V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank

TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2013

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. METODOLOGI PENELITIAN. dan dalam skala besar dengan variabel yang banyak. Data sekunder yang

BERITA RESMI STATISTIK

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BPS KABUPATEN PAKPAK BHARAT

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk.

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2015

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk.

sebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya

VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2016

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2015

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014

BPS PROVINSI JAWA TIMUR

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2015

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

Angka Kemiskinan Kabupaten Sekadau 2016

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2011

KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009

MENGUKUR PENDAPATAN DAN KEMISKINAN MULTI-DIMENSI: IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN


PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Profil Kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta Maret 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 SEBANYAK 227,12 RIBU ORANG.

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

BPS PROVINSI LAMPUNG

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2015

TINGKAT KEMISKINAN DI LUWU TIMUR KEADAAN MARET TAHUN 2015

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

ANALISIS HASIL PENELITIAN

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2016

KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2015

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008

KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2013

BAB III METODE PENELITIAN. ini merupakan besarnya tingkat ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2016

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2010

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Uji t pada rata-rata tingkat konsumsi untuk daerah aksi dan kontrol sebelum intervensi program

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

Kemiskinan dan Ketimpangan

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011

Transkripsi:

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai informasi yang sesuai dengan PODES. Hanya 4.7 persen desa SUSENAS yang tidak mempunyai informasi pada PODES. Hal ini disebabkan adanya pemekaran desa baru pada SUSENAS dan tidak terdapat kesesuaian kode desa antar kedua sumber data tersebut. Jumlah rumahtangga nasional berdasarkan agroekosistem dapat dilihat pada Tabel 3 yakni jumlah rumahtangga yang dimasukkan dalam analisis dan merupakan nilai hasil pembobotan. Tabel 3. Jumlah Rumahtangga berdasarkan Agroekosistem Tahun 2005 Lokasi Jumlah Nasional 53 200 353 Lahan Basah 2 126 747 Lahan Kering 36 477 953 Lahan Campuran 14 595 653 Pantai/Pesisir 5 024 955 Dataran Tinggi 37 072 835 Sekitar Hutan 7 475 226 Sumber: BPS (2003) dan BPS (2004) data diolah 5.1. Nasional 5.1.1. Indikator Kemiskinan 5.1.1.1. Insiden Kemiskinan Nasional Insiden kemiskinan nasional berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P 0 ) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga

miskin. Jika dibanding P 0 di Cina yang hanya sebesar 12.49 persen (Ravalion, 2005), P 0 di Indonesia lebih besar. Tetapi jika di banding dengan P 0 di Bangladesh sebesar 40.9 persen, atau P 0 di Nepal sebesar 34.6 persen (SAARC, 2005), maka insiden kemiskinan di Indonesia jauh lebih baik. Meskipun metoda pengukuran dan indikator kemiskinan berbagai negara di atas berbeda karena standar garis kemiskinan antar negara bisa berbeda, tetapi perbandingan insiden kemiskinan antar negara tersebut bertujuan untuk mengilustrasikan magnitutnya. Kemiskinan berkaitan dengan banyak dimensi, tidak hanya rendahnya tingkat pendapatan, tetapi juga kesenjangan meraih peluang ekonomi. Kemiskinan umumnya berasosiasi juga dengan tingkat distribusi dari aset, seperti lahan, sumberdaya kapital dan peluang-peluang pasar. Lebih lanjut, Yudhoyono dan Harniati (2004) menyatakan bahwa permasalahan kemiskinan dapat ditinjau dari dimensi sosial, ekonomi dan bahkan politik. Dari dimensi ekonomi, kemiskinan terkait erat antara lain dengan tingkat upah kerja, tingkat pengangguran, produktivitas tenaga kerja, kesempatan kerja dan gerak sektor riil. Dari dimensi sosial, kemiskinan terkait erat antara lain dengan pendidikan, kesehatan, kondisi fisik alam dan budaya. Dengan demikian, untuk penanggulangan kemiskinan, pertumbuhan (growth) ekonomi memang sangat dibutuhkan, tetapi tidak cukup. Pertumbuhan ekonomi harus dibarengi dengan distribusi pendapatan ke arah pemerataan serta terselenggaranya good governance sebagai prasyarat awal. Mukherjee et al (2002) menyebutkan kerangka matapencarian yang berkelanjutan dengan dasar lima aset kehidupan (sumberdaya manusia, alam, finansial, fisik dan sosial) untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan, interaksi antar faktor dan keberlanjutan upaya menyambung hidup. Selanjutnya Dhanani dan Islam (2000), menyebutkan bahwa respon terhadap 75

krisis yang mempengaruhi terjadinya kemiskinan, seperti mekanisme individu, perlindungan sosial informal dari teman dan keluarga, jaringan pengaman sosial, serta kegiatan makroekonomi untuk menjaga inflasi dan menstabilkan nilai tukar. Tingginya insiden kemiskinan di Indonesia sebagaimana tersebut di atas mengindikasikan adanya masalah dalam ekonomi makro, diantaranya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian BAPPENAS (2004) yang menjelaskan bahwa penurunan insiden kemiskinan berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagai salah satu bukti empirik bahwa pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan penurunan kemiskinan. Ketika terjadi krisis ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi menurun dengan drastis, angka kemiskinan juga meningkat cukup tajam, tetapi ketika pertumbuhan ekonomi kembali seperti semula maka angka kemiskinan kembali seperti sebelum kritis. Kemiskinan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi juga dihasilkan dari ketimpangan distribusi pendapatan. Hasil analisis dekomposisi indeks kemiskinan yang dilakukan oleh Bappenas dan JICA (2004) menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang mengarah untuk memperkecil kesenjangan dalam beberapa kasus tertentu dapat mempercepat penurunan kemiskinan baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Selanjutnya, penurunan kemiskinan dapat tercapai jika laju pertumbuhan ekonomi meningkat dan pemerataan dapat diperbaiki. Kalaupun terjadi trade off dengan pemerataan, sepanjang pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan peningkatan indeks ketidak merataan yang moderat masih dapat ditolelir, atau sebaliknya (Bappenas dan JICA, 2004). Dengan demikian, kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki distribusi pendapatan harus dilakukan bersamaan dan merupakan keharusan (necessary condition). 76

