BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

BAB I PENDAHULUAN. heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur

Angket Optimisme. Bayangkan anda mengalami situasi yang tergambar dalam setiap. persoalan, walaupun untuk beberapa situasi mungkin anda belum pernah

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang merusak sel-sel hati (liver)

BAB I PENDAHULUAN. Kusta atau Leprae merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Catatancatatan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) yang sudah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan ibu berperan di dapur

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat beberapa jenjang pendidikan, mulai dari Play Group

BAB I PENDAHULUAN. pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus mendebarkan hati. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan

BAB I PENDAHULUAN. selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tahap perkembangan tersebut, manusia mengalami perubahan fisik dan

BAB I PENDAHULUAN. dianggap penting. Melalui pendidikan, individu dapat belajar. pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang diharapkan oleh orang tua, terlebih

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan tugas pemerintah untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sejak tahun 2004 hingga 2010,

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan anak yang sehat secara fisik dan mental. Pada kenyataannya tidak

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif semakin sering terdengar dan dialami oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa era globalisasi ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas ( Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

LETTER OF CONSENT. Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap

Abstrak. iii Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. netra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial yang saat ini

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang penting bagi manusia, namun tidak semua

BAB I PENDAHULUAN. otak atau ke bagian otak tertentu. Stroke dapat menyebabkan kerusakan permanen

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun atau sistem pertahanan tubuh. Sistem imun ini berupa antibodi, yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

juga kelebihan yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan.

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berbagai macam transaksi keuangan. Kartu kredit diberikan kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wanita mempunyai kecenderungan untuk mencari dan menemukan

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. tersebut biasanya sudah memikirkan dan merencanakan banyak hal dalam

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PEDAHULUAN. Banyak orang rela mengeluarkan dana yang jumlahnya tidak sedikit untuk

lampiran 1 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dari golongan ekonomi kelas atas saja, tapi juga sudah masuk kedalam

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang melaju sangat pesat dan persaingan global

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dimulai pada tugas perkembangan masa dewasa awal, yaitu fase

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

II. TINJAUAN PUSTAKA. Meningkatkan optimisme siswa menguasai materi pelajaran matematika di Kelas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan-

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mental yang terjadi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Transisi ini melibatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan sosial yaitu hubungan berpacaran atau hubungan romantis.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996). Mahasiswa yang dimaksud adalah individu yang berada pada masa dewasa awal yaitu berada pada usia 19-24 (Santrock, 1995). Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Masa dewasa awal memiliki tiga ciri khas. Salah satu dari ketiga ciri khas tersebut adalah suatu masa dimana individu diharapkan dapat membangun komitmen dalam relasi (Hurlock, 1980). Pada masa dewasa awal, individu berusaha membangun komitmen dalam sebuah relasi yang disebut pacaran. Pacaran merupakan proses perkenalan di antara dua individu yaitu pria dan wanita yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan kehidupan pernikahan (http://id.wikipedia.org/wiki/pacaran). Menurut Nahardita yang menulis sebuah blog, pacaran merupakan pembentukan hubungan interpersonal yang lebih dalam dan lebih serius (http://nindianahardita.com/2009/07/06). Menurut sepuluh orang mahasiswa di Universitas X yang orang tuanya tidak bercerai, pacaran dapat memberikan dampak yang positif dan negatif bagi pasangan 1

2 yang menjalaninya. Dampak positifnya adalah pasangan tersebut dapat saling membantu jika salah seorang pasangan mengalami suatu masalah. Pasangan yang mengalami masalah tersebut akan merasa tidak sendiri bahkan merasa lebih kuat untuk mengatasi masalahnya karena ada pasangan yang memberikan support. Dampak negatifnya adalah jika relasi pacaran tersebut tidak didasari oleh rasa saling percaya, komunikasi yang baik, saling memperhatikan sehingga akan terjadi konflik antar pasangan tersebut. Konflik dalam sebuah relasi pacaran dapat mengganggu kehidupan pasangan baik itu perkembangan kepribadian, lingkungan sosial maupun perkembangan akademiknya. Menurut enam orang mahasiswa dari sepuluh orang mahasiswa yang telah diwawancara sebelumnya mengatakan bahwa pacaran akan memberikan dampak positif jika individu yang menjalaninya telah dewasa secara pemikiran contohnya jika mahasiswa yang telah matang pikirannya, mengalami konflik dalam relasi pacaran kemungkinan besar mahasiswa tersebut tidak akan terganggu dalam bidang akademik dan relasi dengan teman-temannya karena dapat mengendalikan dan mengatasi konflik tersebut. Sedangkan menurut empat orang mahasiswa sisanya mengatakan bahwa relasi pacaran akan berjalan dengan baik tidak hanya dilihat dari dewasa atau tidaknya pemikiran tetapi juga dari keadaan keluarga khususnya yang mengalami perceraian. Menurut empat orang mahasiswa tersebut, perceraian yang dialami orang tua sangat berpengaruh pada relasi pacaran anaknya karena anak akan mencontoh relasi dari orang tuanya apakah relasi tersebut dapat dipertahankan atau tidak dapat dipertahankan.

