Penerapan Strategi dan Teknologi PHT untuk Mendukung Syarat Kualitas Produk Pertanian dalam Menghadapi Era Perdagangan Global (Review)

dokumen-dokumen yang mirip
TEKNIK PENGENDALIAN HAMA MELALUI PERATURAN KARANTINA KARANTINA?

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEDOMAN PENGAKUAN AREA BEBAS OPTK TERTENTU DI NEGARA ASAL BADAN KARANTINA PERTANIAN, 2012 BAB I PENDAHULUAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SISTEM SERTIFIKASI EKSPOR KARANTINA TUMBUHAN PETUNJUK OPERASIONAL PELAKSANAAN IN LINE INSPECTION

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

Good Agricultural Practices

PENTINGNYA PEMEMENUHAN BATAS MAKSIMUM RESIDU (BMR) PESTISIDA PADA HASIL PERKEBUNAN INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN-PERATURAN DALAM KEMASAN PANGAN

Peran Karantina Tumbuhan

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. terhadap negara lainnya merupakan salah satu faktor penyebab semakin maraknya

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu tanaman buah

Kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang Sanitari dan Fitosanitari

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik

PUSAT KEPATUHAN, KERJASAMA DAN INFORMASI PERKARANTINAAN

PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PADA UNIT USAHA BUDIDAYA

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HORTIKULTURA

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

PENGENDALI ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN BAB I PENDAHULUAN

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 Tentang : Perlindungan Tanaman

KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI PENDAHULUAN

PRAKTEK BUDIDAYA PERTANIAN YANG BAIK (Good Agricultural Practices) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

PERAN SERTIFIKASI INTERNASIONAL DALAM BUDIDAYA YANG BERTANGGUNG JAWAB : SERTIFIKASI BEST AQUACULTURE PRACTICE (BAP) DAN AQUACULTURE STEWARDSHIP

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kebijakan baru yang di tetapkan oleh negara-negara tujuan. perdagangan internasional pada era saat ini.

PROVINSI SUMATERA SELATAN WALIKOTA PAGAR ALAM PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN WALIKOTA PAGAR ALAM NOMOR TAHUN 2016

Praktik Pertanian yang Baik untuk Antisipasi Pasar Global

KONSEP PERLINDUNGAN TANAMAN

PENDAHULUAN. senilai US$ 588,329,553.00, walaupun ada catatan impor juga senilai US$ masyarakat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2010).

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

1 Disampaikan dalam Worksop Penerapan Area of Low Pest Prevalence

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun

Sosialisasi PENYUSUNAN SOP SAYURAN dan TANAMAN OBAT. oleh: Tim Fakultas Pertanian UNPAD, Bandung, 14 Maret 2012

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup

Standar UNECE dalam Kerangka Perjanjian dan Standar Internasional

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT)

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

15/12/2015 PENGENDALIAN HAMA DENGAN PERATURAN / PERUNDANG-UNDANGAN

I. PENDAHULUAN. pertanian dalam arti luas mencakup perkebunan, kehutanan, peternakan dan

Tungau Karat Jeruk (Phyllocoptruta oleivora)

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok

PENETAPAN KINERJA ( PK ) TAHUN 2013 (REVISI) DINAS PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 09/Permentan/OT.140/2/2009

2 beracun, saat ini tumbuh pesat dalam rangka memenuhi kebutuhan perindustrian dan pertanian. Perdagangan bahan kimia dan pestisida berbahaya tertentu

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di

I. PENDAHULUAN. Salah satu dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

Direktorat Jenderal Hortikultura I. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu roda penggerak pembangunan

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KATA PENGANTAR. Jakarta, Kepala Pusat KKIP, ARIFIN TASRIF

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 58/Permentan/OT.140/8/2007 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB),

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

tanam, tanamlah apa saja maumu aku akan tetap datang mengganggu karena kau telah merusak habitatku maka aku akan selalu menjadi pesaingmu

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

TUGAS AKHIR KULIAH LINGKUNGAN BISNIS BISNIS TANAMAN ORGANIK. Disusun oleh : Petrus Wisnu Kurniawan NIM : S1TI2C

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2010 Kementerian Pertanian. Babi. Produknya. Pemasukan.

