1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan ekonomi merupakan bagian penting dalam mencapai pertumbuhan dan kestabilan ekonomi, tanpa adanya kebijakan ekonomi maka segala tujuan kegiatan perekonomian yang diharapkan oleh masyarakat khususnya pembuat kebijakan akan sulit tercapai. Kebijakan ekonomi terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, dimana masing-masing kebijakan tersebut berusaha mencapai tujuan ekonomi yang sama yaitu kesejahteraan masyarakat, kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang ditetapkan pemerintah menggunakan instrumen pajak, penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam mencapai kegiatan perekonomian yang diinginkan. Dilain pihak kebijakan ekonomi yang digunakan dalam bidang keuangan adalah kebijakan moneter. Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan (Warjiyo dan Solikin, 2004:2). Pengendalian besaran moneter antara lain jumlah uang beredar,uang primer,dan kredit perbankan memiliki tujuan yaitu menekan laju inflasi, peningkatan output riil, dan meningkatnya lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran. Tahun 1983 dapat dipandang sebagai suatu langkah modernisasi bidang moneter di Indonesia sejalan dengan dilepasnya sistem pengendalian moneter secara langsung, seperti penetapan pagu aktiva neto perbankan atau credit ceiling,penetapan suku bunga simpanan dan kredit diganti dengan sistem
2 pengendalian tidak langsung dengan memperkenalkan instrumen moneter tidak langsung seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) yang menjadi instrumen utama bank indonesia untuk melakukan ekspansi atau kontraksi moneter. Pendekatan kerangka kebijakan moneter sebelum krisis lebih menitikberatkan pada penggunaan pilihan monetary aggregate sebagai indikator dalam intermediate target, pendekatan dengan pilihan jumlah uang beredar sebagai indikator telah digunakan oleh otoritas moneter Indonesia sejak kebijakan moneter indonesia beralih dari sistem pengendalian moneter langsung ke sistem pengendalian moneter tidak langsung (indirect monetary control) pada tahun 1983. Pelaksanaan kebijakan moneter mengandalkan pada uang primer sebagai target operasional,dengan target nilai tukar nominal sebagai jangkar (anchor) kebijakan. Dalam hal ini nilai tukar dikendalikan secara ketat dalam kisaran yang sempit dan didepresiasikan dengan laju yang relatif konstan, yang dikenal sebagai sistem kurs mengambang terkendali (managed-floating exchange rate regime). Sementara itu, target akhir kebijakan moneter Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 1968 mengenai bank sentral, masih beragam (multiple targets). Selain tingkat inflasi yang rendah, Bank Indonesia diharuskan juga mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah dan keseimbangan neraca pembayaran. Dengan sasaran akhir yang beragam, kebijakan moneter sulit untuk dilakukan secara terfokus karena adanya benturan kebijakan moneter dalam rangka menekan laju inflasi dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan
3 ekonomi. Selain itu secara operasional kebijakan moneter yang mengandalkan uang primer juga memiliki masalah khususnya pada tahun 1990-an pendekatan tersebut mendapat tantangan yang cukup berat. Perkembangan yang sangat cepat di pasar keuangan akibat serangkaian deregulasi dan semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan luar negeri menyebabkan hubungan antara agregat moneter dengan output dan inflasi menjadi tidak stabil. Tekanan yang luar biasa terhadap nilai tukar dan cadangan devisa di awal krisis 1997 memaksa Bank Indonesia dan pemerintah melepas band intervensi dan menganut sistem nilai tukar mengambang bebas. Akibatnya nilai tukar tak lagi menjadi jangkar nominal kebijakan moneter. Depresiasi nilai rupiah yang teramat tajam dan suku bunga yang tinggi membuat sektor riil dan sektor perbankan semakin terpuruk. Perbankan kehilangan kepercayaan publik. Kegiatan usaha tidak bergerak produksi merosot dan jumlah pengangguran melonjak sehingga Indonesia mengalami krisis. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 memberi banyak pemikiran dan masalah yang mengakibatkan adanya banyak perubahan, salah satu diantaranya adalah perubahan dalam perumusan kebijakan ekonomi. Krisis ini telah menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan sehingga terjadi penarikan dana besar-besaran oleh masyarakat dan menyebabkan kelangkaan dana pada sektor perbankan hal ini diperparah dengan semakin terdepresiasinya nilai tukar rupiah sehingga menguras cadangan devisa Indonesia. Menghadapi tekanan yang begitu besar terhadap nilai tukar rupiah dan kebutuhan mengamankan cadangan devisa, maka pada tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah Indonesia melakukan pergantian sistem nilai tukar yang dianut dari
4 sistem nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang. Akan tetapi dibalik pergantian sistem nilai tukar ini, krisis mencapai puncaknya pada tahun 1998, dimana krisis yang bermula dari krisis moneter telah berubah cepat menjadi krisis ekonomi, krisis sosial, budaya, krisis politik, dan akhirnya menjadi krisis multidimensi. Pemerintah terus melakukan upaya pemulihan kondisi di dalam negeri akibat krisis. Upaya pemerintah selanjutnya adalah memberlakukan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (BI), dimana Bank Indonesia lebih independent dalam melaksanakan tugas dan tujuannya, dimana kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan (inflation targeting). Ketidakpuasan terhadap model kebijakan moneter lama yang diterapkan di Indonesia yaitu target terhadap jumlah uang beredar, nilai tukar dan tingkat suku bunga, dalam mewujudkan tujuan akhir kebijakan moneter serta ditemukannya bukti-bukti baru tentang peranan uang dalam perekonomian, merupakan titik awal dari berkembangnya model inflation targeting framework (ITF) di Indonesia. Karateristik utama model ITF adalah dijadikannya target inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter yang diumumkan kepada publik sebagai target inflasi yang harus dicapai kebijakan moneter. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Selain itu pertumbuhan ekonomi dan variabel-variabel makroekonomi lainnya masih menjadi pertimbangan penting dalam pentargetan inflasi, karena pertumbuhan ekonomi merupakan faktor yang menentukan tingkat inflasi di masa yang akan datang. Target inflasi dapat dipandang sebagai suatu jangkar nominal
5 (nominal anchor) kebijakan yang akan menentukan respon kebijakan yang akan diambil oleh suatu bank sentral (misalnya Bank Indonesia). Inflation targeting sebagai sebuah kerangka kebijakan moneter baru yang diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter, tetapi sejak dimulainya kerangka inflation targeting di Indonesia beberapa permasalahan mulai muncul yaitu tidak tercapainya tingkat inflasi yang dijadikan sebagai target dan juga peningkatan tingkat inflasi yang semakin meningkat. Sumber: Statistik Keuangan Indonesia Gambar 1.1 PERKEMBANGAN TINGKAT INFLASI DI INDONESIA 1991-2000 Sebelum terjadi krisis perkembangan inflasi di Indonesia relatif stabil dan tidak terlalu mengalami fluktuasi yang tinggi. pada tahun 1990 Indonesia mengalami inflasi sebanyak 9.53 % dan menurun pada tahun 1991 sebesar 9.52 % dan pada tahun 1992 inflasi Negara Indonesia semakin menurun hingga mencapai 4.94 % pada kuartal terakhir selanjutnya pada tahun 1993 inflasi mengalami kenaikan sebesar 9.77% dan menurun pada tahun 1994 yaitu sebesar 9.24 % dan
