UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1956 TENTANG MENGADAKAN SUATU TARIP MINIMUM DAN MAKSIMUM DALAM TARIP BEA-MASUK *)

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1956 TENTANG MENGADAKAN SUATU TARIP MINIMUM DAN MAKSIMUM DALAM TARIP BEA-MASUK

MENGADAKAN SUATU TARIP MINIMUM DAN MAKSIMUM DALAM TARIP BEA-MASUK *) TARIP BEA-MASUK. TARIP MINIMUM DAN MAKSIMUM.

BEA METERAI. PAJAK PENDAPATAN PAJAK PERSEROAN. MODAL PERSEROAN/PERSEKUTUAN.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : pasal 89, 97 dan 117 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

b. Pasal-pasal 38 ayat 3 dan 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

Tentang: PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA NEGARA DENGAN DAERAH-DAERAH, YANG BERHAK MENGURUS RUMAH- TANGGANYA SENDIRI *)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : pasal 98 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. MEMUTUSKAN :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1959 TENTANG PEMBATALAN HAK-HAK PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1959 TENTANG PEMBATALAN HAK-HAK PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ORDONANSI PAJAK KEKAYAAN 1932 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1957 TENTANG PEMASUKAN ANGGARAN BELANJA NEGARA *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1957 TENTANG PEMBEBASAN DARI BEA MASUK ATAS DASAR HUBUNGAN INTERNASIONAL

UANG LOGAM LARANGAN MENGUMPULKAN PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 1958 TENTANG PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Indeks: PERBURUHAN INTERNASIONAL. KONPENSI NO. 98.

BEA MASUK. PENGUBAHAN. PENETAPAN MENJADI UNDANG- UNDANG.

GUBERNUR MILITER IBU KOTA. PENCABUTAN KEMBALI. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

MATA UANG. INDISCE MUNTWET PENGHENTIAN. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1954 TENTANG PENETAPAN TARIP PAJAK PERSEROAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Pasal 97 ayat 1 jo. Pasal 89 dan Pasal 109 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1951 TENTANG NASIONALISASI DE JAVASCHE BANK N.V. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG NASIONALISASI DE JAVASCHE BANK N.V.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1956 TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM PROPINSI IRIAN BARAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ORDONANSI PAJAK PERSEROAN 1925 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1951 (17/1951) TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ORDONANSI PAJAK KEKAYAAN TAHUN 1932 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1954 TENTANG PENETAPAN TARIP PAJAK PERSEROAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1953 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1957 TENTANG PERATURAN UMUM RETRIBUSI DAERAH. Presiden Republik Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA (UUDRT) NOMOR 13 TAHUN 1951 (13/1951) TENTANG BURSA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ATURAN BEA MATERAI 1921 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1951 TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SERA DAN VAKSIN. LEMBAGA PASTEUR DI BANDUNG. PENETAPAN MENJADI UNDANG-UNDANG. Presiden Republik Indonesia,

PENETAPAN BAGIAN IV (KEMENTERIAN KEUANGAN) DARI ANGGARAN REPUBLIK INDONESIA UNTUK TAHUN DINAS 1955 *) ANGGARAN (BAGIAN IV) KEMENTERIAN KEUANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1955 TENTANG CARA PENGGUNAAN UANG OPSENTEN ATAS BEA-KELUAR ATAS KARET RAKYAT

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 24 TAHUN 1964 (24/1964) Tanggal: 25 NOPEMBER 1964 (JAKARTA)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1957 TENTANG PERIZINAN PELAYARAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PAJAK PEREDARAN PEMBATASAN. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM KOTA-KECIL DALAM LINGKUNGAN DAERAH PROPINSI SUMATERA TENGAH *) SUMATERA TENGAH. OTONOM KOTA-KECIL PEMBENTUKAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA

Tentang: PEROBAHAN DAN TAMBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NO. 6 TAHUN 1969 TENTANG PEMBEBANAN ATAS IMPOR

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1958 TENTANG PERSETUJUAN KONPENSI HAK-HAK POLITIK KAUM WANITA *) Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 1959 TENTANG PENGUBAHAN DAN TAMBAHAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENJUALAN 1951

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1956 TENTANG PERATURAN-PERATURAN DAN TINDAKAN-TINDAKAN MENGENAI TANAH-TANAH PERKEBUNAN KONSESI

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DI ATASNYA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA *)

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1955 TENTANG MENGADAKAN OPSENTEN ATAS CUKAI BENSIN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERJANJIAN PERDAMAIAN DAN PERSETUJUAN PAMPASAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN JEPANG *) REPUBLIK INDONESIA. JEPANG. PERDAMAIAN DAN PAMPASAN.

