Nama : ALEXANDER MARWATA

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

STRATEGI KHUSUS PEMULIHAN ASET DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. dalam tesis ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HASIL WAWANCARA. Wawancara dilakukan pada hari kamis tanggal 25 Juli 2013 jam WIB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

LATAR BELAKANG MASALAH

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

Wewenang Penahanan Berujung OTT

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Korupsi Pengadaan alat Simulasi Mengemudi Pasca Intervensi Presiden Oleh : Kombes Iktut Sudiharsa.S.H.,mSi.

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Penguatan Legislasi Terkait Tipikor sebagai Bentuk Dukungan terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi Laode Muhamad Syarif, Ph.D

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Laporan Kasus Korupsi

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155)

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XIV/2016

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. secara biasa, tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa. juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

Transkripsi:

Nama : ALEXANDER MARWATA 1. Pengadilan adalah tempat seseorang mencari keadilan. Pengadilan bukan tempat untuk menjatuhkan hukuman. Meskipun seorang Terdakwa dijatuhi hukuman penjara hal itu dalam rangka untuk mencari keadilan dan menegakkan kebenaran. Demikian juga jika seorang Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, bukan berarti keadilan sudah mati. Memang selama ini Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi jarang sekali membebaskan seorang Terdakwa kasus korupsi. Bahkan Terdakwa perkara korupsi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) seluruhnya dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Sebagai hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat beberapa kali saya bersama anggota majelis hakim lainnya pernah menjatuhkan putusan bebas terhadap Terdakwa perkara korupsi (antara lain perkara Hotasi Nababan, Jaya Martha). Di samping itu saya juga sering membuat pendapat berbeda (disseting opinion) yang membebaskan Terdakwa, termasuk perkara yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dari KPK, misalnya dalam perkara Ratu Atut Chosiyah. Pada hemat saya putusan bebas dalam pengadilan Tipikor bukan sesuatu hal yang diharamkan. Apakah putusan itu menghukum atau membebaskan Terdakwa semua bergantung pada proses pemeriksaan Terdakwa dalam persidangan. Jika faktafakta yang terungkap dalam persidangan ternyata tidak sinkron atau sejalan dengan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum sudah sewajarnya Terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan. Sebaliknya jika fakta-fakta persidangan sejalan dengan surat dakwaan maka Terdakwa layak dijatuhi hukuman. Pengalaman saya selama menjadi hakim ad hoc Tipikor di PN Jakarta Pusat, banyak dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menurut pendapat saya tidak memenuhi kualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Dalam proses pemeriksaan di persidangan Jaksa gagal membuktikan unsur niat, tujuan, maksud, pengetahuan atau keinsyafan (mens rea) dari seorang Terdakwa dalam melakukan tindak pidana korupsi. Bagi saya tindak pidana korupsi dimulai dari perilaku tidak jujur. Ketidakjujuran adalah sikap yang muncul dari dalam diri seseorang. Tidak mungkin seseorang didakwa dan diputuskan bersalah melakukan korupsi jika orang tersebut tidak mempunyai niat, tujuan, maksud atau tidak menyadari perbuatannya adalah korupsi yang merugikan keuangan negara, misalnya. Menurut pendapat saya seseorang tidak dapat dihukum melakukan korupsi karena kelalaian atau ketidakhati-hatian. Contoh seorang bendahara yang lupa atau lalai mengunci brankas sehingga uang yang disimpan hilang diambil orang tidak dapat didakwa melakukan korupsi.

