TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perempuan dari kedua jenis tersebut Allah menjadikan mereka saling

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kompilasi Hukum Islam, CV. Nuansa Aulia, 2013, hlm. 2. 2

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak dan kewajiban didalam

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

AKIBAT PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DALAM KELANGSUNGAN HIDUP. ( Studi Kasus Pengadilan Agama Blora)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI. dimana kata poly berarti banyak dan gamien berarti kawin. Kawin banyak disini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

PELAKSANAAN PERKAWINAN DENGAN WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. agar hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman,

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM FAKTOR PENYEBAB SERTA AKIBAT HUKUMNYA

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

URGENSI PERSETUJUAN ISTRI DALAM IJIN POLIGAMI SUAMI DI KELURAHAN NGIJO GUNUNGPATI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. 1 Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB I PENDAHULUAN. islam adalah realisasi dari tujuan utama ibadah dan perinciannya tidak dapat

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

Oleh: IRSAM DIAN BACHTIAR C

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam poligami diatur dalam Al-Qur an surah An-Nissa ayat 3

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

Prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No. 1/1974 (Study analisis tentang Monogami dan poligami) Siti Ropiah

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan-kebutuhan lainnya diharapkan terpenuhi, yaitu kebutuhan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Transkripsi:

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN Dahlan Hasyim * Abstrak Perkawinan, menurut Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu asas dari perkawinan adalah asas monogami, yang mana pria hanya boleh mempunyai seorang istri begitupun sebaliknya dalam waktu tertentuk. Asas monogami (UU Perkawinan) bersifat terbuka atau tidak mutlak lain halnya yang diatur dalam kitab UU Hukum Perdata, bahwa asas monogami bersifat mutlak. Poligami diberi tempat yang diatur dengan beberapa pasal dan ayat yang mengaturnya. Namun demikian,walaupun poligami tersebut diberi tempat, akan tetapi bukan berarti bahwa poligami dijadikan asas dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Hal tersebut merupakan pengeucalian saja, yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agama atau kepercayaannya dengan pembatasan/syarat, ada alasan tertentu yang menndapat ijin dari pengadilan. Kata Kunci : Monogami dan Perkawinan 1 Pendahuluan Manusia hidup di dunia memiliki dua aspek, yaitu manusia sebagai pribadi atau sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai pribadi merupakan cerminan dari perilaku manusia itu sendiri. Diaman kehidupan dijalani dirinya sendiri, dan untuk berkomunikasi atau melakukan hubungan bathin dengan Tuhannya. Manusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial merupakan bagian dari suatu kelompok masyarakat, atau disebut anggota masyarakat, dimana manusia tersebut dapat berinteraksi maupun berkomunikasi dengan sesama * H. Dahlan Hasyim Drs, MH, adalah.. 300 Volume XXIII No. 2 April Juni 2007 : 300-311

