BAB I PENDAHULUAN. dan kepentingan yang harus dipenuhi. Kebutuhan dan kepentingan tersebut dapat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

TENTANG DUDUK PERKARANYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

CARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET

P U T U S A N Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

R I N G K A S A N. setiap perkara perdata yang diajukan kepadanya dan Hakim berkewajiban membantu

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

: KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO.

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram )

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS

PROSES SIDANG PERDATA DI PENGADILAN NEGERI PUTUSSIBAU

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

P U T U S A N Nomor 488/Pdt/2016/PT.BDG M E L A W A N

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Gugat

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kepada Hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya Tergugat. Putusan verstek

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN. Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TEHNIK PEMBUATAN PUTUSAN. Oleh Drs. H. Jojo Suharjo ( Wakil Ketua Pengadilan Agama Brebes Kelas I. A. ) KATA PENGANTAR

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT

PUTUSAN Nomor 0073/Pdt.G/2017/PTA Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?

P U T U S A N. Nomor 0318/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M E L A W A N :

PENERAPAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI DALAM PERSIDANGAN DI PENGADILAN AGAMA Oleh : H. Sarwohadi, SH, MH (Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK. yang bersifat memaksa. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB I PENDAHULUAN. pihak lainnya atau memaksa pihak lain itu melaksanakan kewajibannya. dibentuklah norma-norma hukum tertentu yang bertujuan menjaga

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERANAN HAKIM TERHADAP LAHIRNYA PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (Studi Kasus Putusan No. 191/Pdt.G/2010/PN.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

JAMINAN. Oleh : C

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau

P U T U S A N. Nomor 0005/Pdt.G/2017/PTA. Plk. M e l a w a n

Nomor 1054/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. m e l a w a n

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg)

Nomor 0145/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. m e l a w a n

BAB IV. memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili agar

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

P U T U S A N. Nomor 0002/Pdt.G/2017/PTA.Plk. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri

P U T U S A N Nomor : 0016/Pdt.G/2014/PTA.Pdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

P U T U S A N Nomor 271/Pdt/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA L A W A N D A N

Latihan Soal Ujian Advokat Perdata

Makalah Rakernas MA RI

P U T U S A N 46/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGGUGAT ; MELAWAN TERGUGAT ;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sejak awal lahirnya adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap manusia mempunyai kebutuhan dan kepentingan yang harus dipenuhi. Kebutuhan dan kepentingan tersebut dapat diklasifikasikan dalam: a) Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, seks; b) Kebutuhan keamanan, ketertiban dan ketentraman dari gangguan, ancaman atau serangan pihak lain; c) Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerja sama untuk tujuan-tujuan kolektif; d) Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia yang bermartabat dan berkebudayaan; e) Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwanya yang merdeka, yang memiliki daya logika, etika dan estetika atau nalar kreatifitas guna membudayakan dirinya. 1 Manusia saling berinteraksi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya dan dari interaksi tersebut timbul hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Pemenuhan kebutuhan menjadi hak setiap manusia, namun di dalam pelaksanaannya, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia berhadapan dengan kewajiban menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain. Contohnya, untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, khususnya makanan, manusia bisa mendapatkannya dengan cara membeli dari orang lain. Pada sebuah hubungan jual beli, kedua pihak dihadapkan dengan hak dan kewajiban sekaligus, yaitu hak si 1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, halaman 46.

2 pembeli mendapatkan makanan dan kewajibannya untuk membayar sejumlah makanan tersebut, begitu juga si penjual berhak menerima pembayaran sejumlah makanan yang dibeli oleh pembeli dan berkewajiban menyerahkan makanan yang telah dibayar kepada pembeli. Berdasarkan contoh di atas cukup menggambarkan, bahwa untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berhadapan dengan kewajiban untuk menghormati hak orang lain, akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran tehadap hak yang dimiliki manusia yang dilakukan oleh manusia lainnya, oleh karena itu perlu adanya suatu aturan yang mengatur pelaksanaan hak setiap individu manusia agar tidak merugikan individu yang lain. Aturan tersebut salah satunya diwujudkan dalam peraturan-peraturan hukum. Keberadaan hukum di dalam masyarakat adalah sebagai peraturan yang bersifat umum, di mana seseorang atau kelompok secara keseluruhan ditentukan batas-batas hak dan kewajibannya. 2 Negara mempunyai kewajiban melindungi hak-hak warga negaranya dan salah satu perwujudannya adalah melalui lembaga peradilan yang mempunyai tugas menyelenggarakan peradilan demi tegaknya hukum dan demi melindungi kepentingan-kepentingan umum. Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan mengakibatkan kerugian pada dirinya dapat mengajukan tuntutan haknya ke Pengadilan, selama Pengadilan tersebut mempunyai kewenangan untuk mengadili atau berkompeten sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang merumuskan: 2 Ibid, halaman 45.

