BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013

PERKEMBANGAN SOSIAL PENGERTIAN PERKEMBANGAN SOSIAL 3/22/2012

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2015 PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI BERDASARKAN PROFIL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. siswa sendiri. Bahkan kekerasan tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu melanjutkan estafet pembangunan bangsa ini. Namun,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab I ini, akan memaparkan beberapa sub judul yang akan digunakan

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya membuat

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan suatu bangsa. Pendidikan menjadi sarana dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual. tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan budaya dan karakter bangsa merupakan isu yang mengemuka di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN. didik kurang inovatif dan kreatif. (Kunandar, 2007: 1)

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat ini memiliki peran yang sangat penting dalam

LAYANAN BIMBINGAN KONSELING TERHADAP KENAKALAN SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. yang matang akan menciptakan generasi-generasi yang cerdas baik cerdas

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan merupakan hal yang paling penting bagi semua anak. Sebab

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang diarahkan pada peningkatan intelektual dan emosional anak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sebuah negara. Untuk menyukseskan program-program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Pendidikan dapat dimaknai sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Dari ketiga hal tersebut terlihat jelas bahwa untuk mewujudkan negara yang

, 2014 Program Bimbingan Belajar Untuk Meningkatkan Kebiasaan Belajar Siswa Underachiever Kelas Iv Sekolah Dasar Negeri Cidadap I Kota Bandung

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dilahirkan manusia-manusia yang berkualitas yang akan membangun dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meina Fitri Riani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa, apabila rakyat cerdas maka majulah bangsa tersebut. Hal ini senada

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

2015 EFEKTIVITAS STRATEGI BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN REALITAS UNTUK MEREDUKSI PERILAKU AGRESIF

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai kehidupan guna membekali siswa menuju kedewasaan dan. kematangan pribadinya. (Solichin, 2001:1) Menurut UU No.

BAB I PENDAHULUAN. ini dibuktikan oleh pernyataan Amrullah, Child Protection Program

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. generasi muda bangsa. Kondisi ini sangat memprihatinkan sekaligus menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Peserta didik merupakan aset suatu negara yang nantinya akan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan di berbagai bidang pendidikan. Pendidikan sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia {human resources), pada

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan aset yang tidak dapat ternilai bagi setiap individu. Pendidikan juga sebagai alat dalam upaya membangun bangsa yang lebih maju dan berkembang. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Berdasarkan Tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka sesuai dengan definisi dan tujuannya, pendidikan tidak hanya mengarah pada pengembangan akademik melainkan pada pengembangan pribadi dan tingkah laku. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya di sekolah, pendidikan sering kali terfokus pada pengembangan akademik peserta didik. Pengembangan pribadi dan tingkah laku yang merupakan modal keterampilan bermasyarakat cenderung terabaikan, sehingga tujuan pendidikan tidak tercapai sepenuhnya. Pendidikan yang bermutu tidak hanya mampu menghantarkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan intelektual saja namun juga mengembangkan kemampuan dalam membangun kepribadian diri yang baik. Globalisasi menjadikan kehidupan semakin kompetitif dan membuka peluang untuk mencapai status dan tingkat kehidupan yang lebih baik. Dampak

