BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sebagai bentuk pasar, pasar modal merupakan sarana atau wadah untuk mempertemukan antara penjual dan pembeli. Namun, analogi penjual dan pembeli disini sudah barang pasti akan berbeda dengan pasar komoditas dan pasar tradisional. Penjual dan pembeli disini adalah penjualan dan pembelian instrumen keuangan dalam kerangka investasi. Market is difined as any situation in which buyers and sellers can negotiate the exchange of a commodity or group of commudity (Robert Ang, 1997). Pasar didefinisikan sebagai setiap situasi yang pembeli dan penjual dapat bernegosiasi untuk menukarkan komoditas tertentu atau kelompok komuditas. Hal itu tentu sedikit berbeda dengan Pasar modal, yang mana sesuatu yang digunakan perusahaan sebagai sumber dana untuk melaksanakan kegiatan perusahaan. Pasar Modal merupakan situasi yang mana memberikan ruang dan peluang penjual dan pembeli bertemu dan bernegosiasi pertukaran komuditas dan kelompok `komuditas modal (Robert Ang, 1997). Modal disini, baik modal yang berbentuk hutang (obligasi) maupun modal ekuitas (equity). Tempat untuk pertukaran modal inilah yang selanjutnya disebut Pasar Modal (Bursa Efek). Kebutuhan tambahan modal semakin bertambah sejalan dengan perkembangan perusahaan. Hal ini menuntut manajemen untuk memilih apakah tambahan modal akan dilakukan dengan cara utang atau dengan menambah
jumlah kepemilikan saham dengan penerbitan saham baru. Jika alternatif kedua yang dipilih, maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan perusahaan untuk memperolehnya, antara lain dengan menjual kepada pemegang saham yang sudah ada, menjual kepada karyawan lewat ESOP (employee stock ownership plan), menambah saham lewat deviden yang tidak dibagi (dividend reinvestment plan), menjual langsung kepada pemilik tunggal (biasanya investor institusi) secara privat (private placement), atau menawarkan kepada publik (Hartono, 2000). Proses penawaran sebagian saham perusahaan kepada masyarakat melalui bursa efek disebut go public. Untuk menjadi perusahaan Go Public yang sahamnya dicatat dan diperdagangkan di bursa efek Indonesia ( BEI ), perusahaan perlu memperoleh persetujuan dari BEI dengan mengajukan permohonan pencatatan kepada BEI dengan melampirkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Sepanjang dokumendokumen dan informasi yang disampaikan telah mencukupi dan lengkap, BEI hanya memerlukan waktu 10 hari bursa untuk memberikan persetujuan pencatatan yang dikenal sebagai istilah perjanjian pendahuluan pencatatan efek. Setelah mendapat perjanjian pendahuluan dari BEI, calon perusahaan terbuka tersebut mengajukan pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal- Lembaga Keuangan ( BAPEPAM-LK ) untuk melakukan penawaran umum. Apabila hasil evaluasi menunjukkan adanya kelengkapan dokumen, kecukupan dan keterbukaan informasi, serta memenuhi dari segi aspek hukum, akuntansi, keuangan, dan manajemen maka pendaftaran dinyatakan efektif. Setelah
dinyatakan efektif oleh BAPEPAM-LK, maka emiten dapat melakukan proses penawaran umum ( Aini, 2012 ). Dalam proses go public sebelum saham diperdagangkan di pasar sekunder (bursa efek) saham perusahaan yang akan go public dijual di pasar perdana yang sering disebut initial public offering (IPO). Harga saham yang dijual di pasar perdana (saat IPO) telah ditentukan terlebih dahulu, sedangkan harga di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar (penawaran dan permintaan). Dalam dua mekanisme penentuan harga tersebut sering terjadi perbedaan harga terhadap saham yang sama antara di pasar perdana dan di pasar sekunder. Apabila penentuan harga saham saat IPO secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar sekunder pada hari pertama, maka terjadi apa yang disebut dengan underpricing. Sebaliknya, apabila harga saat IPO secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar sekunder pada hari pertama, gejala ini disebut dengan overpricing (Yasa, 2002). Harga saham pada penawaran pedana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten dengan underwriter, sedangkan haraga di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar ( berdasarkan penawara dan permintaan). Walaupun emiten dan underwriter secara bersama-sama mengadakan kesepakatan dalam menentukan harga perdana saham, namun sebenarnya mereka masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Underwriter dalam hal ini sebagai pihak yang lebih sering berhubungan dengan pasar modal mempunyai informasi yang lebih baik mengenai pasar modal bila dibandingkan dengan calon emiten. Oleh karena itu, underwriter
