BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan dan Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... iii I. PENDAHULUAN... 1 II. KONSEP PENGELOLAAN... 1

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengelolaan Kawasan Pesisir Dan Kelautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

X. ANALISIS KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN

PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT.

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BUPATI BANGKA TENGAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN. Ko-Manajemen: Rezim Desentralisasi

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB V RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA DAN KELOMPOK SASARAN

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG

2 KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

REVITALISASI KEHUTANAN

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan dan Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Salah satu pendekatan pembangunan yang dilakukan untuk pengelolaan lingkungan hidup adalah pembangunan berkelanjutan. Istilah pembangunan berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata para ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumberdaya alam. Laporan ini diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan - PBB (UN World Commission on Environment and Development - WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland, dalam laporan tersebut didefinisikan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan adalah: Pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Lebih jauh, dikatakan bahwa pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Pembangunan berkelanjutan sebagai suatu paradigma pembangunan baru yang menyepakati suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu terhadap pembangunan, yang menggabungkan sekaligus tiga pilar pembangunan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup.

Siregar (2004) menjelaskan ada 3 aset dalam pembangunan berkelanjutan yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan infrastruktur. Sumberdaya alam adalah semua kekayaan alam yang dapat digunakan dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sumberdaya manusia adalah semua potensi yang terdapat pada manusia seperti akal pikiran, seni, dan keterampilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun orang lain atau masyarakat pada umumnya. Sedangkan infrastruktur adalah sesuatu buatan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana untuk kehidupan manusia dan sebagai sarana untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan semaksimalnya, baik untuk saat ini maupun keberlanjutannya di masa yang akan datang. Dalam pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting yaitu pertama gagasan kebutuhan yaitu kebutuhan esensial yang memberlanjutkan kehidupan manusia. Kedua gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan (Djajadiningrat, dan Famiola, 2004). Selanjutnya Djajadiningrat dan Famiola (2004) menyatakan bahwa setiap elemen pembangunan berkelanjutan diuraikan menjadi empat hal yaitu: pemerataan dan keadilan sosial, keanekaragaman, integratif dan perspektif jangka panjang. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas), disebutkan bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang ketiga, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan, maka

kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya: 1. Mengelola sumberdaya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya; 2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan; 3. Mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara bertahap; 4. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; 5. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; 6. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu; dan 7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global. Sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan berkelanjutan menurut Propenas adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu yang

ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antargenerasi, antardunia usaha dan masyarakat dan antarnegara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang optimal. Selanjutnya sistem pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan lingkungan pesisir juga harus memerlukan indikator kinerja (performance indicator). Indikator kinerja pembangunan berkelanjutan telah dilakukan di berbagai negara di dunia ini. Indonesia belum menjadikan indikator kinerja pembangunan berkelanjutan. Tetapi Propinsi Sumatera Utara telah mulai menginisiasi indikator kinerja pembangunan berkelanjutan (Bapedalda SU). PBB divisi pembangunan berkelanjutan (UN, 2001) telah menyusun indikator pembangunan berkelanjutan. Adapun indikatornya adalah seperti yang tercantum pada Tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan No. Kategori Indikator Parameter I. Indikator Sosial 1. Kemiskinan a. Jumlah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. b. Indeks gini ketidakadilan pendapatan. c. Tingkat pengangguran. 2. Kesehatan a. Status gizi anak-anak. b. Tingkat kematian anak-anak di bawah 5 tahun. c. Tingkat harapan hidup. d. Persentase penduduk yang memiliki saluran pembuangan limbah (MCK). e. Immunisasi. f. Tingkat pemakaian alat kontrasepsi. 3. Tingkat Pendidikan a. Tamat SD. b. Tamat SMP. c. Angka buta huruf. 4. Kondisi rumah tempat tinggal Luas rumah/jiwa. 5. Kriminalitas Jumlah kriminalitas per 100.000 penduduk. 6. Kependudukan a. Tingkat pertumbuhan penduduk. b. Pemukiman penduduk formal dan informal di perkotaan.