2 positif dari kondisi global ini telah mendorong manusia untuk terus berfikir, dan meningkatkan kemampuan. Adapun dampak negatifnya adalah: 1) keresahan hidup di kalangan masyarakat semakin meningkat karena banyaknya konflik, stres, kecemasan dan frustasi; 2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi dan korupsi, makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat dan benar-salah secara lugas; 3) adanya ambisi kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak saja konflik psikis tapi juga konflik fisik; dan 4) pelarian dari masalah melalui jalan pintas, yang bersifat sementara dan adiktif seperti penggunaan narkoba (Yusuf, dan Nurihsan 2009: 1). Perkembangan individu meliputi aspek fisik, kognitif, emosi, sosial, moral dan agama. Perkembangan peserta didik sebagian menjadi tanggung jawab para pendidik. Dalam memahami perkembangan individu, pendidik hendaknya mengetahui tugas-tugas perkembangan sehingga pendidik dapat merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi program pendidikan yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik (Nurihsan dan Agustin, 2009: 1). Menurut Yusuf (Nurihsan dan Agustin, 2009: 38)sebagai konsekuensi dari fase perkembangan, anak memiliki karakteristik khusus dalam berperilaku yang direalisasikan dalam bentuk tindakan-tindakan tertentu seperti: 1) pembangkangan (negativisme); 2) agresi (agresion); 3) berselisih atau bertengkar (quarreling); 4) menggoda (teasing); 5) persaingan (rivaly); 6) kerjasama (cooperation); 7) tingkah laku berkuasa (ascendant behavior); 8) mementingkan diri sendiri (selfisness); dan 9) simpati (sympathy). Fase kedua yaitu agresi banyak terjadi di usia anak-anak pada tingkat Sekolah Dasar. Agresi yaitu perilaku meyerang baik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap frustrasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginan) yang dialaminya. Agresi ini mewujud dalam perilaku menyerang, seperti: memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah dan mencaci maki. Hal ini sangat berkaitan dengan konsep bullying yang biasa terjadi di usia anak Sekolah Dasar.

3 Fenomena penyimpangan perilaku termasuk tindak kekerasan di sekolah, di Indonesia terlihat dalam pemberitaan akhir-akhir ini baik di media cetak maupun ekektronik. Mulai dari yang terjadi di tingkat Sekolah Dasar misalnya kasus Fifi yang mengakhiri hidupnya karena sering diledek sebagai anak tukang bubur (Andargini, 2007 ). Selanjutnya dari data hasil survei yang dilakukan Ratna Juwita (UI) menerangkan bahwa Yogyakarta memiliki angka tertinggi mengenai kasus bullying dibandingkan dengan kota besar lainnya seperti Jakarta dan Surabaya. Tercatat lebih kurang 70,65% kasus bullying terjadi di SMP dan SMA di kota Yogyakarta. Salah satu peserta didik SMA favorit di Jakarta Selatan, SMAN 82, Ade Fauzan Mahfuzah dipukuli oleh sekitar 30 peserta didik kelas tiga (senior) hingga dirawat di rumah sakit. Fenomena bullying juga tampak dari laporan yang diterima oleh Komnasper November 2009, tercatat ada 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah (Rudi, 2010: 17). Menurut National Youth Violence Prevention Resource Center (2002) menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya bullying adalah iklim sekolah yang tidak kondusif. Pengawasan yang kurang dari orang tua atau guru pada saat jam istirahat, guru dan peserta didik yang tidak perduli akan bullying, serta kondisi dan lingkungan yang justru menumbuhkan perilaku bullying di sekolah. Menurut Olweus (Saripah, 2009: 23) penelitian mengenai bullying di mulai di negara-negara Skandinavia dan Inggris. Kampanye Nasional pertama berkenaan dengan intervensi bullying yang dilakukan di Norwegia dan juga Swedia tahun 1980-an. Kemudian sejak tahun 1983, negara-negara lain seperti Finlandia, Inggris, Irlandia, dan Jepang kemudian turut melakukan kampanye nasional melawan bullying dengan melakukan sejumlah penelitian untuk memperdalam bullying juga termasuk dampak-dampaknya dan melakukan intervensi untuk mengatasi permasalahan bullying tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rigby (2003) mengungkapkan bullying yang banyak dilakukan di sekolah umumnya mempunyai tiga karakteristik yang