5.1.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P 1 ) nasional menunjukkan angka sebesar 2.3. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan kesenjangan atau besarnya jarak rata-rata pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin besar nilainya maka semakin dalam kemiskinan yang terjadi. Indeks kedalaman kemiskinan menyiratkan juga seberapa kritis kemiskinan terjadi. Pemahaman tentang indeks kedalaman kemiskinan nasional dapat dijadikan acuan dalam menentukan seberapa serius persoalan kemiskinan terjadi. Namun, jika dibandingkan dengan P 1 di Cina sebesar 3.32 (The Word Bank, 2004), atau P 1 di Bangladesh sebesar 10.9 (BBS Poverty Monitoring Survey, 2004), atau P 1 di Nepal sebesar 7.55 (The Word Bank, 2004), maka P 1 di Indonesia menunjukkan jarak yang lebih mendekati garis kemiskinan. Adanya jarak yang lebih kecil terhadap garis kemiskinan ini menggambarkan bahwa kesenjangan kemiskinan di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan dengan tiga negara tersebut. 5.1.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P 2 ) nasional sebesar 0.7. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ragam pengeluaran diantara rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang seragam. Jika dibanding dengan P 2 di Cina sebesar 1.21 (The Word Bank, 2004), atau P 2 di Bangladesh sebesar 3.8 (BBS Poverty Monitoring Survey, 2004), atau P 2 di Nepal sebesar 2.7 (The Word Bank, 2004), maka P 2 di Indonesia lebih kecil daripada negara-negara tersebut. Hal ini menunjukkan indeks keparahan kemiskinan nasional yang memberikan indikasi bahwa distribusi pengeluaran 77

rumahtangga miskin secara nasional relatif lebih merata di banding negaranegara tersebut. 5.1.2. Kerentanan Kemiskinan 5.1.2.1. Elastisitas Kemiskinan Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan nasional yakni sensitivitas indikator kemiskinan terhadap perubahan Garis Kemiskinan (GK) maka disimulasikan garis kemiskinan (GK) naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka secara riil nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, proporsi rumahtangga miskin akan bertambah. Dengan menggunakan skenario ini, pada GK*110 persen, proporsi penduduk miskin nasional naik dari 13.1 menjadi 18.9, dan pada GK*120 persen naik dari 13.1 menjadi 25.0. (Tabel 4). Tabel 4. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Nasional Tahun 2005 Indikator GK GK*110 % GK*120 % Nilai Nilai Elastisitas Nilai Elastisitas P 0 13.1 18.9 4.35 25.0 4.54 P 1 2.3 3.6 5.65 5.1 6.09 P 2 0.7 1.1 5.71 1.6 6.43 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = Garis Kemiskinan (versi BPS); P 0 = headcount index (dalam%) P 1 = poverty gap index (kedalaman atau kesenjangan pengeluaran terhadap GK) P 2 = Poverty Severity Gap Index/Distributionally Sensitive Index (keparahan kemiskinan) Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P 1 ) secara nasional sebesar 3.6 pada GK*110 persen dan 5.1 pada GK*120 persen. Hal ini 78

berarti bahwa jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata rumahtangga yang jatuh miskin akan naik sebesar 1.3 pada GK*110 persen, atau naik sebesar 2.8 pada GK*120 persen (Tabel 4). Hal yang sama terjadi juga pada indeks keparahan (Poverty Severity Index), dimana Poverty Severity Gap Index (P 2 ) sebesar 1,1 pada GK*110 persen dan 1,6 pada GK*120 persen. Hasil analisis kerentanan tersebut diatas menjelaskan bahwa insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan nasional rentan terhadap perubahan harga barang dan jasa. Selanjutnya, hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan nasional sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen adalah 4.35, dan pada GK*120 persen sebesar 4.54. Dengan elastisitas lebih besar dari satu seperti terlihat pada Tabel 4, maka indikator kemiskinan nasional ini sensitif terhadap gejolak harga. Sebagai ilustrasi, jika terjadi perubahan harga barang dan jasa yang mendorong bundel kebutuhan minimum sebesar 1 persen, maka pada GK*110 persen insiden kemiskinan naik menjadi 4.35 persen, kedalaman kemiskinan naik 5.65 persen, dan keparahan kemiskinan 5.71 persen. Hal ini memberi makna bahwa perubahan harga barang dan jasa kebutuhan minimum sebesar satu persen mengakibatkan jumlah rumahtangga miskin akan naik sebesar 303 162 rumahtangga, sehingga rumahtangga miskin menjadi 7 272 408. Jika diasumsikan rata-rata rumahtangga memiliki anggota sebanyak empat jiwa, maka akan terdapat 29 089 633 jiwa yang berada di bawah garis kemiskinan. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan nasional sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan juga lebih besar dari satu, yaitu sebesar 5.65 pada GK*110 persen, dan sebesar 6.09 pada GK*120 persen, yang 79