Lain halnya jika bendahara tersebut memang sengaja tidak mengunci brankas karena sebelumnya sudah bekerja sama dengan penjaga kantor, misalnya, sehingga penjaga kantor dengan mudah mengambil uang. Kemudian uang tersebut dibagi berdua dengan bendahara. Jika demikian maka bendahara tersebut dapat dikenai pidana korupsi. Dalam kasus korupsi yang saya tangani, sering terjadi Terdakwa tidak mengetahui atau lalai atau tidak hati-hati. Hal itu menurut saya lebih tepat jika dikenai sanksi administratif. Pada intinya Hakim Pengadilan Tipikor dapat memutus bebas Terdakwa kasus korupsi. Masalahnya kembali pada proses pembuktian di persidangan dan keberanian hakim untuk menilai suatu perkara secara obyektif, bebas dari tekanan pihak manapun, termasuk tekanan publik. 2. Ada tiga institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu KPK, Kepolisian dan Kejaksanaan. Hubungan ketiga lembaga tersebut sebetulnya sudah diatur dalam UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Dalam UU KPK secara tegas dinyatakan KPK mempunyai tugas melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi. Dalam penindakan perkara korupsi, yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan TPK, KPK berwenang melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya yaitu kepolisian dan kejaksaan. KPK juga berwenang melakukan supervisi terhadap penanganan perkara korupsi yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan. Jika menilik bunyi peraturan peraturan perundang-undangan sebenarnya sudah jelas pola sinkronisasi antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Yang menjadi pertanyaan apakah peran koordinasi dan supervisi KPK atau pola sinkronisasi yang diamanatkan UU sudah berjalan? Menurut saya belum optimal dan maksimal. Terbukti beberapa kali terjadi gesekan antara KPK dengan kepolisian dalam penanganan perkara korupsi. Ada persaingan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan perkara korupsi. Tidak terlihat peran koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK. Padahal menurut saya peran sentral KPK ada di koordinasi dan supervisi terhadap penanganan perkara korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan. Tidak harus perkara korupsi yang dilaporkan ke KPK dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK. KPK dapat melimpahkan proses penyelidikan, penyidikan atau penuntutan kepada kepolisian atau kejaksaan tetapi harus dibawah supervisi KPK, sehingga kualitas penanganan perkara menjadi terjamin. Terus terang, selama 4 tahun menjadi hakim Tipikor saya sering miris menangani perkara-perkara terutama yang diajukan oleh penuntut umum dari kejaksaan (bukan dari KPK). Ada perbedaan kualitas dalam penanganan perkara korupsi yang mengganggu rasa keadilan ketika berhadapan dengan seorang Terdakwa yang oleh KPK kemungkinan besar dijadikan hanya dijadikan saksi, tetapi oleh kepolisian atau kejaksaan dijadikan

tersangka dan diajukan ke persidangan. Pola sinkronisasi antara KPK, kepolisian dan Kejaksaan seharusnya menjadikan KPK sebagai quality assurance dalam penanganan perkara korupsi. Harus ada kesamaan/standarisasi dalam menangani perkara korupsi. Jangan sampai perkara yang oleh KPK dinyatakan tidak ada unsur korupsinya, ketika dilimpahkan ke Kepolisian dan Kejaksaan menjadi perkara korupsi. Atau ketika ditangani KPK hanya menjadi saksi, tetapi oleh kepolisian atau kejaksaan menjadi tersangka. Saya yakin ketika KPK menjadi quality assurance dengan melaksanakan peran koordinasi dan supervisi, maka profesionalisme, efektifitas dan efisiensi dalam penanganan perkara korupsi akan terwujud. Yang dibutuhkan adalah membangun kepercayaan (trust building) dan membangun sinergi yang solid di antara ketiga institusi tersebut. Tidak hanya di tataran pimpinan, tetapi saling percaya harus juga mencapai tataran operasional. 3. Ada bebarapa pasal yang menurut saya perlu dipertegas sehingga peran KPK menjadi jelas, yaitu: a. Keberadaan penyelidik, penyidik yang bukan berasal dari Kepolisian atau Kejaksaan. Putusan pra-peradilan yang saling bertentangan, di satu sisi mengakui keberadaan penyidik yang tidak berasal dari kepolisian atau kejaksaan, disisi lain ada putusan yang menyatakan proses penyidikan tidak sah karena dilakukan oleh penyidik yang tidak berasal dari kepolisian dan kejaksaan, mempertegas perlunya revisi yang mengatur masalah penyidik yang diangkat oleh pimpinan KPK yang tidak berasal dari kepolisian atau kejaksaan. Pasal 39 ayat (3) dan pasal 43 ayat (1) harus tegas menyatakan apakah boleh pimpinan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik yang tidak berasal dari kepolisian atau kejaksaan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum terhadap perkara-perkara yang ditangani oleh penyelidik dan penyidik yang tidak berasal dari kepolisian atau kejaksaan. Juga menghindari terjadinya pra peradilan oleh tersangka yang mengakibatkan berlarutnya penanganan perkara korupsi. b. Peran supervisi oleh KPK perlu ditambah dengan kewenangan untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Sebagai quality assurance dalam penanganan perkara korupsi, menurut saya, disamping kewenangan mengambil alih penanganan perkara, KPK harus diberi kewenangan menghentikan penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Hal ini agar terjadi kesamaan atau standarisasi dalam penanganan/ penindakan perkara korupsi. Dengan demikian penanganan perkara korupsi dapat berjalan dengan professional, efektif dan efisien sebagaimana amanat undang-undang. c. Pengaturan unit organisasi perlu ditambahkan dengan unit koordinasi dan supervisi. Sekalipun peran koordinasi dan supervisi KPK sangat penting, namun dari yang saya dengar tidak ada unit