3 ayat (1) Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya; ayat (2) Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang daripada orang berutang utama itu, kecuali ditentukan pada ayat (2) dari Pasal 6 reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan hakim (R.O); ayat (3) Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagipula tempat tinggal sebetulnya tidak dketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu; ayat (4) Jika dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat berkedudukan yang dipilih itu. Pengadilan berkewajiban untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pengajuan tuntutan hak tersebut dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata dan di dalam masalah gugatan ini, perlu terlebih dahulu mengetahui perbedaan antara

4 gugatan dengan permohonan. Perbedaan diantara keduanya yaitu bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh Pengadilan dan disini hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa diantara pihak-pihak yang benar dan siapa yang tidak benar. Berbeda halnya dengan perkara yang disebut permohonan, di sini tidak ada sengketa, hakim hanya sekadar memberi jasa-jasa sebagai seorang Tenaga Tata Usaha Negara. Hakim tersebut mengeluarkan penetapan yang lazim disebut putusan declaratoir, suatu putusan yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Hakim tidak memutuskan suatu konflik seperti halnya dalam suatu gugatan. 3 Majelis Hakim pemeriksa perkara berkewajiban menawarkan perdamaian kepada para pihak dalam proses pemeriksaan gugatan di Pengadilan berdasarkan Pasal 130 ayat (1) HIR, yang merumuskan: Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai perdamaian antara kedua belah pihak Majelis Hakim mulai dengan membacakan surat-surat yang dikemukakan oleh para pihak apabila upaya perdamaian yang dilakukan mengalami kegagalan dan yang dimaksudkan dengan surat-surat ini ialah permohonan gugat dan kalau ada surat jawaban dari Tergugat. 4 Seorang Tergugat mempunyai hak untuk menggugat kembali si Penggugat dan ini diatur dalam Pasal 132 a dan b HIR, yang merumuskan: 3 M. Nur, Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 19. 4 Ibid, halaman 28.

5 Pasal 132 a HIR: ayat (1) Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali: 1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; 2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan; 3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan. ayat (2) Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu. Pasal 132 b HIR, merumuskan: ayat (1) Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan; ayat (2) Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini; ayat (3) Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir; ayat (4) Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat pertama ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada jumlah wang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi; ayat (5) Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing, maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan. R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap Pasal 132 a HIR, bahwa oleh karena bagi Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya untuk menggugat kembali Penggugat, maka Tergugat itu tidak perlu mengajukan

6 tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya. Gugatan melawan ini dapat diajukan baik secara tertulis, maupun secara lisan (lihat Pasal 132 b). Dengan diberikannya kesempatan untuk gugat-menggugat ini maka jalannya berperkara menjadi lebih lancar, oleh karena dua persoalan dapat diperiksa sekaligus. 5 Sub 1, 2 dan 3 dari Pasal 132 a ayat (1) HIR memuat pengecualian mengenai pengajuan gugatan rekonvensi (gugat balik). Pada Pasal 132 a ayat (2) HIR sudah secara gamblang menjelaskan bahwa apabila gugatan rekonvensi tidak diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama, maka pada tingkat banding tidak dapat diajukan lagi. R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap Pasal 132 b HIR, bahwa menurut ayat (1) dan (3) pasal ini gugatan perlawanan diajukan bersama-sama jawaban Tergugat atas gugatannya, baik secara tertulis maupun secara lisan. Gugatan pertama dan gugatan perlawanan itu harus diperiksa dan diputus sekaligus dalam satu surat putusan, namun apabila Pengadilan Negeri berpendapat lain, bisa juga perkara itu diperiksa dan diputus secara terpisah, akan tetapi yang tidak boleh diabaikan ialah bahwa kedua gugatan itu harus senantiasa diselesaikan pemeriksaannya oleh hakim itu juga sampai dijatuhkan putusan yang terakhir. 6 Gugatan rekonvensi pada hakekatnya merupakan gugat balik terhadap lawan berperkara, maksudnya adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat dalam gugatan awal (konvensi) kepada Penggugat dalam gugatan awal, di mana pengajuannya 5 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1995, halaman 92. 6 Ibid, halaman 93.

7 dilakukan bersama-sama dengan jawaban Tergugat dalam gugatan awal dan diperiksa dalam satu persidangan dengan gugatan awal, dengan nomor perkara yang sama, serta harus diputus dalam satu putusan. Hal ini bertujuan untuk menghemat biaya, waktu, tenaga, mempermudah prosedur pemeriksaan dan menghindari putusan yang bertentangan satu sama lain, sedangkan bagi Tergugat Rekonvensi, gugatan rekonvensi ini berarti menghemat ongkos perkara karena ia tidak diwajibkan membayar biaya perkara dalam gugatan rekonvensi. Hal itu dikarenakan pengajuan gugatan rekonvensi merupakan suatu hak istimewa yang diberikan oleh hukum acara perdata kepada Tergugat untuk mengajukan suatu kehendak untuk menggugat dari pihak Tergugat kepada pihak Penggugat secara bersama-sama dengan gugat asal (konvensi), tetapi keduanya haruslah mempunyai dasar hubungan hukum yang sama. Atas dasar itulah Tergugat dalam hal ini diperbolehkan memajukan gugatan rekonvensi, tetapi jika soal jawab jinawab sudah selesai dan hakim sudah mulai dengan melakukan pemeriksaan perkara, maka tergugat tidak diperbolehkan lagi memajukan gugatan rekonvensi. 7 Salah satu contoh mengenai gugat rekonvensi terdapat di dalam Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. Putusan tersebut memutus sengketa antara Alwi Kiswanto yang bertempat tinggal di Jalan Jenderal Ahmad Yani No.36 RT. 001/RW. 004, Kelurahan Kandang Gampang Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga sebagai PENGGUGAT melawan: 7 Wirjono, Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, halaman 80.

