BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN 2.1. Pengangkut 2.1.1. Pengertian pengangkut. Orang yang melakukan pengangkutan disebut pengangkut. Menurut Pasal 466 KUHD, pengangkut adalah setiap orang yang berjanji untuk menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter atau voyage charter atau persetujuan lain. Dalam Pasal 521 KUHD merumuskan pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri, baik dengan perjanjian pencarteran menurut waktu atau menurut perjalanan, maupun dengan suatu perjanjian lain untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) seluruhnya atau sebagian lewat laut. Pengangkutan dapat dilakukan sendiri oleh pihak pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintah pengangkut. Dalam hal ini, pihak pengangkut dalam keberlakuannya bukan hanya dilakukan oleh orang semata, namun badan usaha yang memiliki wewenang mengadakan perjanjian pengangkutan, berhak menyelenggarakan pengangkutan orang dan/atau barang di mana pihak pengangkut ini diwajibkan untuk memikul beban resiko tentang keselamatan penumpang dan/atau barang-barang yang diangkut serta bertanggung
jawab terhadap semua kerugian yang diderita dalam kegiatan pengangkutan tersebut. 1 2.1.2. Syarat-syarat sebagai pengangkut. Penyelenggaraan pengangkutan oleh pengangkut dianggap telah sah dan layak setelah memenuhi persyaratan yaitu memiliki izin usaha angkutan, mengasuransikan orang dan/atau barang yang diangkut serta layak pakai bagi kendaraan yang dioperasikannya. Khusus dalam syarat memiliki izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud di atas, menteri perhubungan Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum (selanjutnya disingkat KM No.35 Tahun 2003), dalam Pasal 36 KM No. 35 Tahun 2003 jo Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 ditegaskan untuk memperoleh izin usaha angkutan, wajib memenuhi persyaratan. a. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); b. Memiliki akta pendirian perusahaan bagi pemohon yang berbentuk koperasi, tanda jati diri bagi pemohon perorangan; c. Memiliki surat keterangan domisili perusahaan; d. Memiliki surat izin tempat usaha (SITU); 1 Made Puri Adnyani Sangging, 1984, Hukum Pengangkutan, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati, Denpasar, h. 5.
e. Pernyataan kesanggupan untuk memiliki atau menguasai 5 (lima) kendaraan bermotor untuk pemohon yang berdomisili di pulau Jawa, Sumatera dan Bali; f. Pernyataan kesanggupan untuk menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan. Pengangkut yang tidak memiliki perusahaan pengangkutan, tetapi menyelenggarakan pengangkutan, hanya menjalankan pekerjaan pengangkutan. Pengangkut yang menjalankan pekerjaan pengangkutan hanya terdapat pada pengangkutan darat melalui jalan raya. Ia tidak diwajibkan mendaftarkan usahanya dalam daftar perusahaan, tetapi harus memperoleh izin operasi (izin trayek). Berdasarkan dari makna yang dimaksud di atas agar pengangkut atau pihak penyelenggara pengangkutan mampu untuk melancarkan pengangkutan umum dengan teratur dan aman bagi penumpang dan/atau barang angkutan. 2.1.3. Hak dan kewajiban pengangkut. Dalam perjanjian pengangkutan, pihak pengangkut dapat dikatakan sudah mengakui menerima barang atau penumpang dan menyanggupi untuk membawanya ke tempat yang dituju dan menyerahkannya kepada si alamat yang dituju, dengan dibuktikan oleh diserahkannya surat muatan bagi pengangkutan barang atau dengan tiket untuk pengangkutan penumpang.
