Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

dokumen-dokumen yang mirip
NOMOR 3 TAHUN 1950 TENTANG PERMOHONAN GRASI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1947 TENTANG MENGADAKAN PERATURAN PERMOHONAN GRASI YANG SESUAI DENGAN KEADAAN SEKARANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1947 TENTANG PERMOHONAN GRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 2 th. Ke IV tg. 1 April 1954 No. 1

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PIDANA

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

Pelayanan Perkara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1953 TENTANG

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

Undang-undang 1946, No. 22 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NO. URAIAN KEGIATAN WAKTU PENYELESAIAN KETERANGAN

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1963 TENTANG PEMBENTUKAN MAHKAMAH MILITER LUAR BIASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930 (STOOM ORDONANTIE 1930) (Stb. No.225 TAHUN 1930)

PENGGUGAT/ KUASANYA. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim, dan Panitera menunjuk Panitera Pengganti. Kepaniteraan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1947 TENTANG MAHKAMAH TENTARA DAERAH TERPENCIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska no. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 5

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1948 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN

PENGADILAN NEGERI ARGA MAKMUR Jln. Jend. Sudirman No. 226 (0737) , Home Page:

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

1 jam perkara sesuai dengan nomor urut perkara 4. Membuat formulir penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1970 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KABUPATEN BANDJAR

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding:

Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 2 th. Ke II tg. 15 Ag. 51 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 1 tahun 1952.

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 10

ADMINISTRASI PERKARA KEPANITERAAN PERDATA DI PENGADILAN NEGERI SIBOLGA

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 5

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI

Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 3 th. II tg. 27 Des PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 2 tahun TENTANG PEMADAM API

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

I. BIDANG ADMINISTRASI 1.1 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) ADMINISTRASI PERKARA PADA PENGADILAN NEGERI KELAS II SUKADANA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 19. (19/1948) Peraturan tentang susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT SOP PENYELESAIAN BERKAS PERKARA GUGATAN

PENGADILAN NEGERI BANTUL KELAS I B MANUAL MUTU PENJAMINAN MUTU PENGADILAN

UU 1/1950, SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

Tentang: ACARA PENETAPAN GANTI KERUGIAN OLEH PENGADILAN TINGGI SEHUBUNGAN DENGAN PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA- BENDA YANG ADA DIATASNYA

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 1 th. Ke V tgl. 1 Djan PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 1 TAHUN 1955.

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 004/PUU-I/2003

TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PERDATA PELAYANAN PERKARA PRODEO

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. S O P KEPANITERAAN PIDANA

ww.hukumonline.com PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Petugas / Penanggung Jawab. Waktu Penyelesaian. No Uraian Kegiatan Uraian Pelayanan. Ket

P U T U S A N. Nomor : 764/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR BERACARA DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

PERATURAN DAERAH TINGKAT II BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1961 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANDJAR

Peraturan Pemerintah 1950 No. 37

DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH SEMENTARA KOTA BESAR SURAKARTA Menetapkan peraturan daerah sebagai berikut :

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KOTAPRADJA S U R A K A R T A. PERATURAN-DAERAH Kotapradja Surakarta tentang padjak potong hewan. Pasal 1.

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG (UU) 1947 Nomer. 20. ) (20/1947) PENGADILAN. PERADILAN ULANGAN. Peraturan peradilan ulangan di Jawa dan Madura.

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN DAN KEJAKSAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 1947 TENTANG PERATURAN PERADILAN ULANGAN DI JAWA DAN MADURA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PENGADILAN NEGERI BANJARNEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

Transkripsi:

1 UNDANG-UNDANG GRASI (Undang-Undang tgl. 1 Djuli 1950 No. 3.) LN. 50-40: (mulai berlaku. 6-7-'50.) Anotasi: Dg. UU ini, dicabut: Gratie Regeling, S. 1933-2; PP No. 67 th. 1948 tentang permohonan grasi; verordening Militair Gezag tg. 12-12-1941 No. 108/D.V.O. Mengingat: pasal2: 127, 160 dan 192 Konstitusi Sementara. Pasal 1 Atas hukuman-hukuman jang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman, baik militer maupun sipil, jang tidak dapat diubah lagi, orang jang dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden. Pasal 2 (1) Djika hukuman mati dijatuhkan oleh pengadilan, maka penglaksanaan hukuman itu tidak boleh dijalankan selama 30 harl terhitung mulai hari berikut hari keputusan tidak dapat diubah lagi, dengan pengertian, bahwa dalam hal keputusan dalam pemeriksaan ulangan jang didjatuhkan oleh pengadilan ulangan tenggang 30 hari itu dihitung mulai hari berikut hari keputusan diberitahukan kepada orang jang dihukum. (2) Djika orang jang dihukum dalam tenggang tersebut dalam ajat (1) tidak memajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut dalam pasal 6 ajat (1) segera memberitahukan hal itu kepada Hakim atau Ketua pengadilan dan Djaksa atau Kepala kedjaksaan tersebut pada pasal 8 ajat (1), (3) dan (4). Ketentuan2 dalam pasal 8 berlaku dalam hal ini. (3) Hukuman mati tidak dapat dijalankan sebelum keputusan Presiden sampai pada Kepala kedjaksaan jang dimaksudkan dalam pas. 8 ajat (3) atau pegawai jang diwajibkan mendjalankan keputusan kehakiman. Pasal 3 (1) Hukuman tutupan, pendjara dan kurungan, termasuk juga hukuman kurungan pengganti, tidak boleh didjalankan apabila orang jang dihukum mohon supaja hukuman itu tidak dijalankan karena permohonan grasi, atau kehendaknja akan memajukan permohonan grasi. (2) Ketentuan dalam ajat (1) mengenai hukuman kurungan pengganti tidak berlaku bagi orang jang dihukum jang menurut pendapat Djaksa atau pegawai jang diwadjibkan mendjalankan keputusan kehakiman jang bersangkutan, meskipun dapat membajar, tidak suka membajar hukuman denda jang dijatuhkan kepadanja. (3) Djika hukuman tersebut pada ajat (1) dijalankan, karena orang jang dihukum, ketika keputusan kehakiman jang tidak dapat diubah lagi, diberitahukan kepadanja oleh Kepala kejaksaan atau pegawai jang diwajibkan mendjalankan keputusan kehakiman, tidak menjatakan kehendaknja supaja penglaksanaan hukuman itu ditunda karena permohonan grasi atau kehendaknja

2 akan memadjukan permohonan grasi, maka penglaksanaan hukuman itu tidak dapat dihentikan atas permohonan jang kemudian dimajukan oleh orang jang dihukum atau pihak lain, berdasarkan permohonan grasi atau kehendaknya akan memajukan permohonan grasi. (4) Hal jang ditentukan dalam ajat jang lalu harus diberitahukan kepada orang jang dihukum: oleh Hakim atau Ketua pengadilan jang memutus pada tingkat pertama, dalam persidangan pengadilan, setelah keputusan kehakiman diumumkan, atau oleh Panitera pengadilan jang memutus pada tingkat pertama, dalam penjara ketika keputusan itu diberitahukan kepadanja, djika orang jang dihukum ada dalam tahanan dan karena suatu hal tidak dapat dibawa kedalam persidangan dimana keputusan itu diumumkan, atau oleh Kepala kedjaksaan atau pegawai jang diwajibkan menjalankan keputusan kehakiman, ketika ia memberitahukan keputusan dalam pemeriksaan tingkat pertama jang dilangsungkan diluar hadlirnja orang jang dihukum atau keputusan dalam pemeriksaan ulangan oleh pengadilan ulangan kepadanja. Pasal 4 (1) Permohonan grasi atas hukuman denda tidak dapat menunda penglaksanaan hukuman itu; dalam hal orang jang dihukum tidak dapat membajar denda berlaku pas. 3 ajat (1) dan (2). (2) Pemberian grasi atas hukuman denda harus menjatakan perintah pembebasan dari sebagian atau seluruhnja dari denda jang telah ditetapkan. Pasal 5 (1) Ketjuali apa jang ditetapkan dalam pas. 2, maka permohonan grasi termaksud pas. 3 ajat (1) hanya dapat dimajukan dalam tenggang 14 hari terhitung mulai hari berikut hari keputusan menjadi tetap. (2) Dalam hal keputusan dalam pemeriksaan ulangan jang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, maka tenggang 14 hari itu dihitung mulai hari berikut hari keputusan diberitahukan kepada orang jang dihukum. (3) Hal jang ditentukan dalam ajat (1) harus diberitahukan kepada orang jang dihukum oleh pegawai dan pada waktu jang dimaksud dalam pas. 3 ajat (4). Pasal 6 (1) Permohonan grasi harus dimadjukan kepada Panitera pengadilan jang memutus pada tingkat pertama, atau jika pemohon bertempat tinggal diluar daerah hukum pengadilan jang berkepentingan atau jika Panitera pengadilan tidak ada