PRINSIP WTO IKANINGTYAS

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN TENTANG PENGUBAHAN DAN TAMBAHAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENJUALAN 1951

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ORDONANSI PAJAK PERSEROAN 1925 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1952 TENTANG PENETAPAN "UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PINJAMAN DARURAT" SEBAGAI UNDANG- UNDANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENETAPAN BAGIAN IV (KEMENTERIAN KEUANGAN) DARI ANGGARAN REPUBLIK INDONESIA UNTUK TAHUN DINAS 1954 *) ANGGARAN (BAGIAN IV). KEMENTERIAN KEUANGAN.

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1951 TENTANG MENAIKKAN JUMLAH MAKSIMUM PORTO DAN BEA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1963 TENTANG PEMASUKAN DAERAH TINGKAT II KEPULAUAN RIAU KE DALAM DAERAH PABEAN INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1964 TENTANG. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA (Lembaran Negara No. 93 Tahun 1964)

Mengingat: pasal 97, 131 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1957 TENTANG PEMASUKAN ANGGARAN BELANJA NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1954 TENTANG PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1953 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1970 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN ORDONANSI PAJAK PENDAPATAN 1944 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1956 TENTANG MENGADAKAN SUATU TARIP MINIMUM DAN MAKSIMUM DALAM TARIP BEA-MASUK *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dipandang perlu akan adanya peraturan undang-undang yang dapat memberikan kemungkinan menggunakan pula Tarip Bea-Masuk untuk keperluan politik perdagangan Luar Negeri. Mengingat: Pasal 89 dan pasal 117 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Dengan Persetujuan: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG MENGADAKAN TARIP MINIMUM DAN MAKSIMUM DALAM TARIP BEA- MASUK Pasal 1 (1) Pada Peraturan Umum No. 1 hingga dengan No. 6, yang mendahului Tarip Bea-Masuk yang dimaksud dalam pasal 1 "Indische Tariefwet", yang ditetapkan dengan Undang-undang tertanggal 29 Desember 1933 (Indische Staatsblad 1934 No. 1). sebagaimana kemudian telah diubah, terakhir dengan Undangundang No. 12 tahun 1952 (Lembaran-Negara tahun 1952 No. 57) maka bersamaan dengan menggantinya menjadi No. 2 hingga dengan No. 7 telah ditambah di bawah No. 1 suatu peraturan baru, yang berbunyi sebagai berikut: 1. Tarip Bea-Masuk terdiri dari Tarip Minimum dan Tarip Maksimum. Bea-Masuk yang termuat dalam Tarip Bea-masuk adalah menurut Tarip Minimum, sedangkan menurut Tarip Maksimum besarnya bea itu digandakan, dengan ketentuan bahwa barang-barang yang dalam Tarip itu dibebaskan dari bea-masuk, dikenakan bea menurut Tarip Maksimum sebesar dua belas perseratus dari harga. Dengan keputusan Presiden Tarip Maksimum dapat dinyatakan berlaku bagi barang-barang yang berasal atau didatangkan dari Negeri-negeri: a. yang memperlakukan Indonesia tidak sepadan dengan negeri-negeri lain mengenai urusan perdagangan atau pelajaran atau memperlakukan Indonesia secara yang dianggap bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi Indonesia, 1 / 5

b. yang tidak telah mengadakan perjanjian-tarip yang mengikat dengan Indonesia. 2. Menteri Keuangan akan menetapkan lebih lanjut peraturan-peraturan mengenai penyerahan bukti darimana asal atau didatangkannya barang-barang yang akan dimasukkan yang telah dinyatakan berlaku Tarip Maksimum. (2) Dalam Peraturan Umum di bawah nomor 7 kata-kata "Gouverneur-Generaal" diganti dengan "Menteri Keuangan". Pasal 2 "Indische Retorsiewet" tertanggal 26 Maret 1936 (Indisch Staatsblad No. 226) dicabut kembali. Pasal 3 Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 26 Desember 1956 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEKARNO Diundangkan Pada Tanggal 31 Desember MENTERI KEHAKIMAN, MULJATNO MENTERI KEUANGAN, JUSUF WIBISONO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1956 NOMOR 70 2 / 5

