ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY

dokumen-dokumen yang mirip
Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB III KETENTUAN RESTITUSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PASAL 48 AYAT 2 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum bukan

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Kejahatan Perdagangan Orang (Trafficing) Sidqi Ferin Diana *

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN Oleh : Yulia Monita 1.

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO. Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) Kode Pos PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI

Transkripsi:

Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596/ILMU HUKUM ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY POLITIK KRIMINAL TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KABUPATEN JEMBER ROSALIND ANGEL FANGGI, S.H., M.H. NIDN 0012128102 DIDANAI DIPA Universitas Jember Tahun Anggaran 2014 Nomor : DIPA-023.04.2.414995/2014 Tanggal 05 Desember 2013, Revisi ke-02 Tanggal 24 Maret 2014 UNIVERSITAS JEMBER MARET 2015 1

POLITIK KRIMINAL TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KABUPATEN JEMBER Peneliti : Rosalind Angel Fanggi, S.H., M.H. 1 Mahasiswa terlibat : - Sumber dana : DIDANAI DIPA Universitas Jember Tahun Anggaran 2014 Nomor : DIPA-023.04.2.414995/2014 Tanggal 05 Desember 2013,Revisi ke-02 Tanggal 24 Maret 2014 Kontak email : rosalind_fanggi@yahoo.com ABSTRAK Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Suatu tindak pidana secara pasti telah mengindikasikan adanya pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana. Dua bagian ini menjadi tidak terpisahkan akibat adanya tindak pidana tetapi pada kenyataannya dalam sebuah proses peradilan di mana dalam kewenangan hakim membuat putusan tak ayal perlindungan atau perhatian terhadap korban seringkali diabaikan. Begitu putusan hakim dibacakan telah usai, usai pula perhatian terhadap korban tindak pidana perdagangan terhadap orang, sungguh suatu ironi. Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik hukum pidana mengejawantah dalam bentuk Penal (hukum pidana) dan nonpenal (tanpa hukum pidana). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu : Bagaimana politik kriminal terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Jember? dan Bagaimana politik kriminal terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Jember? Pada rumusan masalah pertama dan kedua akan digali politik kriminal atau usaha penanggulangan kejahatan yang termaktub dalam setiap putusan pengadilan dari sisi 1 Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember 2

atau kepentingan pelaku dan korban tindak pidana perdagangan orang, apakah putusan pengadilan negari telah sesuai dengan tujuan pemidanaan itu sendiri atau belum. Putusan pengadilan ini pada dasarnya juga sebagai salah satu tolok ukur dalam pembangunan hukum pidana. Penelitian ini secara umum diharapkan dapat mencapai target luaran sebagai berikut : pembuatan laporan akhir tepat waktu, bahan ajar (memperdalam materi) untuk mata kuliah yang peneliti ampu yaitu Tindak Pidana Perdagangan Orang dan melakukan publikasi nasional. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer lebih diutamakan dibandingkan dengan data sekunder. Data primer diperoleh melalui sumber primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan di lapangan. Data sekunder berupa data yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Informan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah informan utama. Informan utama adalah hakim sebagai pihak yang membuat putusan pada tahap aplikatif sistem penegakan hukum (politik kriminal). Pengadilan adalah benteng terakhir dari penegakan hukum dan pengadilan adalah harapan terakhir memperoleh keadilan di dunia ini. Pengadilan diduduki oleh manusia yang disebut hakim. Di tangan merekalah keputusan akhir pengadilan serta di tangan merekalah keadilan itu digarapkan melalui putusannya. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi : Wawancara yang akan dilakukan kepada para hakim (5-10 hakim) sebagai pihak pembuat putusan dan juga kepada para sejumlah akademisi (para guru besar dan dosen sejumlah kurang lebih 5 sampai 8 orang) hukum pidana untuk menggali dan mendapatkan gambaran untuk terkait dengan politik kriminal putusan Pengadilan Negeri Jember terkait tindak pidana perdagangan orang. Selain itu juga dilakukan penggalian teknik kepustakaan. Data selanjutnya dianalisis secara diskriptif dan dianalisis secara yuridis-normatif dan yuridis-sosiologis. Teknik analisis dilakukan dengan metode interpretasi hukum. Kata kunci: perdagangan orang, politik kriminal, putusan pengadilan, pelaku, korban tindak pidana 3