8 1. ST. Yudianto yang bertempat tinggal di RT. 01/RW. 01 Kelurahan Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga sebagai TERGUGAT I; 2. Direksi CV. Cipta Usaha yang bertempat tinggal di Desa Babakan RT. 09/RW. 02, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga sebagai TERGUGAT II. Kasus posisi dalam perkara ini dimulai ketika Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat I dan Tergugat II ke Pengadilan Negeri Purbalingga. Gugatan tersebut didasarkan pada perbuatan cidera janji yang dilakukan oleh para Tergugat. Penggugat mendalilkan bahwa cidera janji tersebut terjadi karena Tergugat II membeli aspal kepada Penggugat melalui Tergugat I sebanyak 382 (tiga ratus delapan puluh dua) drum, namun yang diakui dan dibayar Tergugat II hanya sejumlah 319 (tiga ratus sembilan belas drum), oleh karena itu ada selisih sebanyak 63 (enam puluh tiga) drum yang belum dibayar oleh Tergugat II. Tergugat I dalam jawaban gugatannya membenarkan seluruh dalil Penggugat, namun Tergugat II membantah sekaligus mengajukan gugatan rekonvensi dalam jawaban gugatannya. Gugatan rekonvensi tersebut didasarkan pada perbuatan Penggugat Konvensi yang melaporkan Tergugat II Konvensi ke Polsek Purbalingga terkait permasalahan jual beli aspal tersebut, namun prosesnya tidak dilanjutkan karena Penggugat Konvensi tidak dapat membuktikan kesalahan Tergugat II Konvensi. Tergugat II Konvensi merasa dirugikan secara materiil dan imateriil atas laporan Penggugat Konvensi tersebut. Tergugat II Konvensi mendalilkan telah mengalami kerugian materiil sejumlah Rp

9 100. 000. 000, - (seratus juta rupiah) dan kerugian imateriil sejumlah Rp. 1. 000. 000. 000, - (satu milyar rupiah). Penggugat Rekonvensi dalam gugatannya mendudukkan Penggugat Konvensi sebagai Tergugat Rekonvensi dan Tergugat I Konvensi sebagai Turut Tergugat Rekonvensi. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga yang memeriksa dan memutus perkara tersebut memutuskan untuk menolak seluruh gugatan Penggugat Konvensi, dengan pertimbangan bahwa penggugat tidak dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat II dan alat-alat buktipun memperkuat dalildalil Tergugat II konvensi. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga menyatakan tidak menerima gugatan rekonvensi dari Tergugat II (Niet Onvankelijke Verklaard) dengan pertimbangan hukum bahwa dijadikannya Turut Tergugat Rekonvensi sebagai pihak dalam gugatan rekonvensi padahal antara Penggugat Rekonvensi dan Turut Tergugat Rekonvensi dalam gugatan awal (konvensi) berkedudukan sebagai Tergugat menyalahi prosedur beracara yang telah baku dan lazim di persidangan, karena esensinya gugatan rekonvensi adalah gugat balas atas lawan berperkara. Putusan Majelis Hakim tersebut berpedoman pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 K/Pdt/1984, akan tetapi selain putusan Mahkamah Agung tersebut, masih ada pula dasar-dasar hukum yang lain dan penjelasan-penjelasan dalam berbagai literatur yang membahas mengenai gugatan rekonvensi yang dilarang. Amar putusan yang menyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima, memunculkan suatu konsekuensi hukum, yaitu apabila pihak Penggugat Rekonvensi tidak puas, maka bisa diajukan gugatan lagi setelah gugatan sebelumnya diperbaiki, namun teknis

10 pengajuan gugatan yang seperti demikian masih belum secara gamblang dijelaskan dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Berdasarkan uraian di latar belakang masalah di atas, penulis dalam menyusun skripsi ini mengambil judul: PENERAPAN HUKUM TERHADAP GUGATAN REKONVENSI PADA PUTUSAN HAKIM NOMOR 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. B. Perumusan Masalah Dalam penelitian, perumusan masalah sangatlah penting karena memberi arah dalam membahas masalah yang diteliti, sehingga penelitian dapat dilakukan secara lebih sistematis dan terarah sesuai dengan sasaran yang ditentukan. Pengertian dari masalah itu sendiri adalah persoalan-persoalan yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim mengenai gugatan rekonvensi pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg? 2. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/ PN. Pbg?

11 C. Tujuan Penelitian Penelitian yang akan dilaksanakan mempunyai dua tujuan, yaitu: 1. Tujuan obyektif a. Tujuan obyektif dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan hukum mengenai gugatan rekonvensi yang dilakukan oleh Majelis Hakim pada Putusan Nomor 17/Pdt. G/2007/PN. Pbg. b. Tujuan obyektif yang selanjutnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 17/Pdt.G/2007/PN. Pbg. 2. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dan sebagai tambahan wacana referensi acuan penelitian yang sejenis dari permasalahan yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memajukan perkembangan Ilmu di bidang Hukum Acara Perdata khususnya mengenai gugat rekonvensi.