anggota masyarakat, untuk menghasilkan suatu hubungan. Hal ini akan terlepas dari kodratnya sebagai makhluk sosial, dimana kita sebagai manusia baik pria dan wanita saling mendekat, berinteraksi, bergaul dan bahkan melakukan perkawinan. Perkawinan itu sendiri, menurut Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974, adalah ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia. Dalam agama, UU No. 1 tahun 1974, memegang peran penting dalam kesahan suatu perkawinan. Bagi seorang Islam, tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agama Islam, begitupun dengan agama yang lain. Hukum agama yang dimaksud bukan hanya hukum agama yang terdapat dalam kitab suci saja, tetapi juga ketentuan-ketentuan perundang-undangan (yang masih berlaku), baik yang telah ada sebelum berlakunya UU ini maupun yang akan diterapkan kemudian (Djuhaedah 1988:29). Salah satu asas dari perkawinan adalah asas monogami, dimana seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri begitupun sebaliknya (dalam waktu tertentu). Asas monogami di sini bersifat terbuka atau tidak mutlak. Lain halnya dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa asas monogami bersifat mutlak. Asas monogami tidak mutlak diartikan bahwa seorang suami dapat mempunyai lebih dari seorang istri, bila dikehendaki dan sesuai dengan hukum agama si suami. Sifat ini tidak mutlak dari asas monogami diatur dalam pasal 2 ayat 2, 4 dan 5 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan diatur pula dalam pasal 55, 56 ayat (1), 57 Kompilasi Hukum Islam; bahkan, diatur, pula dalam al-quran, yaitu Q.S. An-Nissa ayat 3 yang berbunyi : dan Jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap hak-hak perempuan bila kamu mengawininya, maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil maka kawinilah seorang saja. Dalam kehidupan sekarang, sudah banyak suami istri yang melakukan perkawinan lebih dari satu kali atau kita sebut poligami. Berdasarkan alasan mereka melakukan misalnya karena tidak dapat memiliki keturunan secara biologis, si istri tidak dapat melayani suami dengan baik, atau si istri mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga si istri mau tidak mau harus mengizinkan suaminya menikah lagi dengan wanita lebih muda. Untuk alasan ini, biasanya si istri tidak menyetujui suaminya menikah Tinjauan Teoritisasas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan (Dahlan Hasyim) 301

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 lagi sehingga si suami ada dorongan melakukan perzinahan atau berselingkuh dengan wanita lain. Perizinan atau berbagai terminologi lainnya bagi perselingkuhan, dianggap sesuatu yang umum terjadi dalam suatu perkawinan. Sesungguhnya suatu kemunduran bagi pelaku apabila kebiasaan tersebut sebagai jalan keluar dari suatu masalah sosial yang dihadapinya. Perilaku yang demikian hanya akan menunjukkan kebodohan dan kecerobohan manusia sebagai ciptaan Allah SWT. Kalau saja manusia mau sadar dan mau terbuka melihat masalah dalam perkawinan, maka asas monogami tidak mutlak atau poligami dapat dipahami sebagai suatu kelembagaan alternatif untuk solusi permasalahan sosial tersebut. Bukan hanya semata-mata untuk memuaskan nafsu karena, pada dasarnya seorang laki-laki dapat menikah lebih dari seorang dengan maksud untuk mengangkat derajat si wanita yang bersangkutan. Oleh karena itu dasar-dasar hukum yang ada diharapkan dapat membatasi kaum pria yang akan menikah lebih dari satu karena suami dihadapkan pada beberapa syarat yang harus dipenuhi, diataranya, yaitu harus memperoleh izin dari istri pertama, Pengadilan Agama, dan harus ada jaminan dari si suami bahwa dia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya kelak. 1.2 Rumusan Masalah Dalam tulisan ini terdapat beberapa masalah yang menjadi inti dari penelitian. Adapun masalah-masalah tersebut akan dijabarkan atau diusahakan dicari jawaban melalui penulisan ini. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana prinsip monogami tidak mutlak diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan 2. Bagaimana prinsip monogami tidak mutlak diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam? 3. Bagaimana pelaksanaan dalam praktik asas monogami tidak mutlak menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam? 302 Volume XXIII No. 2 April Juni 2007 : 300-311

1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai asas monogami tidak mutlak UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan 2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai asas monogami tidak mutlak menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam 3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan praktik dari asas monogami tidak mutlak tersebut di pengadilan agama 1.4 Metode Peneltian 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk meneliti tentang sinkronisasi hukum mengenai asas monogami tidak mutlak, yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yang merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi, yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal; untuk kemudian disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal ini, adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Komplikasi Hukum Islam 3. Sumber Data Sumber data yang penulis berikan adalah data sekunder, dimana data-data tersebut diperoleh melalui bahan-bahan perpustakaan, peraturan perundang-undangan yang terkait, dan berbagai literatur yang terkait dengan topik pembahasan dalam penelitian. Tinjauan Teoritisasas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan (Dahlan Hasyim) 303

