SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ( MONEY LAUNDERING )

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

BAB II PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UNDANG- UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

PEMBUKTIAN TERBALIK PERKARA PIDANA KORUPSI

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Jurnal Ilmu Hukum ISSN Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 9 Pages pp. 8-16

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan istilah pencucian uang. Dewasa ini istilah money

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

Masalah Gratifikasi. Roby Arya Brata ANGGOTA PENDIRI KELOMPOK KAJIAN KORUPSI DI NEGARA-NEGARA ASIA, ASIAN ASSOCIATION FOR PUBLIC ADMINISTRATION

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAGI PEJABAT NEGARA PENERIMA GRATIFIKASI YANG MELAPORKAN DIRI KEPADA KPK BERDASARKAN HUKUM POSITIF DAN FIKIH JINAYAH

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jl. MT. Haryono 169 Malang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

Implementasi Pasal Gratifikasi Pada Undang-Undang Tipikor. Lalola Easter Indonesia Corruption Watch 2014

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB III PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

TINJAUAN TENTANG SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK (REVERSAL BURDEN OF PROOF) DALAM PEMERIKSAAN PERKARA GRATIFIKASI

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

Keywords: Financial loss of countries, corruption, acquittal, policy, prosecutor

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

Reda Manthovani, SH,.LLM. (Dosen atau Tenaga Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila)

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI Ardi Ferdian Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Email: ardi@ub.ac.id Abstract Burden of proof is part of proof law system. In the legal proof of corruption, there is reversed proof load system. Firstly, it concerns about the proof of the criminal acts. Yet, it is restricted to criminal bribery gratification worth 10 billion rupiahs or more [article12b(1a)]. Secondly, it concerns about the defendant s property that has not been indicted (article 38B). There are few benefits to prove criminal act in addition to those two objects. To prove corruption other than aforementioned, using regular system is imposed on prosecutors. It may cause problems in practice, the conflict between the evidentiary burden of proof results between the first and the second objects. Keywords: corruption, law of evidence, the burden of proof Abstrak Beban pembuktian adalah bagian dalam sistem hukum pembuktian. Hukum pembuktian tindak pidana korupsi mengenal system beban pembuktian terbalik. Pertama, mengenai pembuktian tindak pidananya. Namun terbatas pada tindak pidana menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 miliar atau lebih [Pasal 12B (1a)]. Kedua, mengenai harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B). Tidak banyak manfaatnya untuk membuktikan tindak pidana selain kedua objek tersebut. Untuk membuktikan tindak pidana korupsi selain yang disebutlkan pertama, menggunakan sistem biasa ialah dibebankan pada jaksa. Dalam praktik dapat menimbulkan persoalan, yakni pertentangan antara hasil pembuktian beban pembuktian terbalik antara objek yang pertama dan yang kedua. Kata kunci: tindak pidana korupsi, hukum pembuktian, beban pembuktian terbalik. Latar Belakang Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam hukum pidana korupsi Indonesia adalah diadopsi dari hukum pembuktian perkara korupsi dari negara anglo saxon seperti Inggris, Singapura dan Malaysia. Sistem pembebanan pembuktian terbalik hanya diterapkan pada tindak pidana yang berkenaan dengan gratification yang berhubungan dengan suap. Banyak orang menganggap bahwa sistem pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam UU Nomor 31. tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 (selanjutnya disebut UUTPK) lebih baik, karena menganut sistem pembuktian terbalik. Dengan pemikiran bahwa sistem terbalik lebih mudah untuk membuktikan TPK yang didakwakan, sehingga secara otomatis lebih mudah pula untuk memberantas korupsi. Pendapat seperti itu ternyata tidak seluruhnya benar. Memang benar dalam UUTPK menganut sistem pembuktian terbalik, tetapi pertanyaan seperti apa yang dimaksud dengan sistem terbalik, bagaimana cara penerapannya, apa standar bukti yang digunakan dan sebagainya, pertanyaanpertanyaan seperti itu tidak mudah dijawab oleh setiap orang. Terbukti dalam praktik dapat dilihat bahwa peran Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum atau Majelis Hakim dalam menjalankan fungsi pembuktian dari TPK yang didakwakan, tidak 163

