BAB I PENDAHULUAN. Tingginya angka kematian bayi dan anak merupakan ciri yang umum

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan ditunjukkan pada upaya penurunan angka

BAB I PENDAHULUAN. Asi merupakan makanan utama bagi bayi pada enam bulan pertama UKDW

BAB I PENDAHULUAN. beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan

BAB I PENDAHULUAN. 24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2025 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I PENDAHULUAN. gizi yang terdiri dari 5,7% balita yang gizi buruk dan 13,9% berstatus gizi

BAB I PENDAHULUAN. faltering yaitu membandingkan kurva pertumbuhan berat badan (kurva weight for

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa balita merupakan periode penting dalam proses. tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

INFOKES, VOL. 4 NO. 1 Februari 2014 ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan dalam pembangunan kesehatan

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. (1) anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya serta dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. keemasan, yang memiliki masa tumbuh kembangnya berbagai organ tubuh. Bila

BAB I PENDAHULUAN. lebih dramatis dikatakan bahwa anak merupakan penanaman modal sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian balita dalam kurun waktu 1990 hingga 2015 (WHO, 2015).

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang kekurangan gizi dengan indeks BB/U kecil dari -2 SD dan kelebihan gizi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang menjadi insan yang berkualitas. sebanyak 20 juta anak balita yang mengalami kegemukan. Masalah gizi

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian multi-center yang dilakukan UNICEF menunjukkan bahwa MP-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat adalah terwujudnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan gizi. Kelompok

BAB I PENDAHULUAN. masalah gizi utama yang perlu mendapat perhatian. Masalah gizi secara

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak balita merupakan kelompok usia yang rawan masalah gizi dan penyakit.

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Makanan memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK KASAR BALITA DI KELURAHAN BRONTOKUSUMAN KECAMATAN MERGANGSAN YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi dan

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda dari orang dewasa (Soetjiningsih, 2004). Gizi merupakan

Nurlindah (2013) menyatakan bahwa kurang energi dan protein juga berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Hasil penelitian pada balita di Afrika

BAB 1 PENDAHULUAN. makanan (Anonim, 2008). Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sering menderita kekurangan gizi, juga merupakan salah satu masalah gizi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Status gizi menjadi indikator dalam menentukan derajat kesehatan anak.

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations International

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 adalah mengumpulkan. dan menganalisis data indikator MDG s kesehatan dan faktor yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Catur Saptaning Wilujeng*, Yuseva Sariati**, Ranthy Pratiwi** Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB I PENDAHULUAN. Anak yang sehat semakin bertambah umur semakin bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makanan yang terbaik untuk bayi usia 0-6 bulan adalah ASI. Air susu ibu (ASI) merupakan sumber energi

STUDI DETERMINAN KEJADIAN STUNTED PADA ANAK BALITA PENGUNJUNG POSYANDU WILAYAH KERJA DINKES KOTAPALEMBANG TAHUN 2013

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ASI EKSKLUSIF DENGAN PERILAKU PEMBERIAN ASI DI PUSKESMAS NGUTER

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU TENTANG MP-ASI DENGAN SIKAP DAN PERILAKU PEMBERIAN MP-ASI DI KELURAHAN JEMAWAN, KECAMATAN JATINOM, KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak masih dalam

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembanguan manusia Indonesia (Saputra dan Nurrizka, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan dan kualitas sumber daya manusia. merupakan faktor yang menentukan untuk meningkatan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan yang saat ini terjadi di Indonesia. Derajat kesehatan anak

BAB I PENDAHULUAN. kurang, gizi baik, dan gizi lebih (William, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan antara asupan makanan dan penggunaan zat gizi. Bila tubuh

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB I PENDAHULUAN. Status pendidikan dan ekonomi sebuah negara berkaitan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. sakit). Bila kurangnya pengetahuan tentang zat gizi pemberian terhadap anak-anak

1

HUBUNGAN ANTARA UMUR PERTAMA PEMBERIAN MP ASI DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6 12 BULAN DI DESA JATIMULYO KECAMATAN PEDAN KABUPATEN KLATEN

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi penerus bangsa yang menentukan keberhasilan bangsa. Balita harus

BAB I PENDAHULUAN. penting yang menjadi kesepakatan global dalam Sustainable Development

