BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

Kata Kunci : Aborsi, Keterangan Penyidik, Implikasi Hukum

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB V PENUTUP. dikeluarkannya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

Nama : ALEXANDER MARWATA

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262]

BAB I PENDAHULUAN. serasi, selaras dan seimbang. Pembinaan dan perlindungan anak ini tak

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA DAN PASAL 340 KUHP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB V PENUTUP. 1. Urgensi Peran Penasihat Hukum dalam Mendampingi Terdakwa Kasus. Narkotika pada Proses Pemeriksaan di Pengadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Bab XII : Pemalsuan Surat

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. kesengajaan. Pengertian aborsi atau Abortus provocatus adalah penghentian

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

[

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB III PENGATURAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA YANG TIDAK MAMPU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI RESIDIVIS PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dilakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ORIGINITAS DISERTASI ABSTRAK

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

Transkripsi:

138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan adalah berada ditangan lembaga pengadilan berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), apabila penyidik memberikan keterangan dalam surat keterangannya tersebut telah terjadinya pemerkosaan, maka menurut hemat penulis pihak penyidik tersebut telah melakukan 2 (dua) pelanggaran sekaligus, yaitu : (a) Penyidik telah mengebiri hak seseorang yang dijamin undangundang berdasarkan asas hukum pidana yaitu Presumption of Innocence; (b) Penyidik telah melanggar dan merampas kewenangan lembaga pengadilan untuk membuktikan salah dan tidaknya seseorang secara hukum. Selain hal tersebut, tidak adanya standarisasi ataupun tolak ukur keterangan penyidik seperti apa yang dapat dijadikan dasar untuk korban pemerkosaan melakukan aborsi secara legal, belum lagi pengaturan yang tidak jelas terkait pengaturan mengenai kehamilan akibat

139 perkosaan dapat dibuktikan dengan keterangan dokter, keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan yang tercantum dalam Pasal 34 ayat 2 PP Kesehatan Reproduksi, dikarenakan pengaturannya yang kurang jelas dalam hal apakah keterangan penyidik merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan keterangan dokter, psikolog, dan/atau ahli lain atau cukup dengan keterangan penyidik maka legalisasi aborsi terhadap korban pemerkosaan dapat dilakukan selain itu pula waktu yang ditetapkan dalam PP kesehatan reproduksi tersebut sangat singkat yaitu 40 hari sehingga bisa membawa pengaruh kepada penyidik untuk tergesa-gesa memberikan keputusan melalui surat keterangannya untuk melegalkan aborsi bagi korban tindak pidana pemerkosaan. 2. Sanksi hukum bagi pihak-pihak yang terlibat membantu pelaksanaan aborsi secara legal dimana putusan hakim menyatakan bahwa tindak pidana pemerkosaan tidak terbukti a. Dokter Berdasarkan Pasal 349 KUHP menyatakan bahwa : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu kejahatan tersebut dalam pasal 346, atau bersalah melakukan atau membantu salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut haknya melakukan pekerjaannya yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu.

140 Selain itu dokter, penyidik, psikolog, dan/ahli lain menjadi pihak yang turut serta dalam hal terjadinya kejahatan untuk melakukan aborsi tersebut, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP : Dipidana sebagai pembantu kejahatan: 1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pasal 57 (1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. (2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. (4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. Namun hal tersebut diatas dapat dikesampingkan apabila terdapat pembelaan dari penyidik, dokter, psikolog atau ahli lain bersangkutan yang bisa membuktikan bahwa masing-masing dari mereka tidak bersalah dan sebenarnya tidak ada niat jahat (mens rea) dari mereka untuk melakukan persekongkolan dengan perempuan tersebut dan mereka hanya semata-mata dikelabui oleh perempuan yang bersangkutan sehingga dalam hal ini masing-masing pihak tersebut wajib melakukan pembelaan pada saat persidangan. Mengenai permasalahan hukuman tergantung pada pertimbangan dari hakim pemeriksa perkara.

141 B. Saran 1. Melakukan revisi terhadap Pasal 34 ayat (2) PP Kesehatan reproduksi terkait legalisasi aborsi dengan cara menyelaraskan peraturan terkait aborsi antara Undang-Undang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Tentang Kesehatan Reproduksi dengan ketentuan di dalam KUHP, dan hendaknya agar peraturan tersebut berjalan dengan efektif ada baiknya untuk pemerintah menciptakan suatu hukum acara khusus yang diatur tersendiri dalam suatu peraturan perundang-undangan yang tahapannya mulai dari proses penyelidikan, penyidikan penuntutan hingga proses persidangannya maksimal memakan waktu 30 hari agar masa pembolehan aborsi bagi korban tindak pidana pemerkosaan tidak terlewati serta melindungi kedudukan seseorang tersangka berdasarkan asas presumption of innocence berkaitan dengan kasus tindak pemerkosaan tersebut. Selain itu, perlu adanya standarisasi terkait keterangan penyidik seperti apa yang dapat dikualifikasikan sebagai sarana untuk melakukan aborsi secara legal, dan hendaknya perlu adanya kejelasan terkait keterangan penyidik itu tidak berdiri sendiri melainkan bersama-sama dengan dokter, psikolog, dan ahli lain (kumulatif) sehingga meminimalisir adanya manipulasi. 2. Pemerintah meninjau kembali mengenai aspek pembuktian kehamilan akibat korban perkosaan agar tidak menimbulkan suatu kesan melegitimasi perbuatan aborsi dalam bentuk apapun.

142 3. Penegakan hukum tegas bagi pelaku perkosaan agar memberikan efek jera terhadap pelaku dan mencegah terulangnya kembali kasus pemerkosaan oleh pihak-pihak lainnya dan memberikan bantuan pengobatan untuk korban pemerkosaan baik itu secara kejiwaan, mental maupun spiritual.