164 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2012, Halaman 155-226 berbeda dengan proses dan prosedur pembuktian menurut KUHAP. Seolah-olah sistem pembuktian korupsi tidak berbeda dengan sistem biasa (KUHAP). Keadaan ini membuktikan bahwa sistem pembuktian terbalik maupun semi terbalik belum berperan dalam memberantas korupsi. Pembahasan a. Sistem Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Regelement of Strafvordering (RSv) dan HIR (dulu) maupun KUHAP, begitu pula semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negative (negatief wettelijk) yang dapat kita simpulkan berdasarkan Pasal 183 KUHAP. 1 Standar bukti 2 tersebut ialah (1) harus sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan (2) dari alat bukti tersebut hakim mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana. Dengan syarat itu, barulah hakim dapat menjatuhkan pidana. Hukum pidana korupsi yang merupakan lex specialis, sehingga tentang pembuktian dibedakan 3 sistem beban pembuktian. Pertama sistem terbalik, kedua sistim biasa (seperti KUHAP), ketiga semi terbalik atau juga bisa disebut sistem berimbang terbalik. a.1. Sistem Terbalik Sistem terbalik terdapat dalam Pasal 37 jo 12B ayat (1) jo 38A dan 38B UUTPK. Dilihat dari sudut objek apa yang harus dibuktikan terdakwa, maka pembuktian terbalik ada 2 (dua) macam, ialah: a. Pembuktian terbalik pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (pasal 12B ayat 1 jo 37 ayat 2 jo 38A); b. Pembuktian terbalik pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B). Sistem beban terbalik ditujukan untuk membuktian dua hal saja.oleh karena itu dapat disebut pembuktian terbalik yang terbatas. Pembuktian melalui beban pembuktian terbalik terbatas mempunyai tujuan yang pertama membuktikan bahwa benar ataukah tidak menerima suap gratifikasi. Kedua membuktian bahwa harta benda yang belum didakwakan mempunyai sumber yang haram ataukah halal. a.1.1. Pembuktian Terbalik dalam hal menerima gratifikasi (Ps 12B (1) jo 37 jo 38A) Pasal 37 menyatakan bahwa terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi (ayat 1); dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti (ayat 2). Ketentuan ayat (2) merupakan inti sistem beban pembuktian terbalik tindak pidana korupsi. Pasal 37 berhubungan dengan Pasal 12B dan Pasal 37A ayat (3). Hubungannya dengan Pasal 12B, ialah bahwa sistem beban pembuktian terbalik pada Pasal 37 berlaku pada TPK menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih [Pasal 12B ayat (1) huruf a]. Sementara itu hubungannya dengan Pasal 37A khususnya ayat (3), bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber (asal) harta benda terdakwa dan lain-lain, diluar perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37A, dalam hal ini hanya TPK suap menerima gratifikasi yang tidak disebut dalam pasal 37A ayat (3). Isi rumusan Pasal 12B ayat (1) UUTPK mengandung 4 arti yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Norma huruf a berhubungan erat dengan (dijelaskan oleh) Pasal 37. Artinya ialah tentang apa yang dimaksud beban pembuktian menurut norma ayat (1) huruf a dalam hal ini ada pada terdakwa dan penerapannya dirumuskan pada Pasal 37. 2. Sistem terbalik berlaku pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih. 3. Sedangkan TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, beban 1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 250. 2 Penyebutan standar bukti digunakan oleh Adami Chazawi. Lihat Adami Chazawi (I), Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2011, hlm. 23.