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

BAB I PENDAHULUAN. sehat dan berkembang dengan baik (Kemenkes, 2010). sebagai makanan dan minuman utama (Kemenkes, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI DESA KANIGORO, SAPTOSARI, GUNUNG KIDUL

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. apabila prasyarat keadaan gizi yang baik terpenuhi. Masalah gizi yang sering

BAB 1 : PENDAHULUAN. keadaan gizi : contohnya gizi baik, gizi buruk, gizi kurang ataupun gizi lebih. Untuk dapat

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang. Dalam Al-Qur an terkandung segala bentuk tata kehidupan, mulai dari. Qur an surat Al- Baqarah dan surat Yunus yang artinya :

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya angka kematian bayi dan anak merupakan ciri yang umum dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik yang merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling berkaitan terutama faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik (Adriani, 2012). Status gizi yang buruk pada bayi dan anak dapat menghambat pertumbuhan fisik, mental, maupun kemampuan berpikir yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas kerja di masa yang akan datang. Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk atau kurang akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia (Adriani, 2012). Hotz dan Gibson (2001) juga mengatakan bahwa di negara berkembang sulit untuk memenuhi kecukupan asupan zat gizi dalam makanan pendamping ASI yang diberikan pada anak. Enam bulan pertama merupakan masa sangat kritis dalam kehidupan balita. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung dengan cepat, tetapi juga pembentukan psikomotor dan akulturasi terjadi dengan cepat (Muchtadi, 2002). Maka dari itu, perlu pengetahuan mengenai tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak terutama kaitannya dengan kebutuhan pangan atau zat gizi (Adriani, 2012). Pada bayi umur 4-6 bulan, ASI masih dapat memenuhi kebutuhan gizi sebesar 70-80% kebutuhan, sedangkan pada umur 6-12 bulan ASI hanya dapat memenuhi 50% dari kebutuhan. Sehingga dibutuhkan makanan atau minuman

2 yang mengandung zat gizi yang diberikan pada anak diatas umur 6 bulan sebagai makanan pelengkap ASI. Pemberian MP-ASI diperlukan karena semakin bertambah umur kebutuhan anak akan zat gizi semakin meningkat untuk proses tumbuh kembang. Salah satu permasalahan dalam pemberian makanan pada bayi adalah terhentinya pemberian ASI dan pemberian MP-ASI tidak cukup baik jumlah maupun mutu. Secara nasional, penduduk Indonesia yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (kurang dari dari 70 persen dari angka kecukupan energi bagi orang Indonesia) adalah sebanyak 40,7 persen (Riskesdas, 2010). Prevalensi berat kurang balita pada tahun 2010 secara nasional adalah 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13,0 gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 persen) sudah terlihat ada penurunan. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007 menjadi 4,9 persen pada tahun 2010 atau turun sebesar 0,5 persen, sedangkan prevalensi gizi kurang masih tetap sebesar 13,0 persen. Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi berat kurang balita secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 2,4 persen dalam periode 2011 sampai 2015. Status gizi balita (BB/U) menurut karakteristik responden khusus pada usia 6-11 bulan terdapat 4,7 persen kejadian gizi buruk, 8,5 persen gizi kurang, 81,7 persen gizi baik, dan 5 persen gizi lebih. Dari 33 provinsi di Indonesia, Jawa Tengah tidak termasuk dalam 18 provinsi yang masih memiliki prevalensi berat kurang di atas angka prevalensi nasional, namun termasuk dalam provinsi yang memiliki prevalensi berat kurang di atas sasaran MDGs 2015 yang artinya belum mencapai sasaran MDGs (Riskesdas,