berarti elastis. Dua skenario tersebut menunjukkan bahwa kedalaman kemiskinan responsif terhadap perubahan harga barang dan jasa. Hal yang serupa terjadi pada nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan nasional, dimana sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK* 110 persen adalah sebesar 5.71 dan pada GK*120 persen sebesar 6.43. Dengan demikian, maka keparahan kemiskinan sensitif terhadap perubahan harga barang dan jasa. Hal ini memberi makna pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, misalnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat mengurangi pengeluaran rumahtangga miskin maka akan cukup memberi dampak yang signifikan dalam penurunan angka keparahan kemiskinan. Kerentanan kemiskinan yang terjadi di Indonesia sesuai dengan penelitian Sumaryadi (2001) menunjukkan bahwa sekitar 38-50 persen rumahtangga di Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. Selanjutnya The World Bank (2003) juga menunjukkan bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin akan naik dua kali lipat, jika garis kemiskinan naik dari US$1 menjadi US$ 2 per hari. Kerentanan kemiskinan menjelaskan bahwa walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumahtangga miskin. Untuk rumahtangga seperti ini diperlukan adanya suatu sistem keterjaminan sosial. Sebagaimana diungkap oleh Crescent (2003) yang menyatakan bahwa sistem keterjaminan sosial, seperti asuransi sosial, sistem ketahanan lokal, dan program pembangunan ekonomi dan sosial merupakan antisipasi yang baik dalam menangani kemiskinan. Secara grafis distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga secara nasional dapat dilihat pada Gambar 5. 80

5.1.2.2. Sifat Kemiskinan Untuk mengetahui sifat kemiskinan, maka dilakukan analisis regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dan rentan yang dilanjutkan dengan analisis regresi dengan variabel seperti pada Lampiran 1. Hasil regresi ini memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 10.9 persen tidak kronis. Dengan demikian, 10.9 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Seperti diketahui, dua hal yang akan dapat menurunkan kemiskinan, yakni adanya penurunan rata-rata pengeluaran rumahtangga dan atau adanya peningkatan pendapatan. Rumahtangga GK = Rp 90.500 GK 110 % = Rp 100.800 GK 120 % = Rp 111.400 Distribusi Frekuensi Kurva Normal Pengeluaran (Rp) Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah Gambar 5. Distribusi Pengeluaran Rumahtangga Secara Nasional 81

Dari sisi peningkatan pendapatan, variabel yang berpengaruh antara lain adalah insvestasi, penciptaan iklim usaha dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil studi dampak kebijakan ekonomi makro terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia (BAPPENAS-JICA, 2004), yang menyatakan bahwa penciptaan lapangan pekerjaan dan investasi di bidang infrastruktur dan sumberdaya manusia telah memberikan dampak yang signifikan. Dengan demikian, kebijakan seperti Usaha Mikro Kecil Menengah yang memberi kemudahan untuk investasi dan pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang untuk dientaskan dari kemiskinan relatif lebih memerlukan penanganan yang lebih kompleks. Untuk kemiskinan yang tergolong kronis, diperlukan intervensi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan minimum, seperti pangan. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini bahwa lebih dari dua per tiga pengeluaran penduduk miskin adalah untuk makanan, karena itu kebijakan untuk subsidi pangan, seperti Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT) relevan untuk dilakukan. Tabel 5. Sifat Kemiskinan Nasional Aspek Penelitian % RT Miskin (menurut Sifat GK GK*110% GK*120% Miskin 10.9 14.1 16.3 Miskin kronis 2.2 4.8 8.7 sifat) Total miskin 13.1 18.9 25.0 Sumber Keterangan : Hasil Perhitungan : GK = Garis Kemiskinan RT = rumah tangga Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik sebesar 10 persen. 82

Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumahtangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis, dari 18.9 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdapat 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 25 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 16.3 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan effort yang besar, bertahap dan berkelanjutan untuk mengentaskannya. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin nasional. Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin. Tabel 6 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis sebesar 116.2 persen, artinya meningkatnya garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari dua kali lipat dari angka 83

sebelumnya. Jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis akan mendekati 300 persen (291.9 persen). Tabel 6. Perubahan Sifat Kemiskinan Nasional Aspek Penelitian Sifat GK*110% GK*120% % perubahan akibat GK Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan Miskin 29.0 49.1 Miskin kronis 116.2 291.9 Total miskin 43.1 90.3 Tabel 7 menggambarkan perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (persentase Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio). Secara umum, dengan garis kemiskinan biasa ternyata persen perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah - 42.2 persen (Tabel 7). Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Tabel 7. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita Nasional terhadap Garis Kemiskinan Berdasarkan Nasional Rataan Sifat GK GK*110% GK*120% % % % beda ratio beda ratio beda ratio Miskin Kronis - 42.2 0.578-39.6 0.604-38.3 0.617 Miskin - 13.2 0.868-12.6 0.874-12.2 0.878 Tidak Miskin 138.6 2.386 126.4 2.264 118.0 2.180 Median Miskin Kronis - 40.0 0.600-37.3 0.627-35.8 0.642 Miskin - 12.1 0.879-12.0 0.880-11.9 0.881 Tidak Miskin 85.8 1.858 76.6 1.766 70.4 1.704 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : GK = Garis Kemiskinan Jika garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persen perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis 84

