INOVASI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN SECARA INTRAUTERI DENGAN MENGGUNAKAN SEMEN BEKU TERHADAP KEBUNTINGAN KAMBING (Effect of Intrauterine Artificial Insemination with Frozen Semen on Pregnancy of Goat) M. DOLOKSARIBU, F.A. PAMUNGKAS, S. NASUTION dan F. MAHMILIA Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1Sei Putih, Galang 20585, Sumatera Utara ABSTRACT Acceleration of Boerawa-Boerka meat-type goat production has been done through technological innovation done by intrauterine artificial insemination (AI). This activity was done at Indonesian Goat Research Center, Sei Putih, to determine pregnancy rate of local Kacang goat, Boerka and Peranakan Ettawa that were artificial inseminated with the help of laparoscope directly into uterine cornua. Frozen semen of Boer stud kind was used in the AI. Ninetythree dams consist of 3 main genotypes: PE, Boerka and Kacang were prepared but only 83 dams were ready to be inseminated-based on their body condition. This dams were prepared into two groups: 63 dams were synchronized by injecting Glandin-N hormone and18 dams that performed estrus naturally. Detection of estrus was done by vasectomized ram. Any dam showed after AI, would be inseminated again until it got pregnant. Result showed that the conception rate resulted from dam with estrus was higer (77.78%) compared to dams with hormone injection (13.84%). The overall service per conception was 2.13 until the dam got pregnant and kidding afterward. Intrauterine artificial insemination plays an important role in increasing productivity of goats and increase efficiency of the use of superior rams. Key Words: Artificial Insemination, Intrauterine, Service per-conception (S/C), Frozen cement ABSTRAK Akselerasi produksi kambing Boerawa-Boerka tipe pedaging melalui inovasi teknologi Inseminasi Buatan telah dilakukan di Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih, guna mengetahui tingkat kebuntingan induk kambing lokal Kacang, Boerka dan Peranakan Etawah yang diinseminasi secara intrauteri dengan menggunakan bantuan alat laparoskopi. Teknik inseminasi tersebut yaitu menyuntikkan/menyemprotkan sperma langsung ke dalam cornua uteri, sperma yang digunakan berasal dari pejantan unggul jenis Boer dalam bentuk semen beku. Total induk yang dipersiapkan pada kegiatan ini sebanyak 93 ekor yang terdiri dari 3 genotipe induk yaitu PE, Kacang dan Boerka, dari total yang dipersiapkan hanya 83 ekor induk yang layak di inseminasi berdasarkan kondisi tubuh. Induk yang di inseminasi dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu betina yang menunjukkan gejala birahi hasil sinkronisasi estrus dengan penyuntikan hormon Glandin-N sebayak 65 ekor dan betina yang mengalami gejala birahi alam sebanyak 18 ekor. Seluruh induk yang di inseminasi benar-benar menunjukkan gejala birahi melalui deteksi pejantan vasektomi. Setelah inseminasi, induk tersebut dirawat dan pada siklus birahi berikutnya dilakukan test kebuntingan melalui deteksi birahi dengan pejantan vasektomi. Apabila induk menimbulkan gejala birahi kembali akan dilakukan pengulangan inseminasi sampai betina tersebut bunting dan melahirkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Conception Rate pada induk kambing yang gejala birahinya secara alam lebih tinggi sebesar 77,78% dibandingkan dengan hasil penyerentakan birahi yaitu sebesar 13,84%. Berdasarkan jumlah pengulangan pelaksanaan inseminasi didapatkan Service per-conception (S/C) sebesar 2,13 hingga ternak tersebut bunting dan melahirkan. Teknlogi Inseminasi Buatan secara intrauteri mempunyai peranan penting dalam meningkatkan produktivitas kambing lokal sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul. Kata Kunci: Inseminasi Buatan, Intrauteri, Service per-conception dan Semen Beku 479
