BAB I PENDAHULUAN. diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya. 1 Salah satu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana

I. PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia sekarang ini melaksanakan pembaharuan hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemidanaan terhadap Pecandu Narkotika merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

OLEH : Ni Ketut Arie Setiawati. A.A Gde Oka Parwata. Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan dengan upaya secara terus

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan dapat menangkal. tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

SKRIPSI. UPAYA REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA OLEH BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNNK/KOTA) PADANG (Studi Kasus di BNNK/Kota Padang)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang kompleks dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

JURNAL TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMIDANAAN TERHADAP PECANDU NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. untuk didapat, melainkan barang yang amat mudah didapat karena kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB III PENUTUP. diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: penyalahgunaan psikotropika dapat dengan menggunakan diskresi, yaitu

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan Narkotika sebagai suatu tindak pidana telah memunculkan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. cara untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu tidak semua cara untuk memenuhi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

PELAKSANAAN TUGAS INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR DI PUSKESMAS PERKOTAAN RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT

I. PENDAHULUAN. 1998, dimana banyak terjadi peristiwa penggunaan atau pemakaian barang-barang

BAB III PENUTUP. hukum ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

I. PENDAHULUAN. harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan kemajuan teknologi. Adanya perkembangan dan kemajuan

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB IV SIMPULAN A. SIMPULAN

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan pengobatan manusia, yaitu sebagai obat untuk mengobati suatu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

I. PENDAHULUAN. peredaran gelap narkoba menyebabkan penyalahgunaan yang makin meluas dan. merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Keberhasilan pembangunan Bangsa Indonesia ditentukan oleh Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. bius (Chloric Ether atau Chloroform), yang dipergunakan hingga sekarang.

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB III PENUTUP. mengambil kesimpulan sebagai berikut: dilakukan oleh anak-anak, antara lain : bentuk penanggulangan secara preventif yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. Internasional. Tidak mustahil peredaran narkotika yang sifatnya telah

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

HALAMAN JUDUL TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksaanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam pelaksanaannya. 1 Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum pidana adalah kemajuan teknologi dan informasi. 2 Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari: 3 1. Sudut pendekatan kebijakan a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah- masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). 1 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 38. 2 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm.1. 3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada, 2008), hlm. 31-32.

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2. Sudut pendekatan nilai Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilososfis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila dilihat dari perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau. 4 Sanksi (bijzonder pidana leed) bertujuan kepada memberikan pelanggar supaya penderitaan ia istimewa merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap 4 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1. 2

pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku. 5 Menurut Alf Ross, untuk dapat dikategorikan sebagai sanksi pidana (punishment), suatu sanksi harus memenuhi dua syarat atau tujuan. Pertama, pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan. Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. 6 Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku. 7 Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. 8 Landasan pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana. Hakim dapat mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk kasus tertentu dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana. Untuk pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat. 5 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 5. 6 Ibid. 7 M. Sholehuddin, op.cit., hlm. 162. 8 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta; Sinar Grafika, 1996), hlm. 3. 3

Ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat, tetapi juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan. Digunakannya pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si pembuat untuk mengulangi perbuatannya. 9 Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkoba digunakan untuk hal-hal negatif. 10 Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika; dan 9 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 86. 10 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta- PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 100. 4

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi bagi Penyalahguna dan pecandu narkotika. medis dan sosial Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Disamping itu, melalui perkembangan adanya teknologi informasi dan komunikasi, dan penyebaran narkotika yang juga telah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepaskan ketergantungannya. 11 Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hampir di segala bidang. 12 Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu: 13 a. 11 Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku. Ibid., hlm. 101. 12 Moh. Taufik Makarao, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 74-75. 13 Ibid., hlm. 49-50. 5

b. c. d. e. f. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Pecandu narkotika merupakan self victimizing victims, karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Hal yang menarik dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Secara tersirat, kewenangan ini, mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi kerap disebut dengan self victimization atau victimless crime. Uraian dalam pasalnya menitikberatkan kekuasaan hakim dalam memutus perkara pada narkotika. Sayangnya rumusan tersebut tidak efektif dalam kenyataannya. Peradilan terhadap pecandu napza sebagian besar berakhir dengan vonis pemenjaraan dan bukan vonis rehabilitasi sebagaimana yang termaktub dalam undangundang tersebut. 14 14 http://www.ikonbali.org/09/03/2010/dokumentasi/sema-dan-legitimasi-dekriminalisasipecandu.html. diakses pada tanggal 18 Maret 2016. Lihat juga Pasal 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 6