Ardi Ferdian, Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik... 165 pembuktian ada pada JPU. Artinya dengan sistem biasa sesuai KUHAP. 4. Mengenai unsur-unsur tindak pidana menerima suap gratifikasi, ialah: (1) subjek hukumnya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara; (2) perbuatannya menerima gratifikasi; (3) berhubungan dengan jabatannya; dan (4) berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. 3 Ada yang menarik dari ketentuan pasal 12 C. Menurut ketentuan Pasal 12C dengan melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka akan meniadakan pidana pada Pasal 12B. Apakah ketentuan mengenai melaporkan penerimaan gratifikasi ini merupakan alasan penghapus pidana? Kiranya tidak, karena alasan peniadaan pidana dalam doktrin hukum terdiri atas alasan pemaaf dan alasan pembenar yang terbentuk oleh hal-hal yang sudah ada dan berlaku pada saat perbuatan dilakukan. Bahkan perbuatan tersebut merupakan bagian dari perbuatan yang dilakukan pembuat dan atau bagian dari keadaan batin si pembuat, yang memang harus sudah ada/terdapat pada saat perbuatan dilakukan, dan bukan sesudah perbuatan dilakukan. Sedangkan tindakan pegawai negeri penerima gratifikasi melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPTPK adalah sesudah perbuatan terjadi, atau jauh setelah terjadinya perbuatan, bisa jadi pada ke 30 (tiga puluh) hari kerja. Oleh karena itu dari sudut ini tindakan melaporkan penerimaan gratifikasi tidak dapat dianggap sebagai alasan peniadaan pidana 4. Syarat pelaporan bagi pegawai negeri yang menerima gratifikasi, ditujukan pada 3 (tiga) hal, ialah: pertama, untuk tidak mempidana pegawai negeri yang secara sukarela melaporkan tentang penerimaan gratifikasi. Pelaporan dapat dinilai sebagai suatu kesadaran bagi pegawai negeri untuk berbuat jujur, menegakkan moral dan menjujung tinggi derajat dan martabat serta sumpah jabatan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai pelaksana pelayanan publik. Kedua, bertujuan pendidikan moral bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam waktu 30 hari kerja, adalah waktu yang cukup bagi pegawai negeri untuk merenungkan dengan hati, memikirkan dengan akal tentang haramnya pemberian gratifikasi. ketiga, ditujukan untuk menentukan apakah penerimaan gratifikasi menjadi milik negara atau milik pegawai negeri yang menerima gratifikasi (pasal 12C ayat (3) 5. a.1.2. Pembuktian Terbalik Mengenai Harta Benda yang Belum Didakwakan (Pasal 38B jo 37) Norma Pasal 38B ayat (1) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Norma ayat (1) adalah dasar hukum sistem beban pembuktian terbalik dalam hal objek pembuktian harta benda terdakwa yang belum didakwakan, tapi diduga berasal dari TPK. 2. Pembuktian mengenai harta benda yang belum didakwakan sebagai bukan hasil korupsi adalah berlaku dalam hal tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok, adalah TPK Pasal: 2, 3, 4, 14, 15 UUTPK 6 Hanya TPK suap menerima gratifikasi Pasal 12B saja yang tidak disebut dalam Pasal 38B ayat (1). Walaupun Pasal 37 merupakan dasar hukum pembuktian terbalik. Namun khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum didakwakan (termasuk juga yang didakwakan dalam surat dakwaan), tidaklah dapat menggunakan Pasal 37. Karena Pasal 37 adalah khusus diperuntukkan bagi pembuktian terdakwa mengenai dakwaan tindak pidana (khususnya suap menerima gratifikasi Rp 10 juta atau lebih), dan bukan dakwaan mengenai harta benda. Maka keberhasilan terdakwa membuktikan tentang kekayaannya itu bersumber pada pendapatan yang halal, tidaklah harus ia dibebaskan dalam dakwaan perkara pokok melakukan TPK, melainkan sekedar menyatakan harta benda yang belum didakwakan tersebut bukan hasil korupsi, dan menolak tuntutan JPU untuk menjatuhkan pidana perampasan harta benda tersebut saja. 7 3 Ibid., hlm. 78. 4 Adami Chazawi (II), Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia (Cetakan Kedua), Penerbit Bayumedia Pulishing, Malang, 2005, hlm. 264. 5 Ibid., hlm. 267. 6 Ibid., hlm. 92. 7 Ibid.

