BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN KREDIT. seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk

dokumen-dokumen yang mirip
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

BAB 2 TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN DAN JAMINAN

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II JAMINAN PERSEORANGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT. Pengertian perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUHPerdata (Burgerlijk

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana kita ketahui bahwa pembangunan ekonomi sebagai bagian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. Tinjauan Pustaka. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. Beberapa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT, PERJANJIAN JAMINAN DAN HAK TANGGUNGAN. 1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERAN NOTARIS DAN PPAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DARI KREDITUR LAMAA KEPADA KREDITUR BARU PADA PERBANKAN KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. dan perdagangan sehingga mengakibatkan beragamnya jenis perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

Lex Crimen Vol. VI/No. 10/Des/201. HAK-HAK KEBENDAAN YANG BERSIFAT JAMINAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA 1 Oleh: Andhika Mopeng 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. meningkat sesuai dengan usia dan status sosialnya namun seringkali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian untuk mewujudkan perekonomian nasional dan

PENDAHULUAN. mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB II TINJAUAN UMUM KREDIT DAN PERJANJIAN KREDIT BANK. Istilah kredit bukanlah hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kebutuhan yang mutlak, oleh para pelaku pembangunan baik. disalurkan kembali kepada masyarakat melalui kredit.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA. banyak dipraktikkan dalam lalu lintas hukum perkreditan atau pinjam meminjam.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengamanan pemberian dana atau kredit tersebut.jaminan merupakan hal yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. akan berkaitan dengan istri atau suami maupun anak-anak yang masih memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan pinjam-meminjam

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 PROSEDUR PELAKSANAAN JAMINAN RESI GUDANG SERTA PERANAN NOTARIS DALAM PROSES TERSEBUT 2.1 LEMBAGA JAMINAN DAN RESI GUDANG SEBAGAI JAMINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT. pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. hubungan antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak

BAB II FIDUSIA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN. Fidusia manurut asal katanya berasal dari fides yang berarti

BAB II. A. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah kuasa yang diberikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 04 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Sinungan (1991 : 46), tentang kredit sebagai berikut :

Transkripsi:

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN KREDIT 2.1.Pengertian Perjanjian Kredit Menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti mengukapkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 26 Sementara pengertian kredit menurut para ahli Achmad Anwari memberikan arti kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh satu pihak kepada pihak lain dan prestasi (jasa) itu akan dikembalikan lagi pada waktu tertentu yang akan datang dengan disertai suatu kontra prestasi (balas jasa berupa biaya). 27 Menurut Djuhaendah Hasan dari beberapa pengertian yang dikemukakan para sarjana dalam literatur kredit adalah suatu perjanjian yang objeknya dapat berupa uang atau barang, meskipun titik temu antara semua pendapat sarjana itu akan menuju keapada pengertian peminjaman uang. 28 Didalam pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan pengertian Kredit adalah penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 26 Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, h.1. 27 Achmad Anwari, 1980, Praktek Perbankan di Indonesia, Balai Aksara, Jakarta, h.14. 28 Djuhaendah Hasan, op.cit, h. 149.

Berdasarkan jangka waktu dan penggunaanya kredit dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu : 1) Kredit investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitasi, modernisasi, perluasaan, ataupun pendirian proyek baru; 2) Kredit modal kerja, yaitu kredit modal kerja yang diberikan baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam siklus usaha dengan jangka waktu maksimal satu tahun dan dapat diperpanjang sesuia kesepakatan antara pihak yang bersangkutan; 3) Kredit konsumsi, yaitu kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi dalam skala kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghasilan bulanan nasabah debitur yang bersangkutan. 29 Pengertian perjanjian kredit di dalam KUH Perdata tidak ditemukan. Perjanjian dalam KUHPerdata yang mirip dengan perjanjian kredit yaitu perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku III Bab XIII. Ciri-Ciri perjanjian kredit yang membedakan dengan perjanjian pinjam-meminjam yaitu sebagai berikut : 1) Perjanjian kredit merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil. Hal ini jelas berbeda dengan pinjam meminjam yang bersifat riil dalam pasal 1754 KUH Perdata. 29 Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, h.60-61.