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

TEKNOLOGI KARANTINA DALAM PENANGANAN PASCAPANEN

Moch Taufiq Ismail_ _Agroekoteknologi_2013

Direktorat Jenderal Hortikultura I. PENDAHULUAN

AGUSTUS 2014 PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IndoGAP. Hubungan antar sistem. (Pre--requisite Programmes) (GAP, GMP, GHP, SOP, etc.) Program Persyaratan (Pre

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 48/Permentan/OT.140/2009 TANGGAL : 19 Oktober 2009

BAB III PENDEKATAN LAPANG. adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dengan

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS KOMPETEN KEAMANAN PANGAN DAERAH PROVINSI BALI GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

Transkripsi:

Penerapan Strategi dan Teknologi PHT untuk Mendukung Syarat Kualitas Produk Pertanian dalam Menghadapi Era Perdagangan Global (Review) GEDE MENAKA ADNYANA*), I PUTU DHARMA, DAN UTAMI Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali 80232 *) E-mail: gedemenaka@unud.ac.id ABSTRACT Implementation Strategy and Technology of IPC to Support Terms of Quality Agricultural Products Era Dealing in Global Trade. In the era of free trade in the world, export-import activities, especially agricultural products and other dairy products, according to the agency authorized trade-wto states that the flow of goods can no longer inhibited by rules such as tariffs and other barriers, but by the quality standards of agricultural and processed products. Faced with this situation, the government of Indonesia through the Ministry of Agriculture has issued regulation No. 27/Permentan/PP.340/5/2009 about oversight of expenditures and revenues fresh food of plant origin. In addition, it was also applied to the field school IPC and implement SOPs for agricultural products exported as coffee and cocoa. Keywords: the quality of agricultural products, the era of global trade, SPS, Codex Alementarius PENDAHULUAN Era perdagangan bebas adalah suatu masa atau kondisi, dimana sistem perdagangan antar negara tanpa hambatan tarif atau regulasi lain, kecuali dikontrol instrumen kualitas seperti sanitary dan phytosanitary (SPS) dan Codex Alementarius, yang berlaku bagi negaranegara anggota organisasi perdagangan dunia (WTO). Era perdagangan tanpa hambatan tarif tersebut diimplementasikan secara bertahap mulai tahapan regional, dan global pada tahun 2020 (Kirk, 2011). Pada masa demikian, perlindungan tanaman menjadi bagian tidak terpisahkan dengan kesehatan tumbuhan-sps sebagaimana ditetapkan oleh WTO (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2010). Indonesia sudah memasuki era perdagangan bebas, secara nasional sejak ikut menandatangani pembentukan organisasi perdagangan dunia tersebut tahun 1994. Kemudian, secara regional masuk dalam kawasan Asia Tenggara (AFTA) mulai tahun 2003 dan pada tahun 2010 memasuki era perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik (APEC). Dengan era perdagangan bebas tersebut, posisi daya saing menjadi sangat penting. Daya saing saat ini lebih ditentukan oleh harga dan kualitas. Pada masa yang 1