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 4. Cara Pengumpulan Data Data yang didapat penulis untuk menyusun penelitian didapat dari studi kepustakaan, dengan maksud untuk memperoleh data sekunder yang berkaitan dengan asas monogami tidak mutlak khususnya dan hukum perkawinan 5. Analisis Data Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode deskriptif, maka analisis data yang dipakai adalah analisis kualitatif terhadap data sekunder yang ada yang diperoleh dari pengadilan Agama berupa putusan. 2 Tinjauan Teoritis Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa Dari pengertian di atas, terlihat bahwa perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama atau kerohaniawan sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting. Menurut agama Islam, pasal 2 dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia berbunyi Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholidhoh untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakan berdasarkan ibadah. Dari sudut sosial, perkawinan merupakan sarana untuk meningkatkan status seseorang dalam masyarakat. Orang yang sudah berkeluarga lebih dihargai dari para orang yang belum berkeluarga. Sedangkan dari sudut agama, perkawinan itu dianggap sebagai suatu lembaga yang suci, sebag pasangan suami istri dihubungkan dengan mempergunakan nama Allah. 2.1 Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan, menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan masih berpegang teguh pada rumusan pasal 1, yaitu pada kalimat dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia 304 Volume XXIII No. 2 April Juni 2007 : 300-311

dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.Rumusan tersebut mengandung harapan, bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan, baik materi maupun spiritual. Kebahagiaan yang kekal yang hanya d 2.2 Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan, menutut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan masih berpegang teguh pada rumusan pasal 1, pada kalimat dengan tujuan mementuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bedasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.Rumusan tersebut mengandung harapan, bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan, baik materi maupun spiritual. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal yang hanya dapat berakhir dengan kematian salah satu pasangan tersebut. Berdasarkan pandangan hal tersebut, maka pembuat Undang-Undang memberikan batasan yang ketat terhadap pemutusan perkawinan selain daripada kematian. Menurut Agama Islam, tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perizinaan agar tercipta ketenangan dan ketentraman keluarga dan masyarakat (Ramulyo 1974:26). Agama Islam menyariatkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu, antara lain ialah : a. Untuk melanjutkan keturunan b. Untuk menjaga diri dari pebuatan maksiat c. Menimbulkan rasa kasih sayang. d. Untuk menghormati sunah Rasul dan e. Untuk Membersihkan keturunan Tinjauan Teoritisasas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan (Dahlan Hasyim) 305

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 Dengan melakukan perkawinan, berarti seorang muslim telah mengikuti dan menghormati sunah Rasulnya, dan melalui perkawinan, akan dapat membuat terang keturunan, siapa anak siapa dan keturunan siapa. Sehingga tidak akan ada orang-orang yang tidak jelas asa-usulnya (Asmin 1986:29) Dari rumusan tersebut, Filosofi Islam Imam Ghazali membagi tujuan dari faedah perkawinan kepada lima hal seperti : a. Memperoleh keturunan yang sah, yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis utama dari masyarakat yang besar atas dasar kecntaan dan kasih sayang. e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rejeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggungjawab. (Ramulyo : 1990:27) 2.3 Sahnya Perkawinan Menurut UU No. 1 tahun 1974, perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum ditentukan oleh hukum positif di bidang perkawinan di Indonesia. Dengan demikian, sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan haruslah berdasarkan Ke-tuhanan Yang Maha Esa. Sah suatu perkawinan harus sesuai dengan hukum agamanya dari masing-masing calon suami dan calon istri itu (pasal 2 ayat 1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan). Di samping itu perkawinan itu harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan). Artinya, Indonesia menganut asas perkawinan agama (relligious marriage), dan juga perkawinan negara (civil marriage). Dan kalau dihubungkan dengan bunyi pasal 2 ayat 1 bahwa norma-norma hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari calon suami istri itu harus menjiwai perkawinan (Malik : 2001 : 26-27). Dengan menganut asas perkawinan negara (Civil Marriage), maka UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, juga memasukan unsur yuridis 306 Volume XXIII No. 2 April Juni 2007 : 300-311