3 Menurut lima orang mahasiswa di Universitas X yang orang tuanya tidak bercerai tersebut mengatakan bahwa terkadang anak yang orang tuanya bercerai akan menutup diri dari relasi pacaran dan tidak bersedia membuka diri untuk berpacaran karena menganggap dirinya tidak akan mampu berkomitmen seperti kedua orang tuanya. Menurut Dra. Clara Istiwidarum Kriswanto, MA, anak juga bisa menjadi tidak percaya diri dan setelah dewasa cenderung tidak memiliki keberanian untuk membangun komitmen dalam sebuah relasi (http://www.psikologizone.com/dampakperceraian-terhadap-anak).menurut mahasiswa tersebut, relasi pacaran merupakan hal penting karena pacaran dapat mengatasi adanya perceraian. Pacaran adalah tahap bagi pasangan untuk saling mengenal, saling menghargai, saling percaya, saling memberikan pengaruh yang positif dan jika pasangan mampu membina hal-hal tersebut maka relasi pacaran akan berkualitas sehingga siap untuk menikah dan tidak akan mengalami perceraian. Pacaran juga dapat memenuhi hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari manusia lainnya (Brehm, 1992). Istilah relasi pacaran itu termasuk dalam lingkup intimate relationship (Erikson, 1968). Di dalam kehidupan, manusia tidak hanya membutuhkan air, makanan atau sumber daya alam lainnya untuk bertahan hidup tetapi dengan menjalin intimate relationship, manusia dapat mencapai kehidupan yang baik dan mendapatkan kebahagiaan (Brehm, 1992). Erikson (1968) menggambarkan makna intimate relationship sebagai individu yang telah memahami jati diri yang seutuhnya dan juga sekaligus menyatukan jati dirinya dengan orang lain. Individu dikatakan mampu menjalankan intimate relationship jika memiliki enam karakteristik di dalam relasi

4 dengan pasangannya yaitu : knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment (Brehm, 1992). Knowledge terkait dengan saling mengenal pasangan, saling berbagi perasaan, dan saling berbagi latar belakang hidup sehingga pasangan tersebut dapat saling mengenal. Caring terkait dengan memberikan perhatian kepada satu sama lain dan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh pasangannya. Interdependence terkait dengan kedua pasangan yang saling membutuhkan dan saling memberikan pengaruh yang positif. Mutuality terkait dengan rasa saling memiliki dan pasangan tersebut menghayati bahwa mereka bukanlah dua bagian melainkan telah menyatu menjadi satu bagian. Trust terkait dengan rasa saling percaya, pikiran yang positif tentang pasangannya sehingga dapat saling terbuka. Commitment terkait dengan kedua pasangan yang saling mengusahakan tujuan mereka dalam waktu yang tepat. Enam karakteristik tersebut merupakan syarat bagi individu sehingga dapat dikatakan individu tersebut dapat menjalankan intimate relationship (Brehm, 1992). Seorang mahasiswa ada yang tumbuh di dalam keluarga yang utuh dan ada pula yang tumbuh di dalam keluarga yang tidak utuh dikarenakan perceraian. Mahasiswa yang orang tuanya bercerai akan tumbuh dalam situasi yang penuh pertengkaran di dalam keluarga dan dalam relasi intimnya, individu cenderung menutup diri dari lingkungan, tidak mempercayai laki-laki (pada perempuan), sehingga mengalami kesulitan dalam membangun intimate relationship (Santrock, 1995). Menurut Erikson (1968), jika intimate relationship tidak dikembangkan pada masa dewasa awal maka seorang mahasiswa berada pada situasi yang akan membuatnya terbatasi dan tertutup dari lingkungan yang disebut isolasi. Menurut Santrock (1995), jika pada masa dewasa