PENDAHULUAN Perkembangan populasi ternak kambing di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 15,6 juta ekor dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Ditinjau dari populasi sebelumnya selama kurun waktu lima tahun terakhir, rataan peningkatan populasi 3,30% per tahun. Peningkatan populasi ini disebabkan karena minat petani yang semakin tinggi dalam memelihara kambing untuk meningkatkan tingkat pendapatan, dan juga didukung oleh program pemerintah untuk memenuhi permintaan kebutuhan akan daging dalam negeri yang terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk secara nasional. Konsumsi rata-rata daging kambing yang mencapai 5,6 juta ekor/tahun baru sekitar 40% yang dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (DITJENNAK, 2009). Disamping itu, permintaan akan kambing hidup dari negara-negara di Timur Tengah dan Malaysia belum dapat dipenuhi oleh Indonesia. Dari populasi kambing yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, hampir seluruhnya berupa usaha peternakan rakyat dengan skala pemeliharaan sekitar 2 7 ekor serta produktivitasnya relatif masih rendah (SETIADI et al., 1995). Rendahnya produktivitas biologis ternak menurut BRADFORD (1993) dapat disebabkan adanya keterbatasan potensi genetik dan atau lingkungan. Keterbatasan potensi genetik kambing lokal adalah tidak dikhususkan untuk sifat produksi tertentu. Namun demikian keunggulan kambing lokal adalah dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi setempat disertai dengan tingkat kelahiran anak sekelahiran cukup tinggi sebesar 1,57 ekor, akan tetapi kambing Kacang ini memiliki keterbatasan yaitu memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil, dengan rataan bobot badan dewasa yang cukup rendah yaitu sekitar 22 kg dan tidak mampu untuk bersaing dalam memenuhi kebutuhan ekspor dengan kisaran bobot hidup dewasa minimal 35 kg (SETIADI et al., 2002). Sedangkan kambing PE memiliki potensi produksi sebagai penghasil susu dan daging dengan bobot lahir anak berkisar 2,5 5 kg, jumlah anak sekelahiran 1 3 ekor (SUTAMA et al., 1997). Bobot hidup kambing PE jantan dan betina dewasa berturutturut adalah 40,8 dan 38 kg (SUBANDRIYO et al., 1995). Metode untuk meningkatkan produktivitas kambing lokal dilakukan dengan cara perbaikan mutu genetik melalui teknologi pemuliaan yang hasilnya relatif cepat dan cukup memuaskan adalah menyilangkan (cross breeding) dengan genotipe kambing unggul impor, seperti diuraikan INOUNU et al. (2002). Pejantan unggul yang digunakan untuk memperbaiki mutu genetik Kambing lokal diantaranya kambing Boer. Kambing Boer adalah kambing tipe pedaging yang baik karena mempunyai konfirmasi tubuh yang baik dengan tulang rusuk yang lentur, panjang badan, dan perototan yang baik pula. Kambing Boer dapat hidup pada suhu lingkungan yang ekstrim dan mudah beradaptasi terhadap perubahan suhu lingkungan. Pertambahan bobot badan mencapai 200 400 g/hari pada kondisi pakan baik, bobot badan umur 2 3 tahun untuk betina berkisar 80 90 kg dan pada yang jantan berkisar 120 150 kg (TED dan SHIPLEY, 2005). Introduksi kambing Boer dengan Peranakan Ettawah melalui metode persilangan mulai berkembang dan banyak jumlahnya terutama di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung dimana kambing hasil persilangan tersebut dinamakan kambing Boerawa. SULASTRI dan KISTON (2007) melaporkan