12 2. Kegunaan praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi masyarakat, praktisi hukum, serta para akademisi, terhadap pemahaman mengenai gugatan rekonvensi serta akibat hukumnya.

13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. GUGATAN 1. Pengertian Gugatan Pengertian gugatan menurut Pasal 1 angka 2 Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan 8, sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri (eigenrichting). 9 2. Jenis Gugatan Perihal jenis gugatan, hukum acara perdata mengenal dua jenis gugatan, yaitu gugatan voluntair dan gugatan contentiosa. Gugatan voluntair bisa juga disebut permohonan. Sebutan gugatan voluntair dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan bahwa: 8 Tiar, Ramon, Bahan Kuliah Hukum Acara Perdata, Wordpress, diakses dari http://tiarramon.wordpress.com/2010/06/04/bab-ii-perihal-gugatan/, pada tanggal 4 September 2011 pukul 12.14. 9 Sudikno, Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, halaman 48.

14 Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair Ketentuan Pasal 2 tersebut tidak diatur lagi dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dan tidak diatur pula di dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan pengganti dari Undangundang Nomor 4 Tahun 2004, namun ketentuan itu merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang bersangkutan dengan yurisdiksi contentiosa yaitu penyelesaian masalah yang bersifat partai (ada pihak Penggugat dan Tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang yang ditarik sebagai Tergugat. Jika undang-undang tersebut menggunakan istilah voluntair, maka Mahkamah Agung memakai istilah permohonan. Istilah itu dapat dilihat dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, 10 pada halaman 110 angka 15 digunakan istilah permohonan, namun pada angka 15 huruf (e) dipergunakan juga istilah voluntair, yang menjelaskan bahwa: Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair. Dari penjelasan di atas ditemui dua istilah yang sering 10 M. Yahya, Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 28.

15 digunakan baik dalam literatur maupun praktek, yaitu permohonan atau voluntair, oleh karena itu antar keduanya dapat saling dipertukarkan atau interchangeable. 11 Gugatan contentiosa adalah perkara yang di dalamnya terdapat sengketa dua pihak atau lebih yang sering disebut dengan istilah gugatan perdata, artinya ada konflik yang harus diselesaikan dan harus diputus Pengadilan, apakah berakhir dengan kalah memang atau damai tergantung pada proses hukumnya, misalnya sengketa hak milik, warisan dan lain-lain. 3. Bentuk Gugatan Gugatan yang diajukan ke pengadilan negeri dapat berbentuk: 1. Tertulis Pasal 118 ayat (1) HIR 2. Lisan Pasal 120 HIR Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. 12 Pengutamaan mengenai gugatan tertulis diatur dalam HIR yang menyatakan gugatan tingkat pertama harus dimasukkan dengan suatu surat permintaan yang ditandatangani oleh Penggugat atau wakilnya. Penegasannya ini tercantum dalam Pasal 118 ayat (1) HIR yang merumuskan: Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya. 11 Loc. cit. 12 Ibid, halaman 49.

16 Pasal 118 ayat (1) HIR yang disebutkan di atas mengatur mengenai gugatan tertulis, sedangkan untuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR. Perihal gugatan lisan, HIR memberi kelonggaran bagi Penggugat yang buta huruf untuk mengajukan gugatan secara lisan. Pasal 10 HIR yang merumuskan: Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan. Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim lagi, bahkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973, orang yang menerima kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisan 13 Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang syarat dalam menyusun gugatan: 1. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan (Mahkamah Agung tanggal 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972); 2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (Mahkamah Agung tanggal 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970); 3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (Mahkamah Agung tanggal 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975); 4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batasbatas dan ukuran tanah (Mahkamah Agung tanggal 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971). 13 Tiar, Ramon, Loc. cit.

17 Tidak memenuhi syarat di atas gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Ketidaksempurnaan diatas dapat dihindarkan jika Penggugat atau kuasanya sebelum memasukkan gugatan meminta nasihat dulu ke Ketua Pengadilan, namun karena sekarang sudah banyak Advokat atau Pengacara maka sangat jarang terjadi kecuali mereka tidak bisa tulis dan baca. Dalam hukum acara perdata terdapat istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak. Kedua istilah tersebut mempunyai akibat hukum yang berbeda, selain itu kedua istilah tersebut juga disebabkan oleh hal yang berbeda. Perbedaan mengenai istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak adalah sebagai berikut: 1. Gugatan tidak diterima adalah gugatan yang tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak gugatan diluar pokok perkara. Dalam hal ini Penggugat masih dapat mengajukan kembali gugatannya atau banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat formil. 2. Gugatan ditolak adalah gugatan tidak beralasan hukum yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Putusan hakim dengan melakukan penolakan bermaksud menolak setelah mempertimbangkan pokok perkara. Dalam hal ini Penggugat tidak ada kesempatan mengajukan kembali tapi haknya adalah banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat materil (pembuktian).