3 2010). Di Jawa Tengah, terdapat 3,3 persen kejadian gizi buruk, 12,4 persen gizi kurang, 78,1 persen gizi baik, dan 6,2 persen gizi lebih pada balita. Sedangkan untuk presentase status gizi balita di wilayah Blora dengan gizi buruk mencapai 0,2 persen, gizi kurang 4,88 persen, gizi baik 91,5 persen, dan 3,4 persen dengan gizi lebih. Khusus untuk Kecamatan Kedungtuban status balita di Kecamatan Kedungtuban dengan gizi lebih mencapai angka 401 (0,75%, peringkat 2), gizi baik 2.976 (5,59%), gizi kurang 232(0,44%, peringkat 3) dan gizi buruk sebesar 5 balita(0,009%) dari jumlah balita sebanyak 53.217 (Dinas Kesehatan Kab. Blora, 2013). Sedangkan angka kematian di Blora mencapai angka yang paling tinggi sampai 28 dari 192 bayi. Dari indikator BB/U pada bayi 6-24 bulan di area kerja Puskesmas Ketuwan terdapat 18 balita dengan status gizi sangat kurang (5%), sedangkan pada PB/U 11 balita sangat pendek (3,1%), dan pada BB/TB 6 balita sangat kurus (1,7%). Terdapat penelitian lain mengenai hubungan antara asupan MP-ASI dengan status gizi. Seperti halnya penelitian Kuriyan dan Kurpad (2012) yang menyatakan bahwa periode lahir sampai umur dua tahun merupakan critical window untuk mempromosikan pertumbuhan, kesehatan, dan perkembangan kognitif yang optimal. Kuantitas dan kualitas makanan pendamping yang tidak mencukupi, praktek pemberian yang miskin akan memperburuk kondisi kesehatan dan pertumbuhan pada tahun yang penting tersebut. Oleh karena itu, pengenalan makanan pendamping yang tepat serta pada waktu yang tepat selama masa balita sangat dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dan perkembangan. Menurut Lubis et al (1997), status gizi balita dipengaruhi oleh faktor sosial, penyakit infeksi, dan pola makan. Pola makan meliputi pemberian Air Susu Ibu

4 (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Kuriyan dan Kurpad (2012) menambahkan bahwa angka penurunan obesitas pada masa balita dilaporkan terjadi pada balita yang terlambat diberi makanan pendamping ASI. Individu yang terlambat dalam pemberian MP-ASI mempunyai sedikit cadangan adipose dan terjadi gizi lebih saat dewasa. Pada penelitian Chang, et all (2008) makanan pendamping ASI memiliki hubungan dengan pertumbuhan bayi dan balita wilayah rural dan urban China. Terjadi sedikit perbedaan dengan penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Wahyuti, S. (2010) yang menyatakan bahwa MP-ASI berhubungan dengan pertumbuhan jika melalui demam, diare, dan sakit saluran pernapasan. Diare, demam, dan sakit saluran pernapasan dengan asupan gizi makro dan gizi mikro dengan pertumbuhan bayi mempunyai hubungan bermakna. Hubungan yang negatif antara jenis MP-ASI, intake energi dan protein dengan status gizi ditunjukkan oleh penelitian Nurhayadi (2008) di Kendari. Hasil penelitian mengenai hubungan pemberian MP-ASI dengan status gizi menunjukkan hubungan yang beragam. Berdasarkan prevalensi malnutrisi di Kecamatan Kedungtuban yang diatas rata-rata kecamatan lain, yaitu dengan gizi lebih mencapai angka 401 (0,75%, peringkat 2) gizi kurang 232 (0,44%, peringkat, 3) dan gizi buruk sebesar 5 balita (0,009%), serta angka kematian bayi tertinggi di Blora juga dari keberagaman hasil penelitian yang sudah dilakukan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi pada usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

5 B. Perumusan Masalah Apakah terdapat hubungan asupan energi Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui jenis MP-ASI yang diberikan bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. b. Mengetahui asupan dan tingkat asupan energi dan protein dari MP-ASII bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. c. Mengetahui hubungan antara usia pemberian pertama MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. d. Mengetahui hubungan antara frekuensi pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. e. Mengetahui hubungan antara asupan energi dari MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