Lanjutan Tabel 2.1 No. Kategori Indikator Parameter II. Indikator Lingkungan 1. Perubahan Iklim Emisi gas rumah kaca. 2. Berlubangnya lapisan ozon Tingkat konsumsi zat yang merusak lapisan ozon. 3. Kualitas Air Konsentrasi pencemaran air ambien di perkotaan. 4. Pertanian a. Peruntukan lahan pertanian. b. Penggunaan pupuk. c. Penggunaan pestisida untuk pertanian. 5. Kehutanan a. Persentase lahan untuk hutan. b. Intensitas pengambilan kayu. 6. Penggurunan Lahan yang menjadi gurun. 7. Perkotaan Permukiman penduduk formal dan informal di perkotaan. 8. Pesisir a. Konsentrasi algae di laut. b. Persentase dari total penduduk menetap di pesisir. 9. Kuantitas Air Bersih Persentase air yang diambil dari ABT dan APU dari air yang tersedia setiap tahun. 10. Kualitas Air Bersih a. BOD di badan air. b. Konsentrasi Bakteri Coli pada air bersih. 11. Spesies Kelimpahan spesies terpilih. III. Indikator Ekonomi 1. Kinerja ekonomi GDP perkapita. 2. Perdagangan Keseimbangan perdagangan barang dan jasa. 3. Status keuangan GNP. 4. Konsumsi Material Intensitas penggunaan material. 5. Penggunaan Energi a. Konsumsi penggunaan energi per kapita/tahun. b. Intensitas penggunaan energi. c. Pembagian konsumsi sumberdaya energi yang dapat diperbaharui. 6. Manajemen Sampah a. Sampah industri dan sampah padat. b. Limbah B3. c. Sampah Radioaktif. d. Penggunaan kembali dan recycle sampah. IV. Indikator Kelembagaan 1. Implementasi Strategi Pembangunan Berkelanjutan Nasional. Pembangunan Berkelanjutan 2. Kerjasama Internasional Implementasi dari ratifikasi Perjanjian Global. 3. Akses Informasi Jumlah internet yang terdaftar per 1000 penduduk. 4. Komunikasi Jumlah nomor telepon per 1000 penduduk. 5. Infrastruktur 6. Sains dan teknologi Persentase biaya litbang dibandingkan dengan GDP. 7. Persiapan dan tanggung jawab terhadap bencana Kerugian manusia akibat bencana.

Sementara itu Dahuri (2003) telah menulis indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati laut, yang minimal harus meliputi 4 dimensi yaitu: (1) ekonomi, (2) sosial, (3) ekologi, (4) pengaturan (governance). Adapun indikator pembangunan berkelanjutan sumberdaya perikanan yang diungkap oleh Dahuri (2003) dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Dimensi Indikator Volume dan nilai produksi. Volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai total 1. Ekonomi ekspor nasional). Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB. Pendapatan nelayan. Nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik pengolahan. Penyerapan tenaga kerja. Budaya kerja. Tingkat pendidikan. 2. Sosial Tingkat kesehatan. Distribusi jender dalam proses pengambilan keputusan (gender distribution in decision making). Kependudukan (demography). Komposisi hasil tangkap. Hasil tangkap per satuan upaya (CPUE). Kelimpahan relatif spesies target. 3. Ekologi Dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non target. Dampak tidak langsung penangkapan terhadap struktur tropik. Dampak langsung alat tangkap terhadap habitat. Perubahan luas area dan kualitas habitat penting perikanan. Hak kepemilikan (property rights). 4. Governance Ketaatan terhadap peraturan perundangan (compliance regime). Transparansi dan partisipasi. Sumber: Dahuri (2003). Pengelolaan lingkungan pesisir mendapat angin segar sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat

populer disebut UU Otonomi Daerah. Selanjutnya UU Nomor 22 diganti menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyelenggarakan Otonomi Daerah berdasarkan Pemerintahan Negara Kesatuan RI menurut UUD 45. Penyelenggaraan Otonomi Daerah menekankan kepada prinsipprinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Untuk menghadapi perkembangan situasi, maka Pemerintah Pusat memandang perlu penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sesuai dengan prinsip tadi yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan RI. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengelolaan wilayah pesisir diatur mulai dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 18 (Aritonang, 2006). Adapun bunyi Pasal 17 sebagai berikut: Ayat 1: Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya alam lainnya antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya dan pelestarian; b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya, dan c. Penyelesaian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Ayat 2: Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya alam lainnya antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. Pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya alam lainnya yang menjadi kewenangan daerah; b. Kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam lainnya antar pemerintahan daerah, dan c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Ayat 3: Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada Pasal 18 disebutkan sebagai berikut: Ayat 1: Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Ayat 2: Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat 3: Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; b. Pengaturan administratif; c. Pengaturan tata ruang;

