MENGENAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

dokumen-dokumen yang mirip
SEMINAR TENTANG ABK DISAMPAIKAN DALAM RANGKA KAB. BANDUNG BARAT (10 MEI 2008) OLEH: NIA SUTISNA, DRS. M.Si

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

Bagaimana? Apa? Mengapa?

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada setiap budaya dan lingkungan masyarakat, keluarga memiliki struktur yang

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

Gangguan Perkembangan Anak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan proses-proses sosial di dalam masyarakat (Bungin 2006: 48). Dalam lembaga

Pengantar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

PENDAHULUAN. berpotensi, karena itu pendidikan, pelatihan dan pembinaan untuk anak harus

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEMAMPUAN GURU DALAM MELAKUKAN IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSI Oleh : Hermanto SP

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

IDENTIFIKASI DAN ASESMEN KESULITAN BELAJAR ANAK

MATA KULIAH : PENDIDIKAN BERKEBUTUHAN KHUSUS (untuk mahasiswa Kebijakan

TINJAUAN MATA KULIAH...

PEMBELAJARAN MENULIS PERMULAAN PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SDN SEMPU ANDONG BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2012/2013

DISAMPAIKAN PADA KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN DI TEPUS GUNUNGKIDUL, 2013 Aini Mahabbati PLB FIP UNY

PENERIMAAN POSITIF TANPA SYARAT DALAM PENGASUHAN DAN PENDAMPINGAN ANAK ERKEBUTUHAN KHUSUS DI RUMAH DAN DI SEKOLAH 1

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

PENDIDIKAN BERKEBUTUHAN KHUSUS Anak-anak Berkelainan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta

Adhyatman Prabowo, M.Psi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis dalam pembangunan suatu

KARAKTERISTIK DAN JENIS KESULITAN BELAJAR ANAK SLOW LEARNER CHARACTERISTICS AND TYPE OF LEARNING DIFFICULTIES OF STUDENT WITH SLOW LEARNER

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. Deskripsi Kondisi Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

1 Universitas Indonesia

KOMITMEN KEPALA SEKOLAH DALAM MENYIAPKAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK ABK. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) MENUJU PENDIDIKAN BERMUTU DAN BERTANGGUNG JAWAB

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu

ALAT IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (AI ABK)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDIDIKAN SISWA BERKEBUTUAN KHUSUS. Kuliah 1 Adriatik Ivanti, M.Psi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepada sekolah, keluarga, serta masyarakat.

PENDAMPINGAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DALAM UPAYA PENINGKATAN KINERJA GURU

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

LAYANAN PSIKOLOGIS UNTUK SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS. Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaan kepada orang lain. 1. lama semakin jelas hingga ia mampu menirukan bunyi-bunyi bahasa yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

LAPORAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT TAHUN ANGGARAN 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

PROPOSAL INNOVATION AWARD Special Assistance Program: Program untuk Aksesibilitas Mahasiswa Berkebutuhan Khusus*

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

MENINGKATKAN KETERAMPILAN IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS BAGI MAHASISWA PROGRAM STUDI PG-PAUD FKIP UNIVERSITAS TADULAKO.

PENANGANAN INSTRUKSIONAL BAGI ANAK LAMBAT BELAJAR (SLOW LEARNER)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ASESMEN PENDIDIKAN ASESMEN MEDIS ASESMEN SOSIOKULTURAL ASESMEN PSIKOLOGIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki tingkat intelektual yang berbeda. Menurut Eddy,

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS. Al Darmono Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

Karakteristik Anak Usia Sekolah

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Inne Yuliani Husen, 2013

PELATINAN INTERVENSI DINI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS BAGI GURU-GURU PRA-SEKOLAH RAUDHATUL ATHFAL AR-RAHIAN BANTUL DENGAN MODEL AKMODATIF

Esti Wardani-Upaya Peningkatan Akses Pendidikan..

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asep Zuhairi Saputra, 2014

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS. Model Pembelajaran Langsung Berbasis Permainan Monopoli Modifikasi Terhadap Kemampuan Mengenal Nilai Uang Bagi Anak Autism

: Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa

Keywords: Changes in the performance of teachers in curriculum implementation

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB II LANDASAN TEORI. keadaan yang biasa, mempunyai kelainan dan tidak normal. Pada undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia

Educational Psychology Journal

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini sering dijumpai siswa sekolah dasar yang mempunyai kecerdasan

DISERTASI. diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau

Transkripsi:

MENGENAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Atien Nur Chamidah Jurs Pend. Luar Biasa Fak. Ilmu Pendidikan UNY atien@uny.c.id Anak berkebutuhan khusus atau yang pada masa lampau disebut anak cacat memiliki karakteristik khusus dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Tipe anak berkebutuhan khusus bermacam-macam dengan penyebutan yang sesuai dengan bagian diri anak yang mengalami hambatan baik telah ada sejak lahir maupun karena kegagalan atau kecelakaan pada masa tumbuh-kembangnya. Menurut Kauffman & Hallahan (2005) dalam Bendi Delphie (2006) tipe-tipe kebutuhan khusus yang selama ini menyita perhatian orangtua dan guru adalah (1) tunagrahita (mental retardation) atau anak dengan hambatan perkembangan (child with development impairment), (2) kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah, (3) hiperaktif (Attention Deficit Disorder with Hyperactive ), (4) tunalaras (Emotional and behavioral disorder), (5) tunarungu wicara (communication disorder and deafness), (6) tunanetra atau anak dengan hambatan penglihatan (Partially seing and legally blind), (7) autistik, (8) tunadaksa (physical handicapped), dan (9) anak berbakat (giftedness and special talents). Data dari Bank Dunia menunjukkan populasi anak berkebutuhan khusus di seluruh dunia mencapai 10 persen. Diperkirakan 85 persen anak berkebutuhan khusus di seluruh dunia yang berusia di bawah 15 tahun terdapat di negara berkembang. Lebih dari dua pertiga populasi tersebut terdapat di Asia. Terkait dengan kondisi yang kronis tersebut, anak juga membutuhkan perawatan kesehatan serta pelayanan lainnya termasuk layanan pendidikan yang lebih dari anak lain pada umumnya. Karakteristik anak berkebutuhan khusus dan hambatan yang mereka alami seringkali menyulitkan mereka mengakses layanan publik, seperti fasilitas di tempat umum yang tidak aksesibel bagi mereka, hingga layanan tumbuhkembang dan pendidikan yang relatif membutuhkan usaha dan biaya ekstra. Perbedaan karakteristik dan kebutuhan mereka dibanding anak-anak pada umumnya membutuhkan bentuk penanganan dan layanan khusus yang sesuai dengan kondisi mereka. Kondisi mereka yang berbeda bukan menjadi alasan untuk menghindari atau membuang mereka, melainkan justru membuahkan kesadaran untuk menghargai keragaman individu dan memberi perhatian dan layanan seideal yang seharusnya mereka terima. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Bandung: Indonesia menuju 1

Pendidikan Inklusi 2004 menyatakan bahwa keberadaan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya di Indonesia berhak mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945; serta mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara. Layanan untuk anak berkebutuhan khusus berusaha menjembatani hambatan yang dialami anak dan memanfaatkan potensi anak untuk dapat mengakses kesempatan hidup sebesar-besarnya. Layanan diberikan dengan berorientasi pada prinsip mempertimbangkan kesamaan masing-masing tipe anak berkebutuhan khusus dan juga perbedaan individual dari masing-masing tipe tersebut, menjaga sikap optimis untuk dapat memberi layanan baik pendidikan, medis, psikologis, maupun upayaupaya pencegahan, mengedepankan potensi anak daripada fokus pada hambatan mereka, dan memandang bahwa kebutuhan khusus bukanlah hambatan melainkan kurangnya kesempatan anak untuk melakukan sesuatu yang orang lain pada umumnya mampu lakukan, baik dalam hal tingkat kematangan (emosi, mental, dan atau fisik), kesempatan yang diberikan masyarakat kepada mereka untuk hidup normal, dan pengajaran atau pendidikan sesuai hak yang seharusnya mereka dapatkan (Hallahan & Kauffman, 2006). Ada bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus. Secara singkat masing-masing jenis kelainan dijelaskan sebagai berikut : 1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan khusus. 2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan khusus. 3. Tunadaksa/mengalami kelainan angota tubuh/gerakan 2

Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan khusus. 4. Berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata memerlukan pelayanan khusus. 5. Tunagrahita Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial. 6. Lamban belajar (slow learner) : Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulangulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik. 7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus, terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika. Permasalahan tersebut diduga disebabkan karena faktor disfungsi neurologis, bukan disebabkan karena faktor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal). Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti. 8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi; 3

Anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan. 9. Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain. 10. ADHD/GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas) ADHD/GPPH adalah sebuah gangguan yang muncul pada anak dan dapat berlanjut hingga dewasa dengan gejala meliputi gangguan pemusatan perhatian dan kesulitan untuk fokus, kesulitan mengontrol perilaku, dan hiperaktif (overaktif). Gejala tersebut harus tampak sebelum usia 7 tahun dan bertahan minimal selama 6 bulan. 11. Autisme Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, meliputi gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imaginatif, yang mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan anak yang termasuk autisme infantil gejalanya sudah muncul sejak lahir. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana orang tua dapat mengenali gejala-gejala kelainan yang terdapat pada anak berkebutuhan khusus sejak dini. Langkah termudah yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan memperhatikan tumbuh kembang anak. Identifikasi anak berkebutuhan khusus pada usia dini dapat dilakukan dengan pemantauan tumbuh kembang anak yang meliputi pemantauan dari aspek fisik, psikologi, dan sosial yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan. Usia dini, yaitu usia 0 sampai 6 tahun sering juga disebut sebagai fase Golden Age merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan 4

tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Pada masa golden age penanganan tepat yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus dapat meminimalisir hambatan yang terjadi pada anak dan secepatnya dapat diberikan intervensi sesuai dengan kebutuhan. Secara harfiah identifikasi berarti menemukan atau menemukenali. Dalam buku Identifikasi ABK dalam Pendidikan Inklusi istilah identifikasi anak dengan kebutuhan khusus dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional/tingkah laku) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal). Setelah dilakukan identifikasi, kondisi seseorang dapat diketahui, apakah pertumbuhan/perkembangannya termasuk normal atau mengalami kelainan/penyimpangan. Bila mengalami kelainan/penyimpangan, dapat diketahui pula apakah anak tergolong: (1) Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan; (2) Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran; (3) Tunadaksa/anak yang mengalami kelainan angota tubuh/gerakan); (4) Anak Berbakat/anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa; (5) Tunagrahita; (6) Anak lamban belajar; (7) Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, atau diskalkulia); (8) Anak yang mengalami gangguan komunikasi; dan (9) Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Identifikasi merupakan kegiatan yang sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan secara kasar apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Oleh karena itu, identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang terkait dengannya. Langkah berikutnya setelah identifikasi adalah asesmen. Assesmen bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, terapis, dan lain-lain. Pada tahun 1984, alat instrumen Ten Question (TQ) dikembangkan sebagai salah satu bagian dari International Pilot Study of Severe Childhood Disability (IPSSCD) yang didesain khusus untuk digunakan di negara yang mempunyai sumber daya layanan disabilitas yang terbatas. Instrumen ini telah direkomendasikan sengai alat ukur yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi disabilitas pada anak usia 5

dini di beberapa negara berkembang. Alat ini dapat digunakan oleh masyarakat secara umum yang tidak perlu dilatih sebagai tenaga ahli profesional (dokter umum, dokter spesialis anak, dan psikolog). TQ terdiri dari sepuluh pertanyaan pendek yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan perkembangan secara umum meliputi bicara, kognisi, pendengaran, penglihatan, motorik/fisik, dan gangguan kejang. Namun, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa alat ini lebih bermanfaat untuk mendeteksi gangguan kognitif sedang dan berat dibandingkan dengan disabilitas lainnya serta mempunyai hasil positif yang rendah secara umum. Oleh karena itu, The United Nations Children s Fund (UNICEF) lebih merekomendasikan TQ sebagai alat skrining untuk membantu mengidentifikasi anak yang mempunyai faktor resiko berkebutuhan khusus bukan sebagai alat untuk melakukan asesmen. Daftar Pustaka. Identifikasi ABK dalam Pendidikan Inklusif dari http://www.ditplb.or.id/profile. Diakses 3 Januari 2010. Bendi Delphie. (2006). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Rineka Cipta. Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (2006). Exceptional Learners: Introduction to Special Education 10th ed. USA: Pearson. Thornburn, M. Desai, P., Paul, T. J., Malcolm, L., Durkin M., & Davidson, L. (1992). Identification of childhood disability in Jamaica: The ten question screen. International Journal of Rehabilitation Research, 15, 115-127. Mung ala-odera, V., Meehan, R., Njuguna, P., Mturi, N., Alcock, K. J., & Newton, C. R. J. C. (2006). Prevalence and risk factors of neurological disability and impairment in children living in rural Kenya. International Journal of Epidemiology, 35, 683-688. Mirza I., Tareen A., Davidson, L. L., & Rahman A. (2009). Community management of intellectual disabilities in Pakistan: A mixed methods study. Journal of Intellectual Disability Research, 53 (6), 559-570. Zaman, S. S., Khan, N. Z., Islam, S., Banu, S., Dixit, S., Shrout, P., & Durkin, M. (1990). Validity of the Ten Questions for screening serious childhood disability: Results from urban Bangladesh. International Journal of Edimemiology, 19 (3), 613-620. United Nations Children s Fund & University of Wisconsin. (2008). Monitoring Child Disability in Developing Countries: Results from the multiple Indicator Cluster Surveys. New York: UNICEF. 6