Pengangkut sebagai pelaku usaha memiliki hak yang dapat dilihat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK), yakni : a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik. c. hak untuk melakukan pembelaan dari sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. d. hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan. e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Mengenai kewajiban pengangkut diatur dalam Pasal 468, Pasal 521, dan Pasal 522 KUHD. Pasal 468 KUHD menyatakan bahwa Dalam persetujuan pengangkutan, mewajibkan pengangkut untuk menjaga akan keselamatan barang yang harus diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut. Kemudian, Pasal 521 KUHD menjelaskan bahwa Pengangkutan dalam arti ini adalah barang siapa yang baik dengan suatu carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan baik dengan sesuatu persetujuan lain, mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, seluruhnya atau sebagian
melalui lautan. Selanjutnya, Pasal 522 KUHD juga menjelaskan bahwa Persetujuan pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang, sejak dimuat hingga menyerahkannya kepada penerima di pelabuhan tiba. Selain hal tersebut di atas, pengangkut juga harus bertanggung jawab, dalam arti harus mengganti segala yang disebabkan kerugian karena kerusakan pada barang atau kehilangan barang karena pengangkutan. Kecuali, apabila dapat dibuktikan bahwa rusaknya barang disebabkan oleh kejadian yang selayaknya tak dapat dicegah maupun dihindarkan, ataupun karena kesalahan pengirim sendiri. Hak pengangkut ialah menerima ongkos pengangkutan sesuai apa yang diperjanjikan di dalam bill of lading. 2 2.2. Penumpang 2.2.1. Pengertian penumpang. Dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dimaksud penumpang adalah orang yang berada di kendaraan selain pengemudi dan awak kendaraan dengan mengikatkan diri setelah membayar uang atau tiket angkutan umum sebagai kontra prestasi dalam perjanjian pengangkutan. Dengan demikian maka seseorang telah sah sebagai penumpang angkutan umum. Berdasarkan pengertian tersebut, penumpang angkutan umum dapat di maknai seseorang (individu) dan/atau satu (kelompok) yang menggunakan alat transportasi umum untuk suatu perjalanan tertentu yang didasari atas suatu 2 H. Djafar Al Bram, op.cit, h. 43.
perjanjian sebelumnya, dimana pihak pengangkut berkewajiban untuk mengangkut penumpang tersebut dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan selamat, sedangkan penumpang berkewajiban untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan atas jasa pengangkutan tersebut. 2.2.2. Kedudukan hukum penumpang. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus sudah dewasa atau mampu membuat perjanjian dalam Pasal 1320 angka 1 dan 2 KUHPerdata. Penumpang dalam hal ini dapat diartikan sebagai konsumen, karena penumpang tersebut adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan jasa angkutan untuk tujuan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri bukan untuk tujuan komersil. 3 Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditentukan pada UUPK. UUPK Pasal 1 angka 2 menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan tidak diperdagangkan. Merujuk pada uraian di atas bahwa penumpang dikatakan sebagai konsumen dimana dalam hal ini terdapat unsur-unsur dari konsumen yaitu: 3 A.Z. Nasution, 2001, Hukum Pelindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Mediam, Jakarta, h. 3.
a. setiap orang, subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai jasa dan/atau barang, 4 b. pemakai, sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK, kata pemakai menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer), Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan jasa dan/atau barang yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh jasa dan/atau barang itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract), 5 c. jasa dan/atau barang, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen, sementara itu UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen, 6 4 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, h. 4. 5 Ibid, h. 27. 6 Ibid, h. 29.
d. yang tersedia dalam masyarakat, jasa dan/atau barang yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran, merujuk pada Pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK, 7 e. bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lainnya, transaksi konsumen ditunjukkan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditunjukkan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi jasa dan/atau barang itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lainnya, f. jasa dan/atau barang itu tidak untuk diperdagangkan, pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. 8 2.2.3. Hak dan kewajiban penumpang. Penumpang sebagai konsumen atas jasa juga memiliki hak, seperti yang terdapat dalam Pasal 4 UUPK, antara lain : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diperjanjikan. 7 Ibid. 8 Ibid, h. 30.