3 ditempatnja, maka pomohon dapat memajukan permohonannja kepada pembesar daerahnja. (2) Permohonan grasi jang langsung dimajukan kepada Presiden atau pembesar yang lain besar jang lain, dikirim kepada Hakim atau Ketua pengadilan jang bersangkutan. (3) Pemasukan surat permohonan ampun, jang dimaksud dalam ajat (2) tersebut diatas, dianggap sebagai jang dimajukan kepada Panitera pengadilan tersebut dalam ajat (1). (4) Ketjuali terhadap hukuman mati, maka permohonan grasi jang dimadjukan oleh pihak lain daripada orang jang dihukum hanja dapat diterima, jikalau ternjata bahwa orang jang dihukum itu setudju dengan permohonan tersebut. Pasal 7 (1) Barang siapa jang memajukan permohonan grasi dengan persetudjuan orang jang dihukum, berhak mendapat salinan atau petikan dari keputusan Hakim, atau pengadilan jang bersangkutan atas biajanja. (2) Atas permintaannja haruslah diberikan kesempatan kepadanja untuk melihat surat-surat pemberitaan. Pasal 8 (1) Setelah menerima surat permohonan grasi maka Panitera tersebut dalam pas. 6 ajat (1) segera meneruskan surat itu beserta surat pemberitaan dan (salinan) surat keputusan jang bersangkutan dan apabila diadakan pemeriksaan ulangan, djuga salinan surat keputusan pengadilan ulangan, kepada Hakim atau Ketua pengadilan jang memutus pada tingkat pertama. (2) Atas permintaan Hakim atau Ketua pengadilan jang menerima permohonan grasi jang dimaksud dalam pas. 6 ajat (2), maka Panitera pengadilan tersebut mengirimkan surat pemberitaan dan (salinan) surat keputusan jang bersangkutan kepada Hakim atau Ketua pengadilan tersebut. (3) Hakim atau Ketua pengadilan itu segera meneruskan surat2 tersebut dalam ajat (1) beserta pertimbangannja kepada Kepala kedjaksaan pada pengadilan jang memutus pada tingkat pertama. (4) Djaksa jang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama atau Kepala kejaksaan tersebut dalam ajat (3) segera meneruskan surat tersebut dalam ajat (3) beserta pertimbangannja kepada Mahkamah Agung Indonesia. (5) Dalam hal perkara sumir pada Pengadilan Kepolisian (di Republik Indonesia), Hakim dengan segera meneruskan surat tersebut dalam ajat (1) beserta pertimbangannja kepada Mahkamah Agung Indonesia.

4 (6) Mahkamah Agung Indonesia segera meneruskan surat2 tersebut dalam ajat (4) dan (5) beserta pertimbangannja kepada Menteri Kehakiman. Mahkamah Agung Indonesia meminta pertimbangan kepada Djaksa Agung: apabila keputusan pengadilan itu mengenai hukuman mati; apabila Mahkamah Agung Indonesia membutuhkan pendapat Djaksa Agung tentang kebijaksanaan penuntutan umum; apabila Djaksa Agung sebelumnja mengemukakan keinginannja kepada Mahkamah Agung Indonesia untuk diminta pertimbangannja. (7) Menteri Kehakiman dengan segera meneruskan surat2 tersebut dalam ajat (4) dan (5) beserta pertimbangannja kepada Presiden. (8) Menteri Kehakiman dapat meminta pertimbangan Menteri jang lain tentang permohonan grasi, sebelum meneruskan surat tersebut dalam ajat (6) dengan pertimbangannja kepada Presiden. Pasal 9 Permohonan grasi mengenai orang jang dihukum jang berada dalam tahanan atau jang sedang menjalani hukumannja harus diselesaikan lebih dahulu. Pasal 10 Dalam hal permohonan grasi dimajukan atas hukuman jang dijatuhkan oleh Pengadilan Tentara, maka perkataan Ketua pengadilan, Mahkamah Agung Indonesia, Djaksa, Kepala kejaksaan dan Djaksa Agung dalam pas. 3 ajat (3) dan pas. 8 harus dibatja; Ketua Pengadilan Tentara, Mahkamah Tentara Agung, Djaksa Tentara, Kepala kedjaksaan Tentara dan Djaksa Tentara Agung. Pasal 11 Segala keputusan Presiden atas permohonan grasi dengan segera diberitahukan oleh Menteri Kehakiman kepada pegawai jang diwajibkan menjalankan kehakiman dan kepada jang berkepentingan. Pasal 12 Ketentuan jang termaktub dalam pasal 8, 9, 10 dan 11 berlaku juga, jika oleh karena jabatan dimadjukan usul untuk memberikan grasi. Pasal 13 Hal2 tentang tjara mengurus permohonan grasi jang tidak diatur dalam Undang2 ini diatur oleh Menteri Kehakiman. Pasal 14 Undang2 ini dapat disebut: Undang2 Grasi.

5 Pasal 15 Undang2 ini mulai berlaku pada hari pengumumannya. (6-7-'50.)