yaitu melaksanakan perkawina harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang (pasal 2 ayat 2 sampai dengan pasal 10 UU No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan juncto Bab II, dan Bab II Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan (Malik : 2001 : 27). Agama Islam menentukan sahnya akad nikah, yaitu terdiri dari a. Dipenuhi rukun nikah b. Dipenuhinya syarat-syarat nikah c. Tidak melanggar larangan perkawinan yang ditentukan oleh syari at Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan, artinya, bila salah satu dari rukun nikah tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi suatu perkawinan. Sahnya suatu perkawinan menurut Islam sama halnya dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan, dimana menganut asas perkawinan agama dan asas perkawinan Negara. Kalau tidak terpenuhi asas perkawinan Negara, yang dalam hal ini dicatatkan, maka perkawinan hanya sah menurut hukum agama, tetapi tidak ada bukti yuridis berupa Akta Nikah untuk membuktikan bahwa perkawinannya sah di mata hukum dan negara. 3 Analisis dan Pembahasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan menyatakan bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang suami. Dengan kata lain, perkawinan menganut asas monogami. Hal ini tidak berlaku apabila terjadi keadaan seperti dimana salah satu pasangan meninggal dunia, bahwa pasangan yang ditinggal mati itu bisa menikah lagi. Terdapat perbedaan antara UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai asas monogami ini. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata asas monogami yang dianut adalah mutlak, yang dapat dilihat dalam pasal 27 kitab Undangundang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, dalam waktu yang sama, seorang laki hanya dipergolehkan mempunyai seorang perempuan sebagai istri, dan perempuan hany asatu laki-laki sebagai seorang suami. Poligami diberi tempat dengan terlihatnya beberapa pasal dan ayat yang mengaturnya. Namun demikian, walaupun poligami tersebut diberi Tinjauan Teoritisasas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan (Dahlan Hasyim) 307

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 tempat, akan tetapi itu bukan berarti bahwa poligami dijadikan asas dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut merupakan pengecualian saja, yang ditujukan khusus kepada orang yang menurut hukum dan agama atau kepercayaan mengizinkan untuk itu, atau dengan kata lain, poligami dibolehkan tetapi dengan pembatasan yang cukup berat, yaitu berupa suatu pemahaman syarat dengan alasan tertentu dan izin pengadilan. Poligami terdapat dalam kompolasi Hukum Islam yang masih berlaku atau masih dipakai sebagai pedoman bagi orang Islam yang menjalani suatu proses perkawinan. Poligami, dalam kompilasi hukum Islam, tercantum dalam pasal 55 ayat (1) yang meyatakan bahwa seroagn laki-laki yang boleh beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri, Dalam surat an-nisa dimana syarat utama seorang suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2); apabila syarat utama tersebut tidak dipenuhi, suami dilarang untuk beristri lebih dari seorang (pasal 5 ayat 3). Pengadilan Agama mutlak diperlukan bagi sahnya seorang suami untuk beristri lebih dari seorang. Permasalahan yang terjadi apabila sang istri menolak memberikan persetujuan dan permohonan ijin untuk beristri lebih dari satu, maka menurut pasal 59. Kompilasi hukum Islam, Pengadilan Agama dapat memberikan izin setelah mendengar dan memeriksa istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan Agama, dan terhadap ketepatan itu si Istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Tetapi pada kenyataannya, para istri merasa malu dan berat hati mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan Agama, yang menyangkut perkara poligami, dan masyarakat pada umumnya dianggap masih buta hukum dan belum mengerti akan hak-hak mereka secara hukum. Bila diartikan secara kumulatif, agaknya sulit didapat wanita yang dengan sukarela memberikan persetujuan kepada suaminya untuk beristri lebih dari satu orang. Oleh karena itu suami yang ingin beristri lebih dari seorang harus memiliki syarat pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu : a. Adanya persetujuan dari istri b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. 308 Volume XXIII No. 2 April Juni 2007 : 300-311

