TRAINING PENGARUSUTAMAAN PENDEKATAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA BAGI HAKIM SELURUH INDONESIA Santika Premiere Jogja, 18 21 November 2013 MAKALAH KEKUASAAN KEHAKIMAN & PEMBERANTASAN KORUPSI Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia
KEKUASAAN KEHAKIMAN & PEMBERANTASAN KORUPSI Oleh: Suparman Marzuki Pendahuluan Kesungguhan institusi penegak hukum tradisional untuk memberantas korupsi dipertanyakan dan bahkan diragukan masyarakat. Tidak saja karena faktor ketidakmamuan (unwilling) tapi juga karena banyaknya oknum institusi tersebut berada dan menjadi bagian dari pelaku korupsi itu sendiri. Pelbagai sindiran dan akronim negatif, seperti jeruk minum jeruk, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, atau ungkapan sarkasme lainnya adalah reaksi rasional dari masyarakat rasional yang terlalu lama menjadi saksi dari kenyataan tersebut. Kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari rangkaian proses kekuasaan penegakan hukum pemberantasan korupsi masih belum meyakinkan kesungguhannya memberantas korupsi. Komitmen institusi, personal, proses dan putusan hakim naik turun. Kepercayaan masih disandarkan pada orang, bukan pada institusi. Kekuasaan Kehakiman Jamak diketahui bahwa rezim otoritarian, lebih-lebih rezim militer dimanapun tidak pernah alpha menjadikan kekuasaan kehakiman dalam kontrol rezim, menjadi alat penuh kekuasaan melegitimasi tindakan-tindakan menyimpang kekuasaan dan mendelegitimasi keabashan hukum tindakan benar warganegaranya. Pengadilan atau putusan hakim adalah legalisasi resmi atas tindakantindakan haram rezim otoritarian terhadap siapa saja yang tidak sejalan atau menentang rezim, dan dengan cara itulah rezim otoritarian membela diri bahwa si penentang rezim telah melawan hukum dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Praktik pengadilan terhadap mereka yang dituduh melakukan tindakan melawan negara dengan tuduhan subversif dalam pelbagai bentuk di era Orde Baru adalah contoh dari pengadilan demikian itu. Karena itu, dalam transisi politik dari rezim otoritarian ke demokrasi, kedudukan kekuasaan kehakiman selalu mendapatkan perhatian utama untuk dibenahi, karena aspek ini menjadi salah satu indikator utama untuk menilai apakah transisi rezim di suatu negera bergerak ke 1
demokrasi atau tidak, dan apakah negara hukum sungguh-sungguh akan dibangun atau tidak. Luu Tien Dung pernah mengemukakan: The judiciary in pre-transition regimes was dependent or compromised rather than independent. It failed to protect the rule of law and human rights Many transitional countries have adopted the principle of separation of powers in the Constitution as a constitutional guarantee of the independence of the judiciary ( Judicial Indepencdence In Transitional Countries. UNDP Democratic Governance Fellowship Programme, 2003) Dalam transisi politik di Indonesia pasca Orde Baru, terdapat perubahan mendasar kedudukan kekuasaan kehakiman di dalam UUD 1945 yang menandakan adanya transisi rezim ke demokrasi secara siqnifikan. Perubahan dimaksud dimuat dalam Pasal 24A ayat (1) yang berbunyi kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ayat (2)-nya berbunyi, kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Di luar itu, dalam Pasal 24 (B) ayat 1 terdapat pula lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Substansi yang dimuat dalam rangkaian Pasal 24 UUD NKRI 1945 itu menegaskan dan menjamin tiga dimensi kekuasaan kehakiman, yaitu: pertama, dimensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kedua, dimensi kekuasaan kehakiman lain oleh Mahkamah Konstitusi, dan Ketiga, dimensi kekuasaan kehakiman dalam rangka mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga dan menegakkan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Menyusul perubahan UUD 1945 itu berubah dan dibentuk pula pelbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaran kekuasaan kehakiman yaitu, Pertama, UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kedua, UU No. 4 Tahun 2004 yang kemudian dirubah dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketiga, UU No. 22 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 18 Tahun 2011. Keempat, UU No. 5 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. 2
Kelima, UU No. 8 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. Keenam, UU No. 8 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Ketujuh, UU No. 9 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Penegasan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 diikuti pula dengan perubahan administrasi dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-badan peradilan berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat ini seluruh badan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tinggi, PengadilanTinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, terhitung sejak tanggal 31 Maret 2004 dialihkan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung. Begitu pula organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama /Mahkamah Syariah Propinsi, dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Selanjutnya, organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung sejak tanggal 1 September 2004 dialihkan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat peralihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI. Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian, secara institusional, administratif dan finansial kekuasaan kehakiman telah mendapatkan jaminan UUD 1945 dan UU sebagai kekuasaan yang merdeka atau independen. Tetapi apakah kemerdekaan 3
tersebut telah didayagunakan secara positif bagi upaya membangun harapan dan kepercayaan kepada kekuasaan kehakiman? Inilah pertanyaan yang memicu munculnya desakan akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dibalik menguatnya kekuasaan kehakiman itu. Transparansi dan Akuntabilitas dan Pemberantasan Korupsi Transparansi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman dalam upaya pemberantasan korupsi mensyaratkan dilaksanakannya sejumlah tindakan pimpinan pengadilan dan hakim bersangkutan di semua tingkatan; baik level proses pra persidangan dan selama persidangan. Pra persidangan dimulai dari penunjukkan majelis dan ketua majelis hakim oleh pimpinan untuk menyidangkan suatu perkara. Di tahap ini pimpinan harus mensyaratkan terpenuhinya prinsip: (a) integritas; (b) komitmen; (c) kompeten; (d) imparsialitas; dan (e) disiplin. Hakim yang tidak memiliki kelima hal tersebut seharusnya tidak ditunjuk menangani perkara korupsi. Bila lima kreteria itu dipenuhi, maka pimpinan pengadilan dan hakim bersangkutan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan karena hakim terbebas dari prasangka atau bias secara personal (free of prejudice or bias). Begitu pula dalam proses memeriksa, mengadili dan memutus; hakim menjalankan dua hal sekaligus, yaitu: (a) menjalankan prinsip proses peradilan yang fair, dan (b) mengawinkan secara kritis teks dan konteks. sehingga objektivitas pengadilan dalam mencari dan menemukan kebenaran materiil dipercaya. Hakim, UU, kasus korupsi, pelaku, dan ruang pengadilan tidak berada di ruang hampa, tetapi dalam realitas sosial yang kompleks, sehingga hakim harus mulai membiasakan diri berpikir dan menganalisis kritis setiap kasus korupsi dalam bingkai teks dan konteks. Apabila semua itu terpenuhi, hakim tidak boleh ragu apalagi takut memutus perkara korupsi. Menghukum tinggi, sedang, rendah atau bahkan membebaskan adalah otoritas penuh majelis hakim. Penutup 4
Ada tidaknya transparansi dan akuntabilitas pengadilan dalam memberantas korupsi dapat diidentifikasi mulai dari penunjukkan majelis, pelaksanaan pengadilan dan metode berpikir hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. 5