5 awal mahasiswa tidak mampu mengembangkan intimate relationship maka dapat mengganggu kepribadiannya. Ketidakmampuan tersebut akan membuat mahasiswa menolak, tidak mempedulikan, atau menyerang orang-orang yang membuat dirinya tertekan (Santrock, 1995). Menurut seorang mahasiswa di universitas X yang orang tuanya bercerai (M), perceraian yang terjadi pada orang-tuanya membuatnya berpikir bahwa dia harus mampu mempercayai pasangannya karena di dalam sebuah relasi yang berkualitas diperlukan saling percaya sehingga mencegah terjadinya perceraian seperti yang dialami orang-tuanya. (M) juga berpikir bahwa dia harus mampu berkomitmen dalam relasi dengan pasangannya, saling menghargai sehingga tujuan bersama dalam sebuah relasi dapat tercapai. Dalam mengembangkan relasi intimnya, (M) seringkali teringat dengan situasi perceraian orang-tuanya tetapi (M) dapat menjadikan keadaan perceraian orangtuanya menjadi motivasi dalam relasi berpacarannya karena (M) selalu mencoba membentuk pemikiran yang positif mengenai sebuah relasi. (M) berpikir bahwa dengan memiliki pasangan maka tidak akan merasa kesepian dan jika dihadapkan pada suatu masalah maka kehadiran pasangannya dapat menjadi tempat mencurahkan permasalahan, berdiskusi untuk menemukan solusi terhadap masalah tersebut dan saling mendukung sehingga M merasa mampu menjalankan relasi pacarannya. Berdasarkan wawancara dari dua orang mahasiswa di Universitas X yang orang tuanya bercerai (RU) dan (E), kedua mahasiswa tersebut hidup dalam situasi yang penuh dengan pertengkaran antar orang-tuanya sehingga terkadang mereka merasa bersalah saat menyaksikan salah satu orang-tuanya menangis akibat pertengkaran

6 tersebut. Mereka tidak menyukai situasi pertengkaran tersebut karena salah satu pihak atau mungkin juga kedua-duanya akan disakiti dan menangis. (E) mengatakan bahwa saat melihat salah satu orang-tuanya menangis, dia pun ikut menangis, dia dapat merasakan bahwa perceraian dapat menyakiti salah satu pihak oleh karena itu mahasiswa tersebut belum dapat mempercayai pasangannya. Hal ini memberikan dampak saat dia menjalin hubungan berpacaran, pikirannya akan selalu dipenuhi dengan rasa curiga ataupun pemikiran-pemikiran negatif seperti tidak akan mampu berkomitmen, merasakan kesedihan seperti yang dirasakan oleh kedua orangtuanya, merasa akan disakiti, dan tidak dapat memberikan perhatian karena dia menganggap bahwa relasi yang dijalaninya akan berakhir dengan pertengkaran dan dia akan menjadi pihak yang disakiti oleh pasangannya. Adanya pemikiran-pemikiran negatif tersebut dapat menyebabkan mahasiswa mengalami kesulitan untuk membuka diri dalam lingkungannya sehingga belum mampu menjalankan intimate relationship. Pemikiran-pemikiran negatif tersebut menjadi suatu tantangan bagi mahasiswa yang orang tuanya bercerai karena mengakibatkan kesulitan bagi individu untuk membangun intimate relationship. Salah satu hal yang dimiliki oleh mahasiswa yang orang tuanya bercerai untuk dapat menghadapi tantangan tersebut adalah Explanatory Style karena Explanatory Style dapat membantu mahasiswa dalam menjelaskan intimate relationship kepada dirinya sendiri. Explanatory Style di dalam diri mahasiswa yang orang tuanya bercerai ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam mengatasi pemikiran-pemikiran negatif dan mempertahankan pemikiran-

7 pemikiran positif mengenai pacaran sehingga dapat membuka diri untuk menjalin intimate relationship di lingkungannya. Explanatory style adalah cara (kebiasaan) berpikir individu dalam menjelaskan kepada dirinya sendiri mengenai mengapa suatu peristiwa terjadi (Seligman, 1990). Explanatory style didasarkan pada cara berpikir individu tentang dirinya di lingkungan. Cara berpikir yang dimiliki seorang individu menjadi kunci apakah seorang individu tersebut dikatakan optimistik atau pesimistik. Menurut Martin E.P Seligman (1990) individu yang optimistik akan berpikir bahwa situasi buruk sebagai tantangan dan akan melakukan usaha dalam mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan bagi dirinya, dan tidak cepat putus asa walaupun usaha yang mereka lakukan untuk mengatasi masalah mengalami kegagalan. Sebaliknya individu yang pesimistik berpikir bahwa dirinya kurang memiliki keyakinan diri dalam mengatasi rintangan. Individu yang pesimistik seringkali mudah menyerah, putus asa, merasa gagal dan tidak mau bangkit lagi setelah mengalami kegagalan. Explanatory Style dapat dilihat dari bagaimana cara individu berpikir mengenai setiap peristiwa baik (good situation) atau peristiwa buruk (bad situation), berpikir bahwa good situation atau bad situation tersebut akan terus berlangsung dalam kehidupannya atau hanya berlangsung sementara (Permanence), berpikir bahwa good situation atau bad situation akan mempengaruhi semua aspek kehidupan atau hanya mempengaruhi beberapa aspek kehidupan saja (Pervasiveness), berpikir bahwa good