(berdasarkan rataan) sebesar 39.6 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, ternyata perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) dibawah 40 persen atau -38.3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita golongan miskin kronis ini berbeda dengan garis kemiskinan. Sedangkan untuk golongan tidak miskin seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen. 5.1.3. Uji Proporsi Kemiskinan antar Agroekosistem Dalam penelitian ini diajukan hipotesis bahwa insiden kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spatial) berdasarkan ekonomi agroekosistem, atau secara matematis diformulasikan sebagai berikut : Ho: p 1 = p 2 = p 3 H 1 : tidak semua p i sama Untuk menguji hipotesis tersebut maka dilakukan pengujian dengan Uji proporsi insiden kemiskinan (Walpole, 1995) antar agroekosistem. Akan tetapi karena data yang mutually exclusive hanya lahan basah, campuran dan lahan kering, maka pengujian hanya bisa dilakukan antar agroekosistem tersebut. Hasil analisis proporsi insiden kemiskinan antar agroekosistem memperlihatkan nilai X 2 sebesar 11 189 907. Nilai X 2 tersebut lebih besar dari nilai X 2 tabel pada alpha 0.025 dengan v = 2 derajat bebas yang sebesar 7.378. Dengan demikian, maka H 1 diterima; yang berarti ada perbedaan proporsi insiden kemiskinan yang sangat signifikan antar agroekosistem. Data insiden kemiskinan pada tiap agroekosistem disajikan pada Tabel 8. 85

Tabel 8. Insiden Kemiskinan Nasional per Agroekosistem Tahun 2005 LB LK LC Total Insiden Tidak Miskin 1856650 31845253 12493879 46195782 Miskin 270097 4632700 2101774 7004571 Total 2126747 36477953 14595653 53200353 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : LB = Lahan Basah LK = Lahan Kering LC = Lahan Campuran Berdasarkan hasil analisis tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa insiden kemiskinan yang terjadi di Indonesia ternyata berasosiasi kuat dengan tipe agroekosistem. Dengan demikian, hipotesis penelitian ini yang menyatakan bahwa insiden kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem ternyata terbukti benar. 5.2. Lahan Basah 5.2.1. Indikator kemiskinan 5.2.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada agroekosistem lahan basah berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P 0 ) sebesar 12.7 persen dari total rumahtangga yang tinggal di agroekosistem lahan basah (2 126 747 rumahtangga) atau sebanyak 270 096 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P 0 ) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P 0 agroekosistem lahan basah lebih kecil dari P 0 Nasional, namun jika dibandingkan besarannya dengan angka nasional rumahtangga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka proporsi insiden kemiskinan di lahan basah hanya 3.88 persen dari total 86

rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa lahan basah bukan merupakan kantong kemiskinan. Pemahaman tentang besarnya insiden kemiskinan di lahan basah akan memberi makna dalam penentuan lokasi sasaran penanggulangan kemiskinan. Data diatas menjelaskan bahwa dengan memperhatikan magnitude-nya, lahan basah bukan merupakan prioritas utama penanggulangan kemiskinan karena dampak yang relatif kecil dalam konteks nasional. 5.2.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P 1 ) di lahan basah menunjukkan angka sebesar 1.9 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka P 1 lahan basah lebih kecil dari P 1 nasional. Hal ini menyiratkan bahwa kontribusi lahan basah terhadap indeks kedalaman kemiskinan nasional relatif kecil. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan besarnya jarak rata-rata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin besar nilainya maka semakin dalam kemiskinan yang terjadi. Pemahaman tentang indeks kedalaman kemiskinan dapat dijadikan acuan dalam memilih area prioritas penanggulangannya. Dengan demikian, maka hasil analisis di atas menjelaskan bahwa jarak rata-rata pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan basah yang sebesar 1.9 persen sudah mendekati garis kemiskinan. Kedekatan jarak terhadap garis kemiskinan ini menyiratkan bahwa kondisi kemiskinan di lahan basah kurang kritis dan jika ada perlakuan yang tepat terhadap agroekosistem ini, maka lebih besar peluang bagi rumahtangga miskin di agroekosistem lahan basah untuk dapat dientaskan. 87

5.2.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P 2 ) di agroekosistem lahan basah sebesar 0.5 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka nilai P 2 lahan basah lebih kecil dari P 2 nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang tidak parah. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan basah yang sebesar 0.5 persen menunjukkan ketimpangan yang relatif kecil. Hal ini memberikan indikasi bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan basah relatif merata. Hal ini berarti juga kemiskinan yang terjadi di lahan basah kurang belum memerlukan langkah emergency. 5.2.2. Kerentanan Kemiskinan 5.2.2.1. Elastisitas kemiskinan Untuk mengetahui bagaimana insiden kemiskinan sekitar garis kemiskinan yang diasumsikan rentan terhadap garis kemiskinan maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lainlain, maka secara riil nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, garis kemiskinan juga akan naik. Jika diasumsikan akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap proporsi penduduk miskin pada lahan basah ternyata relatif lebih besar (Tabel 9). Dengan mencermati nilai- 88

nilai P 0 dan simulasi perubahan-perubahan indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 19.3 persen pada GK*110 persen dan 26.7 persen rumahtangga miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Tabel 9. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan pada Lahan Basah Tahun 2005 Indikator GK GK*110 % GK*120 % Nilai Nilai Elastisitas Nilai Elastisitas Lb Nas Lb Nas Lb Nas Lb Nas Lb Nas P 0 12.7 13.1 19.3 18.8 5.20 4.35 26.7 25.0 5.51 4.54 P 1 1.9 2.3 3.2 3.6 6.84 5.65 4.8 5.1 7.63 6.09 P 2 0.5 0.7 0.8 1.1 6.00 5.71 1.3 1.6 8.00 6.43 Sumber Keterangan : Hasil Perhitungan : GK= Garis Kemiskinan; Lb= lahan basah; Nas= nasional Dibanding angka nasional, dimana persentase rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen rumahtangga miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen, maka nilai P 0 masih lebih besar. Pola laju perubahan persentase penduduk miskin berubah drastis menjadi lebih dari dua kali lipat jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen. Secara grafis distribusi frekuensi pengeluaran rumahtangga di lahan basah disajikan pada Gambar 6. Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P 1 ) yang terjadi di lahan basah sebesar 3.2 pada GK*110 persen dan 4,8 pada GK*120 persen lebih kecil dari Poverty Gap Index (P 1 ) di tingkat nasional. Hal ini berarti jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal di lahan 89