Setelah undang-undang narkotika berjalan hampir selama 12 tahun, pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA RI Nomor 7 Tahun 2009) yang ditujukan kepada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di seluruh Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009. Tentunya Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan langkah maju didalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perilaku biasa. Hukuman penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika. Undang-undang tentang narkotika dalam perkembangannya telah diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Telah terjadi suatu pembaharuan hukum dalam ketentuan undang-undang ini, yakni dengan adanya dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban 7

penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2008 juga telah mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, yang diatur dalam Pasal 110 : (1) Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang: a. kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau b. mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa. (2) Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah maupun swasta. Reformasi hukum pidana dalam undang-undang narkoba di Indonesia tampak sekali berproses dalam suatu dinamika perkembangan sosial dan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas di Indonesia, yang menuntut tindakan dan kebijaksanaan antisipatif. Reformasi hukum pidana tersebut, khususnya ketentuan yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, merupakan bentuk langkah pembaharuan hukum pidana nasional yang menunjukkan adanya kebijakan hukum pidana yang merupakan kebijakan yang bertujuan agar pengguna narkotika tidak lagi menyalahgunakan narkotika tersebut. Dengan adanya reformasi hukum yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, peneliti tertarik untuk membahas tentang kebijakan hukum pidana dalam menentukan proses rehabilitasi pelaku tindak pidana narkoba di Kabupaten Rembang. 8

Adapun proses rehabilitasi para pengguna Narkoba di kabupaten Rembang, dilakukan oleh tim asesor. Tim itu terdiri dari Satuan Reserse Narkoba, dokter yang telah mempunyai sertifikasi dan pihak Kejaksaan Negeri Rembang. Mereka bertugas mengecek dan menelusuri rekam jejak pengguna Narkoba, apakah yang bersangkutan layak masuk rehabilitasi atau tidak. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemanfaatan kebijakan tersebut oleh bandar, namun mengaku hanya sebagai pemakai Narkoba. Berdasarkan uraian di atas saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Kebijakan Hukum Pidana dalam kaitannya dengan proses rehabilitasi guna menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dengan mengambil judul: Kebijakan Hukum Pidana Melalui Proses Rehabilitasi Guna Menanggulangi Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Rembang). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan diatas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kebijakan hukum pidana melalui proses rehabilitasi guna menanggulangi penyalahgunaan tindak pidana narkotika? 2. Bagaimanakah Pelaksanaan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Rembang? 3. Kendala apakah yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika di Kabupaten Rembang? 9

C. Tujuan Penelitian Mengacu pada perumusan masalah maka tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui rehabilitasi guna implementasi hukum pidana melalui proses menanggulangi penyalahgunaan tindak pidana narkotika. 2. Untuk mengetahui implementasi rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Rembang? 3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika di Kabupaten Rembang D. Manfaat Penelitian Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan tesis ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya: 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana mengenai penanganan kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 10

a. Aparat penegak hukum agar dapat mengetahui bagaimana tindakan penegakan hukum dalam penanganan kasus penyalahgunaan narkotika. b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana dalam perumusan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika. E. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributive, deterrence, treatment, social defence. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment dan social defence. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang 11

yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 15 Treatment sebagai tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).16 Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih 15 Sebelum lahirnya teori treatment ini, sebelumnya ada beberapa teori lain tentang pemidanaan, yaitu: a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (retributive) Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-semata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. b. Teori Detterence Teori ini dibagi menjadi teori special deterrence dan general deterrence. Dalam teori special defence. Efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan dilakukan, sehingga terpidana tidak akan lagi melakukan kejahatan serupa di masa datang.teori ini disebut juga dengan penjeraan yang bermaksud agar pelanggar menjadi jera. Oleh H. L. Packer disebutdengan intimidation theory.sedangkan di dalam teori general deterrence (pencegahan umum), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan. Pencegahan umum ini dilakukan melalui pemidanaan yang dijatuhkan secara terbuka atau diketahui umum sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan yang sama. 16 C. Ray Jeffery dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 79 12

bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. 17 Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang mengenai bahaya digemari sosial dalam yang kriminologi. Pengamatan potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Menurut Herbert L. Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan karena dalam menjatuhkan sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku, bukan kepada perbuatannya. Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan tersebut untuk menjadi lebih baik. 18 Kemudian, setelah lahirnya teori treatment, maka lahirlah teori socialdefence, yaitu: Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga menganut teori social defence sebab merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika. teori Social defence berkembang setelah Perang Dunia ke-2. Tokoh terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua konsepsi yaitu: 19 1. Konsepsi radikal (ekstrim), dan 17 Ibid., hlm. 81-82. Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, (California: Stanford University Press, 1968), hlm. 54. 18 19 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hlm. 35-38 13