8 situation atau bad situation disebabkan oleh dirinya atau di luar dirinya (Personalization). Berdasarkan survey awal yang telah peneliti lakukan pada 5 orang mahasiswa Universitas X Bandung yang orang-tuanya telah bercerai, terdapat 60% (3 orang mahasiswa) mengakui bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menjalankan intimate relationship. Pada awalnya mereka mengalami ketakutan untuk membuka diri di lingkungan dan untuk menjalin intimate relationship dengan lawan jenisnya. Mereka takut jika menjalin intimate relationship, mereka akan mengalami perpisahan yang dialami oleh kedua orang-tuanya. Tetapi setelah waktu berjalan, mereka mulai menyadari bahwa menjalin intimate relationship merupakan tahap di dalam kehidupan yang harus dilewati. Berdasarkan hasil wawancara dari salah seorang mahasiswa dari 3 orang mahasiswa tersebut yang berinisial E, E telah memiliki seorang pacar dan mereka telah berpacaran selama tiga tahun tetapi E mengatakan bahwa dirinya belum sepenuhnya melupakan latar belakang perceraian kedua orang-tuanya. Terkadang perceraian orang-tuanya menimbulkan rasa takut di dalam diri E dan rasa takut tersebut berdampak pada relasi intimnya. E mengatakan bahwa dirinya belum sepenuhnya mempercayai pacarnya dan selama tiga tahun berpacaran merupakan waktu yang singkat untuk mengenal pribadi seseorang dan mempercayainya. Pada tahun pertama relasi E dengan pacarnya mengalami pertengkaran karena pacarnya tidak berkata jujur saat sedang berlibur bersama sahabat-sahabatnya di Bali. Saat E mengetahui kebenarannya, kepercayaan E kepada pacarnya berkurang (trust) dan sejak tahun pertama tersebut sampai tiga tahun relasi itu terjalin E mengatakan bahwa tidak ada

9 kepercayaan pada pacarnya (PmB-permanen), E juga mengatakan bahwa karena kejadian tersebut E tidak dapat mempercayai pacarnya dalam hal apapun (PvBuniversal). E mengatakan kebohongan yang dilakukan oleh pacarnya tersebut adalah kesalahan mutlak dari pacarnya karena E tidak pernah membohongi atau mengecewakan pacarnya (PsB-eksternal). E mengatakan bahwa sosok pacarnya adalah sosok yang penuh perhatian dan peduli dengan keadaan keluarga E (caring) tetapi sampai pada saat tahun ketiga relasi mereka, E seringkali berpikir bahwa perhatian dan kepedulian yang ditunjukkan oleh pacarnya hanyalah kepalsuan saja. E berpikir bahwa perhatian yang ditunjukkan oleh pacarnya hanya pada saat-saat tertentu saja misalnya saat E mendapatkan nilai yang baik dalam quiz suatu mata kuliah (PvG-spesifik), perhatiannya tersebut karena suasana hati pacarnya sedang baik (PsG-eksternal) dan E berpikir bahwa perhatian tersebut hanyalah kebetulan saja (PmG-temporer). E menyadari bahwa seringkali relasi pacarannya mengalami konflik dan konflik tersebut kebanyakan karena pemikiran-pemikiran negatif E tentang pacarnya. Menurut E, hal tersebut yang mengakibatkan E mengalami kesulitan untuk mempertahankan intimate relationship-nya. Pada mahasiswa lainnya, sekitar 40% (2 orang mahasiswa) mengakui bahwa mereka dapat mengatasi dengan baik setiap kesulitan dalam menjalankan intimate relationship-nya. Perceraian kedua orang tuanya tidak membuat mereka menutup diri dari lingkungan bahkan mereka bersikap terbuka untuk mengenal siapapun di lingkungannya. Mereka berpendapat bahwa perpisahan kedua orang tuanya tidak akan mereka alami jika mereka dapat saling mengenal, saling menghargai perbedaan, dan

10 saling memberikan pengaruh positif dengan pacar mereka. Berdasarkan hasil wawancara dari salah seorang mahasiswa dari 2 orang mahasiswa tersebut yang berinisial M, M mengatakan bahwa sejauh ini M dapat mengatasi setiap kesulitan dalam menjalankan intimate relationship-nya. Perceraian orang-tuanya tidak membuatnya menutup diri dari lingkungan bahkan M bersikap terbuka untuk mengenal siapapun di lingkungannya. M berpendapat bahwa perpisahan orang-tuanya tidak akan dialami olehnya jika M dan pasangannya saling mengenal, saling menghargai perbedaan, dan saling memberikan pengaruh positif. Relasi pacaran M dengan pacarnya telah terjalin selama hampir dua tahun. M mengatakan bahwa sejak berpacaran dengan pacarnya tersebut M mengalami banyak perubahan positif dalam kehidupannya (interdependence) dan M mengatakan bahwa perubahan tersebut karena dirinya sendiri yang berusaha untuk menjadi lebih baik lagi (PsG-internal). Saat sebelum M berpacaran dengan pasangannya yang sekarang M memiliki kegiatan yang negatif yaitu clubbing dan kegiatan tersebut dilakukannya hampir 3 kali dalam seminggu. Tetapi setelah M berpacaran selama ± 2 bulan, kegiatan tersebut sudah tidak pernah dilakukannya lagi karena M menyadari bahwa kegiatan tersebut tidak berguna. Pasangannya tidak pernah melarang M dalam melakukan kegiatan apapun, pasangannya hanya membuka pikiran M bahwa setiap melakukan kegiatan apapun hendaknya dipikirkan manfaatnya terlebih dahulu. Apabila suatu kegiatan tidak memiliki manfaat tetapi justru memiliki banyak kerugian maka akan sangat membuang-buang waktu jika kegiatan tersebut dilakukan. Pada saat itu M berpikir bahwa pasangannya akan terus dapat memberikan pengaruh positif padanya (PmG-permanen). Pengaruh positif yang dirasakan oleh M tidak hanya