basah lebih kecil merasakan shock akibat dari gejolak ekonomi ini dibandingkan dengan tingkat nasional sebagaimana dapat terlihat dari perubahan Poverty Gap Index. Rumahtangga GK = Rp 92.600 GK 110 % = Rp 102.200 GK 120 % = Rp 112.000 Distribusi Frekuensi Kurva Normal Pengeluaran (Rp) Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004; Data Diolah Gambar 6. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Basah Pola yang sama juga terjadi pada indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index), dimana gejolak ekonomi akan berdampak lebih kecil pada masyarakat yang tinggal di lahan basah dibandingkan nasional, dimana Poverty Severity Gap Index (P 2 ) sebesar 0.8 pada GK*110 persen dan 1.3 pada GK*120 persen. Hal ini berarti keparahan kemiskinan pada lahan basah lebih kecil dari keparahan di tingkat nasional. Dengan demikian, insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di lahan basah relatif kurang rentan dibanding nasional. 90

Hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan di lahan basah sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen dan GK*120 persen sebesar 5.20 dan 5.51. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di lahan basah termasuk katagori elastis. Dibanding angka nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan basah lebih besar. Hal ini berarti dengan dua skenario tersebut diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap insiden kemiskinan di lahan basah akan lebih besar dibanding tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan di lahan basah sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen, dan GK*120 persen masing-masing sebesar 6.84 dan 7.63 yang berarti elastis. Dibanding angka nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan basah relatif lebih besar. Artinya, dampak pada dua skenario tersebut terhadap kedalaman kemiskinan di lahan basah akan lebih besar dari tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan di lahan basah sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen dan GK*120 persen masing-masing sebesar 6.00 dan 8.00. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan di lahan basah termasuk katagori elastis. Dibanding angka nasional, maka besaran nilai elastisitasnya lebih besar, sehingga dampak pada dua skenario tersebut terhadap keparahan kemiskinan di lahan basah akan lebih besar dibandingkan tingkat nasional. Namun karena keduanya sama termasuk katagori elastis maka faktor perubahan harga besar dampaknya terhadap peningkatan keparahan kemiskinan. Nilai elastisitas insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di lahan basah seperti diuraikan diatas memberi makna 91

pula bahwa jika terjadi perbaikan situasi ekonomi, maka akan memberi dampak yang relatif besar bagi pengentasan kemiskinan di agroekosistem tersebut. Rumahtangga rentan miskin di agroekosistem lahan basah ini umumnya tidak memiliki aset produktif yang bisa dijadikan agunan saat membutuhkan modal dari lembaga keuangan formal serta umumnya tidak memiliki dana saving, sehingga saat ada shock akan jatuh miskin. Dengan demikian, penanganan yang bersifat preventif seperti asuransi, atau pemberdayaan sumberdaya manusia menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini. 5.2.2.2. Sifat Kemiskinan Untuk memperoleh gambaran tentang sifat kemiskinan, maka dilakukan analisis regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin. Hasil regresi memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin menurut BPS (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.2 persen dan miskin tidak kronis sebesar 10.9 persen. Sebesar 10.9 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan tantangan yang sangat besar untuk mengentaskannya karena merupakan kemiskinan struktural. Hasil regresi untuk lahan basah, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 10. Hasil analisis sifat kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini adalah dari 12.7 persen rumahtangga miskin di daerah lahan basah terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis sebesar 2.5 persen dan miskin tidak kronis sebesar 10,21 persen. Sebanyak 10.21 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan 92

dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Secara teoritis, investasi dan kualitas sumberdaya manusia akan memberi pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian kebijakan seperti UMKM, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.5 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang memerlukan penyangga kebutuhan minimum hariannya maka kebijakan subsidi pangan seperti Raskin relevan untuk dilakukan. Tabel 10. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah Aspek GK GK*110 % GK*120 % Sifat Penelitian Lahan Nas Lahan Nas Lahan Nas Basah Basah Basah % RT Miskin Miskin 10.2 10.9 14.2 14.1 17.5 16.3 (menurut Miskin kronis 2.5 2.2 5.1 4.8 9.2 8.7 sifat) Total miskin 12.7 13.1 19.3 18.9 26.7 25 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan; Nas= nasional; RT = rumahtangga Untuk mengetahui sifat kemiskinan pada rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan dengan meningkatkan sebesar 10%. Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumah tangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis terdapat 18.9 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 4.8 persen dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 14.1 93

persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 4.8 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural (Tabel 10). Hasil regresi untuk lahan basah dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 18.3 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 5.6 persen dan miskin tidak kronis sebesar 12.8 persen. Sejumlah 12.8 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 5.6 persen rumahtangga yang miskin ini adalah kemiskinan struktural dengan permasalahan yang kompleks untuk dientaskan. Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 18. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dari 25 persen rumahtangga miskin di seluruh Indonesia terdapat rumahtangga yang miskin kronis yaitu 8.7 persen dan 16.3 persen miskin tidak kronis. Sebanyak 16.3 persen rumahtangga ini berpontensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 8.7 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural dengan probabilitas untuk dientaskan relatif kecil. Hasil regresi untuk lahan basah dengan garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model 94