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Kewajiban dari penumpang menurut Pasal 5 UUPK, antara lain : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa. Tujuan adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu membayar barang atau jasa yang telah dibeli. Tentunya dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2.3. Kecelakaan 2.3.1. Pengertian kecelakaan. Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang diakibatkan oleh kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 Pasal 93 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, kecelakaan adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda. Korban kecelakaan dimaksud dalam hal ini adalah terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu korban mati, korban luka berat, dan korban luka ringan. Dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara pengertian kecelakaan adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan dan/atau korban jiwa atau luka serius. 2.3.2. Faktor penyebab terjadinya kecelakaan. Sebab-sebab dari peristiwa lalu lintas jalan, baik yang mengenai pelanggaran, maupun kecelakaan dapat disebabkan oleh keadaan udara dan cuaca, keadaan jalan, pengemudi, orang berjalan kaki, penumpang, keadaan
kendaraan, jalan trem atau kereta api, benda-benda lain yang merintangi lalu lintas, karena hewan dan lain-lain. 9 Kecelakaan-kecelakaan pada transportasi telah banyak yang terjadi. Misalnya saja pada transportasi laut, kecelakaan yang terjadi biasanya adalah tenggelam akibat kelebihan muatan, terbakar atau meledak, ataupun tenggelam akibat dari faktor alam. Tetapi berdasarkan data dari Mahkamah Pelayaran faktor kesalahan manusia adalah penyebab utama dari kecelakaan transportasi laut yang ada. Sebanyak 88% kejadian disebabkan oleh human error dari orang-orang yang ada dalam sistem transportasi laut. Dan hanya beberapa saja yang disebabkan oleh faktor alam atau cuaca. Human Error yang terjadi pada kecelakaan transportasi laut dapat disebabkan oleh berbagai faktor pada sistem transportasi laut yang ada. Misalkan kurangnya kepahaman para awak kapal akan rambu-rambu yang ada pada rute perjalanan, kelalaian petugas pelabuhan dalam melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal yang berlayar. Ataupun kelalaian awak kapal dalam melakukan maintenance terhadap mesin- mesin yang ada pada kapal. Berikut adalah beberapa human error yang terjadi pada kecelakaan transportasi laut : 1. jumlah penumpang yang tidak sesuai dengan kapasitas Dalam kasus kecelakaan transportasi laut sebagian besar kecelakaan yang terjadi adalah akibat dari jumlah penumpang yang tidak sesuai dengan kapasitas dari kapal yang berlayar. Hal ini selain disebabkan kelalaian dari nahkoda kapal kadang kala juga disebabkan kelalaian dari pengawasan pelabuhan ketika kapal 9 M.Karjadi, 1973, Kejahatan Pelanggaran dan Kecelakaan, Politeia, Bogor, h. 9.
akan diberangkatkan. Hal ini juga disebabkan para pegawai yang di pelabuhan masih menganggap remeh akan standarisasi yang telah ditetapkan. 2. faktor teknis Faktor lain yang terjadi biasanya sebagai penyebab dari kecelakaan transportasi laut adalah faktor teknis. Faktor teknis ini banyak hal yang bisa menjadi penyebabnya. Seperti desain kapal yang tidak sesuai dengan standarisasi yang telah ditetapkan. Ada pula maintenance yang dilakukan oleh para awak kapal yang masih tidak terjadwal dilakukan. Sehingga ketika kapal berlayar terjadi panas mesin yang menyebabkan mesin panas. Ataupun faktor teknis ketika membawa barang- barang yang berbahaya. Karena tidak adanya kesadaran untuk menjaga kapal dari awak kapal menyebabkan kapal meledak dan terbakar. 10 10 Achmad andi rasyid Siregar, 2012, Penyebab-penyebab Kecelakaan Pada Transportasi Laut di Indonesia, URL : https://aplikasiergonomi.wordpress.com/2012/06/09/penyebabpenyebab-kecelakaan-pada-transportasi-laut-id-indonesia/. Diakses tanggal 20 Januari 2016