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka Dalam kasus, alasan-alasan tersebut di atas dipenuhi oleh suami yang ingin beristri lebih dari satu, terbukti dari bukti-bukti yang ada yaitu : a. Surat peryataan istri bersedia dimadu (P-3) b. Surat pernyataan suami berlaku adil (P-4) c. Surat keterangan kemampuan atau penghasilan suami guna menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak (P-5). Atas bukti-bukti itulah, maka hakim menganggap cukup alasan untuk suami beristri lebih dari satu orang. Dan karena itu hakim menetapkan ijin kepada suami untuk beristri lebih dari satu (poligami). 4 Penutup 4.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisa yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perkawinan monogami yang berlaku mutlak bagi istri, tetapi tidak mutlak bagi suami. Asas monogami, dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, ternyata terdapat suatu pengecualian, dimana pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan ketentuan, bahwa pengadilan dapat memberi izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami) apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan istri mengizinkan untuk itu. 2. Mengenai asas monogami tidak mutlak secara yuridis, yang termuat dalam pasal-pasal Undang-Undang tentang Perkawinan, sebenarnya, merupakan produk hukum dari pemerintah yang harus dijadikan pedoman bagi suatu proses perkawinan sehingga diharapkan dengan ditaatinya hukum tersebut dapat tercapai tujuan dari perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa. 3. Dengan adanya ijin untuk beristri lebih dari satu (poligami) yang diberikan oleh Pengadilan Agama, hendaknya segala persyaratan yang ada, yang dijadikan bukti oleh suami untuk beristri lebih dari satu, dalam Tinjauan Teoritisasas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan (Dahlan Hasyim) 309

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 persidangan harus dijalankan dengan benar, jangan sampai pihak suami nantinya mengurangi apa yang jadi kebutuhan istri pertama dan anakanaknya. Maka suami harus benar-benar melaksanakan perbuatan adil tersebut dengan sebenar-benarnya dalam kenyataan, karena apabila suami tidak dapat berlaku adil maka sang istri dapat menuntut pembatalan perkawinan suami dengan istri keduanya. 4.2 Saran Dengan memperhatikan dan mengamati beberapa kekurangan dalam pelaksanaan asas monogami tidak mutlak, yang berkaitan dengan dibolehkannya suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami), kiranya dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : 1. Kesadaran hukum dan moral suami yang ingin beristri lebih dari seorang, sebaiknya ditingkatkan, agar para suami yang ingin beristri lebih dari seorang, tidak mengambil kesempatan dan tidak berbuat sewenangwenang terhadap istri dengan adanya hak yang merupakan keuntungan dari pihak suami, yaitu hak untuk beristri lebih dari satu yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; kompilasi Hukum Islam, peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. 2. Pemerintah diharapkan lebih melindungi posisi wanita/istri agar menggunakan hak-hak hukumnya apabila sang istri menolak suaminya untuk beristri lebih dari satu sehingga tidak terjadi perceraian dalam rumah tangganya. ---------------------- 310 Volume XXIII No. 2 April Juni 2007 : 300-311

DAFTAR PUSTAKA Asmin. 1986. Status Perkawinan antar Agama. Jakarta : Dian Rakyat Hasan Djuhaedah. 1988 Hukum Keluarga. Bandung : Armico Ramulyo M. Idris. Tt. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan islam. Jakarta : IND-HILL-CO Malik Rusdi. 2001 Peranan Agama dalam Hukum Perkwinan Indonesia. Jakarta : Universitas Tri Sakti. ----------. 2001. Undang-Undang Perkawinan Jakarta : Universitas Trisakti. Sumber lain : Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Inpres Nomor 1 tahun 1991 atau Kompilasi Hukum Islam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentagn Perkawinan Tinjauan Teoritisasas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan (Dahlan Hasyim) 311