GEDE MENAKA ADNYANA. et al. Penerapan Strategi dan Teknologi PHT akan datang, konsumen akan menuntut persyaratan produk yang lebih lengkap dan rinci, meliputi: standar kualitas, komposisi nutrisi, keselamatan konsumen, lingkungan hidup dan kemanusiaan (Chard, 2005). Perubahan preferensi konsumen tersebut berimplikasi kepada pengembangan produk yang berstandar internasional. Produk pertanian terdiri atas sejumlah komoditas dengan keragaman yang besar. Ragam dan jenisnya sangat banyak, mulai dari tanaman semusim, tanaman setahun (annual crops) hingga tanaman berumur tahunan atau tanaman keras (perenial crops). Selain itu, masih terdapat produk ternak dan ikan beserta hasil olahannya. Sebagian produk-produk pertanian berorientasi ekspor dan diperdagangkan di pasar internasional, sebagai sumber devisa. Selain sebagai sumber devisa, beberapa komoditas tanaman perkebunan merupakan bahan baku industri yang juga berorientasi ekspor dan banyak menyerap tenaga kerja. Dengan peran strategis demikian, maka masalah kualitas dan kontinuitas penyediaan bahan baku menjadi sangat penting. Di samping memberikan benefit ekonomi, tidak bisa diabaikan tuntutan kehidupan global, dimana dalam mengusahakan dan mengelola komoditas agar dapat memelihara kelestarian lingkungan (Chard, 2005). Berbagai permasalahan pertanian yang masih membelit Indonesia sampai saat ini adalah sebagian besar merupakan pertanian rakyat, wilayah tersebar, penerapan Good Agricultural Practices/GAP belum menyeluruh. Sebagai konsekuensinya, produk-produk yang dihasilkan kurang memenuhi standar mutu sebagaimana yang disyaratkan dalam perdagangan internasional. Secara umum, terdapat masalah utama mengenai mutu produk pertanian hortikultura dan produk olahannya yang berpengaruh pada perdagangan produk pertanian dan pangan, baik domestik maupun Global, yaitu (1) produk pertanian hortikultura sebagian besar belum mampu memenuhi persyaratan mutu perdagangan internasional, karena sering terjadi kasus kontaminan yang kandungannya melewati batas maksimum yang sebagian besar belum dilaporkan, (2) masih rendahnya pengetahuan dan keterampilan petani sebagai produsen produk hortikultura, dan (3) rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan yang terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih membeli produk pangan dengan tingkat mutu yang rendah (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2010). Regulasi produksi pertanian di Indonesia Terkait dengan regulasi produk pertanian yang aman dan sehat, di Indonesia telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 27/Permentan/PP.340/5/2009 tentang Pengawasan terhadap Pengeluaran dan Pemasukan Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT). Dalam peraturan ini dimuat tentang terminologi praktek-praktek budidaya yang baik (good agricultural practices), yaitu cara budidaya yang menerapkan pengetahuan yang tersedia untuk pelestarian lingkungan, ekonomi, dan sosial bagi produksi dan proses pasca produksi yang menghasilkan PSAT. 2

Secara nasional, terminologi praktekpraktek budidaya yang baik (good agricultural practices), yaitu cara budidaya yang menerapkan pengetahuan yang tersedia untuk pelestarian lingkungan, ekonomi, dan sosial bagi produksi dan proses pasca produksi yang menghasilkan PSAT diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No.61 Tahun 2006 untuk komoditas buah dan No. 27 tahun 2009 untuk komoditas sayuran. Dalam pelaksanaan operasinya, dibutuhkan suatu panduan pelaksanaan teknis berupa standar prosedur operasional (SOP) yang memuat informasi detail tentang lokasi, budidaya, pengolahan dan lainnya yang disusun oleh Departemen Pertanian. PEMBAHASAN Sanitary dan Phytosanitary (SPS) Sanitari dan fitosanitari (Sanitary and Phytosanitary -SPS) merupakan salah satu bagian dari perjanjian putaran Uruguay GATT (yang belakangan menjadi WTO), khususnya untuk perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan (Miyagishima, 2005; Supartha, 2010). Perjanjian SPS diadministrasikan oleh Committee on SPS Measures, yang merupakan forum konsultasi bagi anggotaanggota WTO yang secara reguler bertemu mendiskusikan tentang tindakan-tindakan SPS, dampaknya bagi perdagangan, penerapannya dan melakukan upaya-upaya menghindari terjadinya perselisihan. Perjanjian itu mempunyai tujuan untuk (1). melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan; (2). membuat acuan peraturan multilateral yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam pengembangan, adopsi dan pelaksanaan peraturan sanitari dan fitosanitari dalam rangka menunjang kelancaran perdagangan; (3). Untuk lebih menyeragamkan peraturanperaturan sanitari dan fitosanitari di antara negara anggota yang menggunakan standar internasional terutama CAC (Codex Alimentarius Comission), mengatur persyaratan keamanan pangan, IOE (International Office of Epizootics), mengatur persyaratan kesehatan hewan maupun produk olahannya, dan IPPC (International Plant Protection Convention), mengatur persyaratan kesehatan tanaman. Standar pedoman dan rekomendasi internasional yang dimaksud adalah (a) keamanan makanan yang dikeluarkan oleh CAC meliputi standar, pedoman dan rekomendasi yang berkaitan dengan aditif makanan (food additive), obat hewan dan sisa pestisida, kontaminan, metode analisis dan pengambilan contoh, serta kode dan pedoman untuk praktek higienis; (b) kesehatan hewan dan zoonoses yang dikeluarkan oleh IOE: (c) kesehatan tanaman yang dikeluarkan oleh IPPC meliputi standar, pedoman dan rekomendasi internasional yang telah dikembangkan di bawah naungan Sekretariat Konvensi Perlindungan Tanaman dalam kerjasama dengan organisasi regional yang bekerja dalam rangka Konvensi Perlindungan Tanaman Internasional; dan (d) hal-hal yang tidak dicakup oleh organisasi tersebut yang meliputi: standar, pedoman dan rekomendasi yang diberlakukan oleh organisasi-organisasi internasional yang relevan dan dapat diterima anggota. 3