bahwa rataan bobot lahir kambing Boerawa mencapai 3,83 kg dengan bobot sapih dan bobot hidup umur 1 tahun berturut-turut sebesar 24,62 dan 41,28 kg. Sedangkan dalam rangka introduksi kambing Boer dengan Kacang, Balai Penelitian Ternak Bogor telah melaksanakan penelitian dimana produktivitas kambing persilangan tersebut (Boerka) sampai generasi pertama menunjukkan keunggulan 20 35% dibandingkan dengan kambing Kacang (SETIADI et al., 2002). Perkawinan secara alami yang tidak teratur kurang efisien dilihat dari pemanfaatan pejantan Boer dengan jumlah yang masih terbatas, sehingga pendekatan perkawinan secara Inseminasi Buatan (IB) merupakan alternatif pilihan yang bisa diterapkan dalam mempercepat program peningkatan kualitas dan penyebaran bibit ternak. Teknologi IB mempunyai peranan penting dalam mengoptimalkan program seleksi dan merupakan sarana untuk mengontrol waktu 480
kelahiran (LEBOEUF et al., 1998). IB pada kambing mempunyai keuntungan yaitu selain untuk meningkatkan populasi, peternak tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan pejantan dan mendapatkan sumber spermatozoa yang berasal dari pejantan unggul. Selain itu dengan Inseminasi Buatan penularan penyakit terutama penyakit kelamin dapat dihindari (HUNTER, 1995). MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih, Sumatera Utara. Materi ternak yang digunakan dalam penelitian akselerasi produksi pembentukan kambing Boerawa dan Boerka melalui Inseminasi Buatan secara intrauteri dengan bantuan alat laparoskopi sebanyak 27 ekor induk kambing Kacang, 29 ekor induk kambing Boerka dan 37 ekor Peranakan Etawah dengan total induk sebanyak 93 ekor. Seluruh induk yang digunakan pada penelitian ini telah dianggap tidak bunting berdasarkan hasil deteksi birahi dengan menggunakan pejantan vasektomi. Dari hasil deteksi seluruh induk yang memperlihatkan tanda birahi, dikumpulkan dan ditempatkan di dalam kandang secara berkelompok, dimana masing-masing kelompok berjumlah 10 15 ekor, dengan model pemeliharaan melalui pemberian sumber bahan makanan dalam bentuk konsentrat dan hijauan pakan ternak yang lebih baik. Pemberian konsentrat sebanyak 200 400 g/ekor/hari diberikan pada waktu pagi hari. Sedangkan hijauan pakan berupa rumput dalam bentuk potong angkut dengan jumlah pemberian berkisar antara 4 5 kg segar per ekor per hari diberikan pada waktu siang dan sore hari. Pemberian air minum diberikan secara ad libitum. Sebelum pelaksanaan Inseminasi Buatan secara intrauterin, seluruh induk terlebih dahulu diseragamkan masa birahinya dengan menggunakan Glandin N yang mengandung 5 mg/ml Dinoprost Produksi Jerman secara intramuscular dengan dosis 1 cc/ekor. Timbulnya birahi pada ternak kambing yang disinkronisasi umumnya terjadi 72 jam setelah penyuntikan. Bagi ternak kambing yang mengalami birahi tenang (silent heat), maka penempatan pejantan vasektomi pada kelompok betina juga dilakukan untuk membantu sebagai pendeteksi induk birahi, sehingga kegagalan kebuntingan setelah pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) dapat dihindari. Teknologi IB dilaksanakan terhadap ternak kambing yang terdeteksi birahi. Teknik inseminasi yang dilakukan yaitu inseminasi intrauteri (intrauterine insemination). Teknik ini dilakukan dengan meletakkan/ menyuntikkan semen beku langsung melalui AI Gun ke dalam cornua uteri dengan bantuan alat laparoskopi yang sebelumnya dilakukan pembedahan lokal sebagai tempat menyisipkan kanula/trokat agar AI Gun bisa melewati rongga perut. Setelah pelaksanaan Inseminasi Buatan seluruh induk akan diperiksa kembali tingkat