11 karena pasangannya dapat membantu M meninggalkan kegiatan negatif yang biasa dilakukannya tetapi juga sejak berpacaran, M mengalami peningkatan ipk (indeks prestasi kumulatif) di tiap semesternya (PvG-universal) sehingga banyak hal-hal positif terjadi di dalam hidup M setelah M berpacaran dengan pasangannya yang sekarang. Saat bulan-bulan pertama M berpacaran, M pernah merasa kecewa dengan pasangannya karena pasangannya tidak memberikan perhatian pada M (caring) bahkan M merasa bahwa pasangannya terkesan cuek dengannya tetapi di dalam perasaan kecewanya tersebut M berpikir bahwa pasangannya terkesan cuek padanya karena mungkin pasangannya sedang mengalami suatu masalah keluarga yang belum diceritakan pada M (PmB-temporer, PsB-eksternal). Di dalam rasa kecewanya juga, M berpikir bahwa pasangannya tidak akan mungkin tidak memberikan perhatian pada M saat M sedang mengalami kesulitan dalam perkuliahannya (PvB-spesifik). Berdasarkan uraian survey awal tersebut, mahasiswa yang orang tuanya bercerai ada yang memiliki pemikiran yang positif dan ada yang memiliki pemikiran yang negatif mengenai intimate relationship. Oleh karena itu adanya Explanatory Style di setiap diri mahasiswa dapat membantu mahasiswa dalam menjelaskan kepada dirinya sendiri mengenai intimate relationship sehingga melalui penjelasan tersebut mahasiswa dapat dikategorikan sebagai mahasiswa yang optimistik atau mahasiswa yang pesimistik. Oleh karena itu, peneliti tertarik dan ingin mengetahui lebih lanjut untuk melakukan suatu penelitian studi kasus mengenai Explanatory Style tentang intimate relationship pada mahasiswa Universitas X Bandung yang orang tuanya bercerai.

12 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui explanatory Style tentang intimate relationship pada mahasiswa Universitas X Bandung yang orang tuanya bercerai. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai explanatory style tentang intimate relationship pada mahasiswa Universitas X Bandung yang orang tuanya bercerai. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai dimensidimensi explanatory style tentang intimate relationship dan faktor yang mempengaruhi explanatory style pada mahasiswa Universitas X Bandung yang orang tuanya bercerai.

13 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Memberikan informasi pada bidang ilmu Psikologi Sosial mengenai gambaran explanatory style tentang intimate relationship pada mahasiswa yang orang tuanya bercerai. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong peneliti lain untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut mengenai explanatory style di berbagai aspek kehidupan. 1.4.2 Kegunaan Praktis Sebagai informasi untuk bahan pertimbangan bagi psikolog ataupun dosen wali dalam memberikan konseling bagi mahasiswa yang orang tuanya bercerai dalam rangka mengembangkan intimate relationship melalui cara berpikir optimistik. Memberikan informasi kepada mahasiswa yang orang tuanya bercerai (Subjek Penelitian) dalam mengembangkan intimate relationship melalui cara berpikir optimistik. 1.5 Kerangka Pikir Mahasiswa adalah individu yang berada pada masa dewasa awal yaitu berada pada usia 20-30 (Santrock, 1995). Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Masa dewasa awal memiliki berbagai ciri khas,