2. Konsepsi yang moderat (reformist) Konsepsi radikal dipelopori dan dipertahankan oleh Filippo Gramatica. Menurut Gramatica, hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Konsepsi moderat dipertahankan oleh Marc Ancel. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat memasyarakatkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan- peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat: 20 1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi- konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsikonsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri; 3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari 20 Marc Ancel, Social Defence, Modern Problem, (London:Roatledge & Paul Keagen, 1965), hlm. 35. 14 Approach to the Criminal

kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. 2. Kerangka Konsep Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua(dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 21 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefenisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: 1. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa. 22 2. Yuridis adalah menurut hukum; berdasarkan hukum disebut pula rechtens (Belanda). 23 3. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. 24 4. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas 21 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 7. 22 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 32 23 Ibid., hlm. 201. Pasal 1 butir 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 24 15

pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 25 5. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 26 6. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. 27 7. Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. 28 8. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. 29 9. Menurut Barda Nawawi Arief, Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilainilai sentral sosio-politik, sosio- filosofik dan sosio-kultural 25 Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 27 Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 28 Pasal 1 butir 14 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 29 Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 26 16

masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 30 Secara singkat, dapatlah dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( policy-oriented approach ) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ( value-oriented approach ). F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah memakai pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma pertimbangan bahwa titik hukum tolak positif. 31 dengan penelitian untuk menganalisis rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam perspektif pembaharuan hukum pidana nasional, jadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif yang mengatur tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu: a. Bahan Hukum Primer 30 Tongat, op.cit, hlm. 21 Johnny Ibrahim, Teori dan (Bayumedia: Surabaya, 2008), hlm. 282. 31 Metodologi 17 Penelitian Hukum Normatif,

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang- undangan yang diurut berdasarkan hierarki.32 Seperti peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan narkotika dan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. 33 Dalam hal penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku teks tentang narkoba, politik hukum pidana, pembaharuan hukum pidana, dan buku teks tentang fungsi mahkamah agung bersifat pengaturan. 32 33 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 141 Jhonny Ibrahim, op.cit., hlm. 296. 18

c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.34 Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kamus hukum dan situs web. Kemudian, penelitian ini didukung oleh data primer, berupa hasil wawancara dengan beberapa nara sumber seperti seorang hakim Pengadilan Negeri Rembang, kepala bidang pembinaan Lembaga Pemasyarakatan, pelaksana harian Pusat Rehabilitasi Ketergantungan Narkoba, pakar hukum pidana, dan seorang staf ahli bidang hukum BNN. 3. Teknik Pengumpulan Data Baik bahan hukum primer, sekunder maupun tersier dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem bola salju dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komperhensif. 35.. 4. Analisis Data Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Analisa kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan anatara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara 34 35 Ibid Ibid., hlm. 392. 19

deskriptif36 sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. G. Sistematika Penelitian Sistematika adalah gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya ilmiah. Adapun sistematika ini bertujuan untuk membantu para pembaca dengan mudah memahami tesis ini. Penulisan tesis ini terdiri atas tiga bagian, yaitu: Bagian awal tesis, Bagian isi tesis ; dan Bagian akhir tesis. 1. Bagian awal tesis mencakup halaman sampul depan, halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, abstrak, abstract (dalam bahasa Inggris), kata pengantar, daftar isi, daftar gambar, daftar tabel, dan daftar singkatan. 2. Bagian isi tesis terdiri dari empat Bab, yaitu: Bab 1 : Pendahuluan Merupakan rincian yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan kerangka konsep, metode penelitian dan sistematika penelitian; Bab 2 : Tinjauan Pustaka Berisi tentang tinjauan pustaka, berisi tentang teori yang memperkuat penelitian seperti teori bekerjanya hukum dan hal hal yang berkenaan dengan itu. Bab ini secara umum berisikan 36 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 133. 20

Penelaahan Pustaka. Penelaahan Pustaka terdiri dari kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan, kemudian dilanjutkan membahas tentang Tindak Pidana Narkotika yang meliputi Pengertian Tindak Pidana Narkotika, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika, dan Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Narkotika. Berikutnya membahas tentang Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika yang meliputi; Pengertian Rehabilitasi, Rehabilitasi Medis dan Sosial Bagi Pecandu Narkotika. Selanjutnya membahas Kebijakan Penal dan Non- Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika, yang terdiri dari Kebijakan Penal dan Kebijakan Non Penal ( Non Penal Policy) Bab 3 : Hasil Penelitian dan Pembahasan Bagian ini merupakan laporan hasil penelitian beserta pembahasannya, yang mengaitkan dengan penelaahan pustaka. Pada Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan mengenai: 1. Kebijakan hukum pidana melalui proses rehabilitasi guna menanggulangi penyalahgunaan tindak pidana narkotika, 2. Pelaksanaan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Rembang. 3. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika di Kabupaten Rembang. 21

Bab 4 : Penutup Simpulan dalam bab ini berisi sejalan dengan rumusan masalah, tujuan, dan merupakan pembahasannya. ringkasan Sedangkan saran hasil berisi penelitian dan rekomendasi- rekomendasi dari penulis yang disesuaikan dengan karakteristik kajian permasalahan yang diangkat dalam penulisan tesis ini. 3. Bagian akhir dari tesis ini sudah berisi tentang daftar pustaka dan lampiran. Isi daftar pustaka merupakan keterangan sumber literatur yang digunakan dalam penyusunan tesis. Lampiran dipakai untuk mendapatkan data dan keterangan yang melengkapi uraian tesis. 22