GEDE MENAKA ADNYANA. et al. Penerapan Strategi dan Teknologi PHT Untuk itu, maka setiap anggota dibenarkan memberlakukan peraturan sanitasi dan fitosanitasi untuk melindungi keselamatan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan yang dilandasi oleh prinsip dan kajian ilmiah (scientific justification) namun tidak boleh difungsikan sebagai hambatan terselubung (disguised restriction). Untuk melaksanakan ketentuan tentang SPS tersebut ditetapkan protokol International Standard Sanitary and Phytosanitary Measure (ISPM), yang kini telah tercatat sebanyak 32 ISPM (Supartha, 2010). Codex Alementarius Codex Alementarius adalah organisasi internasional yang didirikan tahun 1962 oleh organisasi pertanian PBB (FAO) dan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang bertugas menyusun dan mengawasi peryaratan mutu pangan. Fungsi utamanya adalah melindungi kesehatan konsumen dan digunakan sebagai salah satu syarat mutu dalam bidang pangan pada perdagangan dunia. Organisasi ini telah mulai rutin bekerja sejak tahun 1979, dan terakhir melakukan pertemuan tahun 2001 di Geneva. Berbagai sistem penjaminan mutu keamanan pangan yang sudah diterapkan di beberapa negara juga digunakan sebagai acuan diantaranya adalah HACCP system, Hygiene Guides or Codes, BRC (British Retail Consortium) system, EUREP GAP (Euro- Retailer Produce Working Group Good Agricultural Practice), SQF (Safe Quality Food) 1000 and 2000 and ISO 9001-2000 (Sonneveld, 2005). Pada kasus-kasus mengenai persyaratan mutu keamanan pangan, 4 penyelesaian masalah beserta rekomendasi yang diberikan akan mengacu pada perjanjian yang tersusun dalam Codex standards. Berbagai persyaratan standard mutu menyangkut pangan diantaranya kesehatan pangan, bahan tambahan, kontaminan, residu pestisida, serta residu obat-obatan pada pakan ternak disusun dalam Codex Alimentarius. Prosedur kerja lembaga ini meliputi delapan langkah penapisan dan baru menjadi valid jika telah mendapat sertifikat Codex final texts. Lembaga ini juga melaksanakan kajian analisis risiko dalam kaitan dengan keamanan pangan sejak tahun 1993. Para ahli dan ilmuwan yang mempunyai kompetensi terkait dengan kesehatan dan keamanan pangan mendukung pelaksanaan sertifikasi keamanan pangan (Sonneveld, 2005). Lembaga Karantina Tumbuhan Badan internasional yang mengatur perdagangan (WTO), telah menetapkan sistem dan prosedur perkarantinaan tumbuhan yang berlaku secara internasional sebagai bagian kesepakatan WTO-SPS yang harus diikuti dan ditaati oleh semua negara anggota WTO (Untung, 2006). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa suatu negara diperbolehkan menolak impor media pembawa OPTK setelah melakukan suatu analisis risiko OPT dan menerapkan tindakan karantina sesuai dengan prosedur yang disepakati. Indonesia pernah mengalami penolakan produk buah-buahan masuk ke Taiwan tahun 1998 karena mengandung spesies lalat buah yang belum ada di negara tersebut (Untung, 2006). Pernah terjadi pada biji kakao Indonesia yang diekspor ke USA,