14 suatu masa dimana individu memiliki kewajiban mengatur masa depannya, memiliki hak untuk menentukan arah masa depannya dan memiliki hak untuk mengatur langkahlangkah dalam mencapai masa depan. Ciri yang kedua adalah suatu masa di mana individu diharapkan dapat menyesuaikan dirinya dalam cara hidup yang baru yang berbeda pada masa remaja karena individu dewasa awal dituntut untuk hidup mandiri dan mengambil keputusan sendiri. Ciri yang ketiga adalah suatu masa di mana individu diharapkan dapat membangun komitmen dalam relasi (Hurlock, 1980). Ciri ketiga ini dapat dibangun dalam sebuah relasi yang intim (intimate relationship) atau yang biasa disebut sebagai pacaran. Intimate relationship terjadi jika mahasiswa telah memahami jati dirinya seutuhnya sehingga dapat menyatukan jati dirinya dengan orang lain. Mahasiswa dikatakan mampu menjalankan intimate relationship jika memiliki enam karakteristik di dalam relasinya dengan pasangannya yaitu : knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment dengan derajat yang tinggi (Brehm, 1992). Kehidupan sebagai seorang mahasiswa tidak hanya terkait dengan intimate relationship atau berpacaran tetapi juga kehidupan akademik perkuliahan dan relasi dengan teman-temannya. Mahasiswa memiliki tugas dan tanggung jawab menempuh pendidikan di sebuah universitas. Di dalam kehidupan di universitas, mahasiswa tidak hidup sendiri tetapi dengan teman-temannya, maka dari itu perlu adanya membangun relasi yang baik dengan teman-temannya. Kedua bidang kehidupan ini menjadi bagian yang juga penting untuk dibahas bagi mahasiswa terkait dengan salah satu dimensi dari explanatory style yang membahas tentang ruang lingkup yaitu Pervasiveness. Apakah

15 mahasiswa berpikir bahwa good situation dan bad situation dalam intimate relationship bersifat universal (mempengaruhi akademik dan relasi dengan teman-temannya) atau bersifat spesifik (tidak mempengaruhi akademik dan relasi dengan teman-temannya). Mahasiswa yang dikatakan dapat mengembangkan intimate relationship akan cenderung terbuka dengan lingkungannya, berusaha mengenal lingkungannya dan memiliki relasi yang baik dengan teman-temannya (Brehm, 1992). Saat mahasiswa terbuka dengan lingkungannya maka mahasiswa memiliki peluang untuk memiliki mitra di dalam hidupnya. Saat mahasiswa menghadapi suatu masalah dalam kehidupannya misalkan tentang tugas dan tanggung jawab perkuliahan, mitra tersebut dapat mendukung dan membantu mahasiswa untuk tidak terpuruk di dalam suatu masalah. Mahasiswa yang orang-tuanya bercerai memiliki pemikiran yang berbeda-beda mengenai intimate relationship yang dilihat dari relasi orang tuanya. Kondisi ini memberikan pengaruh pada mahasiswa dalam pembentukan cara pikir tertentu mengenai intimate relationship antara pria dan wanita. Cara pikir mahasiswa dalam menjelaskan penyebab dari suatu peristiwa disebut Expanatory Style. Explanatory style menurut Martin Seligman adalah cara pikir individu mengenai suatu peristiwa sehingga individu tersebut dapat menjelaskan penyebabnya, peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa baik (good situation) dan peristiwa buruk (bad situation) yang dialaminya. Bagaimana good situation ataupun bad situation itu dimaknai sebagai peristiwa yang bersifat permanen (menetap) ataupun temporer (sementara), bagaimana mahasiswa menjadi menyerah atau tidak menyerah saat menghadapi good situation ataupun bad situation, bagaimana penghayatan mahasiswa

16 saat menghadapi good situation ataupun bad situation. Dasar-dasar pemikiran explanatory style inilah yang dapat menggambarkan seorang mahasiswa apakah termasuk mahasiswa yang optimistik atau mahasiswa yang pesimistik. Explanatory style memiliki tiga dimensi yaitu Permanence, Pervasiveness, Personalization. Dimensi Permanence ini terkait dengan waktu yang dihayati oleh mahasiswa, apakah suatu good situation ataupun bad situation dipandang sebagai suatu peristiwa yang bersifat permanence (menetap) atau temporary (sementara). Dimensi Pervasiveness terkait dengan ruang lingkup suatu peristiwa yang dihayati seorang mahasiswa, apakah good situation ataupun bad situation dipandang sebagai suatu peristiwa yang bersifat universal (menyeluruh) atau specific (khusus). Dimensi Personalization terkait dengan cara pandang mahasiswa mengenai pihak yang menjadi penyebab dari suatu peristiwa, apakah disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) atau orang lain (eksternal). Good situation dalam intimate relationship adalah tingginya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment). Tingginya derajat dalam pemahaman antar pasangan (knowledge), tingginya derajat dalam memberikan perhatian antar pasangan (caring), tingginya derajat dalam memberikan pengaruh positif antar pasangan (interdependence), tingginya derajat dalam rasa memiliki antar pasangan (mutuality), tingginya derajat dalam rasa percaya antar pasangan (trust), tingginya derajat dalam mengusahakan tujuan bersama antar pasangan (commitment).