4 terintegrasi yaitu (a) adanya perilaku agresi untuk menyenangkan pelaku dan menyakiti korbannya; (b) tindakan yang dilakukan secara tidak seimbang membuat korban merasa dirinya tertekan; dan (c) perilaku dilakukan secara berulang dan terus menerus. Bullying biasanya dilakukan karena tradisi balas dendam sebagai akibat dari pengalaman serupa yang pernah diderita pelaku sebelumnya (Khairunnisa: 2008). Hasil studi tahun 2006 yang dilakukan oleh ahli intervensi bullying asal Amerika, Dr. Amy Huneck mengungkapkan bahwa 10-16 % peserta didik di Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan ataupun didorong, sedikitnya sekali dalam seminggu. Kemudian survei intensif yang dilakukan unit PPKM Universitas Atma Jaya terhadap ratusan anak SD dan SMP di Sulsel, Jateng, dan Sumut dari Desember 2005 sampai Maret 2006 menunjukkan sebagian responden mengaku pernah mengalami berbagai bentuk penindasan di sekolah(susanti, 2006). Adapun hasil survey SEJIWA (Antara, 2006)sepanjang tahun 2004-2006 pada guru-guru di tiga SMA di dua kota besar di pulau Jawa menunjukkan bahwa 18,3% guru (sekitar 1 dari 5 guru) menganggap penggencetan dan olok-olok adalah hal biasa dalam kehidupan remaja dan tidak perlu diributkan. Sebanyak 27,5% guru (sekitar 1 dari 4 guru) berpendapat bahwa sesekali mengalami penindasan tidak akan berdampak buruk pada kondisi psikologis peserta didik, hasil penelitian Huneck mengungkapkan bahwa 9 dari 10 orang dewasa yang diwawancarai menganggap bullyinghanyalah sebagian dari cara anak-anak dalam bermain. Selanjutnya hasil studi pendahuluan yang dilakukan Saripah (2009: 3) terhadap 526 peserta didik tingkat SD di 5 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat, menunjukkan bullying menjadi masalah terbesar yang dihadapi siswa SD dalam bidang sosial, yakni sebesar 42,59%. Sebanyak 224 peserta didik mengaku sering digangu, diejek, dimintai uang dan dikucilkan oleh teman atau kakak kelasnya di sekolah. Semantara itu, peserta didik yang membentuk gang di sekolah mencapai 130 orang atau 24,71%.

5 Banks (Saripah, 2009) mengungkapkan beberapa alasan bahwa pentingnya bullying harus segera ditangani dan dihentikan sejak dini yaitu: 1) kejadian bullying di dunia terjadi setiap tujuh menit sekali; 2) mayoritas tindakan bullying terjadi di dalam dan di sekitar sekolah; 3) luka emosional akibat bullying dapat bertahan sepanjang waktu; 4) anak yang menjadi korban bullying memilih untuk bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar; 5) anak yang diberi label sebagai pelaku bullying memerlukan dukungan lebih dari orang dewasa, agen pemerintah, lembaga rehabilitasi dan pelayanan kesehatan mental; 6) 24.60% anak yang teridentifikasi sebagai pelaku bullying tercatat sebagai perilaku kriminal di masa dewasanya. Hasil observasi serta wawancara dengan beberapa guru di SD Negeri 1 Ciledug, mengungkapkan permasalahan yang sering terjadi pada anak-anak yaitu pada bidang akademik, pribadi dan sosial. Permasalahan pribadi-sosial salah satunya adalah bullying, yang ditandai dengan beberapa anak yang sering mengeluarkan kata-kata kasar untuk menyakiti teman lainnya (verbal bullying) seperti mengejek, memanggil dengan sebutan buruk, dan ada juga yang melakukan bullying fisik seperti mencubit dan memukul. Berdasarkan fakta tersebut, tampak bahwa bullyingsebenarnya telah sangat meluas di dunia pendidikan tanpa kita sadari bentuk dan akibatnya. Fakta ini sungguh sangat memprihatinkan, sekolah yang seharusnya menjadi tempat menyenangkan berubah menjadi tempat mengerikan, tempat yang seharusnya dapat menemukan teman berubah menjadi tempat untuk mencari lawan. Akibat dari kurang menyadari dan memahami dampak negatif bullying, para guru tidak secara efektif dalam mengatasi masalah bullying di sekolah. Sudah seharusnya pihak sekolah dan orang tua atau orang dewasa menyadari bahwa bullying menempati presentase 40% dari jawaban peserta didik ketika diminta menjawab pertanyaan hal-hal yang ditakuti di sekolah (Astuti, 2008: 2). Merebaknya fenomena bullying menyebabkan ketersinggungan dengan isu kualitas pendidikan, terutama jika dilihat dari dampak-dampak yang ditimbulkan akibat dari bullying. Dampak negatif bullying tidak hanya dirasakan oleh korban semata, tetapi juga oleh pelaku bullying itu sendiri. Gross (2002: 1)