d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Ayat 4: Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dari 1 / 3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota. Ayat 5: Apabila wilayah laut antara 2 (dua) propinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) propinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1 / 3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi dimaksud. Ayat 6: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Ayat 7: Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pesisir selama ini masih dimasukkan dalam doktrin milik bersama (common property), sehingga sering menjadi ajang perebutan bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan dari sumberdaya pesisir. Sehingga dikenal dengan Tragedy of The Commons di mana kebebasan untuk menggunakan alam pada semua orang akan membawa kita pada malapetaka (Hardin, 1968). Salah satu sifat yang menonjol

dari sumberdaya yang bersifat common property adalah tidak terdefinisikannya hak pemilikan sehingga menimbulkan gejala yang disebut dissipated resource rent, yaitu hilangnya rente sumberdaya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan sumberdaya yang optimal (Fauzi, 2005). Ada empat akibat buruk dari penerapan doktrin milik bersama tersebut yakni: (1) Pemborosan sumberdaya alam secara fisik, (2) Inefisiensi secara ekonomi, (3) Kemiskinan nelayan, dan (4) Konflik antarpengguna sumberdaya alam. Christy menawarkan solusinya dengan penerapan penggunaan wilayah pada perikanan (territorial use rights in fisheries) (dalam Bromley dan Cernea, 1989). Pengalaman di Indonesia dalam kaitan dengan desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir adalah munculnya kondisi ekstrim yaitu pengkaplingan wilayah laut (Kamaluddin, 2000). Desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir juga mengutamakan potensi perikanan, dan membagi kekuasaan laut yang hanya bisa pulau-pulau besar, padahal potensi pesisir bukan saja di bidang perikanan, tetapi masalah parawisata bahari, transportasi/perhubungan laut dan potensi mineral. Misalnya Abubakar menyatakan dalam bukunya yang berjudul Menata Pulau-pulau Kecil di Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan dan Sebatik (2006) bahwa pulau-pulau kecil sering terabaikan karena pulau-pulau kecil terpisah dari induknya (mainland), sehingga bersifat insuler, memiliki persediaan air tawar yang terbatas, termasuk air tanah atau air permukaan, rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia, memiliki spesifik endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi dan tidak memiliki hinterland.

Akibat kondisi yang demikian itu, persoalan pesisir terjebak pada hal yang teknologis dengan menggunakan parameter ekonomis, sehingga alpa terhadap pentingnya kelestarian. Sebagai contoh adalah pukat harimau (trawl) yang nyata juga merusak masih saja ada yang menyatakan alat tangkap tersebut masih efektif dan mampu menangkap ikan lebih banyak. Sehingga persoalan pukat harimau masih prokontra antara realita (pengalaman nelayan tradisional) dan pandangan sebagian ilmuwan. Sekalipun kebijakan tentang pelarangan trawl lewat Keppres 39 Tahun 1980 telah diberlakukan namun hal tersebut tetap menjadi persoalan. Kepentingan ekonomis lewat eksplorasi lebih kentara daripada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (nelayan) serta pentingnya kelestarian serta cenderung mengabaikan hukum yang berlaku. Pengembangan teknologi tangkap ikan dengan berbagai modifikasi teknologi terus dilakukan, tetapi tetap saja bersifat merusak. Pada saat Pemerintah melarang alat jenis pukat harimau (trawl) muncul alat tangkap lampara dasar, pukat ikan yang sebenarnya cara kerja alat tangkap tersebut tidak ada bedanya seperti pukat harimau (trawl). Padahal banyak alat tangkap nelayan tradisional yang dapat dimodifikasi. Juga pada saat Pemerintah melarang operasi pukat harimau (trawl), Pemerintah mengeluarkan program pengembangan udang nasional, akibatnya terjadi penebangan hutan secara besar-besaran untuk usaha tambak udang. Pembukaan tambak udang tersebut turut memarginalisasi nelayan tradisional dengan semakin sempitnya daerah tangkapan nelayan tradisional, sebab anak sungai (paluh) yang dulunya tempat