EXECUTIVE SUMMARY POLITIK KRIMINAL TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KABUPATEN JEMBER Peneliti : Rosalind Angel Fanggi, S.H., M.H. 2 Mahasiswa terlibat : - Sumber dana : DIDANAI DIPA Universitas Jember Tahun Anggaran 2014 Nomor : DIPA-023.04.2.414995/2014 Tanggal 05 Desember 2013,Revisi ke-02 Tanggal 24 Maret 2014 Kontak email : rosalind_fanggi@yahoo.com Latar Belakang dan Tujuan Penelitian Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan perdagangan orang tidak lepas dari perkembangan tersebut, dan sehubungan dengan konteks perdagangan orang dimaksud, pada tahun 1995 dalam konverensi PBB mengenai the crime prevention and the treatment of offers yang diselenggarakan di Cairo, telah dibicarakan tindakan-tindakan to combat transnational crime, terrorism and violence against women. Sehubungan dengan itu, dan terkait dengan combat transnational crime, pada tahun 2000 di Palermo Itali diselenggarakan konferensi PBB mengenai Transnational Organized Crime, termasuk di dalamnya adalah mengenai perdagangan orang, khususnya wanita dan anak. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskrisipkan politik kriminal terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Jember dan mendeskripsikan pemikiran politik kriminal terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Jember sebagai rangkaian upaya mewujudkan pembangunan hukum pidana Indonesia. Metodologi Penelitian Yang Digunakan 2 Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember 4

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer lebih diutamakan dibandingkan dengan data sekunder. Data primer diperoleh melalui sumber primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan di lapangan. Data sekunder berupa data yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara diskriptif. Data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum (kepustakaan atau peraturan perundangundangan) dianalisis secara yuridis-normatif dan yuridis-sosiologis. Teknik analisis dilakukan dengan metode interpretasi hukum. Pemaparan Hasil dan Pembahasan Singkat Terhadap Hasil Penelitian Pembangunan dalam bidang hukum khususnya pembangunan hukum pidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktural, yakni pembangunan lembaga-lembaga hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme, tetapi harus juga mencakup pembangunan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil sistem hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana dan yang bersifat sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum 3. Hal ini salah satunya juga dapat terlihat dari putusan pengadilan sebagai produk dari proses pemeriksaan di pengadilan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Jember ternyata tidaklah banyak putusan yang diperoleh terkait tindak pidana perdagangan orang. Selama kurun waktu empat belas tahun antara tahun 2000 2014, peneliti mendapat informasi dari bagian berkas Pengadilan Negeri Jember yang dibantu oleh Bapak Dion, bahwa hanya terdapat dua berkas saja yaitu putusan pengadilan pada tahun 2008 dan tahun 2009. Namun setelah kurang lebih dua bulan dicari petugas hanya menemukan satu berkas putusan saja yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu sampai tingkat kasasi yaitu putusan kasasi tahun 2009 saja. Padahal jika digali informasi dari media sosial, Jember memiliki sejarah yang panjang korban tindak pidana perdagangan orang. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2505K/Pid.Sus/2009, kebijakan kriminal yang ada masih saja hanya berorientasi pada penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku. 3 Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 5

Sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan hukum (putusan pengadilan) maka penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana sangat jamak dipilih, di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan 4. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial (social policy) yang berupa kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy) 5. Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy) salah satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana/kejahatan ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) 6. Indonesia adalah negara sumber utama, tujuan dan transit bagi perdagangan seks dan kerja paksa bagi perempuan, anak-anak, dan pria. Masing-masing dari 33 provinsi di Indonesia merupakan daerah sumber dan tujuan perdagangan manusia. Daerah sumber yang paling signifikan adalah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Banten. Sejumlah besar pekerja migran Indonesia menghadapi kondisi kerja paksa dan terjerat utang di negara-negara Asia dan Timur Tengah yang lebih maju, khususnya Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong. Diperkirakan 4,3 juta pekerja migran legal dan 1,7 juta pekerja illegal asal Indonesia bekerja di luar negeri, termasuk 2,6 juta pekerja diperkirakan di Malaysia dan 1,8 juta di Timur Tengah. Arab Saudi merupakan negara tujuan utama bagi buruh migran legal, 4 Saparinah Sadli, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teor-Teori dan Kebijakan Pidana. Cet II. Penerbit Alumni Bandung. 1998. hal 119 5 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung 2001. hal 73 6 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2003 hal 240 6