6 mengemukakan dampak-dampak bullying bagi pelaku dalam jangka panjang seperti: 1) mendorong dirinya untuk melakukan perilaku-perilaku nakal atau antisosial lainnya, seperti melakukan corat-coret atau vandalisme, mencuri di toko atau supermarket, bolos, dan sering menggunakan narkoba; 2) perilaku anti sosial ini akan terus berlanjut sampai pada masa dewasa awal; 3) cenderung untuk meminum minuman keras, merokok, dan prestasinya buruk; 4) satu diantara empat orang yang melakukan tindak bullying tercatat di kepolisian sebagai pelaku tindak kriminal. Dalam menyikapi hal ini maka peserta didik, orang tua dan para pendidik perlu merasa lebih terbuka untuk membicarakan bersama mengenai hal-hal apa saja yang sebenarnya terjadi di dalam kehidupan anak. Anak yang menjadi pelaku bullying perlu segera ditangani untuk menghindari dampak yang lebih buruk lagi terhadap keadaan lingkungan sekolah. Ini menjadi tanggung jawab seluruh praktisi pendidikan yang ada di lingkungan sekolah.sebagai bagian integral dari pendidikan yang bertujuan untuk membantu individu agar mampu mengembangkan diri dengan mengadakan perubahan-perubahan positif dalam dirinya menurut Myers (Prayitno, 1995),maka seyogyanya bimbingan dan konseling turut ambil bagian dalam menangani perilaku pada pelaku bullying. Bimbingan dan konseling pribadi sosial menurut Yusuf dan Nurihsan (2009: 11)merupakan suatu upaya membantu individu dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengan keadaan psikologis dan sosial klien, sehingga individu memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya. Upaya bimbingan dalam rangka menanggulangi atau mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan adalah dengan mengembangkan potensi peserta didik dan memfasilitasi secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan peserta didik beserta faktor yang mempengaruhinya. Terkait dengan fenomena bullying serta dampak-dampak yang ditimbulkan maka diperlukan adanya upaya penanganan yang sistematis dari berbagai pihak.

7 Upaya-upaya yang dilakukan dalam menangani bullying dapat dilihat dari perspektif guru dan peserta didik. Saripah (2009: 8) mengemukakan hasil berdasarkan studi penelitian terdahulu bahwa upaya-upaya yang paling banyak dilakukan peserta didik untuk mengatasi permasalahan tersebut yakni dengan memperbanyak doa (69,77%), bercerita dengan teman atau saudara (63,31%), serta bercerita kepada orang tua (45,63%). Selanjutnya 186 peserta didik (35,31%) berusaha mengatasi masalah dengan bermain game, 8 peserta didik (1,52%) mulai mencoba merokok. Dari upaya di atas, orang yang paling diharapkan peserta didik dalam membantu menghadapi permasalahan tersebut adalah orang tua (80,60%), teman (62,17%) serta guru atau Wali Kelas (27%). Pada konteks bimbingan dan konseling upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun suatu kegiatan layanan bimbingan untuk menangani bullying. Untuk menyusun kegiatan layanan bimbingan yang aktual, maka penyusunan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada data-data aktual, dalam hal ini ialah data mengenai bullying di sekolah. Dengan adanya data aktual mengenai bullying di sekolah, maka pembimbing dapat menilai kecenderungan peserta didik terhadap perilaku tersebut dan memikirkan bentuk layanan bimbingan yang dapat diberikan, baik yang bersifat preventif, kuratif ataupun pengembangan. Dengan demikian diharapkan layanan bimbingan dapat diberikan secara tepat sasaran. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ini mengangkat permasalah mengenai Profil Bullying di Sekolah Dasar dan Implikasinya Terhadap Bimbingan Pribadi- (Penelitian Deskriptif terhadap Peserta Didik Kelas V SD Negeri 1 Ciledug Cirebon Tahun Ajaran 2013/2014). B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Fenomena tindak bullying yang terjadi di Sekolah Dasar memerlukan respon yang tepat karena pada kenyataannya penyelesaian yang dilakukan akhirnya hanya ditujukan untuk meredam kejadian di lembaga pendidikan yang hanya mengalami kejadian tersebut saja (Gunawan, 2007).Menghilangkan tindakan bullying di sekolah memang dirasa tidak akan mungkin bisa, tetapi paling tidak dapat meminimalkan kejadian tersebut. Berdasarkan fakta yang saat ini muncul di