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1956 TENTANG MENGADAKAN SUATU TARIP MINIMUM DAN MAKSIMUM DALAM TARIP BEA-MASUK *) UMUM Tarip-Bea-Masuk dewasa ini, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1934, adalah apa yang disebut "tarip tunggal" (enkelvoudig tarief) yaitu bahwa di dalamnya hanya terdapat satu lajur tarip saja dan berdasarkan itu barangbarang dari negeri manapun asalnya telah dibebani pajak pada pemasukannya. Tarip ini pada hakekatnya hanya bersifat fiskal dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan bagi Kas Negara. Untuk keperluan politikperdagangan, tarip ini praktis tidak berarti. Hal sedemikian itu adalah akibat dari kenyataan, bahwa sebelumnya penyerahan kedaulatan, negeri Belandalah yang menentukan politik-perdagangan dan untuk daerah jajahannya di sini dijalankan politik "pintu terbuka". Hal ini sebenarnya sudah nampak pada zaman dahulu, oleh karena pada tahun 1872 telah ditentukan dalam Indische Tariefwet, sebagai dasar dari Tarip Bea-Masuk, dalam pasal 8 ayat 3, bahwa azas dari undang-undang adalah untuk mengadakan pemungutan bea-masuk dan bea-keluar dengan tidak memberikan kemungkinan untuk mengadakan diferensiasi dalam pelaksanaannya. Azas ini pada umumnya agaknya benar dan pada masa perdagangan bebas yang berlaku dimana-mana dapat dijalankan dengan tiada mengadakan suatu pembatasan, akan tetapi dewasa ini dimana ada tanda untuk menjalankan politik-perdagangan yang aktip, maka harus diberi kemungkinan untuk dapat menyimpang dari azas tersebut. Keadaan, teristimewa antara kedua perang dunia dan sesudah itu, telah berubah sedemikian rupa, sehingga turut-campur secara aktip dalam kehidupan ekonomi adalah perlu sekali, sebagaimana terlihat juga dengan adanya politik-perdagangan dan peraturan- deviezen di seluruh dunia ini. Perdagangan luar-negeri dihalanghalangi oleh berbagai-bagai peraturan. Tarip-tarip telah disesuaikan dengan politik ini. Diciptakannya "tarip berganda" (yaitu tarip yang terdiri dari beberapa lajur tarip). tarip yang tinggi dapat dinyatakan berlaku jika ada perlakuan yang kurang baik dari pihak ketiga dan hendak mengadakan tindakan "repressaille"; tarip yang rendah dapat digunakan sedemikian rupa, jika hendak mencapai suatu kedudukan yang baik dalam perundingan-perundingan. Dalam banyak perjanjian-perjanjian perdagangan yang bilateral dicantumkan "most favoured-nation clause", sehingga secara timbal-balik dinyatakan perlakuan yang menguntungkan, teristimewa mengenai tarip-tarip dengan tujuan untuk dapat dicapainya kepastian dan stabilitet dalam hubungan antara kedua belah pihak dan pula untuk menghindarkan ketidaksamaan dalam perlakuan. Sesudah perang dunia kedua ini secara besar-besaran diadakan usaha-usaha, agar dengan dasar multilateral, dapat disingkirkan segala rintangan dalam perhubungan perdagangan dan pembayaran internasional. Dalam tahun 1947 telah didirikan antara lain G.A.T.T. (General Agreement On Tariffs and Trade), dalam perjanjian mana Indonesia juga ikut serta. Sebagai unsur yang utama telah dicantumkan dalam G.A.T.T. azas "most favoured nation treatment" antara pihak-pihak yang menggabungkan diri dalam organisasi ini. Jika melihat keadaan sekarang ini, maka dari susunan tarip sungguh-sungguh tidak dapat dikatakan tentang adanya "most fafoured treatment" dari pihak Indonesia oleh karena tarip tunggal" itu dan azas non-diskriminasi itu justru mengakibatkan bahwa keuntungankeuntungan yang diberikan kepada suatu negara secara otomatis berlaku pula untuk semua negara lainnya. Berhubung dengan hal-hal yang diuraikan di atas tadi, maka dipandang perlu untuk melepaskan Tarip Bea- Masuk dari sifat yang disebut "tarip berganda". Hal ini dapat dilakukan secara sederhana, sebagai telah diatur dalam rancangan ini, dengan jalan menyatakan Tarip-tarip yang berlaku, sepanjang barang-barang tidak dibebaskan dari bea- masuk pada pemasukannya dan terutama, berdasarkan pengenaan- pengenaan, termasuk opsenten, sebanyak 9%, 18% dan 30%, sebagai Tarip Minimum dan di samping itu mengadakan Tarip Maksimum sebanyak 2 kalinya, dengan ketentuan bahwa barang-barang yang dalam Tarip dibebaskan dari beamasuk, dikenakan bea menurut Tarip Maksimum sebesar 12% dari harga. Tarip Minimum tetap berlaku sebagai tarip umum dan Tarip Maksimum hanya akan dinyatakan berlaku dengan Keputusan Presiden dalam hal-hal yang akan dijelaskan lebih lanjut jika keadaan ekonomi memaksakannya. Dengan demikian azas umum nondiskriminasi tetap dipertahankan. Tarip berganda yang diadakan secara demikian ini tidak saja berarti, bahwa 3 / 5