seperti pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat 24.6 persen rumahtangga miskin (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari rumahtangga yang miskin kronis yaitu 9.5 persen dan 15.1 persen miskin tidak kronis. Sebesar 15.1 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Sedangkan 9.5 persen rumahtangga yang miskin ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang relatif membutuhkan upaya yang lebih besar untuk dientaskan. Jika dianalisis lebih jauh, ada pengaruh dari kenaikan garis kemiskinan sebesar 10 persen dan 20 persen terhadap sifat kemiskinan keluarga miskin, pada lahan basah (Tabel 11). Kenaikan pada garis kemiskinan ternyata dampaknya besar sekali terhadap keluarga miskin kronis dan jumlah rumahtangga miskin itu sendiri. Tabel 11 menunjukkan laju pertambahan rumahtangga miskin kronis melebihi angka 100 persen; artinya dengan meningkatkan garis kemiskinan sebesar 10 persen menyebabkan jumlah keluarga miskin kronis bertambah lebih dari 2 kali lipat dari angka sebelumnya. Apalagi jika garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, akan berakibat peningkatan keluarga miskin kronis melebihi 200 persen. Untuk mengetahui perbedaan pengeluaran rumah tangga dengan garis kemiskinan, maka pengeluaran rumah tangga dikonversi dahulu ke pengeluaran per kapita karena garis kemiskinan sendiri satuannya adalah per kapita. Tabel 11 menggambarkan persentase perbedaan pengeluaran per kapita dengan garis kemiskinan, relatif terhadap garis kemiskinan (Beda) dan juga ratio pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan (Ratio). Secara umum, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) adalah 34,9 persen (Tabel 11). 95

Tabel 11. Perubahan Sifat Kemiskinan Pada Lahan Basah Aspek GK*110 % GK*120 % Sifat Penelitian Lahan Nasional Lahan Nasional Basah Basah % perubahan Miskin 39.4 29.0 71.7 49.1 akibat GK Miskin kronis 104.0 116.2 268.0 291.9 Total miskin 52.1 116.2 110.4 90.3 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= Garis Kemiskinan Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 85.8 persen. Sementara lahan basah memiliki beda 65,4 persen yang artinya terdapat jarak yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin, dibanding dengan nasional. Pada garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen, ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) di agroekosistem lahan basah sebesar 34,3 persen sekaligus dibawah beda nasional. Tabel 12. Beda Relatif dan Ratio Rataan dan Median Pengeluaran Per Kapita terhadap Garis Kemiskinan Pada Lahan Basah Berdasarkan Sifat GK GK*110% GK*120% % % beda ratio beda ratio % beda ratio Lahan Basah Rataan Miskin Kronis - 34.9 0.651-34.3 0.657-33.7 0.663 Miskin - 10.7 0.893-10.6 0.894-10.3 0.897 Tidak Miskin 94.5 1.945 84.3 1.843 78.0 1.780 Median Miskin Kronis - 32.4 0.676-32.2 0.678-31.3 0.687 Miskin - 10.0 0.900-9.9 0.901-9.9 0.901 Tidak Miskin 65.4 1.654 56.9 1.569 52.1 1.521 Nasional Rataan Miskin Kronis - 42.2 0.578-39.6 0.604-38.3 0.617 Miskin - 13.2 0.868-12.6 0.874-12.2 0.878 Tidak Miskin 138.6 2.386 126.4 2.264 118.0 2.180 Median Miskin Kronis - 40.0 0.600-37.3 0.627-35.8 0.642 Miskin - 12.1 0.879-12.0 0.880-11.9 0.881 Tidak Miskin 85.8 1.858 76.6 1.766 70.4 1.704 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = garis kemiskinan 96

Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 76.6 persen. Lahan Basah sebesar 56,9 persen, artinya terdapat jarak yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin. Untuk kondisi garis kemiskinan ditingkatkan 20 persen, di lahan basah ternyata persentase perbedaan pengeluaran per kapita terhadap garis kemiskinan pada golongan miskin kronis (berdasarkan rataan) sebesar 33,7 persen. Sedangkan untuk golongan tidak miskin, untuk seluruh Indonesia, perbedaan golongan tidak miskin terhadap garis kemiskinan sebesar 70.4 persen. Lahan Basah 52,1 persen, artinya jarak pengeluaran per kapita yang lebih dekat antara yang tidak miskin dengan miskin. 5.3. Lahan Kering 5.3.1. Indikator Kemiskinan 5.3.1.1. Insiden Kemiskinan Insiden kemiskinan pada lahan kering berdasarkan hasil penghitungan FGT Index, diperoleh Headcount Index (P 0 ) sebesar 12.7 persen dari total rumahtangga yang tinggal di lahan kering (36 477 953 rumahtangga) atau sebanyak 4 632 700 rumahtangga miskin, sementara insiden kemiskinan nasional (P 0 ) sebesar 13.1 persen dari total rumahtangga nasional (53 200 353 rumahtangga) atau sebanyak 6 969 246 rumahtangga miskin. Jika dibandingkan dengan angka nasional, nilai P 0 lahan kering lebih kecil P 0 nasional, namun jika dibandingkan besarannya dengan angka nasional keluarga miskin yang sebesar (6 969 246 rumahtangga) maka proporsi insiden kemiskinan di lahan kering mencapai 66.46 persen dari total rumahtangga miskin nasional. Data ini menjelaskan bahwa agroekosistem lahan kering menjadi kantong kemiskinan. 97