166 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2012, Halaman 155-226 a.2. Sistem Semi Terbalik dan Biasa Dasar hukum sistem semi terbalik ada pada Pasal 37A ayat (3) UUTPK. TPK selain suap menerima gratifikasi penerapan pembuktikan tentang harta benda terdakwa (yang telah didakwakan) dilakukan dengan cara yang dirumuskan dalam Pasal 37A. Tentang beban pembuktikan kepada siapa dan bagaimana cara membuktikan menurut ketentuan pasal ini dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik. Karena hasil pembuktian terbalik mengenai harta benda menurut ketentuan ini, dapat digunakan oleh jaksa untuk memperkuat alat buktinya, yakni bila pembuktiannya itu tidak berhasil membuktikan keseimbangan antara hartanya dengan sumber pendapatannya. Contohnya, kelebihan kekayaan (diluar) dari kekayaan yang sebenarnya yang diperoleh dari sumber kekayaan atau sumber tambahan kekayaan yang sah. Pada kenyataannya kekayaan yang demikian ini adalah kekayaan yang tidak jelas cara perolehannya atau tidak jelas asal usulnya. Sebagai contoh wajarkah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan III A yang gajinya 2 juta/ bulan mempunyai mobil Alpard dan rumah mewah di pondok Indah. Jika menggunakan sistem biasa seperti pada KUHAP, dalam hal untuk membuktikan tindak pidana beban pembuktian sepenuhnya pada JPU. Sedangkan terdakwa tidak wajib, dalam arti pasif. Namun demikian dalam sistem akusator (accusatoir), demi hukum terdakwa mempunyai hak untuk menyangkal dakwaan dan membuktikan sebaliknya. 8 Dalam hukum pidana korupsi, sistem pembuktian TPK suap menerima gratifikasi yang nilai objeknya kurang dari Rp 10 juta (Pasal 12B ayat huruf b) menggunakan beban pembuktian biasa, yakni pada jaksa. Apabila dilihat dari sudut pembebanan pembuktian Pasal 37A, maka dalam hal pembuktian kekayaan terdakwa ternyata seimbang dengan sumber pendapatannya, dimana JPU juga tetap wajib membuktikan tentang tindak pidana yang didakwakannya, maka dapat disebut dengan sistem semi terbalik. Karena dibebani kewajiban membuktikan terbalik secara berimbang, maka dapat juga disebut dengan sistem berimbang terbalik. Mengenai alat bukti dan syarat pembuktiannya baik oleh terdakwa atau JPU mengikuti ketentuan dalam KUHAP, karena mengenai hal ini tidak ada ketentuan khusus dalam UUTPK. Bagi terdakwa pembuktian tentang kekayaan terdakwa yang seimbang dengan sumber pendapatannya diperlukan, agar harta benda tersebut tidak dijatuhi pidana perampasan barang. Bagi jaksa baru menjadi penting, apabila terdakwa tidak berhasil membuktikan kekayaannya sesuai dengan sumber pendapatannya. Dalam kenyataannya harta yang demikian ini adalah harta yang tidak jelas cara perolehannya atau asal usulnya. Keadaan terdakwa tidak dapat membuktikan sumber kekayaannya yang sah tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa melakukan korupsi (Pasal 37 ayat 2). Tidak semua keadaan terdakwa yang tidak berhasil membuktikan tentang sahnya sumber kekayaannya dapat menguntungkan JPU. Baru dapat digunakan memperkuat alat bukti yang sudah ada, apabila keadaan terdakwa tidak berhasil membuktikan sumber kekayaannya itu memenuhi 2 syarat, yaitu: 1. Pertama, JPU telah menggunakan minimal 2 alat bukti yang sah, dan 2. Kedua, ketidak berhasilan terdakwa membuktikan keseimbangan antara kekayaan dengan sumber pendapatannya ada hubungan dengan berhasilnya JPU membuktikan perolehan kekayaan dari tindak pidana yang didakwakan. Hubungan ini adalah berupa kekayaan yang tidak dapat dibuktikan sumbernya yang halal oleh terdakwa tadi bersesuaian dengan hasil pembuktian JPU tentang tindak pidana yang didakwakan menurut sifat dan kenyataannya menghasilkan suatu kekayaan. JPU memperkuat alat bukti yang sudah ada sebagaimana dimaksud Pasal 37A ayat (2), boleh dengan cara menggunakan alat bukti petunjuk. Dan didukung pula oleh Ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP. Oleh karena alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subjektifitas hakim lebih dominan. Oleh 8 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 64.