pada perundingan-perundingan tarip yang mungkin diadakan, akan dapat dicapai kedudukan yang lebih kuat, akan tetapi juga untuk bukan anggota G.A.T.T., bahwa mereka tidak secara otomatis mendapatkan segala konsesi yang diberikan dalam hubungan G.A.T.T. Berhubung dengan itu maka "most favoured nation clause" akan dapat memberikan kemungkinan lebih banyak, baik pada perundingan-perundingan multilateral sebagai sekarang ini pada G. G.A.T.T., maupun ada perundingan-perundingan bilateral. Selain dari pada itu bukanlah pula suatu hal yang mustahil sama sekali untuk memperhatikan pula kemungkinan-kemungkinan akan terakhirnya G.A.T.T. dikemudian hari, dalam hal mana tarip berganda masih dapat memberi kemungkinan untuk mengambil kedudukan yang lebih kuat dari pada jika tidak adanya tarip itu. Dalam hal demikian, maka banyak negara-negara antara lain akan menaikkan pula sebanyak mungkin bea-masuknya dan kembali lagi kepada tindakan-tindakan dahulu yang bersifat "protectionistis" dan preferentiel, sebagai perlawanan mana tarip berganda yang dimaksud dalam rancangan ini dapat digunakan sebagai obyek perundingan dan sebagai pertahanan. Dengan mengadakan Tarip Maksimum ini dibuka pula kemungkinan untuk mengambil tindakantindakan pembalasan yang sesuai terhadap negara-negara pihak ketiga yang memperlakukan Indonesia kurang baik mengenai perdagangan atau pelayaran dari pada terhadap negara-negara lain ataupun dengan suatu cara yang dapat dianggap bertentangan dengan kepentingan ekonomi Indonesia. Pengetahuan, bahwa Indonesia mempunyai suatu alat yang effectief untuk menjalankan tindakan pembalasan dalam waktu singkat dengan jalan melakukan tarip maksimum, akan menyebabkan akibat preventip terhadap negara-negara ketiga sedemikian itu. Memang benar, bahwa ada "Indische Retorsiewet" tertanggal 26 Maret 1936 (Indisch Staatsblad No.226) yang memberikan kemungkinan untuk mengambil tindakan-tindakan pembalasan. akan tetapi berhubung sifatnya yang sulit itu, kemungkinan diperlakukannya secara praktis adalah jauh dari memuaskan, sehingga belum pernah dilakukan. Untuk tujuan yang dimaksud sekarang ini Undang-undang tersebut tidak dapat digunakan lagi,oleh karena hanya memuat azas-azas saja dan selanjutnya tidak ada tindakan-tindakan yang konkrit, sehingga Undang-undang itu sebagai alat perlawanan atau sebagai ancaman pada perundingan-perundingan sedikit atau tidak sama sekali mempunyai harga. Menurut peraturan itu apabila perhubungan ekonomi dengan suatu negara telah menjadi buruk, maka barulah dapat diadakan tindakan-tindakan. PASAL DEMI PASAL ad (1) ad (2) Pasal 1 Tarip Bea Masuk didahului dengan beberapa peraturan yang bersifat umum. Sebagai peraturan yang pertama, maka sekarang ini dapat dicantumkan bahwa tarip ini dapat dianggap sebagai Tarip Minimum. sedang selanjutnya ditentukan, bahwa akan ada juga Tarip Maksimum, berapa tingginya Tarip itu dan bilamana dapat dinyatakan berlaku. Oleh karena pernyataan berlakunya Tarip Maksimum itu dilakukan dengan Keputusan Presiden, maka cukuplah diberikan jaminan juga keluar, bahwa pemakaian peraturan ini tidak akan dipermudah saja. Jika pada suatu ketika dianggap perlu untuk menggunakan Tarip Maksimum itu, maka akan diberikan pula peraturan untuk dapat mengetahui bilamana suatu barang dianggap telah berasal dari negeri yang dikenakan tarip Maksimum (nationality of goods). Penyusunan peraturan-peraturan yang bersifat teknis ini dapat diserahkan kepada Menteri Keuangan. Kesempatan ini digunakan pula untuk menyerahkan kekuasaan, yang tercantum dalam peraturan 7 (lama: 6) dari peraturan umum untuk memberikan pembebasan terhadap keperluan guna melakukan ibadah keagamaan umum dari pembayaran jumlah-jumlah, sepanjang jumlah-jumlah ini tidak melalui bea sebesar 12% dan opsenten yang diperhitungkan untuk itu, dari "Gouverneur Generaal " kepada "Menteri Keuangan". Dengan demikian maka peraturan ini disesuaikan kepada praktek yang sudah ada. Pasal 2 4 / 5

"Indische Retorsiwet" dapat ditarik kembali. Pasal ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Pasal 3 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1121 CATATAN: *)Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-92 pada hari Selasa tanggal 27 Nopember 1956, P.34/1956 5 / 5