dikenakan penahanan otomatis (automatic detention) karena kelalaianya terhadap persyaratan SPS yang dipersyaratkan oleh negara pengimpor. Demikian juga dengan kasus penolakan sayur mayur Sumatera Utara oleh Singapura karena mengandung residu pestisida yang melebihi MRLs (Maximum Residue Limits) yang berlaku di negara tersebut (Supartha, 2010). Beberapa negara pernah mengalami penolakan impor produk pertanian, ternak, ikan dan produk olahannya (Tabel 1). Tujuan tindakan karantina tumbuhan sama dengan PHT yaitu melindungi tanaman dari serangan OPT dari luar. Dalam pelaksanaannya, karantina berupaya melaksanakan tindakan pencegahan masuk dan tersebarnya OPT. Sedangkan PHT merupakan upaya pengendalian OPT yang telah menyerang pertanaman di lapangan. Tabel 1. Kasus-kasus Sengketa Perdagangan yang Terkait dengan Nilai SPS yang dibawa ke Lembaga Perdagangan Dunia Negara Pensuplai Kasus DS 18 Australia Pelarangan impor Ikan salmon DS 21 Australia Mengenai produk Olahan ikan salmon DS 26 Masyarakat Eropa Pelarangan impor Produk olahan daging DS 48 Masyarakat Eropa Pelarangan impor daging dan produk Olahan daging DS 76 Jepang Pelarangan impor Produk pertanian DS 245 Jepang Pelarangan impor Buah Apel DS 271 Australia Pelarangan impor Buah nenas segar Sumber: Miyagishima, K., 2005 Negara yang Mempermasalahkan Waktu Kejadian Canada 1 Oktober 1995 Amerika 23 November 1995 Amerika 31 Januari 1996 Canada 8 Juli 1996 Amerika 9 April 1997 Amerika 6 Maret 2002 Filipina 23 Oktober 2002 Fungsi lembaga karantina di Indonesia menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah: (i) mencegah masuknya OPTK dari luar negeri ke dalam wilayah RI; (ii) mencegah tersebarnya OPTK di dalam wilayah RI, (iii) mencegah keluarnya OPTK tertentu dari dalam negeri apabila negara tujuan menghendakinya (Untung, 2006). Walaupun demikian, Indonesia beberapa tahun sebelumnya telah mengalami kebobolan karena masuknya berbagai jenis 5

GEDE MENAKA ADNYANA. et al. Penerapan Strategi dan Teknologi PHT penyakit dan hama tumbuhan baru yang sebelumnya belum pernah ada, seperti: 1. Penyakit karat kopi (Hemilia vastatrix), yang masuk melalui bibit kopi dari Sri Lanka; 2. Penyakit cacar daun teh (Exobasidium vexans) terbawa melalui benih/bibit dari India; 3. Kumbang Trogoderma granarium menyerang hasil pertanian yang tersimpan di dalam gudang di Jawa Barat pada tahun 1980-an; 4. Siput Afrika (Achatina fulica) siput yang awalnya merupakan binatang piaraan; dan 5. Gulma eceng gondok (Eichornia crassipes) masuk ke Indonesia sebagai tanaman hias. Kasus-kasus tersebut dapat terjadi karena lemahnya sistem karantina yang ada, serta rendahnya kesadaran dan pengertian para pelaku agribisnis, pengawas tanaman dan masyarakat umum tentang karantina dan segala peraturan yang telah disediakan. Penerapan Strategi dan teknologi PHT Sesuai dengan amanat Undang-undang Hortikultura No. 13 Tahun 2010, dalam rangka mencapai tujuan produk pertanian yang berkualitas, berdaya saing dan ramah lingkungan, maka arahan strategi PHT adalah menekankan pelaksanaan pre-emptif (pencegahan) dibandingkan kuratif (Direkorat Perlindungan Hortikultura, 2010). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa penerapan teknologi PHT diarahkan pada penggunaan sarana produksi (pupuk, zat pengatur tumbuh/zpt, dan bahan pengendalian OPT) yang ramah lingkungan. Program kegiatan pada strategi preemptif untuk komoditas hortikultura meliputi 7 program meliputi: 1) pengembangan SLPHT, 2) pengelolaan dampak perubahan iklim, 3) peningkatan pengelolaan OPT, 4) peningkatan pemenuhan persyaratan teknis SPS mendukung ekspor produk hortikultura, 5) peningkatan kapasitas laboratorium perlindungan tanaman hortikultura, 6) peningkatan kapasitas perlindungan tanaman hortikultura, dan 7) peningkatan mutu pembinaan. Penerapan teknologi PHT produk hortikultura yang bersinergis dengan SPS- WTO adalah: 1) pengendalian OPT secara budidaya, 2) pemilihan varietas tahan hama, 3) pengendalian fisik dan mekanik, 4) pengendalian hayati, dan 5) pengendalian dengan biopestisida (Untung, 2006). Keterkaitan antara penerapan strategi dengan teknologi PHT komoditas hortikultura ditampilakan pada Tabel 2. 6