keberhasilan hasil inseminasi berdasarkan siklus birahi berikutnya dengan penempatan pejantan vasektomi. Bila dijumpai induk yang menimbulkan gejala birahi akan dilakukan pengulangan inseminasi hingga bunting, akan tetapi pada pengulangan inseminasi ini merupakan hasil birahi alam tanpa penggunaan hormon. Parameter yang diamati adalah yaitu persentase jumlah induk bunting perinseminasi (Conception Ratio) dan frekuensi pengulangan inseminasi induk yang tidak bunting hingga bunting dan melahirkan (Service per-conception). Seluruh data yang terkumpul ditabulasi dengan uji rata-rata berdasarkan T Test. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi dan lingkup penelitian Penelitian akselerasi prouktivitas untuk pembentukan genotipe kambing Boerawa- Boerka tipe pedaging bobot dewasa 40 60 kg melalui inovasi teknologi Inseminasi Buatan secara intrauteri telah dilakukan di Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih, dengan mengawinkan sebanyak 93 ekor induk yang terdiri dari 3 genotipe yaitu Kacang, Boerka dan PE. Model perkawinan yang dilakukan yaitu melalui Inseminasi Buatan pembedahan dengan bantuan alat laparoscopi, dimana sperma (straw) pejantan Boer disuntikkan langsung ke cornua uteri induk kambing yang sedang estrus. 481
Penampilan induk hasil inseminasi buatan Sebanyak 93 ekor induk kambing yang dikumpulkan dianggap tidak bunting, kemudian seluruh induk tersebut terlebih dahulu dilakukan penyerentakan birahi secara bertahap melalui pengelompokan hari kerja selama 3 hari, pengelompokan hari tersebut sangat berhubungan terhadap tingkat kemampuan kerja pelaksanaan inseminasi dalam satu hari. Hasil pelaksanaan Inseminasi Buatan melalui pembedahan dengan bantuan alat laparoscopi dapat ditunjukkan pada Tabel 1. Dari total induk kambing yang dipersiapkan untuk pelaksanaan Inseminasi Buatan, ternyata sebanyak 83 ekor induk yang layak dan 10 ekor tidak layak atau gagal diinseminasi. Dari induk yang layak di inseminasi hasil penyerentakan birahi melalui penyuntikan hormon Glandin-N sebanyak 65 ekor dan 18 ekor diinseminasi dari birahi alam melalui deteksi pejantan vasektomi. Kegagalan induk yang tidak layak diinseminasi hasil sinkronisasi estrus (10 ekor) terdiri dari 6 ekor mengalami keguguran, 3 ekor kegemukan dan 1 ekor dianggap mandul karena organ reproduksinya (cornua uteri) kecil (kisut). Hasil tabulasi data penampilan induk kambing yang di inseminasi berdasarkan conception ratio sangat bervariasi diantara ketiga genotipe induk kambing, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Conception ratio (CR) dari inseminasi pertama merupakan salah satu tolok ukur untuk menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan hasil inseminasi, karena semakin banyak induk bunting per-inseminasi maka nilai conception ratio akan semakin tinggi. Tabel 2 memperlihatkan bahwa induk kambing Kacang memberikan nilai Conception Ratio tertinggi yaitu sebesar 43,48% kemudian diikuti dengan kambing Boerka 20,69% dan yang terendah adalah kambing PE sebesar 9,68%. Tingginya nilai Conception Ratio pada kambing Kacang dapat dimungkinkan karena induk yang di inseminasi bersumber dari birahi alam. Untuk lebih jelasnya pengulangan inseminasi pada siklus estrus berikutnya setelah inseminasi hasil sinkronisasi dan birahi alam dapat ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil tabulasi data berdasarkan Conception Ratio induk yang diinseminasi lebih tinggi dijumpai pada induk-induk kambing yang menunjukkan gejala birahinya secara alam (77,78%) dibandingkan dengan hasil sinkronisasi (13,84%). Rendahnya conception