diikuti oleh Malaysia 7. Wilayah tujuan perdagangan orang selain untuk diperdagangkan ke luar negeri juga tidak sedikit korban diperdagangkan menjadi pekerja seks komersial di dalam negeri seperti yang diketahui pada Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 338/Pid.B/2009/PN.Jr. Korban Yanti Catur Ayu dan Yanti Tri Ayu yang keduanya masih berumur 13 tahun sehingga masuk kategori anak-anak yang merupakan saudara kembar berasal dari Dusun Payangan Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Awalnya keduanya dijanjikan untuk bekerja sebagai pengantar minuman di depot milik Hj. Sumiati (istri terdakwa H. Rajawali al. Sutrisno) di Bali dengan gaji Rp 500.000,00 perbulan. Ternyata sesampainya di Bali para korban disuruh melayani laki-laki hidung belang yang tiap harinya 5 sampai 7 orang dengan tarif perorang Rp 50.000, 00. Keduanya bekerja di Bali selama 1 tahun 7 bulan tidak pernah digaji sebagaimana dijanjikan oleh terdakwa. Keduanya melarikan diri dan pulang ke rumah orang tuanya di jember lalu melaporkan perbuatan terdakwa ke Polres Jember. Bentuk surat dakwaan penuntut umum berupa dakwaan subsidairitas, yakni primer melanggar Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dan subside melanggar Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penuntut umum menutut dengan pidana penjara selama 8 tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara denda Rp 60.000.000,00 subsider 3 bulan kurungan. Hakim Pengadilan Negeri Jember memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan orang lain mengeksploitasi seorang anak (dakwaan subsider) dan menjatuhkan pidana 2 tahun 10 bulan dan denda sebesar Rp 20.000.000,00 jika denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selam 2 bulan. Atas putusan hakim pengadilan negeri penuntut umum mengajukan banding dengan menyatakan bahwa: 1. Putusan hakim tingkat pertama terlalu ringan dan tidak sesuai dengan rasa keadilan; 7 IKHTISAR Trafficking in Persons Report Indonesia 2012 - United States Department of State, 19 June 2012 7

2. Akibat perbuatan terdakwa para saksi korban telah kehilangan masa depan, menderita penyakit kotor dan dikucilkan lingkungan masyarakat. Setelah mempelajari dengan seksama dan teliti berkas perkara pengadilan tingkat pertama maka hakim pengadilan tinggi menyatakan menerima permintaan banding penuntut umum terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan orang lain mengeksploitasi seorang anak (dakwaan subsider) dan menjatuhkan pidana 10 tahun dan denda sebesar Rp 20.000.000,00 jika denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurunga selama 4 bulan. Atas putusan pengadilan tinggi, terdakwa mengajukan kasasi yang kemudian ditolak oleh hakim tingkat kasasi. Sehingga terdakwa harus menjalani masa pidana penjara selama 10 tahun dikurangi masa tahanan dan denda sebanyak Rp 20.000.000,00 jika denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan. Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas dapat diketahui bahwa putusan pengadilan terkait tindak pidana perdagangan orang hanya memberikan putusan penjatuhan pemidanaan terhadap terdakwa berupa pidana penjara dan pidana denda. Selain putusan pengadilan yang ada di Pengadilan Negeri Jember sebagai bahan perbandingan lain peneliti juga membaca dan membandingkan putusan pengadilan di daerah lain terkait dengan tindak pidana perdagangan orang. Hal ini peneliti lakukan karena minimnya putusan pengadilan negeri jember terkait bahan kajian penelitian. Berdasarkan beberapa putusan pengadilan tersebut ternyata ada kesamaan dalam hal penjatuhan pemidanaan terhadap terdakwa yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda. Jika dikaitkan politik kriminal maka penggunaan sarana penal/hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan masalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Dua masalah sentral dalam kebijakan/politik kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan 8 : 1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana 8 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hal. 160. 8

2. sanksi apa yang seharusnya dipergunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Tindak pidana pedagangan orang adalah bahwa bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini diuraikan dalam penjelasan umum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Nomor 21 Tahun 2007 bahwasanya perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Untuk wilayah Jember saja sebagaimana dikemukakan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jember 9 menangani sebanyak 10 kasus perdagangan orang (human trafficking) di kabupaten setempat selama Januari- Oktober 2011. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang 9 TKI DAN PERDAGANGAN ORANG/SBMI Jember Tangani 10 Kasus Perdagangan Orang _ ANTARA JATIM Portal Berita Daerah Jawa Timur.htm diakses tanggal 21 Juni 2014 9

menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya. Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara. Mengingat dari bentuk tindak pidananya yang trans national crime inilah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi perserikatan bangsa-bangsa menentang Tindak pidana transnasional yang terorganisasi dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Politik kriminal terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Jember dapat dikaji dari vonis majelis hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan orang lain mengeksploitasi seksual seorang anak serta menjatuhkan pidana selama 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan. Berdasarkan penjatuhan pidana ini majelis hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif yaitu pidana penjara dan denda. Dalam putusan pengadilan hampir tidak pernah dijumpai putusan yang terkait dengan perlindungan atau perhatian terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. Padahal dalam UU pemberantasan TPPO telah diatur dalam Pasal 48-51. Jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak korban tindak pidana sangatlah penting mengingat akibat terjadinya tindak pidana dapat menyebabkan seseorang mengalami 10

kerugian dan penderitaan baik secara fisik, psikis maupun kerugian harta benda. Melalui peraturan perundang-undangan jaminan perlindungan atas hak-hak korban perlu mendapatkan kepastian hukum dan keadilan akibat terjadinya tindak pidana. Untuk tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat korban perlu mendapatkan kompensasi dan bagi korban tindak pidana di luar pelanggaran HAM yang berat perlu diberikan restitusi dan bantuan pemulihan terhadap kondisi fisik dan psikis. Mekanisme pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban tindak pidana telah diatur dalam PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 13 Tahun 2006. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang melaksanakan mekanisme pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan terhadap korban. Kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Bantuan adalah layanan yang diberikan kepada Korban dan/atau Saksi oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Pasal 1 PP No. 44 tahun 2008 memberikan definisi: 1. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. 2. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Beberapa pokok penting mekanisme pemberian restitusi, diatur dalam Pasal 21: Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 24: Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dinyatakan lengkap, LPSK segera melakukan pemeriksaan substantif. Pasal 25, ayat (1): 11

Untuk keperluan pemeriksaan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, LPSK dapat memanggil Korban, Keluarga, atau kuasanya, dan pelaku tindak pidana untuk member keterangan; ayat (2) Dalam hal pembayaran Restitusi dilakukan oleh pihak ketiga, pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan kepada LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghadirkan pihak ketiga tersebut. Sementara itu, perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii maupun nonmateri. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat nonmateri dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap korban perdagangan manusia dapat dilakukan melalui hukum, baik hukum administrasi, perdata, maupun pidana. Penetapan tindak pidana perdagangan manusia dan upaya penanggulangan perdagangan manusia dengan hukum, melalui berbagai tahap, sebenarnya terkandung pula upaya perlindungan bagi korban perdagangan manusia, meski masih bersifat abstrak atau tidak langsung. Namun, dapat dikatakan bahwa dewasa ini, pemberian perlindungan korban kejahatan oleh hukum pidana masih belum menampakan pola yang jelas. Perumusan (penetapan) perbuatan perdagangan manusia sebagai tindak pidana (dengan sanksi pidana) dalam peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan secara tidak langsung, terhadap korban kejahatan. Salah satu upaya perlindungan korban dalam kasus perdagangan manusia adalah dalam melalui putusan pengadilan atas peristiwa tersebut. Asumsinya, semakin tinggi jumlah ancaman pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku perdagangan manusia berarti korban telah mendapatkan perlindungan Hukum, karena dengan pengenaan pidana yang berat terhadap pelaku diharapkan tidak akan terjadi peristiwa serupa, dengan kata lain para calon pelaku akan berfikir dua kali kalau akan melakukan perdagangan manusia mengingat ancaman yang berat tersebut. 12

Simpulan Akhir Dari Hasil Penelitian 1. Politik kriminal terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Pengadilan ternyata ada kesamaan dalam hal penjatuhan pemidanaan terhadap terdakwa yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda. Penggunaan sarana penal/hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan masalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan.sekiranya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan social (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk melindungi masyarakat (social defence policy). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. 2. Politik kriminal terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dalam putusan Pengadilan hanya berupa adanya perumusan (penetapan) perbuatan kekerasan terhadap korban sebagai tindak pidana (dengan sanksi pidana) dalam peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan in abstracto, secara tidak langsung, terhadap korban kejahatan (kekerasan). Pemberian pidana kepada pelaku kejahatan (kekerasan) memang belum bisa memberikan rasa keadilan yang sempurna. Lebih-lebih apabila korban menderita kerugian secara fisik maupun secara psikis. Perlindungan juga dapat diberikan dalam bentuk lain, misalnya pelayanan medis, maupun psikologis juga diperlukan terhadap para korban untuk memulihkan kepercayaan diri mereka, mengembalikan semangat hidupnya, juga santunan berupa biaya ganti kerugian sebagai kompensasi sebagai biaya pengobatan bagi korban. Kata kunci: perdagangan orang, politik kriminal, putusan pengadilan, pelaku, korban tindak pidana 13