Tabel 2. Keterkaitan antara strategi dengan teknologi PHT komoditas hortikultura di Indonesia tahun 2010 No Program kegiatan strategi Penerapan teknologi keterangan 1 Pengembangan SLPHT Praktek lapang, TOT UPTD BPTPH 32 2 Pengelolaan dampak perubahan iklim Inventarisasi data iklim, ramalan dan analisis dampak 3 Peningkatan pengelolaan OPT Penerapan agen hayati dan biopestisida 4 Peningkatan pemenuhan Monitoring, survey, pest persyaratan teknis SPS mendukung list komoditas ekspor hortikultura 5 Peningkatan kapasitas laboratorium perlindungan komoditas hortikultura 6 Peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan tanaman 7 Peningkatan mutu pembinaan untuk kegiatan perlindungan tanaman hortikultura Sumber: Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2010 Pengadaan saranaprasarana dan pelatihan Pengadaan saranaprasarana dan pelatihan UPTD BPTPH 32 UPTD BPTPH 6 UPTD BPTPH 12 UPTD BPTPH 32 UPTD BPTPH 32 Praktek lapang, TOT UPTD BPTPH 32 Berdasarkan hasil monitoring perkembangan OPT memutuskan, jika harus dilakukan tindakan kuratif, maka beberapa strategi tindakan kuratif harus dilakukan dalam pemilihan sifat-sifat insektisida. Selektivitas insektisida, menurut Untung (2006), dapat dilihat dari tiga aspek yaitu (i) selektivitas fisiologi, (ii) selektivitas ekologi, dan (iii) selektivitas formulasi dan aplikasi. (i) Selektivitas fisiologi Kebanyakan insektisida mempunyai spektrum lebar, juga membunuh serangga bukan sasaran. Namun demikian, juga terdapat jenis-jenis insektisida yang bersifat selektif, hanya membunuh serangga sasaran. Insektisida demikian memiliki sifat selektivitas fisiologis spektrum sempit dengan sasaran serangga yang khas. Pada beberapa golongan OP, karbamat bersifat kurang selektif terhadap predator hama padi. Golongan OP yang selektif seperti piridafention dan tetraklorvinpos lebih beracun terhadap hama sasaran yaitu wereng hijau (Nephotettix spp.) dan kurang berbahaya terhadap predator laba-laba srigala (Lycosa pseudoannulata). Pengujian terhadap selektivitas pestisida yang digunakan di Indonesia terhadap hama dan musuh alaminya perlu terus dilakukan untuk mengetahui tingkat bahayanya bagi serangga bukan sasaran. 7