18 4. Syarat Gugatan HIR maupun Rbg tidak mengatur secara tegas perihal syarat-syarat membuat suatu gugatan, akan tetapi di dalam praktek, suatu gugatan hendaklah memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) Syarat formil terdiri dari tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan, materai dan tanda tangan. b) Syarat materil terdiri dari identitas para pihak karena dalam suatu gugatan harus jelas diuraikan mengenai identitas dari Penggugat maupun Tergugat. Identitas itu umumnya menyangkut: 1. Nama lengkap; 2. Umur, tempat dan tanggal lahir; 3. Pekerjaan; 4. Alamat atau domisili. Dalam hal Penggugat dan Tergugatnya adalah suatu badan hukum, maka harus tegas disebutkan siapa yang berhak mewakili menurut anggaran dasarnya. 5. Isi Gugatan Perihal isi gugatan diatur dalam Pasal 8 Rv (Reglement op de Rechtsvordering). Menurut Pasal 8 Rv pada intinya gugatan harus memuat: 1. Identitas para pihak, 2. Dasar atau dalil gugatan/posita/fundamentum petendi berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum,

19 3. Tuntutan/petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan subsider/tambahan. 14 Identitas para pihak adalah keterangan yang lengkap dari pihak-pihak yang berpekara yaitu nama, tempat tinggal dan pekerjaan. Kalau mungkin juga agama, umur dan status kawin, sedangkan fundamentum petendi (posita) adalah dasar dari gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang berpekara (Penggugat dan Tergugat) yang terdiri dari dua bagian yaitu: 1) Uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (eittelijke gronden) adalah merupakan penjelasan duduk perkaranya; 2) Uraian tentang hukumnya (rechtsgronden) adalah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan. Petitum adalah yang dimohon atau dituntut supaya diputuskan Pengadilan. Petitum ini akan mendapat jawabannya dalam diktum atau amar putusan Pengadilan, oleh karena itu Penggugat harus merumuskan petitum tersebut dengan jelas dan tegas, kalau tidak, bisa menyebabkan gugatan tidak dapat diterima. 6. Pengajuan Gugatan Gugatan yang diajukan oleh Penggugat harus benar-benar memperhatikan kompetensi atau kewenangan dari Pengadilan yang akan memeriksa dan memutus perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal adanya 2 (dua) macam kewenangan (kompetensi) mengadili, yaitu: 14 Loc. Cit.

20 a. Kewenangan mutlak (Kompetensi Absolut) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman adalah wewenang badan Pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang lain (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama), dengan demikian wewenang yang mutlak ini menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa yang bersangkutan. Kalau suatu perkara diajukan kepada hakim yang secara mutlak (absolut) tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang secara ex officio untuk memeriksanya dan tidak bergantung pada ada tidaknya eksepsi dari Tergugat tentang ketidakwenangannya itu. Setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut. b. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif), yaitu mengatur tentang pembagian jenis kekuasaan mengadili antar Pengadilan yang serupa atau sejenis (Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan Pengadilan Negeri Padang Panjang). Dengan demikian wewenang relatif ini akan menjawab pertanyaan Pengadilan yang berada di mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Jadi dalam hal ini akan berkaitan dengan wilayah hukum suatu Pengadilan. Kalau seseorang digugat di muka hakim yang tidak berwenang

21 merumuskan: secara relatif memeriksa perkara tersebut, maka hakim hanya dapat menyatakan dirinya tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara tersebut apabila Tergugat mengajukan eksepsi (tangkisan) bahwa hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut dan tangkisan tersebut diajukan pada sidang pertama atau setidak-tidaknya belum mengajukan tangkisan lain. 15 Pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 118 HIR, yang ayat (1) Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya; ayat (2) Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka penggugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang daripada orang berutang utama itu, kecuali ditentukan pada ayat (2) dari Pasal 6 reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan hakim (R.O); ayat (3) Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagipula tempat tinggal sebetulnya tidak dketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu; ayat (4) Jika dengan surat sah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugatan itu kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat berkedudukan yang dipilih itu. 15 M. Nur, Rasaid, Op. cit, halaman 19.

22 Pasal 118 tersebut memberi penjelasan bahwa pada asasnya gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. Asas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan asas Actor Sequitor Forum Rei. Hal ini memang sudah sepantasnyalah demikian karena tidaklah layak kiranya apabila Tergugat harus menghadap ke Pengadilan tempat tinggal Penggugat, karena bukanlah kehendak dari si Tergugat bahwa dirinya digugat ke Pengadilan. Terdapat beberapa pengecualian terhadap asas Actor Sequitor Forum Rei ini, yaitu antara lain: a) Apabila tempat tinggal Tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman Penggugat; b) Apabila Tergugat terdiri dari dua orang atau lebih dan mereka tinggal pada tempat yang berlainan, maka gugatan dapat diajukan pada tempat tinggal salah seorang Tergugat; c) Apabila yang digugat itu terdiri dari orang-orang berutang dan penanggung, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat orang yang berutang; d) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman atau orang yang digugat tidak diketahui atau tidak dikenal, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Penggugat; e) Dalam hal keadaan nomor di atas, apabila gugatannya mengenai barang tetap, maka gugatan diajukan ke Pengadilan tempat di mana barang tetap (tidak bergerak) tersebut berada. Asas ini dikenal dengan sebutan asas Actor Sequitor Forum Sitei;

23 f) Kalau kedua belah pihak memilih tempat tinggal khusus dengan akta yang tertulis, maka Penggugat kalau mau dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat yang dipilih dalam akta tersebut. 16 Ketentuan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR sejalan dengan apa yang digariskan pada Pasal 123 ayat (1) HIR, yang merumuskan: Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberii kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberii kuasa itu dalam surat permintaan yang ditandatangani dan dimasukkan menurut ayat pertama Pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut Pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini. Pada intinya Pasal 123 ayat (1) HIR menyatakan bahwa baik Penggugat dan Tergugat (kedua belah pihak): 1. Dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan tindakan di depan Pengadilan; 2. Kuasa itu dapat diberikan dengan surat kuasa khusus (special power of attorney). Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan gugatan yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur berikut; 3. Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan bertindak mewakili Penggugat, harus terlebih dahulu diberi surat kuasa khusus; 16 Ibid, halaman 21.