8 kalangan pelajar baik itu SMA, SMP bahkan kalangan SD fenomena bullying sangat memerlukan respon yang serius. Karena dalam penyelesaiannya selama ini kasus bullying masih dianggap hal yang biasa saja, apalagi dikalangan usia Sekolah Dasar yang memandang bullying merupakan kenakalan wajar yang dilakukan anak-anak di seusianya. Padahal penanganan bullying harus diatasi sedini mungkin agar tidak berkelanjutan. Permasalahan dalam bullying bersifat luas berdasarkan bentuk yang dikategorikan oleh ahli. Tattum (1993: 9)membagi bullyingke dalam beberapa bentuk, yaitu: 1) bullying fisik (physicalbullying); 2) bullyingverbal (verbal bullying); 3) bullying sikap (gesture bullying); 4) bullying pemerasan (extortion bullying); 5) bullying eksklusifitas (exclusion bullying). Permasalahan bullying merupakan salah satu tugas konselor dengan memberilakan layanan bimbingan dan konseling berdasarkan analisis kebutuhan yang menjadi dasar pembuatan program bimbingan pribadi-sosial untuk mereduksibullying di sekolah. Rumuskan masalah penelitian di uraikan dalam bentuk pertanyaan seperti berikut. 1. Seperti apa profil bullyingpeserta Didik Kelas V di SD Negeri 1 Ciledug? 2. Bagaimanakah implikasi profil bullying terhadap rumusan program bimbingan pribadi-sosial untuk mereduksi bullying Kelas V di SD Negeri 1 Ciledug? C. Tujuan Penelitian Secara khusus, tujuan penelitian adalah menghasilkan gambaran profil bullying di KelasV SD Negeri 1 Ciledug dan implikasinya terhadap program bimbingan pribadi-sosial. Tujuan secara umum adalah untuk memperoleh data empirik mengenai: 1. Profil bullying peseta didik Kelas V di SD Negeri 1 Ciledug; dan 2. Rumusan program bimbingan pribadi-sosial untuk mereduksi bullying Kelas V di SD Negeri 1 Ciledug.

9 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian diharapkan dapat menambah khazanah ilmu bimbingan dan konseling, khususnya berkaitan dengan kajian teoretik-konseptual tentang profil bullyingdi Sekolah Dasar yang belum banyak mendapat perhatian. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru Menjadi pedoman bagi guru agar lebih peka terhadap perilaku yang ditampilkan oleh setiap peserta didik sehingga dapat mendeteksi peserta didik yang mengalami masalah. b. Bagi Peneliti Selanjutnya Sebagai bahan informasi dan menjadi bahan rekomendasi bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan teknik-teknik dalam memberikan layanan untuk mereduksi bullyingdi Sekolah Dasar. E. Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai bullying yang terjadi pada Kelas V di SD Negeri 1 Ciledug. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yang menghasilkan penjelasan mengenai peristiwa dan permasalahan bullying yang terjadi. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif yang menghasilkan data statistik profil bullyingdi Sekolah Dasar.