Ardi Ferdian, Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik... 167 karena itu Pasal 188 ayat (3) mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya 9. Keadaan terdakwa yang tidak berhasil membuktikan dalam konteks sistem semi terbalik dinilai sebagai keterangan terdakwa yang memberatkan dan digunakan sebagai bahan membentuk alat bukti petunjuk. Karena hukum korupsi tidak mengatur secara khusus syarat-syarat bukti petunjuk harus berdasarkan KUHAP (UU korupsi hanya memperluas bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk). Untuk dapatnya dibentuk alat bukti petunjuk JPU perlu menggunakan minimal 2 alat bukti termasuk alat bukti informasi dan atau dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 26A. Disinilah letak peran JPU dalam sistem pembuktian semi terbalik, khususnya kalimat dalam Pasal 37A,...digunakan memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan TPK (ayat 2) dan kalimat:... sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikannya (ayat 3). Sedangkan sistem beban pembuktian biasa, berpijak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (presumtion of innocence) dalam hukum acara pidana yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP. Sebagian orang berpendapat bahwa asas presumtion of innocence hanya berlaku di depan sidang pengadilan. Pendapat itu salah dan menyesatkan. Dalam rumusan norma Pasal 8 (1) UU Nomor 48/2009 sangat jelas, bahwa presumtion of innocence berlaku sejak orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut sampai di sidang pengadilan. Orang yang berpendapat salah tadi hanya melihat sepotong dari rumusan normanya. Oleh karena terdakwa dianggap tidak bersalah, maka jika terdakwa didakwa oleh Jaksa, maka Jaksa yang dibebani untuk membuktikan apa yang didakwakan itu benar. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya itu dibuktikan dengan suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 10 Dalam sistem ini, terdakwa atau penasihat hukum tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Terdakwa dan atau penasihat hukum justru mempunyai hak untuk membuktikan sebaliknya, atau hak menolak dengan membuktikan sebaliknya. Mengenai beban pembuktian tindak pidana yang didakwakan dalam hukum pembuktian korupsi selalu diletakkan pada JPU. Kecuali terhadap pembuktian TPK menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, yang dibebankan pada terdakwa. Dari sudut pembuktian mengenai objek tindak pidana yang didakwakan, maka sistem beban pembuktian korupsi dapat disebut sistem beban pembuktian terbatas. Hanya sebagian kecil (satu) saja tindak pidana yang menggunakan beban pembuktian terbalik murni, yakni hanya objek tindak pidana menerima suap gratifikasi dalam Pasal 12 B saja. Selebihnya tidak, menggunakan sistem beban pembuktian biasa. Semua prosedur pembuktian semi terbalik dan yang di dalamnya terdapat cara sistem biasa sebagaimana diuraikan sebelumnya, tiada lain diarahkan oleh JPU pada tujuan akhir adalah untuk membuktikan tentang telah terjadinya TPK yang didakwakan dan terdakwa bersalah melakukan TPK tersebut. b. Permasalahan Beban Pembuktian Terbalik TPK Jenis korupsi menerima suap gratifikasi Pasal 12B adalah suatu jenis tindak pidana suap pasif. Cara merumuskan TPK suap gratifikasi ini tidak lazim. Dalam rumusannya nampak seolaholah subjek hukumnya adalah si penyuap, tetapi sesungguhnya bukan. Alasannya ialah oleh Pasal 12B tidak diberikan ancaman pidana pada pemberi suap gratifikasi. Justru yang diancam pidana pada ayat (2) adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi. Oleh karena itu rumusan suap gratifikasi bukan ditujukan pada subjek hukum pemberi suap, tetapi ditujukan pada penerima suap/menerima gratifikasi. Ancaman pidananya jelas ditujukan pada pegawai negeri. Pasal 12B ayat (1) merumuskan secara sumir tentang sistem pembebanan pembuktian terbalik. 9 Adami Chazawi (I), Op. Cit., hlm. 49. 10 Ibid., hlm. 12.