24 4. Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan Penggugat atau pemberi kuasa (latsgever, mandate); 5. Kuasa atau penerima kuasa (lasthebber; mandataris), membuat, menandatangani dan mengajukan gugatan sebelum mendapat kuasa atau lebih dahulu membuat dan menandatangani gugatan daripada tanggal surat kuasa: 1) Gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu, dianggap mengandung cacat formil; 2) Akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat diterima atas alasan gugatan ditandatangani oleh orang yang tidak berwenang (unauthorized) untuk itu, karena pada waktu surat kuasa menandatangai gugatan, dia sendiri belum mempunyai surat kuasa. 17 Penjelasan di atas merupakan penegasan bahwa jika bertindak membuat dan menandatangani surat gugatan adalah kuasa maka sebelum itu dilakukannya, kuasa tersebut harus terlebih dahulu mendapat kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus dari Penggugat. Paling tidak agar penandatanganan surat gugatan sah dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal penandatanganan surat gugatan diberi dan dibuat pada hari dan tanggal yang sama. 18 Pendahuluan akan pemeriksaan perkara perdata oleh Pengadilan Negeri adalah pemasukkan surat permohonan yang harus ditandatangani oleh Penggugat atau 17 M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 51. 18 Loc. Cit.

25 wakilnya. Surat permohonan itu, sesudah diterima dan setelah Penggugat membayar biaya administrasi dan ongkos pemanggilan dan pemberitahuan kepada kedua pihak dan biaya materai, yang harus dibayar oleh Penggugat, dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera. Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan Pengadilan dengan perintah untuk memanggil kedua pihak untuk datang menghadap di persidangan itu. Bersamaan dengan pemanggilan itu, salinan surat permintaan atau surat gugatan (introductief rekest) diserahkan kepada Tergugat dengan pemberitahuan bahwa ia jika dikehendakinya dapat menjawab dengan surat. 19 B. Pemeriksaan Gugatan di Persidangan Proses pemeriksaan gugatan perdata di persidangan termasuk ke dalam tata urutan persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri sebagai berikut: 1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum; 2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang; 3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa surat ijin praktik dari organisasi advokat; 4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk menyelesaikan dengan perkara secara damai; 5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau dari luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008); 6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya; 19 R. Soesilo, Op. cit, halaman 78.

26 7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YME; 8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari Tergugat; (jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi); 9. Apabila ada gugatan rekonvensi Tergugat juga berposisi sebagai Penggugat Rekonvensi; 10. Replik dari Penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai Tergugat Rekonvensi; 11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst); 12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi); 13. Pembuktian; 14. Dimulai dari Penggugat berupa surat bukti dan saksi; 15. Dilanjutkan dari Tergugat berupa surat bukti dan saksi; 16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat; 17. Kesimpulan; 18. Musyawarah oleh Majelis Hakim (bersifat rahasia); 19. Pembacaan Putusan;

27 20. Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan tidak dapat diterima; 21. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari; 22. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan. 20 Sistem pemeriksaan gugatan perdata digariskan dalam Pasal 125 dan 127 HIR. Pasal 125 HIR merumuskan: ayat (1) Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan; ayat (2) Akan tetapi jika tergugat, di dalam surat jawabannya yang tersebut pada Pasal 121, mengemukakan perlawanan (exceptie) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir, ketua pengadilan negeri wajib memberii keputusan tentang perlawanan itu, sesudah didengarnya penggugat dan jika hanya perlawanan itu tidak diterima, maka ketua pengadilan negeri memutuskan tentang perkara itu ayat (3) Jika surat gugat diterima, maka atas perintah ketua diberitahukanlah keputusan pengadilan negeri kepada orang yang dikalahkan itu serta 20 Pengadilan Negeri Sukoharjo, Tata Urutan Persidangan Perkara Perdata, diakses dari http://www.pn-sukoharjo.go.id/index.php/kepaniteraan/bagian-perdata/tata-urutan-persidanganperkara-perdata.html, pada tanggal 5 Mei 2012.

28 menerangkan pula kepadanya, bahwa ia berhak memajukan perlawanan (verzet) di dalam tempo dan dengan cara yang ditentukan Pasal 129 tentang keputusan itu di muka pengadilan itu juga ayat (4) Panitera mencatat di bawah surat putusan itu kepada siapakah dulunya diperintahkan menjalankan pekerjaan itu dan apakah yang diterangkan orang itu tentang hal itu, baik dengan surat maupun dengan lisan. Pasal 127 HIR merumuskan: Jika seseorang atau lebih tergugat tidak datang atau tidak menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan sampai pada hari persidangan lain, yang paling dekat. Hal mengundurkan diri itu diberitahukan pada waktu persidangan kepada pihak yang hadir, bagi mereka pemberitahuan itu sama dengan panggilan, sedang tergugat yang tidak datang, disuruh panggil oleh ketua sekali lagi menghadap hari persidangan yang lain. Ketika itu perkara diperiksa dan kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dalam satu keputusan, atas mana tidak diperkenankan perlawanan (verzet). Pada intinya Pasal 125 dan 127 HIR tersebut mengatur bahwa sistem dan proses pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. Dihadiri Kedua Belah Pihak secara In Person atau Kuasa. Para pihak dipanggil dengan resmi dan patut oleh juru sita menghadiri persidangan yang telah ditentukan dan ini merupakan prinsip umum yang harus ditegakkan agar sesuai dengan asas due process of law, namun ketentuan ini, dapat dikesampingkan berdasarkan Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 127 HIR, yang memberi kewenangan bagi hakim untuk melakukan proses pemeriksaan: 1. Secara verstek (putusan di luar hadirnya tergugat) apabila tidak menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut, 2. Pemeriksaan tanpa bantahan dilakukan apabila pada sidang berikut tidak hadir tanpa alasan yang sah, misalnya persidangan diundurkan pada hari yang

29 ditentukan oleh hakim dan ternyata Penggugat atau Tergugat tidak hadir pada hari tersebut tanpa alasan yang sah. Dalam kasus yang seperti ini, proses pemeriksaan dapat dilanjutkan untuk memeriksa pihak yang hadir tanpa sanggahan (without defence) dari pihak yang tidak hadir. 21 b. Proses Pemeriksaan Berlangsung secara Op Tegenspraak. Sistem inilah yang dimaksud dengan proses contradictoir dan sistem ini memberi hak serta kesempatan (opportunity) kepada Tergugat untuk membantah dalil Penggugat. Sebaliknya Penggugat juga berhak untuk melawan bantahan Tergugat. Proses dan sistem yang seperti ini yang disebut contradictoir yaitu pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replikduplik maupun dalam bentuk konklusi, akan tetapi seperti dijelaskan di atas, proses contradictoir dapat dikesampingkan baik melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita, namun tanpa mengurangi pengecualian tersebut: 1. Pada prinsipnya pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex parte), hanya pihak Penggugat atau Tergugat saja; 2. Sistem pemeriksaan secara contradictoir harus ditegakkan dan berlangsung sejak permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa hadirnya salah satu pihak. 22 21 M. Yahya, Harahap, Op. cit, halaman 69. 22 M. Yahya, Harahap, Loc. Cit.

30 C. GUGATAN REKONVENSI 1. Pengertian Gugatan Rekonvensi Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan diantara mereka. 23 Pengertian gugatan rekonvensi juga diatur dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR, yang merumuskan: Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali: 1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; 2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan; 3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan. Pasal 132 a ayat (1) tersebut hanya memberi pengertian singkat. Maknanya menurut pasal itu: 1) Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan Tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan Penggugat kepadanya dan; 2) Gugatan rekonvensi itu, diajukan Tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksan gugatan yang diajukan Penggugat. 24 2. Pengaturan Mengenai Gugatan Rekonvensi Pengaturan mengenai gugat rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a dan b HIR. Pasal 132 a HIR merumuskan: 23 Soedikno, Mertokusumo, Op. cit, halaman 117. 24 M. Yahya, Harahap, Op. cit., halaman 468.

31 ayat (1) Tergugat berhak dalam tia-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali: 1. Kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; 2. Kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan; 3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan. ayat (2) Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugatan melawan, maka dalam bandingan tidak dapat mengajukan gugatan itu. Pasal 132 b HIR merumuskan: ayat (1) Tergugat wajib memasukkan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan; ayat (2) Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini; ayat (3) Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir; ayat (4) Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat pertama ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada jumlah wang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi; ayat (5) Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing, maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan. Pada asanya gugatan rekonvensi dapat diajukan mengenai segala hal, ini terlihat dari kalimat in alle zaken dalam Pasal 132 a ayat (1) HIR, akan tetapi Pasal 132 a ayat (1) nomor 1, 2 dan 3 HIR memberikan pengecualian, yaitu dalam hal:

32 1. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan suatu kualitas. Larangan tentang hal ini diatur dalam Pasal 132 a ayat (1) ke-1 HIR yang tidak memperbolehkan pengajuan gugatan rekonvensi kepada diri pribadi Penggugat, sedangkan dia di tengah bertindak sebagai Penggugat mewakili kepentingan principal, misalnya seorang kuasa yang bertindak mengajukan gugatan kepada Tergugat untuk kepentingan dan atas nama (on behalf) pemberi kuasa (principal). Berarti kuasa tersebut adalah orang yang bertindak dalam kualitas mewakili kepentingan pemberi kuasa. 2. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi di luar yursdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara. Larangan kedua, apabila gugatan rekonvensi diajukan di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan semula. Sebagai contoh, A menggugat B atas sengketa transaksi jual beli tanah. Terhadap gugatan itu, B mengajukan gugatan rekonvensi mengenai sengketa hibah. Tindakan B tersebut tidak dapat dibenarkan karena sesuai dengan ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, sengketa hibah bagi yang beragama islam menjadi yurisdiksi absolute lingkungan peradilan agama. 3. Gugatan rekonvensi terhadap eksekusi. Larangan berikutnya, tidak boleh mengajukan rekonvensi terhadap sengketa yang menyangkut perlawanan terhadap eksekusi putusan, misalnya A mengajukan perlawanan terhadap eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap gugatan perlawanan tersebut pihak Terlawan tidak dibenarkan mengajukan

33 gugatan rekonvensi. Alasan larangan itu adalah gugatan perlawanan terhadap eksekusi putusan dianggap perkara yang sudah selesai diputus persengketaannya. Dalam teori dan praktek dikatakan, sengketa eksekusi atau executie geschillen adalah sengketa yang sudah selesai pokok perkaranya, akan tetapi jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal 379 Rv yang menyatakan tata cara pemeriksaan perkara gugatan biasa berlaku sepenuhnya terhadap gugatan perlawanan, baik yang berbentuk derden verzet (perlawanan pihak ketiga) atau party verzet (perlawanan para pihak), berarti hukum memperbolehkan terlawan mengajukan gugatan rekonvensi atas gugatan perlawanan terhadap eksekusi. Sehubungan adanya kontroversi dalam ketentuan Pasal 132 a ayat (1) ke-3 HIR dengan Pasal 379 Rv, dalam praktek terdapat acuan penerapan sebagai berikut: a) Pada prinsipnya Terlawan tidak boleh mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan perlawanan atas eksekusi. Bertitik tolak dari Pasal 132 a ayat (1) ke-3 HIR, pada prinsipnya undang-undang melarang Terlawan mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan perlawanan, baik hal itu dalam bentuk perlawnan pihak ketiga (derden verzet) atau perlawanan pihak partai (party verzet). Alasan yang mendukung larangan ini, ialah gugatan rekonvensi terhadap perlawanan menjalankan eksekusi putusan dianggap bertentangan dengan ketertiban beracara, sebab penyelesaian sengketa perlawanan terhadap eksekusi menuntut penyelesaian yang cepat, oleh karena itu membolehkan Terlawan mengajukan rekonvensi

34 mengakibatkan penyelesaian eksekusi berlarut-larut dalam proses pemeriksaan yang panjang, dengan demikian apabila perlawanan yang diajukan murni ditujukan terhadap penetapan perintah eksekusi, maka tepatlah untuk menegakkan larangan ini, dengan ketentuan: 1. Putusan yang hendak dieksekusi sudah bersifat menyudahi secara tuntas materi pokok perkara; 2. Perlawanan yang diajukan Terlawan terhadap eksekusi itu, tidak mengandung pokok perselisihan baru yang erat kaitannya dengan putusan yang hendak dieksekusi. b) Secara kasuistik terlawan dapat mengajukan gugatan rekonvensi. Dalam praktek, perlawanan yang banyak terjadi terhadap eksekusi bukan party verzet, tetapi perlawanan pihak ketiga atau derden verzet. Jika pada party verzet, perlawanan yang diajukan murni ditujukan kepada pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan maka pada derden verzet gugatan perlawanan yang diajukan selalu mengandung dua aspek: 1. Aspek pertama, ditujukan kepada penundaan atau pembatalan pelaksanaan eksekusi; 2. Aspek kedua, berisi dalil gugatan baru yang menyatakan barang objek eksekusi adalah milik Terlawan, sehingga dalam gugatan perlawanan tersebut terkandung pokok sengketa baru yang langsung berkaitan dengan pokok materi yang terdapat dalam putusan yang hendak dieksekusi.

35 Dalam kasus demikian, gugatan perlawanan tidak murni semata-mata terhadap pelaksanaan eksekusi, tetapi sekaligus terkandung di dalamnya pokok perkara baru antara Pelawan, Pemohon dan Termohon eksekusi. Pada dasarnya derden verzet ditujukan terhadap putusan yang hendak dieksekusi, sehingga gugatan perlawanan itu ditujukan terhadap pihak Penggugat dan Tergugat yang tercantum dalam putusan itu sebagai pihak Terlawan. Terhadap perlawanan yang berbentuk derden verzet, secara kasuistik dimungkinkan mengajukan gugatan rekonvensi, akan tetapi sepanjang gugatan perlawanan berbentuk party verzet yang sifat gugatannya murni mengenai sengketa eksekusi (executie geschill) dilarang mengajukan gugatan rekonvensi. 4. Larangan mengajukan gugatan rekonvensi pada tingkat banding. Larangan itu ditegaskan dalam Pasal 132 a ayat (2) HIR. Dikatakan, jika dalam proses pemeriksaan tingkat pertama, yaitu di Pengadilan Negeri tidak diajukan gugatan rekonvensi, hal tersebut tidak dapat diajukan dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi, dengan demikian kebolehan dan kesempatan mengajukan gugatan rekonvensi hanya pada tahap proses pemeriksaan Pengadilan Negeri. Gugatan rekonvensi yang diajukan baik tersendiri maupun dalam memori banding tidak memenuhi syarat formil karena diajukan kepada instansi Pengadilan yang tidak memiliki yurisdiksi untuk itu. Lain halnya jika dalam tingkat pertama diajukan gugatan rekonvensi maka gugatan itu berlanjut meliputi yurisdiksi Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding, oleh karena itu jika pada tingkat Pengadilan Negeri Tergugat mengajukan gugatan