ratio pada induk hasil sinkronisasi mungkin dapat dipengaruhi oleh tingkat kematangan ovum dalam proses ovulasi sehingga tidak mengakibatkan terjadinya fertilisasi. Tabel 1. Jumlah induk kambing yang di inseminasi berdasarkan genotipe Uraian Genotipe (ekor) PE Kacang Boerka Jumlah Sinkronisasi 34 18 23 75 Birahi alam 3 9 6 18 Inseminasi I 31 23 29 83 Gagal inseminasi 6 4-10 Tabel 2. Conception Ratio induk hasil inseminasi Uraian Genotipe PE Kacang Boerka Jumlah Inseminasi I 31 23 29 83 Bunting 7 10 6 23 Inseminasi II*) 24 13 23 60 Conception Ratio (%) 9,68 43,48 20,69 27,71 *) Induk gagal bunting hasil deteksi birahi melalui jantan vasektomi (pengulangan inseminasi) 482
Tabel 3. Distribusi pengulangan inseminasi induk antara sinkronisasi dan birahi alam pada siklus estrus berikutnya Genotipe Sinkronisasi Birahi alam IB-1 Bunting CR (%) IB-1 Bunting CR (%) IB 2*) Bunting CR (%) PE 28 4 14,28 3 3 100 24 19 79,17 Kacang 14 3 21,43 9 7 77,78 13 10 76,92 Boerka 23 2 8,69 6 4 66,67 23 18 78,26 Jumlah 65 9 13,84 18 14 77,78 60 47 78,33 *) Induk gagal bunting dari sinkronisasi hormon dan birahi alam Pengulangan inseminasi merupakan bagian dari kegagalan kebuntingan, kegagalan ini mungkin dapat diakibatkan oleh beberapa faktor seperti hanya kondisi induk, kualitas straw, proses pelaksanaan inseminasi dan tingkat kematangan sel telur (ovum) yang dibuahi. Dari hasil Conception Ratio yang diperoleh pada penelitian ini khususnya induk yang birahi alam yaitu sebesar 77,78%, nilai ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian FAIR et al. (2005) dengan tingkat keberhasilan 40 62% pada metode IB dan penggunaan semen beku yang sama. Dan hampir sama dengan hasil penelian HILL et al. (1998) pada penggunaan semen cair angka keberhasilannya mencapai 70 80%. Demikian juga terhadap service perconception (S/C) pada hasil pelaksanaan Inseminasi Buatan secara intrauterin pada kambing juga sebagai penentu keberhasilan kebuntingan, dimana total pengulangan inseminasi hingga bunting dan melahirkan akan menentukan terhadap nilai ekonomi produksi pemeliharaan kambing, semakin rendah nilai service per-conception maka effisiensi pemeliharaan kambing akan semakin baik. Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini, nilai service per-conception hasil Inseminasi Buatan secara intrauterin dapat diperlihatkan pada Tabel 4. Dari total 83 ekor induk yang telah dilaksanakan Inseminasi Buatan secara intrauteri diperoleh pengulangan Inseminasi Buatan sebanyak 177 kali dengan rataan nilai angka kebuntingan hingga melahirkan (service per-conception) adalah sebanyak 2,13. Berdasarkan nilai service per-conception yang dilaksanakan ternyata induk kambing Boerka menggambarkan hasil yang lebih baik yaitu sebesar 1,83 dibandingkan dengan induk Kacang (2,26) dan induk PE (2,32). Dari nilai yang diperoleh berarti nilai keberhasilan kebuntigan per- inseminasi dengan penggunaan semen beku adalah sebesar 46,94%. Dari nilai yang diperoleh masih lebih baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian RITAR et al. (1990) dengan metode intra-uteri adalah sebesar 44,9%. Dengan demikian melalui teknologi ini mempunyai peranan penting dalam mendukung program proses percepatan penyebarluasan bibit unggul kambing persilangan dalam peningkatan produktivitas kambing secara lokal dan juga efisiensi pemanfaatan pemeliharaan pejantan unggul. Tabel 4. Service per-conception (S/C) induk kambing hasil Inseminasi buatan secara intrauteri Uraian Genotype PE Kacang Boerka Ternak IB 31 23 29 83 Jumlah Pengulangan IB 72 52 53 177 Service per-conception (S/C) 2,32 2,26 1,83 2,13 483
