencakup faktor-faktor kekuatan dan kelemahan. Faktor-faktor kekuatan yang paling utama adalah banyaknya jumlah nelayan dan pembudidaya yang diberdayakan; potensi kelautan dan perikanan, khususnya di Indonesia Bagian Timur masih tinggi; potensi lahan budidaya tambak dan laut di luar P. Jawa masih luas; dan banyaknya kearifan lokal yang mendukung pemberdayaan. Sedangkan faktor-faktor kelemahan yang paling utama adalah kualitas SDM masyarakat pesisir masih sangat rendah; sarana dan prasarana perikanan dan kelautan masih rendah; degradasi sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut; kurangnya modal dalam usaha perikanan; dan kapasistas kelembagaan masyarakat pesisir masih rendah. 4. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi adalah faktor peluang dan ancaman. Faktor-faktor peluang mencakup adanya perhatian dari pemerintah cukup tinggi; peluang pendanaan pemberdayaan masih banyak; dan permintaan produk perikanan dalam dan luar masih tinggi. Sedangkan faktorfaktor ancaman adalah prioritas pembangunan sektor perikanan lebih rendah 9

dari sektor lain; adanya pencemaran limbah industri, pertanian dan rumah tangga; tingginya pencurian ikan; dan adanya tekanan kelembagaan nelayan tradisonal seperti juragan/ tengkulak. 5. Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, maka kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir sesuai dengan peringkatnya/prioritasnya adalah sebagai berikut: (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir; (b) peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan (3) konservasi dan perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP). 6. Prioritas program pemberdayaan masyarakat pesisir sesuai dengan urutannya adalah sebagai berikut: (1) pemberdayaan masyarakat berbasis perikanan tangkap pada wilayah yang sudah terjadi over fishing; (2) pemberdayaan masyarakat berbasis budidaya pada wilayah yang sumberdaya yang lahannya terbatas; (3) pemberdayaan masyarakat pada wilayah yang terjadi degradasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan; (4) pemberdayaan masyarakat pada kawasan konservasi dan pariwisata bahari; (5) pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis perikanan tangkap pada wilayah yang sumberdayanya masih melimpah; dan (6) pemberdayaan masyarakat berbasis budidaya pada wilayah yang sumberdayanya masih tinggi. Rekomendasi yang berkaitan dengan kajian kebijakan kelautan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir adalah sebagai berikut: 1. Seyogyanya pengelolaan wilayah pesisir dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan, dengan melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan sampai evaluasi dan pengawasan dari setiap program pemberdayaan yang dilakukan, dan melibatkan seluruh instansi yang terkait, baik di pusat maupun di daerah. 2. Pemberdayaan masyarakat pesisir, seyogyanya dilakukan secara terpadu dalam suatu lokasi, baik antara masyarakat dengan pemerintah melalui pendekatan pengelolaan yang berbasis wilayah. Program pemberdayaan tersebut seharusnya disesuaikan dengan permasalahan dan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam di wilayah tersebut sehingga permasalahan dalam dalam suatu wilayah dapat diatasi. 3. Penyaluran dana program pemberdayaan masyarakat seyogyanya dilakukan melalui sistem perbankan, sehingga masyarakat mempunyai tanggungjawab untuk mengembalikan dana yang dipinjamnya, dan program ini tidak lagi dianggap sebagai proyek amal. Pelaksanaan program pemberdayaan hendaknya dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama Bank berfungsi sebagai chanelling agent, dimana Bank sebagai pengelola dana pinjaman/ kredit kepada kelompok sasaran. Tahapan ini dilakukan selama 5 tahun. Tahap kedua Bank berfungsi sebagai executing agent, dimana kelompok sasaran yang telah mendapatkan dana bergulir sebelumnya, harus menggunakan agunan pada saat melalukan pinjaman kedit di Bank untuk pengembangan usahanya. 4. Dana pemberdayaan yang diberikan oleh pemerintah pusat dapat juga dijadikan sebagai modal oleh pemerintah daerah untuk mendirikan BPR/ BPRS/BMT dengan syarat setelah mendapatkan izin dari instansi yang 10

berwenang. Sehingga dana pemberdayaan tersebut dikelola langsung oleh Bank yang memang khusus dibentuk untuk menangani pemberdayaan dan dimiliki oleh pemerintah/pemda. Dengan adanya bank khusus ini, maka nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang ikan tidak memerlukan agunan untuk meminta pinjamannya. Asalkan bahwa peminjam merupakan orang yang dapat dipercaya dan memperoleh jaminan baik dari kelompok maupun dari instansi yang berwenang. 5. Program pemberdayaan seyogyanya dilakukan berdasarkan pendekatan wilayah dan hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja dimana potensi sumberdaya alamnya masih banyak, jumlah masayakatnya yang miskin masih banyak dan dilakukan uji coba selama 2 3 tahun, kemudian setelah berhasil baru program tersebut disosialisakan pada wilayah-wilayah pesisir lainnya. 6. Agar pemberdayaan di wilayah pesisir tetap berkelanjutan, maka pemerintah hendaknya bekerjasama dengan swasta atau BUMN dari sejak mulai dilaksanakan. Kemitraan tersebut mulai dari aspek pendanaan, bantuan teknis, manajemen, dalam bidang penyediaan input, pemasaran produk perikanan, dan pengolahan produk perikanan. Sehingga proyek pemberdayaan ini tidak berhenti setelah pemberdayaan dari pemerintah selesai. 7. Dalam pemberdayaan masyarakat perlu dikembangkan potensi kearifan lokal yang cenderung sinergis dalam mengatur interaksi para pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan keberadaannya dipayungi oleh sistem hukum setempat, dimana sistem hukum yang lebih tinggi atau sistem perundangan perlu memberikan tempat yang lebih leluasa kepada sistem hukum di daerah, tanpa mengurangi makna terpeliharanya pengembangan integrasi nasional. Selain itu juga perlu dikembangkan negosiasi-negosiasi kepentingan antar pihak yang terlibat yang dijamin oleh kepastian sistem hukum yang berlaku. 8. Prasyarat efektifitas pemberdayaan masyarakat menuntut kepastian substansi sistem hukum yang berlaku. Selain itu juga perlunya kegiatan fasilitasi melalui suatu upaya pendampingan secara bertahap, sesuai dengan tingkat kesiapan atau kematangan masyarakat setempat. Dalam hal ini, pendampingan lebih berorientasi kepada pengembangan keswadayaan dan kemandirian berbasis pada potensi, permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Metoda yang relatif sesuai dalam hal ini adalah pendekatan yang bersifat partisipati. 9. Pola pemberdayaan masyarakat seyogyanya diserahkan kepada kewenangan daerah, namun daerah juga harus menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan, yang lebih bersifat partisipatif, desentralistik terhadap kemampuan komunitas dan berorientasi pada hasil. Kewenangan Pusat lebih pada supervisi dan perencanaan serta kebijakan makro dan pengembangan prinsip-prinsip pemberdayaan baik secara teknis maupun non teknis yang dapat dijadikan sebagai rambu-rambu yang jelas bagi daerah didalam pemberdayaan masyarakat. Sedangkan daerah perlu mendapat kewenangan serta sepenuhnya bertanggungjawab atas kewenangan itu dengan sistem hukum dengan penegakan sanksi yang jelas. 11

10. Persyaratan administratif yang kaku dan lebih bersifat kepentingan sentralistis dan birokratis, ternyata tidak operasional dalam implementasinya di daerah, sehingga perlu dirubah dengan lebih disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pemberdayaan masyarakat. 12