Tingginya insiden kemiskinan di agroekosistem ini menggambarkan perlunya memfokuskan penanggulangan kemiskinan di lahan kering tersebut. Sumber pendapatan rumahtangga di lahan kering cukup beragam. Penduduk sangat tergantung kehidupannya dari aktivitas pertanian. Kegiatan yang diandalkan adalah usahatani lahan kering dan pekarangan. Pemilikan lahan relatif sempit dan orientasi usahatani adalah untuk pemenuhan kebutuhan pokok/subsisten. Kondisi lahan yang bergelombang hingga berbukit-bukit, dengan penguasaan teknologi dan luas lahan usahatani yang sangat terbatas merupakan kesulitan yang dihadapi penduduk. Kemiskinan pada agroekosistem ini sering terkait dengan tidak tersedianya sumber daya alam yang mendukung dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (PSE, 1995). 5.3.1.2. Kedalaman Kemiskinan Hasil analisis mengenai Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P 1 ) di agroekosistem lahan kering menunjukkan angka sebesar 1,9 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka P 1 Lahan kering sama dengan P 1 Nasional. Hal ini menyiratkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan nasional banyak ditentukan oleh kondisi di agroekosistem lahan kering ini. Indeks kedalaman kemiskinan mengindikasikan besarnya jarak ratarata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan, dimana semakin mendekati nol, kondisinya semakin baik. Dengan demikian maka jarak rata-rata pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan kering yang sebesar 1.9 persen sudah mendekati garis kemiskinan. Kedekatan jarak terhadap garis kemiskinan ini menggambarkan bahwa jika ada perlakuan yang tepat ke agroekosistem ini, maka lebih besar peluangnya bagi rumahtangga miskin pada lahan kering untuk dapat dientaskan. 98

5.3.1.3. Keparahan Kemiskinan Hasil analisis indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Gap Index (P 2 ) di agroekosistem lahan kering sebesar 0.5 persen. Jika dibandingkan dengan angka nasional maka nilai P 2 lahan kering sama dengan P 2 nasional. Ini berarti keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan kering gambarannya identik dengan kondisi kemiskinan nasional. Indeks keparahan kemiskinan menjelaskan ketimpangan pengeluaran antar rumahtangga miskin, dimana semakin kecil kesenjangannya (mendekati 0) menunjukkan kondisi yang semakin baik. Dengan demikian, maka indeks keparahan kemiskinan di agroekosistem lahan kering yang sebesar 0.5 persen menunjukkan ketimpangan yang relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran rumahtangga miskin di agroekosistem lahan kering relatif merata. 5.3.2. Kerentanan Kemiskinan 5.3.2.1. Elastisitas kemiskinan Untuk mengetahui kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan kering maka disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Jika bundel harga barang dan jasa naik karena misalnya faktor inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan lain-lain, maka nilai dari kebutuhan minimum naik, sementara penyesuaian pendapatan akibat dari kenaikan harga tersebut tidak segera mengikuti perubahan harga. Sebagai akibatnya, garis kemiskinan (dalam rupiah) juga akan naik. Diasumsikan bahwa akibat kenaikan bundel harga-harga barang dan jasa mendorong garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Dengan menggunakan skenario ini diketahui bahwa dampak kenaikan harga barang dan jasa terhadap proporsi penduduk miskin di lahan kering ternyata cukup besar sebagaimana dirinci padatabel 13. 99

Tabel 13. Indikator dan Elastisitas Kemiskinan Pada Lahan Kering Indikator GK GK*110 % GK*120 % Nilai Nilai Elastisitas Nilai Elastisitas Lk Nas Lk Nas Lk Nas Lk Nas Lk Nas P0 12,7 13.1 18.0 18.8 4.17 4.35 23,7 25.0 4.33 4.54 P1 2,3 2.3 3,5 3.6 5.22 5.65 4,9 5.1 5.65 6.09 P2 0,7 0.7 1,1 1.1 5.71 5.71 1,60 1.6 6.43 6.43 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK= Garis Kemiskinan (versi BPS); Lk= lahan kering; Nas= nasional P 0 = headcount index P 1 = poverty gap index(kedalaman atau kesenjangan pengeluaran terhadap GK) P 2 = Poverty Severity Gap Index/Distributionally Sensitive Index (keparahan kemiskinan) Dengan mencermati nilai-nilai P 0 dan simulasi perubahan-perubahan indeks harga kebutuhan minimum, maka persentase penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.0 persen pada GK*110 persen dan 23.7 persen penduduk miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen ceteris paribus. Dibanding nasional, dimana persentase penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan sekitar 18.8 persen pada GK*110 persen dan 25.0 persen penduduk miskin jika kenaikan harga mendorong kenaikan GK sebesar 20 persen, maka nilai P 0 di agroekosistem lahan kering masih lebih kecil. Ini berarti dampak peningkatan proporsi penduduk miskin pada dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering akan kurang berpengaruh dengan besaran yang lebih kecil dari angka nasional. Pola laju perubahan persentase penduduk miskin berubah cukup besar jika dampak kenaikan harga barang dan jasa mendorong kenaikan nilai rupiah kebutuhan minimum atau GK sebesar 20 persen. Secara grafis distribusi pengeluaran rumahtangga di Lahan Kering dapat dilihat pada Gambar 7. 100

Rumahtangga GK = Rp 89.600 GK 110 % = Rp 99.700 GK 1 20 % = Rp 110.300 Distribusi Frekuensi Kurva Normal Sumber : Susenas 2004, Podes 2003 dan Garis Kemiskinan 2004. Data Diolah Pengeluaran (Rp) Gambar 7. Distribusi Frekuensi Pengeluaran Rumahtangga di Lahan Kering Indeks kedalaman kemiskinan atau Poverty Gap Index (P 1 ) yang terjadi di lahan kering dengan index sebesar 3.5 pada GK*110 persen dan 4.9 pada GK* 120 persen lebih kecil dari pada Poverty Gap Index (P 1 ) di tingkat nasional. Hal ini berarti jika terjadi gejolak ekonomi yang menyebabkan terjadi perubahan garis kemiskinan sebesar 10 persen atau 20 persen, ternyata masyarakat yang tinggal di lahan kering merasakan akibat yang sedikit lebih kecil dari gejolak ekonomi ini dibandingkan dengan tingkat nasional. Tidak demikian halnya pada indeks keparahan (Poverty Severity Index), dimana gejolak ekonomi akan berdampak sama pada masyarakat yang tinggal di lahan kering dan nasional, dimana Poverty Severity Gap Index (P 2 ) sebesar 1.1 pada GK*110 persen dan 1.6 pada GK*120 persen. Hal ini berarti keparahan kemiskinan di lahan kering sama dengan keparahan di tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas perubahan insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 101