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan inseminasi buatan secara intrauterin dengan bantuan alat laporoskopi pada induk kambing untuk mempercepat proses pembentukan kambing unggul persilangan seperti kambing Boerka dan Boerawa sangat layak dilakukan, dimana Service per-conception atau yang sering disebut dengan jumlah pengulangan inseminasi per-ekor induk hingga melahirkan yang diperoleh yaitu sebanyak 2,13. DAFTAR PUSTAKA BRADFORD, G.E. 1993. Small ruminant breeding strategies for Indonesia. Proc. of workshop. Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Research Institute for Animal Production, Ciawi, Bogor, Indonesia. pp. 83 94. 2009. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. DITJENNAK. FAIR, S., J.P. HANRAHAN, C.M. O MEARA, P. DUFFY, D. RIZOS, M. WADE, A. DONOVAN, M.P. BOLAND, P. LONERGAN and A.C. EVANS. 2005. Differences between Belclare and Suffolk ewes in fertilization rate, embryo quality and accessory sperm number after cervical or laparoscopic artificial insemination. Theriogenol. (63): 1995 2005. HILL, J.R., J.A. THOMPSON and N.R. PERKINS. 1998. Factors affecting pregnancy rates following laparoscopic insemination of 28,447 Merino ewes under commercial conditions: a survey. Theriogenol. 49: 697 709. HUNTER, R.H.F. 1995. Fisiology and technology of reproduction in domestic animal s. Bandung Institute of Technology, Bandung pp.: 51 56, 73 79. INOUNU, I., N. HIDAYATI, A. PRIYANTI dan B. TIESNAMURTI. 2002. Peningkatan produktivitas domba melalui pembentukan rumpun komposit. Kumpulan hasil-hasil penelitian APBN Tahun Anggaran 2001. Balitnak, Ciawi, Bogor. hlm. 104 116. LEBOEUF, B., E. MANFREDI, P. BOUE, A. PIACERE, G. BRICE, G. BARIL, C. BROQUA, P. HUMBLOT and M. TERQUI. 1998. Artificial insemination of dairy goats in France. Livestock Prod. Sci. 55: 193 203. RITAR, A.J., P.B. BALL and P.J. O MAY. 1990. Artificial Insemination of Chasmere goats effect on fertility and secundity of intravaginal treatment, method and time insemination, semen freezing process, number of motile spermatozoa and age of females. Reprod. Fert. Dev. 2: 377 384. SETIADI, B., SUBANDRIYO and L.C. INIQUEZ. 1995. Reproductive performance of small ruminant in an Outreach Pilot Project in West Java. JITV 1(2): 73 80. SETIADI, B., SUBANDRIYO, M. MARTAWIDJADJA, I.K. SUTAMA, U. ADIATI, D. YULISTIANI dan D. PRIYANTO. 2002. Evaluasi keunggulan produktivitas dan pemantapan kambing persilangan. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2001. Balitnak, Ciawi, Bogor. hlm. 123 142. SUBANDRIYO, B. SETIADI, D. PRIYANTO, M. RANGKUTI, W.K. SEJATI, D. ANGGRAENI, R.S.G. SIANTURI, HASTONO dan S.B. OLAN. 1995. Analisis Potensi Kambing Peranakan Ettawah dan Sumber Daya di Daerah Sumber Bibit Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Purwirejo. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. SULASTRI dan A. QISTHON. 2007. Nilai Pemuliaan Sifat-Sifat Pertumbuhan Kambing Boerawa Grade 1 4 pada Tahapan Grading Up Kambing Peranakan Etawah Betina oleh Pejantan Boer. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2007/2008. Universitas Lampung. SUTAMA, I.K, B. SETIADI, I.G.M. BUDIARSANA dan U. ADIATI. 1997. Aktivitas seksual setelah beranak dari kambing perah peranakan Etawah dengan tingkat produksi susu yang berbeda. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 18 19 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 401 409. TED dan L. SHIPLEY. 2005. Mengapa harus memelihara Boer daging untuk masa depan. http ://www.indonesiaboergoat.com. (31 Juli 2007). 484