6 menurun juga pada tahun 1995 sebesar 8.64 % dan makin menurun juga pada tahun 1996 yaitu sebesar 6.47 %. Pada tahun 1997 meningkatnya inflasi Negara Indonesia yaitu sebesar 11.05% inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 karena pada masa itu perekonomian Indonesia sedang mengalami goncangan ekonomi dengan adanya krisis ekonomi. Inflasi tahun 1998 mencapai 77,63 %. Pemerintah terus berupaya untuk menurunkan tingkat inflasi dan seiring dengan membaiknya kinerja ekonomi nasional, maka tingkat inflasi mulai turun dan pertumbuhan inflasi dapat dikendalikan. Sumber: Statistik Keuangan Indonesia Gambar 1.2 PERKEMBANGAN TINGKAT INFLASI DI INDONESIA 2001-2010 Selama penerapan inflation targeting yang dimulai pada tahun 2000 tingkat inflasi di Indonesia mengalami kenaikan dan juga penurunan, pada tahun 2003-2004 pergerakan inflasi masih dalam keadaan stabil dan pada tingkat yang rendah, pergerakan inflasi mulai mengalami peningkatan tajam di tahun 2005
7 diakibatkan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), hal ini mengakibatkan tingkat inflasi yang jauh dari target BI, sedangkan pada tahun 2006-2007 terjadi penurunan tingkat inflasi dari dua digit menjadi satu digit. Namun adanya krisis global pada tahun 2008-2009 mengakibatkan tingkat inflasi kembali mengalami peningkatan, hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki tingkat inflasi yang tinggi di antara negara anggota Association of South East Asia Nations (ASEAN). ITF juga berbeda dengan kebijakan moneter lain yang telah diterapkan sebelumnya. Dalam ITF yang diungkapkan adalah sasaran akhir (final target) yaitu inflasi, sedangkan pada kebijakan penargetan lainnya yang ditonjolkan adalah sasaran antara (intermediate target) yaitu jumlah uang beredar (money supply), nilai tukar (exchange rates) dan tingkat suku bunga (interest rate), oleh sebab itu ITF diharapkan dapat lebih baik daripada model-model lainnya karena memiliki tujuan utama yaitu tingkat inflasi yang rendah. Pengertian tujuan utama dalam ITF tidak harus dimaknai secara mutlak. Artinya, tujuan kebijakan makroekonomi lainnya tidak mutlak diabaikan misalnya tujuan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Namun, target inflasi harus menjadi target utama, sementara yang lainnya merupakan tujuan sekunder yang tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan utama. Svensson ( 1997), mengklaim bahwa rezim membantu dalam mengurangi variabilitas inflasi dan berpendapat bahwa jika rezim yang fleksibel, dapat membantu dalam menstabilkan Output juga. Bernanke, Laubach, Mishkin dan Posen ( 1999) menguraikan peran rezim IT sebagai kebijakan yang mempengaruhi ekspektasi inflasi masyarakat,
8 mengklaim bahwa rezim menyediakan rencana eksplisit dan arah untuk pembuat kebijakan moneter. Hal ini pada akhirnya, membantu dalam menstabilkan inflasi Neumann dan von Hagen ( 2002) berpendapat bahwa rezim IT membantu negara-negara dengan ekonomi rendah dapat mengejar ketinggalan, karena belajar dari penerapan kebijakan antar negara. Civcir dan AKC aglayan ( 2010 ) menggunakan fungsi reaksi umum untuk Bank Sentral Republik Turki ( CBRT ) dan berpendapat bahwa penerapan rezim IT telah meningkatkan kredibilitas CBRT. hal ini dapat disimpulkan bahwa target Inflasi yang kredibel dapat menjadi jangkar dalam mempengaruhi ekspektasi inflasi. Goncalves dan Salles ( 2008) menggunakan data untuk 36 negara berkembang ( yang 13 adalah IT ) selama periode 1980-2005 dan menunjukkan bahwa negara-negara IT mengalami pengendalian lebih besar dalam inflasi dan volatilitas tingkat pertumbuhan GDP. Hasil penelitian mereka menyiratkan bahwa rezim IT mungkin memiliki efek yang lebih signifikan terhadap kinerja ekonomi makro negara-negara berkembang dibandingkan yang tidak menerapkan. Meskipun demikian, tingkat inflasi yang rendah dan stabil masih menjadi kontroversi dan besarnya tingkat inflasi di setiap negara sulit untuk dikatakan sama (Schmidt-Hebbel,2002). Beberapa penelitian lain meragukan efektifitas penerapan inflation targeting dapat benar-benar berpengaruh terhadap tingkat penurunan inflasi salah satunya adalah penelitian Ball dan Sheridan (2005) menunjukkan bahwa tingkat inflasi juga menurun di negara-negara NT, serta negara-negara IT. Oleh karena itu, mereka menyimpulkan bahwa alasan untuk penurunan tingkat inflasi bukanlah penerapan rezim IT, tapi tergantung keadaan ekonomi.