17 Bad situation dalam intimate relationship adalah rendahnya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment). Rendahnya derajat dalam pemahaman antar pasangan (knowledge), rendahnya derajat dalam memberikan perhatian antar pasangan (caring), rendahnya derajat dalam memberikan pengaruh positif antar pasangan (interdependence), rendahnya derajat dalam rasa memiliki antar pasangan (mutuality), rendahnya derajat dalam rasa percaya antar pasangan (trust), rendahnya derajat dalam mengusahakan tujuan bersama antar pasangan (commitment). Pada dimensi Permanence, mahasiswa optimistik berpikir bahwa tingginya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) bersifat menetap sebaliknya mahasiswa pesimistik berpikir bahwa tingginya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) bersifat hanya sementara. Sedangkan mahasiswa optimistik berpikir rendahnya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) bersifat sementara sebaliknya mahasiswa pesimistik berpikir bahwa rendahnya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) bersifat menetap. Pada dimensi Pervasiveness, mahasiswa optimistik berpikir bahwa tingginya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) akan mempengaruhi relasi dengan

18 teman-temannya dan akademiknya sebaliknya mahasiswa pesimistik berpikir bahwa tingginya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) tidak akan mempengaruhi relasi dengan teman-temannya dan akademiknya. Sedangkan mahasiswa optimistik berpikir bahwa rendahnya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) tidak akan mempengaruhi relasi dengan teman-temannya dan akademiknya sebaliknya mahasiswa pesimistik berpikir bahwa rendahnya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) akan mempengaruhi relasi dengan teman-temannya dan akademiknya. Pada dimensi Personalization, mahasiswa optimistik berpikir bahwa tingginya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) disebabkan oleh dirinya sendiri sebaliknya mahasiswa pesimistik berpikir bahwa tingginya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) disebabkan oleh orang lain. Sedangkan mahasiswa optimistik berpikir bahwa rendahnya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) disebabkan orang lain sebaliknya mahasiswa pesimistik berpikir bahwa rendahnya derajat ke-enam karakteristik intimate relationship (knowledge, caring, interdependence, mutuality, trust dan commitment) disebabkan oleh dirinya sendiri.

19 Kategori yang akan dihasilkan dari penelitian ini tidak hanya kategori Optimisme dan kategori Pesimisme tetapi dari Optimistic Explanatory Style dan Pessimistic Explanatory Style dihasilkan 4 kategori berdasarkan seringnya mahasiswa berpikir secara optimis atau pesimis yaitu Optimisme yang memiliki karakteristik lebih sering berpikir optimis dalam situasi apapun, Cenderung Optimis yang memiliki karakteristik sering berpikir optimis meskipun pernah berpikir pesimis, Cenderung Pesimis yang memiliki karakteristik sering berpikir pesimis meskipun juga pernah berpikir optimis dan kategori yang terakhir adalah Pesimisme yang memiliki karakteristik lebih sering berpikir pesimis dalam situasi apapun. Explanatory style dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu mother s explanatory style, kritik dari individu dewasa, masa krisis individu saat kanak-kanak. Faktor pertama adalah mother s explanatory style. Mother s explanatory style adalah cara pikir ibu dari mahasiswa terhadap keadaan baik ataupun buruk dalam hidupnya yang dapat dilihat melalui tiga dimensi yaitu Permanence, Pervasiveness, dan Personalization. Pada saat ibu dari mahasiswa menghadapi suatu good situation, berpikir bahwa keadaan tersebut sebagai suatu keadaan yang menetap (Permanence-permanen), meluas pada aspek lain di luar ruang lingkup keadaan baik itu sendiri (Pervasiveness-universal), berpikir bahwa dirinya sebagai penyebab keadaan baik tersebut (Personalization-internal), dan jika ibu dari mahasiswa tersebut menghadapi suatu bad situation berpikir bahwa keadaan tersebut sebagai suatu keadaan yang bersifat sementara (Permanence-temporer), tidak meluas pada aspek kehidupan lainnya (Pervasiveness-specific) dan berpikir bahwa orang lain sebagai penyebabnya (Personalization-eksternal) maka ibu tersebut

20 dikatakan memiliki explanatory style optimistik. Sedangkan pada saat ibu dari mahasiswa berpikir suatu good situation sebagai keadaan yang bersifat sementara (Permanence-temporer), tidak meluas pada aspek kehidupan lainnya (Pervasivenessspecific) dan berpikir bahwa hal-hal di luar dirinya sebagai penyebab keadaan baik tersebut (Personalization-eksternal), dan jika ibu dari mahasiswa tersebut menghadapi suatu bad situation berpikir bahwa keadaan tersebut sebagai suatu keadaan yang bersifat menetap (Permanence-permanen), meluas pada aspek kehidupan lainnya (Pervasiveness-universal) dan berpikir bahwa dirinya menjadi penyebabnya (Personalization-internal) maka ibu mahasiswa tersebut dikatakan memiliki explanatory style pesimistik. Penghayatan mahasiswa terhadap pola pikir ibunya akan membentuk pola pikir mahasiswa tersebut. Jika mahasiswa menghayati bahwa explanatory style ibunya optimistik, maka ketika mahasiswa mengalami good situation, ia akan berpikir bahwa keadaan tersebut akan bersifat menetap, universal, dan disebabkan oleh dirinya sendiri atau ketika mahasiswa mengalami bad situation, ia akan berpikir bahwa keadaan tersebut hanya bersifat sementara, specific, dan bukan disebabkan oleh dirinya sendiri. Jika mahasiswa menghayati bahwa explanatory style ibunya pesimistik, maka ketika mahasiswa mengalami good situation, ia akan berpikir bahwa keadaan tersebut hanya bersifat sementara, specific, dan disebabkan oleh orang lain atau ketika mahasiswa mengalami bad situation, ia akan berpikir bahwa keadaan tersebut bersifat menetap, universal, dan disebabkan oleh dirinya sendiri.