GEDE MENAKA ADNYANA. et al. Penerapan Strategi dan Teknologi PHT (ii) Selektivitas ekologi Dengan mempelajari sifat biologi dan ekologi hama sasaran, maka dapat diketahui waktu dan cara aplikasi insektisida yang tepat dan efektif. Dengan mengetahui neraca kehidupan, perilaku, dan kisaran inang hama, kita dapat menentukan bagaimana aplikasi insektisida yang tepat. Aplikasi terutama ditujukan pada bagian yang lemah dari kehidupan hama, yaitu pada stadium yang peka dan terbuka terhadap aplikasi insektisida. Aplikasi diusahakan sedapat mungkin dapat menghindarkan serangga parasitoid dan predator dari perlakuan insektisida. Dalam prakteknya, selektivitas insektisida dapat dilakukan dalam beberapa cara yaitu: a) Penetapan waktu aplikasi yang tepat; b) Perlakuan insektisida hanya secara parsial atau spot treatment, misalnya penyemprotan hanya di pesemaian, hanya pada bagian tanaman yang diserang, atau hanya pada tanaman pembatas; c) Perlakuan insektisida hanya pada tanaman perangkap; d) Perlakuan insektisida hanya pada tumbuhan alternatif, misalnya gulma; e) Perlakuan insektisida melalui air, tanah, maupun benih, dengan tujuan menghindari terbunuhnya musuh alami. (iii) Selektivitas melalui cara aplikasi dan formulasi Selektivitas insektisida di sini termasuk dalam menentukan dan memilih formulasi insektisida dan teknik aplikasi yang tepat, efektif dalam pengendalian hama dan menghindarkan pengaruhnya terhadap 8 serangga musuh alami. Termasuk dalam selektivitas ini adalah: a) Penggunaan formulasi butiran atau granule dengan insektisida sistemik diharapkan dapat efektif untuk mengendalikan hama penggerek tanaman dan membatasi pengaruh yang merugikan bagi predator dan parasitoid dewasa; b) Penggunaan formulasi ULV (ultra low volume) yang tepat dapat membatasi sebaran insektisida sehingga menekan risiko cemaran insektisida dan aman bagi serangga musuh alami; c) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani terkait aplikasi insektisida beserta perlengkapan peralatan, penentuan volume dan dosis, arah peliputan, waktu semprot, dan keamanannya. SIMPULAN Organisasi perdagangan dunia-wto, sebagai organisasi yang bertanggung jawab pada perdagangan antar negara, menghilangkan berbagai bentuk hambatan dan pelarangan terhadap arus keluar masuk barang pada suatu negara, kecuali khusus memberlakukan sistem mutu yang telah mendapat kesepakatan para negara anggota sebagai alat penyeleksi. Pada produk pertanian dan hasil olahannya terdapat sistem mutu yang digunakan diantaranya adalah sanytary and phytosanytary (SPS) dan Codex system. Indonesia sebagai bagian dari negara anggota WTO, telah melakukan pembenahan dalam hal cara-cara berproduksi dan pengolahan hasil pertanian dalam upaya memenuhi syarat sistem mutu produk yang diberlakukan bagi peraturan ekspor-impor.

Pendekatan strategi PHT di lapangan adalah lebih menekankan pendekatan pre-emptif. Namun jika pendekatan kuratif harus diputuskan, maka dipertimbangkan pemakaian insektisida secara hati-hati, dengan terlebih dahulu mengkaji kondisi lapangan, sifat hama dan sifat insektisida. DAFTAR PUSTAKA Chard, J. 2005. Enhancement of Phytosanitary Measures for Trading of Pants and Plants Products. Asian Productivity Organization. Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan Sistem Perlindungan Tanaman Hortikultura Tahun 2011. Jakarta. Kirk, R. 2011. 2011 Report on Sanitary Phytosanitary.Measures. US. Trade Representative. Miyagishima, K.2005. Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement: Overview and Recent Development. Asian Productivity Organization. Sonneveld, C. 2005. Measures for Enhancement of Food Safety and Quality Assurance System for Enhanced Trade. Asian Productivity Organization Supartha, IW. 2010. Penyusunan Dokumen Daftar OPT/OPTK, HPH/HPHK dan Rancangan Peraturan Khusus Karantina Tumbuhan dan Hewan sebagai Dokumen Pendukung Penerapan SPS-WTO di Timor Leste. Paper disampaikan dalam International Seminar and Workshop on Timor Leste s Quarantine and non Quarantine Pests. Univ. Udayana Denpasar, Bali. 21-22 June 2010. Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi kedua. Gadjah Mada University Press. 9