khusus yang menangani masalah koordinasi dan supervisi. Sehingga peran koordinasi dan supervisi KPK tidak menonjol. d. Tidak ada pasal yang mengatur penggantian unsur pimpinan KPK apabila dalam perjalanan terjadi kekosongan satu atau dua pimpinan KPK. Untuk itu perlu ditambahkan pasal yang mengatur kekosongan pimpinan KPK. 4. Bagaimanapun dalam pemberantasan korupsi mencegah terjadinya korupsi jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan penindakan. Banyak perkara korupsi yang ditangani pengadilan Tipikor kerugian negara tidak bisa dipulihkan karena sudah habis atau dialihkan/disembunyikan oleh pelaku korupsi. Butuh sumber daya dan dana yang tidak sedikit untuk memulihkan kerugian negara. Tidak hanya itu, penekanan pada penindakan mendorong aparat penegak hukum mencari-cari kesalahan dalam suatu kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara negara, misalnya dalam pengadaan barang jasa. Akibatnya banyak pejabat pengadaan menjadi tidak berani memproses pengadaan barang/jasa karena takut terkena masalah hukum. Dampaknya anggaran tidak terserap, ekonomi tersendat, dan pertumbuhan ekonomi melambat. Fungsi pencegahan KPK harus lebih ditingkatkan lagi dengan berkoordinasi dengan instansi-instansi pemerintah pengguna anggaran. Ada bebarapa langkah yang dapat dilakukan oleh KPK untuk meningkatkan fungsi pencegahan, misalnya dengan lifestyle check, yaitu suatu metode untuk mendiagnose terjadinya penyimpangan dengan melihat perilaku atau pola konsumsi dari pegawai negeri atau penyelenggara negara. Diharapkan dengan mengawasi atau memonitor perilaku atau pola konsumsi pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat mencegah keinginan atau niat pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan korupsi. Konsepnya adalah buat apa korupsi jika tidak dapat menggunakan atau memanfaatkan uang hasil korupsi. Sanksi yang tegas, tidak harus dengan pemidanaan, terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai menurut saya juga dapat memberi efek jera kepada pelakunya dan menimbulkan efek pencegahan (deterrence) bagi yang akan melakukan pelanggaran. Di sisi lain pemberian penghargaan kepada instansi atau pegawai negeri yang berprestasi juga mendorong instansi atau pegawai berkerja dengan baik. 5. Penegakan hukum harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum. Itulah pentingnya hukum acara. Ketika bukti-bukti diperoleh dengan cara melawan hukum maka bukti itu tidak sah dan tidak dapat dijadikan alat bukti di persidangan. Tidak setiap orang/ lembaga boleh melakukan penyadapan. Ketika penyadapan dilakukan oleh orang atau lembaga yang tidak berwenang, maka penyadapan tidak sah. Ketika penyadapan tidak sah, maka alat bukti berupa rekaman tidak dapat dijadikan barang bukti di persidangan. Perkara korupsi mengenal alat bukti

yang disimpan di media elektronik termasuk bukti rekaman. Namun harus diperoleh dengan caracara yang tidak melanggar hukum. KPK boleh melakukan penyadapan. Dan selama ini dalam proses pembuktian bukti rekaman tersebut diajukan dalam persidangan dan diterima hakim. Hal ini karena rekaman tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.