2) Tujuan dan syarat kredit, menurut ketentuan pasal 1755 KUH Predata, uang yang diperoleh oleh debitur dari kreditur menjadi milik debitur. Oleh karena itu dalam perjanjian pinjam meminjam uang, debitur sebagai pemilik uang berkuasa penuh untuk menggunakan uang tersebut untuk keperluan apapun dan kreditur tidak berhak mencampuri tujuan pemakaian uang tersebut. Hal tersebut tidak berlaku untuk perjanjian kredit bank. Penggunaan kredit harus dilakukan sesuai dengan tujuan kredit sebagaimana ditetapkan di dalam perjanjian kredit. Pemakain kredit oleh nasabah debitur yang menyimpang dari tujuan kredit memberikan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit tersebut secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh sisa kredit. 3) Syarat penggunaan kredit, kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindah bukuan. Pada perjanjian kredit bank, kreditur tidak diserahkan oleh bank ke dalam kekuasaan mutlak debitur. Kredit diberikan dalam bentuk yang penarikan atau penggunaannya selalu di bawah pengawasan bank. Dilihat dari hal ini, maka perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjammeminjam uang. Dalam perjanjian pinjam meminjam uang, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan debitur dengan tidak disyaratkan bagaimana caranya debitur akan menggunakan uang pinjaman tersebut 30. 30 Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Insitut Bankir Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Sutan Remy Sjahdeini I), h.160-161.

Dari hal itu, maka Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam hal ini Bank) yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak. 2.2.Fungsi dan Jenis Perjanjian Kredit Bank 2.2.1 Fungsi Perjanjian Kredit Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun pelaksanaan kredit itu sendiri. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, yaitu diantaranya: 1) Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya (misalnya perjanjian pengikatan jaminan). 2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiaban diantara kreditor dan debitor dan 3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit 31. 2.2.2. Jenis-Jenis Perjanjian Kredit Secara yuridis bahwa terdapat dua jenis perjanjian kredit yang digunakan bank, yaitu; 1) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan h.183. 31 H.R Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (kreditor dan debitor) tanpa notaris. Akta perjanjian kredit dibawah tangan ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: a. Apabila akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan karena misalnya alasan debitor wanprestasi, maka seandainya debitor yang bersangkutan menyangkal atau memungkiri tandatangannya akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut. Dalam pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seseorang memungkiri tulisan atau tandatangannya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan atau tandatangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan, tentunya hal ini akan merepotkan bank. b. Oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (formulir baku), maka ada kemungkinan terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit, bahkan dapat terjadi karena alasan-alasan pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko kosong, bila terjadi perselisihan, debitor dapat menyangkal menandatangani akta perjanjian tersebut atau mengelak mengakui

perjanjian kredit dengan alasan yang bersangkutan menandatangani blangko kosong. c. Apabila akta perjanjian kredit dibawah tangan tersebut hilang karena sebab apapun, maka bank tidak lagi memiliki arsip asli mengenai adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti, keadaan ini akan membuat posisi bank menjadi lemah bila terjadi perselisihan. Berbeda dengan akta perjanjian kredit notaril, walaupun arsip di bank hilang, masih ada arsip lainnya di notaris. 2) Perjanjian Kredit Notaril Yang dimaksud dengan perjanjian kredit notaril (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris. Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat pada Pasal 1868 KUH Perdata. Dari ketentuan/definisi akta otentik yang diberikan oleh Pasal 1868 KUH Perdata tersebut, dapat ditemukan beberapa hal sebagai berikut : (1) Yang berwenang membuat akta-otentik adalah notaris, terkecuali wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang lain.pejabat lain yang dapat membuat akta otentik adalah misalnya seorang panitera dalam sidang-pengadilan, seorang juru sita, seorang jaksa atau polisi dalam membuat pemeriksaan pendahuluan, seorang pegawai catatan sipil yang membuat akta kelahiran atau perkawinan, pemerintah dalam membuat peraturan, sedang orang lain adalah yang

dikenal sebagai onbezoldigde-hulpmagistraten ex pasal 39 (6) HIR yang dapat pula membuat proses verbal suatu akta otentik. (2) akta otentik dapat dibedakan dalam : yang dibuat oleh dan yang dibuat dihadapan pejabat umum. Jika dalam hal membuat proses verbal akta adalah menulis apa yang dilihat dan yang dialami sendiri oleh seorang notaris tentan perbuatan (handeling) dan kejadian (daadzaken); membaca dan menadatangani hanya bersama para saksi akta tersebut di luar hadirnya atau karena atau karena penolakan para penghadap maka dalam hal membuat partij akta notaris membaca isi akta tersebut, disusul oleh penandatangan akta tersebut oleh para penghadap dan para saksi, terakhir oleh notaris itu sendiri. (3) isi dari akta otentik adalah : semua perbuatan yang oleh undangundang diwajibkan dibuat didalam akta otentik dan semua perjanjian dan penguasaan yang dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan. Suatu akta otentik dapat berisikan suatu perbuatan hukum yang diwajibakan oleh undang-undang, jadi bukan perbuatan oleh seseorang notaris atas kehendaknya sendiri. (4) akta otentik memberikan kepastian mengenai atau tentang penanggalan. Seorang notaris memberi kepastian tentang penanggalan pada aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta bersangkutan tahun, bulan, dan tanggal pada waktu mana akta tersebut dibuat. Pelanggaran dari kewajiban tersebut berakibat akta tersebut kehilangan sifat otentiknya dan dengan demikian hanya berkekuatan