9 Lin Ye ( 2007) berpendapat bahwa rezim IT tidak memiliki efek signifikan pada tingkat inflasi atau volatilitas. Sims (2005) menunjukkan bahwa rezim IT mungkin lebih berbahaya daripada bermanfaat, jika bank sentral tidak akan mampu mengendalikan jalur inflasi yang ditetapkan maka bank sentral akan kehilangan kredibilitas. Hasil penelitian empiris tersebut menunjukkan bahwa masing-masing negara memiliki tingkat kestabilan inflasi yang berbeda oleh karena itu dibutuhkan suatu kredibilitas pada bank sentral masing-masing negara untuk menargetkan suatu tingkat inflasi yang sesuai dengan perekonomian, selain itu kredibilitas bank sentral dalam menjaga tingkat inflasi sesuai dengan target sangatlah penting karena hal ini akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat di masa depan. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut maka dapat dilihat bahwa variabel-variabel seperti jumlah uang beredar, nilai tukar dan suku bunga juga memiliki peran terhadap tingkat inflasi suatu negara dalam suatu transmisi kebijakan moneter oleh sebab itu dalam menjalankan kebijakan inflation targeting otoritas moneter perlu melihat seberapa besar variabel-variabel tersebut dalam mempengaruhi inflasi dan juga shock dari variabel-variabel tersebut dalam mempengaruhi tingkat inflasi sehingga otoritas moneter dapat menentukan target inflasi yang sesuai dengan perekonomian. Berdasarkan perspektif pentingnya studi ini, selanjutnya dipilih topik yang lebih spesifik, dirumuskan dalam judul Analisis Hubungan Variabel Moneter di Indonesia Sebelum dan Sesudah Penerapan Kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF) Periode (1991.1-2010.4)
10 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang dan judul studi tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Apakah tingkat suku bunga, jumlah uang beredar (M2), dan nilai tukar berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia sebelum dan sesudah penerapan ITF? 2. Apakah terdapat hubungan kointegrasi antara variabel, tingkat suku bunga, jumlah uang beredar (M2), dan nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia sebelum dan sesudah penerapan ITF? 3. Apakah kebijakan Inflation Targeting efektif diterapkan dalam mengendalikan tingkat inflasi di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang, judul dan rumusan masalah diatas disusun tujuan studi sebagai berikut: 1. Menguji dan menganalisis pengaruh variabel moneter yaitu tingkat suku bunga, jumlah uang beredar (M2), dan nilai tukar terhadap tingkat inflasi di Indonesia sebelum dan sesudah penerapan ITF. 2. Menguji dan menganalisis hubungan kointegrasi variabel moneter yaitu tingkat suku bunga, jumlah uang beredar (M2), nilai tukar dan inflasi di Indonesia sebelum dan sesudah penerapan ITF. 3. Mendiskripsikan dan menganalisis efektifitas penerapan Inflation Targeting dalam mengendalikan tingkat inflasi di Indonesia.
11 1.4 Manfaat penelitian Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dan tujuan studi maka studi ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Bagi ilmu pengetahuan, diharapkan penelitian ini dapat menambah kajian ilmu ekonomi khususnya efektifitas kebijakan moneter yang diterapkan di Indonesia serta dapat menambah referensi untuk pengembangan ilmu selanjutnya terutama yang berkaitan dengan evaluasi untuk melihat efektifitas dari mekanisme transmisi yang ada. 2. Bagi pemerintah dan bank sentral, sebagai pengambil kebijakan diharapkan dapat membantu untuk pengambilan keputusan yang optimal bagi perekonomian utamanya dalam menentukan kebijakan moneter yang sesuai dengan perekonomian. 3. Bagi penulis diharapkan penelitian ini dapat semakin memperkaya pengetahuan sehingga dijadikan referensi untuk mengemban pada penelitian selanjutnya.