persen sebesar 4.17, dan GK*120 persen sebesar 4.33. Angka ini menjelaskan bahwa insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering adalah elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 4.35 pada GK*110 persen dan sebesar 4.54 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di agroekosistem lahan kering lebih kecil. Ini berarti dampak dari dua skenario tersebut terhadap insiden kemiskinan di agroekosistem lahan kering akan lebih kecil dari tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks kedalaman kemiskinan pada lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan pada GK*110 persen sebesar 5.22, dan pada GK*120 persen sebesar 5.65 yang berarti elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sebesar 5.65 pada GK*110 persen dan sebesar 6.09 pada GK*120 persen, maka nilai elastisitas di lahan kering masih lebih kecil. Ini berarti dampak pada dua skenario tersebut terhadap kedalaman kemiskinan pada lahan kering akan persen lebih kecil dibanding tingkat nasional. Hasil analisis nilai elastisitas indeks keparahan kemiskinan pada lahan kering sebagai akibat kenaikan garis kemiskinan GK*110 persen sebesar 5.71 dan GK*120 persen sebesar 6.43. Angka ini menjelaskan keparahan kemiskinan pada lahan kering masuk katagori elastis. Dibanding nasional, dimana besaran nilai elastisitasnya sama yaitu sebesar 5.71 pada GK*110 persen, dan sebesar 6.43 pada GK*120 persen maka dampak dari dua skenario tersebut terhadap keparahan kemiskinan pada lahan kering akan sama dengan tingkat nasional. Karena keduanya termasuk katagori elastis maka mempertahankan stabilitas harga barang dan jasa menjadi penting dilakukan karena akan menghasilkan dampak cukup besar terhadap peningkatan keparahan kemiskinan. 102

Kerentanan kemiskinan di agroekosistem lahan kering memberi arti bahwa rumahtangga ini walaupun dari kemampuan konsumsinya di atas garis kemiskinan tetapi berpotensi besar untuk jatuh ke golongan rumah tangga miskin. Rumahtangga yang rentan ini membutuhkan sistem keterjaminan sosial, sehingga pada saat ada shock, akan mampu untuk bertahan. Dengan demikian, penanganan yang bersifat preventif seperti jaringan pengaman sosial menjadi relevan bagi rumahtangga yang rentan ini. 5.3.2.2. Sifat Kemiskinan Untuk mengidentifikasi sifat kemiskinan, maka disusun regresi model pengeluaran konsumsi rumahtangga miskin dan rentan. Hasil regresi ini memperlihatkan bahwa dari 13.1 persen rumahtangga miskin menurut BPS (di bawah garis kemiskinan) terdiri dari 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 10.9 persen tidak kronis. Dengan demikian 10.9 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumah tangga ini bisa meningkat; sedangkan 2.2 persen rumahtangga yang miskin kronis relatif lebih sulit untuk dientaskan. Hasil regresi untuk lahan kering, menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Tabel 14. Hasil analisis kerentanan kemiskinan dengan menggunakan model regresi ini diketahui dari 12.7 persen rumahtangga miskin di lahan kering terdiri dari 2.3 persen rumahtangga yang miskin kronis dan sebesar 10.4 persen miskin tidak kronis. Sejumlah 10.4 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi rumahtangga ini bisa meningkat. Pembukaan kesempatan usaha, peningkatan keterampilan akan memberi peluang bagi rumahtangga miskin untuk keluar dari 103

kemiskinan. Dengan demikian, kebijakan seperti pengembangan dan pemberdayaan masyarakat menjadi relevan untuk dilakukan. Sedangkan 2.3 persen rumahtangga yang miskin kronis ini merupakan bentuk kemiskinan struktural yang kemungkinan untuk dientaskan dari kemiskinan sangat kecil, kecuali dengan intervensi yang tepat. Untuk jangka pendek terhadap golongan ini perlu disubsidi untuk pengeluaran makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar dua per tiga pengeluaran rumahtangga adalah untuk makanan. Untuk mengetahui sifat kemiskinan rumahtangga di sekitar garis kemiskinan, maka disimulasikan garis kemiskinan naik sebesar 10%. Akibatnya, jumlah penduduk miskin akan bertambah cukup besar. Setelah dilakukan pemilihan variabel, maka dilakukan kembali regresi konsumsi rumah tangga dengan variabel dummy yang dibuat dari variabel-variabel terpilih. Tabel 14. Sifat Kemiskinan Pada Lahan Kering Aspek Sifat GK GK*110 % GK*120 % Penelitian Lahan kering Nas Lahan kering Nas Lahan kering Nas % RT Miskin Miskin 10.4 10.9 13.4 14.1 15.4 16.3 (menurut Miskin kronis 2.3 2.2 4.6 4.8 8.3 8.7 sifat Total miskin 12.7 13.1 18.0 18.9 23.7 25 Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan: GK = Garis Kemiskinan Nas= Nasional Hasil regresi untuk nasional dengan garis kemiskinan ditingkatkan 10 persen menghasilkan model yang nyata secara statistik dengan model seperti pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis, dari sejumlah 18.9 persen rumahtangga miskin seluruh Indonesia terdapat 4.8 persen rumahtangga yang miskin kronis dan 14.1 persen miskin tidak kronis. Sebanyak 14.1 persen rumahtangga ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan beberapa variabel yang berpengaruh sehingga tingkat konsumsi 104