akta di bawah tangan ( pasal 25 S. 1860-3) Reglement tentang jabatan notaris di Indonesia. 32 2.3. Prinsip-Prinsip Dalam Pemberian Kredit Di dalam praktek perbankan dikenal beberapa prinsip yang digunakan dalam pemberian kredit pada pihak debitur. Prinsip-Prinspin tersebut antara lain : 1) Prinsip kepercayaan, maksudnya bahwa kredit adalah kepercayaan kreditur bagi debitur, sekaligus kepercayaan bahwa debitur akan mengembalikan hutangnya, 2) Prinsip kehati-hatian adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam pemberian kredit. 3) Prinsip 5C s Meliputi : a. Watak (character), yaitu kepribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit; b. Modal (capital), yaitu modal dari pemohon kredit yang untuk mengembangkan usahanya memerlukan bantuan bank. c. Kemampuan (capacity), yaitu kemampuan untuk mengendalika, memimpin, menguasai bidang usahanya, kesungguhan dan melihat perspektif masa depan, sehingga usaha pemohon berjalan dengan baik dan memberikan untung (rendable); d. Kondisi ekonomi (condition of economic), yaitu situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu, dimana kredit diberikan bank pada pemohon; 32 Ibid, h.186-187

e. Jaminan (collateral), adalah kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan, guna kepastian pelunasan di belakang hari, kalau menerima kredit tidak melunasi hutangnya. Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain jaminan kredit sebagai pengamanan pelunasan kredit, jaminan kredit sebagai pendorong motivasi debitur, dan fungsi yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan perbankan. 33 4) Prinsip 5 P, meliputi : a. Para pihak (party), dilakukan penggolongan calon debitur yang dibagi dalam beberapa golongan berdasarkan character, capacity, dan capital. b. Tujuan (purpose) maksudnya analisis tentang tujuan penggunaan kredit yang telah disampaikan oleh calon debitur; c. Pembayaran (payment), artinya sumber pembayaran dari calon debitur; d. Perolehan laba (profitability) yaitu penilaian terhadapa kemampuan calon debitur untuk memperoleh keuntungan dalam usahanya; e. Perlindungan (protection) merupakan analisis terhadap sarana perlindungan terhadap kreditur. 5) Prinsip 3 R meliputi : a. Return, adalah penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh perusahaan peminjam setelah memperoleh kredit; 33 M. Bahsan, op.cit, h.70.

b. Repayment adalah meperhitungkan kemampuan, jadwal dan jangka waktu pembayaran kredit oleh debitur, tetapi perusahaannya tetap berjalan; c. Risk bearing ability adalah besarnya kemampuan perusahaan debitur untuk menghindari resiko, dan apakah resiko perusahaan debitur besar atau kecil. 34 2.4. Jaminan Dalam Perjanjian Kredit 2.4.1 Pengertian Jaminan Dalam Bahasa Belanda istilah jaminan memiliki terjemahan yaitu Zekerheid atau cutie yang mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Menurut dalam Pasal 1131 KUH Perdata Jaminan yaitu Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Hartono Hadisoeprapto mengungkapkan jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan 35. Pengertian kata jaminan kredit dalam perpektif Undang-Undang No.07 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 disebutkan dalam ketentuan pasal 8 ayat (1) bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan 34 Djuhaendah Hasan, op.cit, h. 21. 35 M. Bahsan, op.cit, h.70.

kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Istilah jaminan dalam perspektif Undang-Undang No.07 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 diartikan sebagai keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. 36 Berkaitan dengan pemberian kredit bank tetap meminta agunan dari pemohon kredit selain analisis itikad baik dan kemampuan permohonan kredit. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Perbankan yang mengartikan Agunan adalah Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Perjanjian pengikatan jaminan bersifat accesoir artinya perjanjian pengiktan jaminan keberadaanya tergantung dari perjanjian pokonya yaitu perjanjian kredit. Tujuan agunan ini untuk mendapatkan fasilitas pemberian kredit dari bank. 2.5. Jenis-Jenis Jaminan Kredit Pada umunya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata Hukum Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut objeknya, menurut kewenangan menguasainya dan 36 Djoni S. Gazali dan Racmadi Usman, op.cit, h.281

lain-lain. 37 Menurut sifatnya, jaminan digolongkan menjadi jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. antara lain : 1) Jaminan Perorangan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengemukakan bahwa jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya (contoh borgtocht). 38 Dikenal asas kesamaan dalam hak peroranganyang diatur dalam Pasal 1311 dan 1312 KUH Perdat. asas ini memiliki arti bahwa tidak ada pembedaan atas piutang terdahulu dengan piutang yang terjadi kemudian. Semua debitur mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan debitur. Pada jaminan perorangan kreditur mempunyai hak menuntut pemenuhan piutangnya selain kepada debitur yang utama juga kepada penanggung atau dapat menuntut pemenuhan kepada debitur lainnya. Jaminan perorangan yang demikian dapat terjadi jika kreditur mempunyai seorang penjamin (borg) atau jika pihak ketiga mengikatkan diri secara tanggung menanggung dalam debitur. 39 Kata perorangan dalam jaminan perorangan harus diartikan sebagai subjek hukum, yang terdiri dari orang-perorangan (manusia) dan badan hukum. Oleh karena itu jaminan perorangan ini dapat berupa personal 37 Tan Kamelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, h.185. 38 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2007, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, h.46-47. 39 Ibid, h. 48.

guaranty (jamina orang/pribadi) dan corporate guaranty (jaminan badan hukum/ badan usaha). 40 Terdapat 3 jenis jamina perorangan, yaitu : a. Perjnajian penanggungan/borgtocht (pasal 1820 KUH Perdata) b. Perjanjian Garansi (Pasal 1316 KUH Perdata) c. Perjanjian Tanggung-menanggung/tanggung renteng (Pasal 1278 KUH Perdata). 2) Jaminan Kebendaan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengemukakan bahwa jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (dnoite de suite) dan dapat diperalihkan (contoh hipotik, gadai dan lain-lain. 41 Hukum jaminan di Indonesia mengenat 5 (lima) jenis hak jaminan kebendaan : a. Gadai Hak gadai menurut KUH Perdata diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161. Menurut Pasal 1150 KUH Perdata, Gadai adalah suatu huk yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya 40 Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, h.68-69. 41 Sri Soedewi, op.cit. h. 46-47.

dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarakan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan.dari pengertian gadai yang diatur dalam ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata, belum dapat disimpulkan tentang sifat umum dari gadai. Sifat umum gadai harus dicari lagi didalam ketentuan-ketentuan lain KUH Perdata yaitu sebagai berikut 42 : - Gadai berlaku untuk benda bergerak Benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak; baik berwujud maupun tidak berwujud. - Gadai bersifat kebendaan Tujuan sifat kebendaan sebagaimana ketentuan Pasal 528 KUH Perdata adalah untuk memberikan jaminan bagi pemegang gadai bahwa di kemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai jaminan. - Benda gadai dikuasai oleh pemegang gadai Sesuai dengan objek benda gadai yang merupakan benda bergerak, maka harus ada hubungan yang nyata antara benda dan pemcgang gadai. Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai 42 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Bab-bab Tentang Credietverband Gadai & Fducia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, h. 56-57.

kepada pemegang gadai. Benda gadai tidak boleh berada dalam kekuasaan wakil atau petugas pemberi gadai. Ratio dari penguasaan ini ialah sebagai publikasi untuk umum; bahwa hak kebendaan (jaminan) atas benda bergerak itu ada pada pemegang gadai. Demikian juga hak gadai hapus apabila barang gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai kecuali jika barang itu hilang atau dicuri padanya, sesuai dengan bunyi Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata. - Hak menjual sendiri benda gadai Berdasarkan ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata, pemegang gadai berhak menjual sendiri benda gadai dalam hal debitur wanprestasi. Dari hasil penjualan tersebut, pemegang gadai berhak mengambil pelunasan piutang beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut. - Hak yang didahulukan Pasal 1133 jo Pasal 1150 KUH Perdata - Hak accesoir Perjanjian gadai merupakan perjanjian ikutan atau accesoir, yaitu perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya yang dalam hal ini yaitu perjanjian kredit. Dengan demikian perjanjian gadai menjadi hapus apabila perjanjian kredit yang menjadi perjanjian pokoknya berakhir.

Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever, yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai, untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Pandnemer adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). 43 b. Hipotik Pasal 1162 KUH Perdata mendefinisikan hipotik sebagai suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Sebagaimana halnya gadai, hipotik ini pun merupakan hak yang bersifat accesoir. Pasal 1168 KUH Perdata menentukan bahwa hipotik hanya dapat dilakukan oleh pemilik barang dan pemasangan hipotik atau kuasa memasang hipotik harus dilakukan dengan akta Notaris, sebagaimana ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata. Objek hipotik sesuai dengan Pasal 1164 KUH Perdata adalah bacang tidak bergerak. Hipotik tidak dapat dibebankan atas benda bergerak. Dengan berlakunya UUHT, maka hak-hak atas tanah hanya dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. 43 H. Salim HS, 2003, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Sinar Grafika, Jakarta, h. 36.

Berdasar ketentuan Pasal 29 UUHT, ketentuan mengenai Credieltierband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staat.sblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 ja. Staatsblaal 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Saat ini hipotik hanya dapat dibebankan atas: - Kapal-kapal isi kotor 20 M 3 dan terdaftar (Pasal 314 KUH Dagang jo Pasal 49 Undang-Undang Pelayaran No. 21 Tahun 1992) - Pesawat terbang dan helikopter (Pasal 12 Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan). c. Hak Tanggungan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) disahkan pada tanggal 9 April 1996, 36 tahun setelah pengamanatannya dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lembaga hak tanggungan yang diatur oleh UUHT dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek (hipotik) sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai tanah dan Credretvenband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah

dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan pasal 57 UUPA masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan tersebut. 44 Dari pengertian hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak alas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap krediturkreditur lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. d. Fidusia Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law. 45 Lembaga jaminan fidusia sesungguhnya sudah sangat tua dan dikenal serta digunakan dalam masyarakat Romawi. Dalam hukum 44 Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sutan Remy Sjahdeini II), h.1-2. 45 Tan Kamelo I, op.cit. h.35.

Romawi lembaga jaminan ini dikenal dengan nama fiducia cum creditore contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor. Lembaga jaminan fidusia sebagaimana yang dikenal sekarang dalam bentuk fiduciare eigendomsoverdracht atau FEO, yaitu pengalihan hak milik secara kepercayaan timbul berkenaan dengan adanya ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata tentang gadai yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai. Berdasar pengertian fidusia dan jaminan fidusia yang diatur dalam Pasal 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tiduk bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sehagaimnna dimuksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Jaminan fidusia dapat diuraikan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan, dimana pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek jaminan fiducia dilakukan dengan cara Ganstitutittn possessorium (verklaring van houderschap) yang berarti pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia

seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan penerima fidusia. 46 Benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud; yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek. e. Sistem Resi Gudang (SRG) Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 1 UUSRG, Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang. Sistem Resi Gudang merupakan salah satu instrumen penting dan efektif dalam sistem pembiayaan perdagangan. Sistem Resi Gudang dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang. Sistem Resi Gudang juga bermanfaat dalam menstabilkan harga pasar dengan memfasilitasi cara penjualan yang dapat dilakukan sepanjang tahun. Di samping itu, Sistem Resi Gudang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk pengendalian harga dan persediaan nasional. Sesuai dengan ketentuan penjelelasan umun Undang-Undang No.9 Tahun 2006 paragraf VI Resi Gudang sebagai alas hak (document of title) atas barang 46 Arie S. Hutagalung, 2007 Analisa Yuridis Normatif Mengenai Pemberian dan Pendaftaran Jaminan Fidusia dalam Kumpulan Transaksi Berjamin: (Secured Transaction) Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Jakarta, h.784.

dapat digunakan sebagai agunan karena Resi Gudang tersebut dijamin dengan komoditas tertentu dalam pengawasan Pengelola Gudang yang terakreditasi. Sistem Resi Gudang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemasaran yang telah dikembangkan di berbagai negara. Sistem ini terbukti telah mampu meningkatkan efisiensi sektor agroindustri karena baik produsen maupun sektor komersial dapat mengubah status sediaan bahan mentah dan setengah jadi menjadi suatu produk yang dapat diperjualbelikan secara luas. bahwa hal ini dimungkinkan karena Resi Gudang juga merupakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam perdagangan. derivatif dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi kontrak berjangka yang jatuh tempo di bursa berjangka.