168 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2012, Halaman 155-226 Ketentuan pasal ini juga menerangkan hal syarat mengenai jumlah (rupiah) menerima suap gratifikasi yang beban pembuktiannya pada terdakwa, sedangkan selebihnya tidak cukup membuat terang setidak-tidaknya tentang: Bagaimana prosedur atau cara terdakwa dalam membuktikan? Apa syarat-syarat (standar) yang harus ada untuk dapat dinyatakan terdakwa berhasil membuktikan dan tidak berhasil membuktikan? 11 Apabila tidak diatur lain, pembuktian harus sesuai dengan KUHAP. Artinya masalah seperti di atas, sepanjang tidak jelas dalam UU TPK maka kembali pada KUHAP. Apabila dalam hubungannya dengan KUHAP belum terang juga, maka diserahkan pada praktik hukum melalui penemuan hukum. Unsur sistem pembuktian, ialah alat-alat bukti yang boleh digunakan dan caranya membuktikan serta standard yang harus dipenuhi untuk menyatakan terbukti atau tidaknya mengenai objek apa yang dibuktikan. Alat-alat buktinya jelas ialah dengan menggunakan alat-alat bukti Pasal 183 ayat (1) KUHAP jo Pasal 26A UUTPK Mengenai objek harta benda yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan tidak menyangkut langsung dengan unsur-unsur tindak pidana dakwaan. Sistem terbalik untuk objek harta benda terdakwa yang tidak disebut dalam dakwaan, bukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa melakukan TPK yang didakwakan, melainkan apabila terdakwa tidak berhasil membuktikan, untuk menjatuhkan pidana perampasan barang atau sebaliknya. Pada hal untuk menjatuhkan pidana apapun jenisnya, syaratnya ialah harus dibuktikan dahulu tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Membuktikan tindak pidana adalah membuktikan unsur-unsurnya. Membuktikan kesalahan terdakwa adalah membuktikan adanya hubungan batin (subjektif) terdakwa dengan terwujudnya tindak pidana yang didakwakan. Dalam hukum korupsi, untuk membuktikan unsur-unsur TPK justru tidak menggunakan sistem beban pembuktian terbalik. Oleh karena itu pada tahap akhir pembuktian terhadap dua objek yang berbeda (yang satu objek kekayaan yakni sumbernya dan yang lain mengenai unsur-unsur tindak pidananya) dengan sistem beban pembuktian yang berbeda. Dengan begitu bisa saja menghasilkan sesuatu yang berbeda. Apabila perbedaan hasil pembuktian, misalnya terdakwa berhasil membuktikan sumber kekayaanya (yang belum didakwakan) adalah sumber yang halal, tidak ada masalah meskipun perkara pokoknya terbukti dan terdakwa dipidana karena perbuatannya itu. Sebaliknya akan menjadi masalah hukum, apabila disatu pihak terdakwa tidak berhasil membuktikan sumber kekayaan misalnya sebuah deposito 12 miliar rupiah, tetapi dilain pihak JPU juga tidak berhasil membuktikan misalnya dakwaan menggelapkan uang negara (Pasal 8 UUTPK) 12. Perbedaan hasil pembuktian tersebut menimbulkan akibat hukum yang ganjil. Deposito Rp 12 miliar bisa dirampas untuk negara, tetapi dibebaskan dari perkara pokok Pasal 8 karena tidak terbukti. Keganjilan itu bisa terjadi dikarenakan pembuktian Pasal 8 adalah membuktikan semua unsur-unsurnya. Sedangkan membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah tentang sumber (yang halal) dari mana diperoleh deposito Rp 12 miliar tersebut. Walaupun dengan adanya ketentuan Pasal 38B ayat (6) 13 hal perampasan barang tidak boleh dilakukan. Namun masalah tersebut tidak bisa dijawab dengan hanya tidak menjatuhkan pidana perampasan barang. Karena deposito itu tidak jelas asal usulnya, tapi negara tidak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya kejadian seperti ini dapat dihindari, apabila JPU mendakwakan TPK yang sesuai dengan perolehan kekayaan terdakwa yang tidak jelas sumbernya tersebut. Jika didakwa TPK menerima suap gratifikasi, maka objek dan cara pembuktian ialah: 1. Pertama, bahwa tidak ada gratifikasi yang diterima, atau bukan terdakwa yang menerima gratifikasi tersebut; 2. Kedua, bahwa jika terbukti ada sesuatu penerimaan (gratifikasi), maka terdakwa 11 Adami Chazawi (I), Op. Cit., hlm. 121. 12 Pasal 8 UUTPK, mengenai penggelapan uang/surat berharga yang dilakukan oleh PNS karena jabatannya. 13 Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.