menggunakan informasi yang dimilikinya untuk mencapai kesepakatan yang optimal dengan emiten agar dapat mengurangi resiko yang harus ditanggung underwriter, apabila saham yang dia jamin tidak laku maka underwriter harus membeli sisa saham tersebut sebesar harga penawaran dikalikan dengan sisa saham yang tidak laku dijual, sehingga emiten menerima harga yang lebih rendah bagi penawaran saham perdananya (Saputro dan Agung,2005). Perusahaan yang akan melakukan IPO akan memilih kantor akuntan public ( KAP ) yang memiliki reputasi baik (Trisnaningsih, 2005). Auditor memegang peranan yang penting dalam proses go public, yaitu sebagai pihak yang ditunjuk oleh perusahaan, yang melakukan pemeriksaan laporan keuangan perusahaan sebagai calon emiten. Auditor yang berkualitas akan dihargai di pasaran dalam bentuk peningkatan permintaan jasa audit dan auditor yang memiliki reputasi yang tinggi maka akan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas audit yang tinggi pula. Atas kualitas pengauditannya yang tinggi, auditor akan dihargai dalam bentuk premium harga oleh klien. Penggunaan auditor yang bereputasi tinggi dapat digunakan sebagai tanda petunjuk terhadap kualitas perusahaan emiten (Holland dan Horton, 1993). Oleh karena itu, perusahaan yang akan melakukan IPO akan memilih KAP yang memiliki reputasi yang baik. Auditor yang mempunyai reputasi tinggi, akan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas pengauditan yang tinggi pula. Beatty (1989) menunjukkan bahwa auditor yang memiliki reputasi tinggi berhubungan negatif dengan initial return. Sedangkan menurut Sulistio
(2005) bahwa reputasi auditor tidak menunjukkan pengaruh terhadap initial return. Return on Asset (ROA) merupakan ratio yang menunjukkan keefektifan operasional perusahaan dalam menghasilkan laba (profit) dengan asset yang tersedia. Profitabilitas perusahaan yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian IPO sehingga mengurangi tingkat underpricing. Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya dengan euquity yang dimilikinya. Apabila financial leverage tinggi, maka menunjukkan resiko suatu perusahaan juga tinggi. Para investor tentu akan mempertimbangkan financial leverage untuk kepentingan investasinya. Penelitian Trisnaningsih (2005) yang didukung oleh penelitian Setianingrum dan Suwito (2008) menyatakan bahwa variable Financial leverage memiliki pengaruh signifikan dan bertanda positif terhadap tingkat underpricing. Umur perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam bertahan hidup dan banyak informasi yang dapat diserap oleh publik. Menurut Daljono (2000), umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan. Semakin lama umur perusahaan, maka semakin banyak informasi yang telah diperoleh masyarakat tentang perusahaan tersebut. Setelah mengetahui apa dan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing di BEI dapat membantu pihak manajemen perusahaan tersebut dalam menentukan bagaimana pengambilan keputusan mengenai pemenuhan kebutuhan dana melalui penawaran umum penjualan saham perdana dalam mencapai struktur modal yang optimal pada khususnya dan juga para investor
pada umumnya. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti menyusun skripsi dengan judul ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT UNDERPRICING SAHAM PADA SAAT INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO) DI BURSA EFEK INDONESIA. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah reputasi underwriter berpengaruh terhadap underpricing? 2. Apakah reputasi auditor berpengaruh terhadap underpricing? 3. Apakah Return on Assets ( ROA ) berpengaruh terhadap underpricing? 4. Apakah financial leverege berpengaruh terhadap underpricing? 5. Apakah umur perusahaan berpengaruh terhadap underpricing? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis pengaruh reputasi underwriter terhadap underpricing. 2. Menganalisis pengaruh reputasi auditor terhadap underpricing. 3. Menganalisis pengaruh Return on Assets ( ROA ) terhadap underpricing. 4. Menganalisis pengaruh financial leverege terhadap underpricing. 5. Menganalisis pengaruh umur perusahaan terhadap underpricing.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara Teoritis, yaitu untuk menganalisis factor-faktor seperti Reputasi Underwriter, Reputasi Auditor, Return on Assets, Financial Laverage, dan Umur Perusahaan terhadap Underpricing Saham saat IPO di BEI. 2. Secara Praktis a. Bagi Investor Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi kepada investor dan calon investor dalam melakukan strategi investasi di pasar modal, sehingga dapat mengambil keputusan investasi yang dapat mendatangkan keuntungan. b. Bagi Emiten Penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan, khususnya yang berkaitan dengan masalah keterbukaan informasi bila akan melakukan initial public offering (IPO) untuk memperoleh harga yang optimal. c. Bagi Kalangan Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan wacana dan referensi serta literatur di bidang keuangan, sehingga dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya yang terkait dan sejenis.