21 Faktor kedua adalah explanatory style mahasiswa adalah kritik dari individu dewasa pada saat mahasiswa masih kanak-kanak. Kritik yang dimaksud dapat berupa saran, komentar ataupun pujian. Kritik yang dilontarkan dapat berupa kritik negatif ataupun positif namun kritik dianggap sebagai kritik positif ataupun kritik negatif tergantung dari cara pikir mahasiswa terhadap kritik tersebut. Ketika mahasiswa di masa kanak-kanak mendengar orang dewasa melontarkan kritik dan mahasiswa menghayati bahwa kritik tersebut sebagai kritik negatif (bad situation) maka saat dewasa dan mengalami bad situation, mahasiswa berpikir bahwa bad situation yang dialaminya sebagai suatu keadaan yang sifatnya terus berulang dalam jangka panjang, berpengaruh pada aspek lain dan berpikir bahwa dirinya yang menjadi penyebabnya. Dalam hal ini, mahasiswa memiliki explanatory style pesimistik. Sementara ketika mahasiswa dimasa kanak-kanak lebih menghayatinya sebagai kritik positif (good situation) maka ketika dewasa dan mengalami good situation, mahasiswa berpikir bahwa good situation yang dialaminya sebagai suatu keadaan yang bersifat sementara, berpengaruh pada aspek lain dan berpikir bahwa dirinya yang menjadi penyebabnya. Dalam hal ini, mahasiswa memiliki explanatory style optimistik. Faktor ketiga adalah explanatory style adalah masa krisis mahasiswa yang dirasakan pada saat kanak-kanak. Pembentukan cara pikir optimistik seorang mahasiswa terhadap masa krisis yang dialami dipengaruhi oleh masa krisis yang dialami ketika masa kanak-kanak. Masa krisis setiap mahasiswa berbeda-beda seperti misalnya kematian orang tua, mengalami bencana alam, perubahan ekonomi keluarga yang signifikan, atau perceraian orang tua. Ketika mahasiswa saat kanak-kanak berpikir

22 bahwa masa krisis dalam hidupnya sebagai hal yang bersifat temporary, specific dan external (bersifat sementara, hanya berkaitan dengan satu aspek dan bukan diakibatkan oleh dirinya sendiri) maka hal ini akan terinternalisasi hingga mahasiswa tumbuh dewasa, maka dapat dikatakan bahwa mahasiswa memiliki cara berpikir optimistik. Namun sebaliknya, jika mahasiswa saat kanak-kanak berpikir bahwa masa krisis yang dialami sebagai keadaan yang bersifat permanence, universal, dan internal (bersifat menetap, meluas pada aspek lainnya dan diakibatkan oleh dirinya sendiri) dan terinternalisasi hingga dewasa, maka mahasiswa dapat dikatakan memiliki cara berpikir pesimistik.

Faktor yang mempengaruhi : Mother s explanatory style Kritik dari individu dewasa Masa krisis Optimisme Mahasiswa Universitas X Bandung yang orangtuanya bercerai EXPLANATORY STYLE Dimensi explanatory style : Permanence Pervasiveness INTIMATE RELATIONSHIP Enam karakteristik intimate relationship: Knowledge Caring Cenderung Optimis Cenderung Pesimis Pesimisme Personalization Interdependence Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir Mutuality Trust commitment 23

24 1.6 Asumsi Penelitian - Explanatory style dapat diukur melalui dimensi Permanence, Pervasiveness dan Personalization. - Mahasiswa yang orang-tuanya bercerai menilai bad or good situation yang mereka alami dari dimensi permanence, pervasiveness, dan personalization. - Mahasiswa yang orang tuanya bercerai memiliki explanatory style (optimistikpesimistik) tentang intimate relationship. Cara pandang tersebut adalah optimis dan pesimis. - Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan explanatory style mahasiswa yang orang tuanya bercerai adalah mother explanatory style, kritik dari individu dewasa, dan masa krisis yang dialami oleh individu.