6 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis Mendapatkan wawasan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh dari S1 Gizi Kesehatan. 2. Bagi posyandu Memperoleh gambaran dan pengetahuan tentang pola makan, hubungan pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di posyandu yang diteliti dapat dijadikan bahan penyuluhan bagi mengoptimalkan pemberian MP-ASI yang baik. 3. Peneliti lain Sebagai bahan acuan bagi penelitian lain yang berkaitan dengan pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan. E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian Primasiwi (2009) yang berjudul Hubungan antara pemberian pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sebelum 6 bulan dengan Status Gizi Balita 6-24 Bulan di Gedongtengen, Yogyakarta. Rancangan penelitian ini crosssectional dan sampel penelitian adalah bayi berusia 6-24 bulan. Hasil penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara pemberian makanan pendamping ASI sebelum 6 bulan dengan status gizi balita usia 2-24 bulan. Tetapi ada hubungan signifikan antara asupan zat gizi dengan status gizi balita usia 6-24 bulan Pada penelitian ini terdapat perbedaan tempat yaitu pada provinsi yang berbeda. Letak penelitian ini terdapat di kota, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan terdapat di area pedesaan. Sedangkan persamaan dari penelitian ini adalah usia subjek penelitian, rancangan studi cross-sectional observasional.

7 2. Sakti, R.E., Hadju, V., Rochimiwati, S.N. (2013) Hubungan Pola Pemberian MP-ASI dengan Status Gizi Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar Tahun 2013. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan umur pemberian makanan pendamping ASI pertama kali dengan status gizi anak berdasarkn BB/U. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-23 yang terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar dengan Jumlah populasi sebanyak 150 anak usia 6-23 bulan. Perbedaan penelitian ini terdapat pada tempat, yaitu di pesisir dengan komoditi utama hasil laut, tentu hasil bumi berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Persamaan penelitian ini terdapat pada variabel terikat dan tergantung, selain itu juga range umur sampel yang diambil. 3. Penelitian Chang, et all. (2008) yang berjudul Complementary Feeding and Growth of Infant and Young Child in China menyatakan hasilnya bahwa makanan pendamping ASI memiliki hubungan dengan pertumbuhan bayi dan balita. Penelitian ini diadakan di China dengan mengambil sampel penelitian di wilayah rural dan urban. Metode yang digunakan adalah regresi logistik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan yaitu pada subyek yaitu mulai umur 6-24 bulan. Namun penelitian ini hanya sampai bayi dengan umur 12 bulan. Selain itu, variabel yang diteliti sama yaitu jumlah Makanan pendamping ASI sebagai variabel tergantung sedangkan status gizi sebagai variabel terikat. Perbedaan penelitian ini adalah dari metode penelitian, serta lokasi dilakukannya penelitian (yaitu berbeda negara). 4. Penelitian Nurhayadi (2008), dengan judul Hubungan Pola Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan Status Gizi Bayi 6-12 Bulan di Kota

8 Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara jenis MP-ASI, intake energi dan protein dengan status gizi tetapi ada hubungan antara frekuensi pemberian ASI dengan status gizi. Desain penelitian ini adalah cross-sectional. Pemilihan sampel dengan simple random sampling. Variabel bebas adalah jenis MP-ASI, intake energi dan protein serta frekuensi pemberian ASI dan variabel terikat adalah status gizi. Persamaan penelitian diatas dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada usia sampel, desain penelitian, variabel penelitian. Perbedaan penelitian ini adalah pada tempat, penelitian diatas mengambil area perkotaan, sedangkan area yang akan diteliti kali ini adalah pedesaan. 5. Penelitian Kuriyan dan Kurpad (2012) dengan judul penelitian Complementary Feeding Pattern in India. Penelitian ini menunjukkan bahwa 20% bayi usia 6-23 bulan diberi makanan sesuai the three recomended Infant and Child Feeding Practices. Makanan yang paling umum dikonsumsi bagi bayi dibawah 3 tahun yang masih diberi ASI maupun tidak adalah tipe makanan solid atau semi-solid yaitu biji-bijian dan roots. Makanan pendamping ini secara signifikan berhubungan dengan status sosial ekonomi, kepercayaan sosial budaya, pendidikan ibu, dan ketidaktahuan. Persamaan dari penelitian ini adalah meneliti tentang jenis makanan yang digunakan sebagai MP-ASI, sedangkan perbedaan penelitian ini adalah pada lokasi penelitian (berbeda negara) sehingga terdapat perbedaan pada macam bahan makanannya terutama makanan khas, seperti chapathi sebagai makanan yang sering dikonsumsi penduduk India. Selain itu juga pada umur subjek penelitian serta variabel lain yang diteliti pada penelitian ini yaitu waktu pengenalan MP-ASI dan penggunaan MP-ASI komersial.