Ardi Ferdian, Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik... 169 membuktikan bahwa penerimaan itu bukan berhubungan dengan jabatannya dan atau tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi mengacu pada unsur-unsurnya, tetapi kebalikan (negatif) yakni tidak ada unsurunsur TPK tersebut; 3. Ketiga ia telah melaporkan pada KPK tentang penerimaan itu dalam waktu 30 hari kerja sejak menerimanya. Menurut Pasal 37 ayat (2) bila terdakwa dapat membuktikan seperti itu, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Oleh karena pembuktian (negatif) oleh terdakwa ini mengenai objek TPK (menerima suap gratifikasi) tentu harus diikuti dengan diktum pembebasan terdakwa. Disini letak sistem terbalik justru menguntungkan terdakwa. Karena hakim tidak perlu mempertimbangkan hasil pembuktian JPU. 14 Meskipun objek pembuktian sistem terbalik sangat terbatas, untuk memaksimalkan penerapannya, diperlukan JPU mendakwakan Pasal 12B tentang TPK menerima suap gratifikasi. Dalam hal perkara yang tepat bagi JPU untuk mendakwakan Pasal 12B sehingga pembuktiannya dapat menggunakan sistem terbalik, adalah dalam perkara korupsi suap pasif yang nilainya besar yang dilakukan dalam waktu yang lama dan sukar pembuktiannya dengan sistem biasa. Misalnya Rekening gendut di kepolisian yang sampai kini tidak jelas hasil penyelidikan atau penyidikannya atau rekening gendut para Pegawai Negeri Sipil (PNS) pegawai dirjen Pajak yang tidak jelas asalusulnya. Memang tidak mudah membuktikan satusatu penerimaan suap dari tiap-tiap pengusaha atau para pencari keadilan serta kapan saat penerimaan itu terjadi. Hanya tepat untuk kasuskasus semacam itu. Sesungguhnya sistem beban pembuktian terbalik TPK bertumpu pada konsep memudahkan pembuktian bagi TPK yang sukar pembuktiannya dengan sistem biasa. Demikianlah itulah maksud pembentuk Undang-undang memasukkan sistem pembebanan pembuktian terbalik bagi TPK suap menerima gratifikasi dalam UU TPK. Kesimpulan Dilihat dari siapa yang dibebani membuktikan serta objek pembuktiannya, dapat dibedakan antara 3 sistem, ialah: (1) sistem terbalik, (2) sistem semi terbalik dan (3) sistem biasa. Mengenai sistem beban pembuktian terbalik dalam UUTPK, terbatas pada dua objek saja. Objek tindak pidana menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12B) dan objek mengenai harta benda terdakwa yang tidak/belum disebut dalam surat dakwaan (Pasal 38B). Sistem semi terbalik berlaku dalam hal pembuktian tentang harta benda terdakwa yang telah didakwakan, khususnya bagi terdakwa membuktikan tentang kekayaannya seimbang dengan sumber pendapatannya. Sebaliknya keadaan tidak berhasilnya terdakwa membuktikan kekayaan itu didapat dari sumber yang halal, dipergunakan JPU untuk memperkuat alat bukti yang membuktikan unsur-unsur TPK yang didakwakan. Sedangkan sistem biasa (beban pembuktian pada JPU) berlaku pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta dan semua TPK selain suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih. Dalam memberantas korupsi, sistem terbalik tidak banyak manfaatnya. Bermanfaat karena objek pembuktiannya sangat terbatas, yakni pada TPK suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih saja. Sistem terbalik, disatu pihak memang memudahkan pembuktian dalam hal didakwa suap menerima gratifikasi. Memudahkan artinya lebih berpihak dan menguntungkan JPU. Tetapi sebaliknya sistem terbalik dapat menjadi sangat menguntungkan terdakwa dan merugikan JPU. Hal ini bisa terjadi disebabkan karena dalam sistem terbalik JPU pasif dalam pembuktian. Sistem terbalik harus digunakan dalam kasuskasus besar dengan syarat-syarat: (1) pegawai negeri atau penyelenggara negara diduga telah menerima suap terutama dari banyak pihak, dalam waktu yang lama dan berkali-kali, (2) penerimaan suap tersebut sukar dibuktikan misalnya kapan saat menerima suap, dari siapa saja penyuapnya dan berapa masing-masing jumlahnya, (3) yang menimbulkan atau menjadikan kekayaannya berlimpah ruah, (4) yang tidak seimbang dengan gaji atau sumber pendapatan lainnya yang sah. 14 Adami Chazawi (I), Op. Cit., hlm. 83-84.

170 ARENA HUKUM Volume 6, Nomor 3, Desember 2012, Halaman 155-226 DAFTAR PUSTAKA Buku Adami Chazawi (I), 2011, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang. (II), 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia (Cetakan Kedua), Penerbit Bayumedia Pulishing, Malang. Andi Hamzah, 2011, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi