Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN MENURUT PASAL 53 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Dodi Ksatria Damapolii 2

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS PERCOBAAN MELAKUKAN PELANGGARAN DAN KEJAHATAN YANG TIDAK DIKENAI SANKSI

BAB III PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA TAK TERKENAN. dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi

BAB III PERCOBAAN MELAKUKAN PELANGGARAN. mencoba sesuatu, usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu. 1 Menurut

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. hukum Indonesia, hal seperti ini telah diatur secara tegas di dalam Kitab Undangundang

1. PERCOBAAN (POGING)

TAWURAN DARI SUDUT PASAL 170 DAN PASAL 358 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Hendy Pinatik 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II LANDASAN TEORI

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

ANALISIS TERHADAP VOORGEZETTE HANDELING

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. atau terjepit maka sangat dimungkinkan niat dan kesempatan yang ada

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB IV STUDI KOMPARATIF TENTANG TINDAK PIDANA PERCOBAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

ABSTRAK ACHMAD IMAM LAHAYA, Nomor Pokok B , Tinjauan Yuridis Terhadap Penyertaan Tindak

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

BAB II LANDASAN TEORI. terlebih dahulu diuraikan pengertian Berdasarkan literatur hukum pidana

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

KAJIAN JURISDIS TERHADAP PERSOALAN PENGHUKUMAN DALAM CONCURSUS DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB II UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGGELAPAN. Tindak pidana penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV Pasal

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

MOTIF PELAKU DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA MENURUT PASAL 340 KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yaitu hukum public dan hukum privat. Hukum public adalah

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS YURIDIS TERHADAP DELIK PENGANIAYAAN BERENCANA (Studi kasus Putusan No.63/Pid.B/2012/PN.Dgl) FIKRI / D

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

KONVENSI KETATANEGARAAN

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

PERCOBAAN (Poging) MOHAMMAD EKAPUTRA, SH.,M.Hum Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB I PERCOBAAN (POGING)

Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kehidupan di dunia terdapat suatu nilai-nilai mengenai apa yang dianggap baik dan

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN YANG MENGHILANGKAN NYAWA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

MENGHALANGI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN UNTUK KEPENTINGAN ORANG LAIN MENURUT PASAL 221 AYAT (1) KUHPIDANA 1 Oleh : Rendy A. Ch.

BAB III MENYURUHLAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PASAL55 KUHP DAN MENURUT HUKUM ISLAM. A. Delik Menyuruh lakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DAN TUGAS FUNGSI POLRI

BAB III TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENYEBABKAN KEMATIAN PADA JANIN DALAM KUHP

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (PENERAPAN PASAL 303, 303 BIS KUHP) 1 Oleh: Geraldy Waney 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

DAFTAR PUSTAKA. Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan. Pencurian dengan pemberatan adalah pencurian sebagaimana diatur

S I L L A B Y. : TINDAK PIDANA DALAM KUHP STATUS MATA KULIAH : Wajib KODE MATA KULIAH

BAB II PEMBAHASAN. KUHP. Berikut bunyi pasal-pasal mengenai penyertaan dalam KUHP: 1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

KAJIAN TENTANG PERINTAH JABATAN YANG DIATUR PASAL 51 KUH PIDANA 1 Oleh: Ines Butarbutar 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

Transkripsi:

PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN MENURUT PASAL 53 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Dodi Ksatria Damapolii 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakaukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana cakupan unsur-unsur percobaan sesuai Pasal 53 KUHPidana dan bagaimana percobaan melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dan disimpulkan: 1. Dalam hukum pidana positif (KUHPidana) percobaan mencakup syarat/unsur-unsur sebagai berikut: - Adanya niat (voornemen); - Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering); -Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. 2.Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana dolus (kesengajaan), jadi menurut hukum positif tidak semua percobaan dikenakan hukuman. ternyata mencantumkan rumusan bahwa percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum. Pembentuk undang-undang ternyata telah mengecualikan beberapa tindak pidana yang telah dimasukkannya ke dalam Buku ke-ii Kitab Undang-undang Hukum Pidana, percobaan untuk melakukan tindak-tindak pidana tersebut telah dinyatakan sebagai tidak dapat dihukum. Kata kunci: Percobaan, kejahatan. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kitab hukum pidana tidak memberikan pengertian yang tegas tentang percobaan tetapi hanya memberikan bentuk percobaan yang dapat dipidana dan bentuk percobaan yang tidak dapat dipidana, seperti percobaan pada Pasal 53 KUHP dapat dipidana dan percobaan Pasal 54 KUHP melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana. Percobaan dalam tindak pidana ini tergolong unik karena dalam perumusan delik percobaan ini sering kali menemukan kesulitan dalam 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711007 penentuan batasan dari percobaan itu sendiri, dan kesulitan lain yang acapkali ditemukan adalah, penentuan batasan antara tindakan persiapan dan tindakan pelaksanaan, apakah orang yang baru melakukan tindakan persiapan dapat dijerat dengan delik percobaan ataukah hanya bisa dijerat jika telah terjadi perbuatan pelaksanaan dari tindak pidana tersebut, masalah lain yang muncul adalah, dimana batasan dari tindakan persiapan dan tindakan pelaksanaan. Ternyata KUHP mencantumkan hal tersebut dengan membuat rumusan bahwa percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum, antara lain: a. Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara seseorang lawan seseorang; b. Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang; c. Pasal 351 ayat (5) KUHP dan Pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan dan penganiayaan ringan; d. Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum. 3 Sejalan dengan pasal-pasal tersebut, Kanter dan Sianturi menyatakan: Sistem hukum-pidana tentang pemidanaan percobaan ialah, bahwa pada umumnya yang ditentukan dapat dipidana, adalah percobaan terhadap kejahatan (Pasal 53). Sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54). Ternyata ketentuan umum ini tidak konsekuen dipedomani. Ada beberapa percobaan untuk melakukan kejahatan dengan tegas dinyatakan tidak dipidana, seperti: percobaan melakukan penganiayaan-binatang (dierenmishandeling) Pasal 302 ayat 4; percobaan untuk melakukan penganiayaan-manusia Pasal 351 ayat 5, 352 ayat 2 dan percobaan untuk melakukan perkelahian, Pasal 184 ayat 5. 4 Berdasarkan keterangan tersebut menarik untuk diteliti bagaimana dalam menyikapi adanya percobaan melakukan kejahatan. Berdasarkan pada apa yang telah dikemukakan 3 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 97. 4 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, hlm. 312. 141

di atas, peneliti terdorong mengangkat tulisan skripsi ini dengan judul: Percobaan melakukan kejahatan menurut Pasal 53 KUHP. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana cakupan unsur-unsur percobaan sesuai Pasal 53 KUHPidana? 2. Bagaimana percobaan melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif normatif yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau penelitian murni. 5 Dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, dan lainlain. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Cakupan Syarat (unsur-unsur) Percobaan Cakupan syarat percobaan dalam ketentuan Pasal 53 KUHPidana meliputi sebagai berikut ini: 1. Adanya Niat (Voornemen). Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat di sini diartikan sama dengan kesengajaan (opzettelijk). Tetapi sebaliknya dalam hal kesengajaan yang mana, di sini telah menimbulkan perbedaan pandangan, walaupun pada umumnya para pakar hukum berpendapat luas, ialah terhadap semua bentuk kesengajaan. 6 Demikian juga dalam praktik hukum mengikuti pandangan sebagian besar para pakar hukum dengan menganut pendapat yang luas. Pendapat sempit telah dianut oleh VOS yang memberikan arti niat di sini sebagai kesengajaan sebagai tujuan saja. Di Indonesia ialah Moeljatno yang berpendapat bahwa niat tidak sama dengan kesengajaan. 7 Sebagaimana dalam doktrin hukum, menurut tingkatannya kesengajaan (opzettleijk) ada 3 macam, yaitu: 8 a. Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk), yang dapat juga disebut kesengajaan dalam arti sempit; b. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn) atau kesadaran/keinsyafan mengenai perbuatan yang disadari sebagai pasti menimbulkan suatu akibat; c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn) atau suatu kesadaran/keinsyafan mengenai suatu perbuatan terhadap kemungkinan timbulnya suatu akibat dari suatu perbuatan, disebut juga dengan dolus eventualis. 9 2. Adanya Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering) Mengenai semata-mata niat, sejahat apa pun niat, tidaklah mempunyai arti apa-apa dalam hukum pidana. Karena niat itu sendiri adalah suatu sikap batin yang belum ada apaapanya, murni masih di dalam batin seseorang, sikap batin mana boleh sembarang apa yang dimaksudnya, tanpa dimintai pertanggungjawaban, dan tanpa ada akibat hukum apa pun. Barulah mempunyai arti menurut hukum pidana, apabila niat itu telah diwujudkan dalam suatu tingkah laku tertentu, dan tingkah laku tertentu ini oleh Pasal 53 ayat (1) dirumuskan sebagai permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam hal ini telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah satu unsur dari norma pidana. Misalnya: kehendak mencuri atau mengambil barang milik orang lain mulai diwujudkan misalnya, telah memasuki rumah atau pencopet telah memasukkan tangan ke kantong orang yang hendak dicopet. 10 5 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, Yogjakarta, 1981, hlm. 9. 6 BRM. Hanindyopoetro, dan Naroyono Artodibyo, Pelajaran Hukum Pidana 3 Hukum Pidana II Bagian Penyertaan, Malang: Penerbit FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975, hlm. 4. 7 Moeljatno, Hukum Pidana: Delik-Delik Percobaan Delik- Delik Penyertaan, Jakarta: PT Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 18. 8 Ibid, hlm. 32. 9 Ibid, hlm. 33. 10 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.95. 142

3. Arti Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Sebab dari Kehendaknya Sendiri Pada syarat kedua yang telah dibicarakan, ialah harus telah memulai pelaksanaan (permulaan pelaksanaan). Seperti di atas telah diterangkan bahwa dari sudut proses, permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) adalah mendahului dari perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen), yang sesungguhnya perbuatan pelaksanaanlah yang dapat menyelesaikan kejahatan, dan bukan permulaan pelaksanaan. Pasal 53 ayat (1) sendiri sesungguhnya membedakan antara permulaan pelaksanaan dengan pelaksanaan. Tentang permulaan pelaksanaan terdapat dalam kalimat jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Sedangkan pelaksanaan atau perbuatan pelaksanaan terdapat dalam kalimat selanjutnya yang berbunyi: dan tidak selesainya pelaksanaan (uitvoering) itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya. Syarat ketiga tentang dapat dipidananya melakukan percobaan kejahatan ialah pada kalimat yang disebutkan terakhir di atas. 11 Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan bahwa ada pengunduran diri sukarela, jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan antara: a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; dan b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut. Misal: orang memberi racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal. 11 Ibid, 98 Adapun maksud dicantumkan syarat pengunduran secara sukarela menurut Memori Penjelasan (Memorie Van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) adalah: 12 a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya secara sukarela tidak dapat dihukum, apabila ia dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat ia masih mempunyai keinginan untuk membatalkan niatnya yang jahat; dan b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung. Di dalam beberapa literatur yang membahas tentang percobaan ada suatu istilah yang disebut dengan Ondeugelijke Poging. Ondeugdelijke poging adalah suatu perbuatan meskipun telah ada perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan, akan tetapi oleh karena sesuatu hal, bagaimana perbuatan yang diniatkan itu tidak mungkin akan terlaksana. Dengan kata lain suatu perbuatan yang merupakan percobaan, akan tetapi melihat sifat dari peristiwa itu, tidak mungkin pelaksanaan perbuatan yang diniatkan akan terlaksana sesuai dengan harapannya. 13 Ondeug-delijke Poging (percobaan tidak memadai) ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang tidak timbul. Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan tersebut, pertama karena alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) dan tidak sempurna secara nisbi (relatif). Loebby Logman memberikan contoh secara terperinci sebagai berikut: 1. Ketidaksempurnaan sarana (alat) a. Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak Contoh: A ingin membunuh B dengan menggunakan racun arsenicum. Pada saat B lengah A memasukkan arsenicum ke dalam 12 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,. POLITEA, Bogor, 1991, hlm. 69. 13 Loqman, Loqman, Loebby., Percobaan, Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1996. hlm. 35. 143

minuman B. Namun B tetap hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam minuman B bukan arsenicum tetapi gula pasir. 14 b. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi Contoh: Peristiwanya seperti di atas, tetapi A memberikan racun arsenicum ke dalam minuman B dalam dosis yang tidak mencukupi sehingga A tetap hidup. 2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek) a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak 15 Contoh: A ingin membunuh B. Pada suatu malam A masuk ke kamar tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B telah meninggal dunia sebagai ditikam A. Dalam hal ini A tidak mengetahui karena kamar tidur B dalam keadaan gelap. Jadi A menikam mayat. b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi Contoh: A ingin membunuh B. B mengetahui bahwa dirinya terancam oleh A, sehingga B selalu keluar rumah dengan menggunakan rompi anti peluru di dalam bajunya. Ketika terjadi penembakan oleh A, meskipun mengenai dada B, karena menggunakan rompi anti peluru B tidak mati. Mengenai percobaan yang tidak mampu karena objeknya, MvT mengemukakan: Syaratsyarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku II KUHP. Perlu dikemukakan bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang percobaannya sudah ditentukan sebagai delik oleh pembentuk undang-undang malahan ada perbuatan yang persiapannya sudah ditentukan sebagai delik selesai oleh pembentuk undangundang. 16 Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, MvT membedakan antara: a. Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai; dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan. Mr. Karni memberi contoh: meracuni dengan air kelapa. b. Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si 14 Ibid, hlm. 38. 15 Ibid, hlm. 42. 16 Frans Maramis., Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia., PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 209. pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan. Dari apa yang dikemukakan M.v.T di atas terlihat bahwa ketidakmampuan relatif dapat dilihat dari 2 segi: a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan. b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju. Hal penting untuk diketahui adalah apakah dengan tidak sempurnanya alat ataupun objek, dapat dianggap telah terjadi suatu percobaan. Jika dilihat dari syarat-syarat terjadinya suatu percobaan maka pelaku telah memenuhi 3 syarat percobaan, yaitu ada niat untuk melakukan suatu kejahatan, dan sudah mewujudkan niat tersebut ke dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan. Tetapi delik yang dituju itu tidak selesai (tidak terjadi) karena adanya faktor eksternal dari diri orang itu, yaitu karena alatnya atau objeknya itu tidak sempurna. Apakah dapat dikatakan telah terjadi suatu percobaan melakukan pembunuhan jika A menghujamkan pisau ke dada B, yang ternyata B telah mati terlebih dahulu disebabkan oleh hal lain? Atau apakah dapat dihukum C yang hendak membunuh D, dengan cara memberikan racun ke dalam minuman D yang ternyata racun tersebut adalah gula? Dalam hal seperti ini, tergantung dari teori mana kita melihatnya, apakah kejadian tersebut dapat dipidana. Bagi mereka yang menggunakan teori subjektif, tidak ada perbedaan antara ketidaksempurnaan mutlak maupun ketidaksempurnaan nisbi, karena dianggap dari semula pelaku sudah mempunyai niat untuk melakukan kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan dengan adanya perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sehingga dengan demikian peristiwa tersebut sudah merupakan suatu perbuatan percobaan melakukan kejahatan. Namun tidak demikian halnya dengan teori objektif, hanya ketidaksempurnaan mutlak saja yang tidak dapat dipidana. Sebab dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin menyelesaikan kejahatan yang menjadi niat pelaku. Karena itu dianggap tidak mungkin membahayakan kepentingan hukum. Bagi teori 144

objektif, ketidaksempurnaan nisbi sebenarnya telah sampai kepada penyelesaian kejahatan yang diniatkan pelaku. Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Menurut teori objektif, hal demikian telah membahayakan kepentingan hukum sehingga pelaku perlu dipidana. Sedangkan untuk ketidaksempurnaan mutlak, baik sasaran maupun sarana, dianggap tidak merupakan hal yang membahayakan kepentingan hukum sehingga tidak perlu pelaku dipidana. Apa yang dilakukan pelaku tidak sampai kepada hal yang dimaksudkan untuk kejahatan itu. Karena nyata-nyata sarana ataupun sasarannya mutlak salah. B. Analisis Terhadap Percobaan Melakukan Kejahatan Dalam Pasal 53 KUHPidana Sejalan dengan pasal-pasal tersebut, Kanter dan Sianturi menyatakan: Sistem hukum-pidana tentang pemidanaan percobaan ialah, bahwa pada umumnya yang ditentukan dapat dipidana, adalah percobaan terhadap kejahatan (Pasal 53). Sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54). Ternyata ketentuan umum ini tidak konsekuen dipedomani. Ada beberapa percobaan untuk melakukan kejahatan dengan tegas dinyatakan tidak dipidana, seperti: percobaan melakukan penganiayaan-binatang (dierenmishandeling) Pasal 302 ayat 4; percobaan untuk melakukan penganiayaan-manusia Pasal 351 ayat 5, 352 ayat 2 dan percobaan untuk melakukan perkelahian, Pasal 184 ayat 5. 17 Sebagaimana yang telah dikatakan terdahulu, bahwa syarat yang pertama yang harus dipenuhi oleh seseorang, agar orang tersebut dapat dihukum karena telah melakukan suatu percobaan atau suatu poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP itu, maka haruslah ia mempunyai suatu voornemen atau suatu maksud untuk melakukan suatu kejahatan tertentu. Yang menjadi permasalahan kini adalah, apakah benar bahwa percobaan untuk melakukan semua kejahatan itu dapat dihukum?. Pembentuk undang-undang ternyata telah mengecualikan beberapa tindak pidana yang telah dimasukkannya ke dalam 17 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op-cit, hlm. 312. Buku ke-ii Kitab Undang-undang Hukum Pidana, percobaan untuk melakukan tindak-tindak pidana tersebut telah dinyatakan sebagai tidak dapat dihukum. Tindak-tindak pidana tersebut adalah tindak pidana perkelahian antara seseorang lawan seseorang atau tweegevecbt, tindak pidana penganiayaan atau mishandeling dan tindak pidana penganiayaan ringan terhadap binatang atau lichte dieren mishandeling. Menurut ketentuan Pasal 184 ayat 5 KUHP, percobaan melakukan perkelahian antara seseorang lawan seseorang itu tidak dapat dihukum, dengan alasan bahwa pembentuk undang-undang ingin memberi kesempatan kepada setiap orang yang mengetahui adanya maksud mengadakan perkelahian antara seseorang lawan seseorang, untuk sampai saat terakhir mau memberitahukan masalah tersebut kepada polisi, dengan menganggap tidak perlu melakukan penuntutan terhadap pihak-pihak yang tersangkut di dalamnya apabila perkelahiannya itu sendiri dapat dicegah. 18 Menurut ketentuan Pasal 302 ayat 4 KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang itu tidak dapat dihukum. Menurut ketentuan pasal-pasal 351 ayat 5 dan 352 ayat 2 KUHP, percobaan-percobaan melakukan penganiayaan dan penganiayaan ringan itu tidak dapat dihukum, oleh karena hal tersebut tidak dianggap begini penting oleh pembentuk undang-undang. Menurut Van Bemmelen, dengan menentukan bahwa seseorang yang melakukan suatu percobaan, melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum, maka sesungguhnya pembentuk undangundang telah memperluas pengertian dader atau pelaku, oleh karena sudahlah jelas bahwa barangsiapa tidak berhasil melakukan suatu perbuatan yang terlarang ataupun barangsiapa tidak berhasil menimbulkan suatu akibat yang terlarang seperti yang ia kehendaki, maka dengan sendirinya itu berarti bahwa orang tersebut tidak memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan delik. 19 Sebagai contoh telah dikemukakan oleh Van Bemmelen yaitu misalnya seseorang yang sedang 18 J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I, Terj. Jakarta: Binacipta, 1984, hlm. 238. 19 Ibid 145

mencoba-coba membuka kunci sebuah sepeda milik orang lain dengan maksud mengambil sepeda tersebut, akan tetapi kemudian ternyata tidak berhasil mengambilnya, oleh karena ketahuan oleh penjaganya. Di dalam contoh ini sudah jelas, bahwa orang itu belum mengambil sepeda milik orang lain. Selanjutnya terlihat bahwa di dalam rumusan Pasal 54 KUHP, pembentuk undang-undang telah menentukan: Percobaan untuk melakukan suatu pelanggaran itu tidak dapat dihukum. Dicantumkannya ketentuan pidana seperti yang dimaksud di dalam Pasal 54 KUHP di atas itu bukanlah tanpa maksud tertentu, oleh karena pembentuk undang-undang itu merasa perlu menentukan secara tegas bahwa percobaan melakukan pelanggaran itu tidak dapat dihukum, yakni dengan maksud mencegah para pembentuk undang-undang yang lebih rendah dalam hal tersebut menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diletakkan di dalam Bagian Umum dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 20 Sesuai dengan ketentuan Pasal 103 KUHP, maka tertutuplah kemungkinannya bagi para pembentuk undang-undang (eksekutuf dan legislatif) untuk menyatakan percobaan melanggar ketentuan-ketentuan perundangundangan yang mereka bentuk itu sebagai suatu tindak pidana. Demikian halnya sesuai dengan ketentuan Pasal 60 KUHP, para pembentuk undang-undang rendahan itu tidak dapat menyatakan suatu perbuatan membantu orang lain yang melanggar ketentuanketentuan perundang-undangan yang mereka bentuk itu sebagai suatu tindak pidana. Menurut Satochid Kartanegara bahwa sebabnya perbuatan poging terhadap pelanggaran tidak dapat dihukum adalah karena dalam pelanggaran itu kepentingan hukum yang dilanggar tidak begitu penting, sehingga tidak dipandang perlu untuk menghukum perbuatan poging terhadap pelanggaran. 21 Dalam pada itu perlu juga diketahui, bahwa pembentuk undang-undang itu telah membuat beberapa poging atau percobaan sebagai tindak pidana yang tersendiri, dalam arti bahwa apabila seseorang 20 Ibid., hlm. 238. 21 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa., tanpa tahun, hlm. 407. itu telah melakukan suatu poging semacam itu, maka ia dianggap sebagai telah melakukan suatu voltooid delict atau suatu delik yang telah selesai. Poging seperti dimaksud di atas itu dapat dijumpai dalam ketentuan-ketentuan pidana seperti yang telah dirumuskan di dalam: a. pasal-pasal 104-107, 139a dan 139b KUHP yang semuanya mengatur tentang aanslag atau yang biasanya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perkataan makar. Menurut ketentuan Pasal 87 KUHP, makar itu dipandang sebagai telah ada jika maksud atau voomemen pelakunya telah menjadi nyata dalam suatu permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP. b. pasal-pasal 110, 116, 125 dan 139c KUHP yang semuanya mengatur tentang apa yang disebut samenspanning atau yang biasanya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perkataan permufakatan jahat. Menurut ketentuan Pasal 88 KUHP, suatu permufakatan jahat itu dipandang sebagai telah terjadi, yakni segera setelah dua orang atau lebih mencapai kesepakatan untuk melakukan kejahatan. c. pasal-pasal 250, 261 dan 275 KUHP di mana tindakan-tindakan persiapan atau voorbereidemgshandelingen, yang pada hakekatnya bukan merupakan tindakantindakan pelaksanaan atau uitvoeringshandelingen seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP itu dipandang sebagai tindak pidana yang dianggap selesai. 22 Berdasarkan keterangan yang telah diketengahkan, maka menurut analisis penulis bahwa alasan untuk tidak memidana percobaan penganiayaan manusia dan binatang ialah bahwa hakekat dari tindakan dalam percobaan tersebut dihubungkan dengan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi adalah sedemikian rupa, sehingga tidak diperlukan (ancaman) pemidanaan. Tetapi untuk percobaan penganiayaan manusia yang dikwalifisir, seperti penganiayaan berat, 22 Ibid., hlm. 523. 146

penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu tetap diancam pidana. Alasan untuk tidak memidana percobaan perkelahian adalah atas dasar kegunaan, agar mereka yang hendak berkelahi masih bisa didamaikan baik secara adat (bagi umum) maupun secara penegakan disiplin (bagi militer) tanpa dipidana karena melakukan percobaan. Secara umum dapat dikatakan bahwa alasan atau jalan pikiran (ratio) untuk tidak memidana percobaan terhadap pelanggaran dan beberapa kejahatan tertentu ialah: - kepentingan hukum yang dibahayakan dan sifat-nakal/jahat dari pelaku percobaan masih belum begitu penting, atau belum begitu dirasakan oleh umum akan kerugian atau bahayanya; - diharapkan supaya para penegak-hukum dalam hal ini pegawai penyidik/polisi lebih lancar menjalankan tugas utamanya yaitu tugas preventif, yang akan memberikan efek psikologis yang lebih baik daripada memidananya; - mempertinggi respek masyarakat terhadap hukum yang dibuatnya sendiri, serta mempertinggi peradaban, dengan cara mengatur diri sendiri agar jangan sampai ditegur oleh petugas hukum dalam rangka tugas preventifnya. Pemidanaan saja, tidak akan lebih memuaskan rasa keadilan masyarakat, dalam hal percobaan; - ditinjau dari segi asas-kegunaan, selain daripada yang telah diutarakan di atas, kiranya biaya penyelesaian perkara ini baik dari sudut penegak hukum, maupun dari sudut pelaku pencoba akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkannya. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam hukum pidana positif (KUHPidana) percobaan mencakup syarat/unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya niat (voornemen); 2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering); 3. Pelaksanaan tidak selesai bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri. 2. Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana dolus (kesengajaan), jadi menurut hukum positif tidak semua percobaan dikenakan hukuman. ternyata mencantumkan rumusan bahwa percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum. Pembentuk undang-undang ternyata telah mengecualikan beberapa tindak pidana yang telah dimasukkannya ke dalam Buku ke-ii Kitab Undang-undang Hukum Pidana, percobaan untuk melakukan tindak-tindak pidana tersebut telah dinyatakan sebagai tidak dapat dihukum. B. Saran 1. Dalam pembentukan hukum nasional yang akan datang, ada baiknya pembentuk undang-undang meninjau kembali aturan atau ketentuan KUHP tentang masalah percobaan. 2. Perlulah bagi setiap penegak hukum untuk dapat menguasai dan memahami unsurunsur yang menjadi persyaratan telah terjadinya tindak pidana percobaan sebagai kejahatan sebagaimana ditentukan undangundang pidana dibebani tanggung jawab dengan memberikan ancaman pidana terhadap si pembuatnya, walaupun ancaman pidana lebih ringan daripada jika kejahatan itu telah diselesaikannya dengan sempurna. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi, Percobaan & Penyertaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Hanindyopoetro, BRM., dan Naroyono Artodibyo, Pelajaran Hukum Pidana 3 Hukum Pidana II Bagian Penyertaan, Malang: Penerbit FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975. Jonkers, J.E.,, Handboek van het Nederlandsch Indische Strafrecht), terj. Tim Penerjemah Bina Aksara, Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987. 147

Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982. Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa., tanpa tahun. Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984. Loqman, Loebby, Percobaan, Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1996. Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia., PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012. Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Moeljatno, KUHP, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003., Hukum Pidana: Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, Jakarta: PT Bina Aksara, Jakarta, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit PT Bina Aksara, 1983. Poerwodarminto, W.J.S.,Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Penerbit, P.T. Eresco, 1981. Simons, D., Leerboek van Het Nederlandse Strafrecht, terj. P.A.F Lamintang, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Pionerjaya, 1992. Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996. 148