nelayan tradisional memancing ikan ditutup untuk kepentingan irigasi tambak udang (JALA, 2007). Menurut Bromley dan Cernea (1989), ada empat tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir, yaitu: a. Open access property, b. Common properyty, c. Public property, dan d. Private property. Masing-masing karakteristik tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir ini turut menentukan bagaimana cara pengelolaan wilayah pesisir dilakukan. Di Sulawesi Utara terdapat keempat tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut, namun yang dominan adalah tipe milik Pemerintah, dan di beberapa tempat berkembang tipe milik quasi-pribadi. Di perairan Bunaken masyarakat nelayan masih menganggap sumberdaya ikannya sebagai open access property sehingga nelayan dari tempat lain dibiarkan menangkap ikan. Di Desa Tumbak dan Desa Biongko masyarakat menganggap sumberdaya ikan, mangrove dan terumbu karang yang ada di depan desa mereka adalah milik komunal dari desa tersebut (Mancoro, 1997). Akan tetapi UU Pokok Perairan No. 6 Tahun 1996 dengan tegas menyatakan sumberdaya alam yang ada di perairan adalah milik Pemerintah. Dalam skala tertentu pemerintah membiarkan kelompok masyarakat pesisir untuk mengelolanya. Sehingga timbul kerancuan (ambiguim) bahwa disatu sisi pesisir dianggap milik penduduk, tetapi disisi lain dianggap milik Pemerintah. Kerancuan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (ambiguity of property regimes) ini mendorong timbulnya konflik pemanfaatan (user conflict) dan konflik kewenangan (yurisdictional conflict). Konflik dapat muncul dari beberapa sebab,

namun yang dominan adalah kerancuan tipe pemilikan. Konflik yang berkaitan dengan penguasaan sumberdaya alam laut sering kali muncul misalnya seperti kasus di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara (Adhuri, 2005). Adhuri (2005) juga menyatakan ada dua tantangan dalam mempraktekkan manajemen sumberdaya laut secara berkelanjutan, yaitu pertama, kesadaran yang ditunjukkan oleh pelaku akan pentingnya manajemen yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak tampak pada stakeholder (termasuk aparat militer dan birokrasi daerah) di daerah. Kedua, terdapatnya kontestasi di antara semua kelompok yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya laut. Pada arena kontestasi ini tampaknya masing-masing kelompok cenderung saling mengklaim hak khusus mereka terhadap sumberdaya laut dan menafikan klaim dari pihak lain. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan dengan konsep ko-manajemen (Nikijuluw, 2002). Salah satu rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang dianggap pula sebagai rezim ko-manajemen adalah desentralisasi wewenang dan tanggung jawab dari Pusat kepada Pemerintah yang ada di bawahnya. Dalam pustaka mengenai administrasi publik, desentralisasi secara vertikal mempunyai empat bentuk, yaitu dekonsentrasi berarti penyerahan wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada lembaga atau instansi Pemerintah di daerah atau kepada unit instansi Pusat yang berlokasi di daerah. Kedua delegasi, yaitu penyerahan sebagian wewenang dan kekuasaan untuk mengambil keputusan dari Pemerintah Pusat kepada instansi atau staf pemerintah yang ada di daerah, namun setiap saat Pemerintah Pusat tetap memiliki hak dan kuasa untuk menerima atau menolak keputusan yang diambil

di daerah tersebut. Ketiga, devolusi yaitu penyerahan kekuasaan dan tanggung jawab hal spesial atau khusus dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Keempat swastanisasi yaitu penyerahan tanggung jawab tugas tertentu dari Pemerintah Pusat kepada organisasi non Pemerintah, LSM, organisasi voluntir swasta (private voluntary organization, atau PVO), organisasi atau asosiasi masyarakat dan perusahaan swasta. Senada dengan hal di atas, Person, G A, Diny M.E. van Est dan Tessa Minter yang menulis tentang desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Person dan kawan-kawan menyarankan bahwa dalam proses desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam sebaiknya mengarah pada bentuk pengelolaan bersama (co-management). 2.2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Management) Kebijakan DKP tahun 2003 yang dikutip oleh Alikodra (2005) bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, mencakup pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya pesisir. Pemanfaatan sumberdaya pesisir meliputi sumberdaya alam hayati dan nonhayati, jasa lingkungan pesisir, sumberdaya binaan/buatan, dan tanah timbul. Dalam hal penguasaan sumberdaya wilayah pesisir, harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, hak ulayat dan masyarakat adat, hak pengelolaan perairan, dan berdasarkan kebiasaan serta hukum adat setempat. Pembelajaran penting bagi Indonesia, dalam rangka pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan adalah:

1. Perlunya payung hukum tentang pengelolaan wilayah pesisir terpadu; 2. Membantu memfasilitasi pengambilan keputusan terpadu dan terintegrasi, melalui proses koordinasi dan kerjasama antarberbagai sektor, secara terus menerus dan dinamis; 3. Meningkatkan peran instansi terkait yang memiliki instrumen pengelolaan baik secara struktural, aturan, maupun prosedur/kebijakan bersifat insentif; dan 4. Membantu dan memfasilitasi setiap keputusan yang diambil, agar melalui evaluasi formal dan konsisten. Sejak tahun 2002/2003 atas bantuan ADB, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mengembangkan program MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Programme). MCRMP merupakan suatu program DKP, yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan daerah, dalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara bijaksana dalam suatu kerangka pengelolaan pesisir terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Program ini bertujuan membantu instansi terkait dalam fasilitasi dan sosialisasi, dan sekaligus mengimplementasikan program ICM, dalam sistem keterpaduan pengelolaan sumberdaya pesisir (Alikodra, 2005). Seperti telah disampaikan sebelumnya, bahwa program yang tertuang dalam MCRMP terfokus pada penguatan kapasitas daerah. Karena pada dasarnya lemahnya pengelolaan sumberdaya pesisir adalah sangat ditentukan oleh pengembangan kapasitas (capacity building) daerah, yang menjadi ujung tombak pengelolaan. Target akhirnya, jika kapasitas daerah sudah diperkuat, maka harus pula diikuti

dengan kemampuannya dalam implementasi konservasi sumberdaya pesisir, baik rehabilitasi maupun pemanfaatannya secara bijaksana. Dalam program MCRMP, dilakukan pendekatan peningkatan kapasitas daerah dengan cara mengembangkan hirarki perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, yang meliputi (Alikodra, 2005): 1. Renstra Pengelolaan Wilayah Pesisir: berperan dalam menentukan visi/wawasan dan misi pengelolaan; 2. Rencana Zonasi: berperan dalam pengalokasian ruang, memilah kegiatan yang sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis di ruang lain dan pengendalian ruang laut sesuai tata cara yang ditetapkan; 3. Rencana Pengelolaan: berperan untuk menuntun pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya di wilayah prioritas sesuai karakteristiknya; dan 4. Rencana Aksi: berperan menuntun penetapan dan pelaksanaan kegiatan sebagai upaya mewujudkan rencana pengelolaan, serta mencapai tujuan dan sasaran. Wilayah pesisir merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan maupun air tanah, dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir. Secara konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan dalam keterkaitan antara lingkungan darat, lingkungan laut, dan aktivitas manusia (Alikodra, 2005). Alikodra (2005) juga menyatakan melalui MCRMP, diharapkan akan dapat dicapainya optimalisasi, efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, dan terwujudnya

pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. MCRMP dipersiapkan dalam rangka memberikan bantuan teknis, pelatihan, data dan peralatan, serta fasilitasi, bagi Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Program ini sangat komprehensif, melibatkan berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu, dan berbagai konsultan maupun kontraktor, baik dalam maupun luar negeri. Gambaran yang lebih konseptual tentang pelaksanaan pengelolaan pesisir terpadu yang dikembangkan melalui MCRMP dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pelaksanaan Program MCRMP di Indonesia diharapkan dapat mendorong pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu, terintegrasi yang mengacu pada prinsip ICM. Melalui cara ini, diharapkan dapat membantu instansi terkait dalam fasilitasi dan sosialisasi program ICM. Sehingga akan tercapai keterpaduan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Tujuan Cakupan kegiatan Tatanan pelaksanaan Manfaat dll RENCANA AKSI RENCANA PENGELOLAAN Rencana kerja Pengaturan koordinasi Paket terpadu kegiatan Alokasi ruang Pemilihan dan penempatan kegiatan ALOKASI RUANG DAN SUMBERADAYA RENSTRA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR Isu pengelolaan Target kinerja Organisasi/ lembaga Rencana kerja Gambar 2.1. Hirarki Perencanaan dalam Konsep MCRMP (Alikodra, 2005) Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak memenuhi kaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Apabila perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya

tersebut akan rusak bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang keseimbangan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur. Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et al., 1996; Cicin-Sai and Knecht, 1998; Kay and Alder, 1999). Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur essensial dari ICM adalah keterpaduan dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: (1) pemahaman yang baik tentang proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir. Proses pengelolaan biasanya melingkupi kegiatan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan

kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini minimum memiliki empat tahapan utama: (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Knect, 1998). Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya dalam laporan kegiatan yang dilakukan oleh Bappeda Sumatera Utara (Bappedasu, 2007) disebutkan bahwa tujuan ICM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir mencakup empat aspek, yaitu: (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b) keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder. Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan and one manegement serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Lebih lanjut Bappedasu (2007) menyatakan bahwa keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu koordinasi tugas,

wewenang, dan tanggung jawab antarsektor atau instansi (horizontal integration); dan antartingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai Pemerintah Pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri (Alikodra, 2008). Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan berdampak negatif ke ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir, juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas maupun laut lepas. Kondisi empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari tiga tahap utama, yaitu perencanaan, implementasi dan monitoring/evaluasi. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antarstakeholders sehingga perlu perumusan bersama tentang visi seperti terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan

dan berkelanjutan (Alikodra, 2003). Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan difokuskan untuk menangani isu utama yang teridentifikasi dalam pengelolaan wilayah pesisir yaitu peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengembangan sistem informasi dalam pengolahan alam dan lingkungan berbasis ekosistem terpadu. Agar pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang bertanggung jawab dapat dicapai maka kualitas sumberdaya manusia baik sebagai pengelola langsung maupun sebagai penentu kebijakan sudah sangat penting untuk ditingkatkan melalui (1) peningkatan program pelatihan dan keterampilan secara rutin kepada masyarakat dan staf instansi dalam hal pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang berkelanjutan misalnya sistem dan teknologi penangkapan dan budidaya ikan; (2) peningkatan sarana dan prasarana pendidikan termasuk tenaga guru; (3) peningkatan sarana dan prasarana kesehatan; (4) peningkatan taraf hidup atau pendapatan masyarakat melalui penciptaan mata pencaharian alternatif. Menurut Bappedasu (2007) instrumen perencanaan dalam kaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir di Sumatera Utara, diawali dari penyusunan Rencana Strategis, diikuti dengan Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi. Rencana Strategis disiapkan untuk wilayah yang luas seperti tingkat Provinsi; tetapi dalam prakteknya juga disusun untuk tingkat Kabupaten/Kota dikarenakan mandat pengelolaan sumberdaya alam yang diberikan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Dalam program Marine Coastal Resource Management (MCRM), Rencana Zonasi (Pemintakatan), Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi diharuskan untuk tingkat

Kabupaten, namun boleh juga dilakukan pada daerah Provinsi agar supaya prakarsa pembangunannya dapat terfokus dan memiliki prioritas. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) (ICZM) adalah suatu proses pengelolaan yang melibatkan penyusunan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana aksi, terstruktur menurut hirarkinya. Rencana-rencana ini seharusnya disiapkan dengan partisipasi stakeholder yang paling terpengaruh oleh keputusan pengelolaan sumberdaya. Pendekatan terstruktur ini meningkatkan legalitas dan kerangka kerja kelembagaan untuk meyakinkan bahwa keputusan pengelolaan akan menghasilkan perbaikan keadaan lingkungan dan sosial ekonomi, serta memenuhi keinginan stakeholder (Bappedasu, 2007). Dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dokumen lainnya, seperti Rencana Strategis menentukan visi/ wawasan dan misi serta tujuan dan sasaran berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, serta penetapan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan. Rencana Zonasi berperan dalam pengalokasian ruang, memilah kegiatan yang sinergis dalam satu ruang dan kegiatan yang tidak sinergis di ruang lain dan pengendalian pemanfaatan ruang laut sesuai dengan tata cara yang ditetapkan. Rencana Pengelolaan menuntun pengelolaan sumberdaya alam sesuai dengan skala prioritas maupun dalam pemanfaatan sumberdaya sesuai karakteristik suatu wilayah. Rencana Aksi menuntun penetapan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek sebagai upaya dalam mewujudkan rencana pengelolaan (Bappedasu, 2007).

Hirarki pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM) biasanya digambarkan sebagai 4 (empat) dokumen perencanaan yang terpisah, namun hirarki seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.1 bertujuan untuk mengenali tahap penting sebelum dan tindak lanjut kegiatan perencanaan yang harus dilakukan. Piramid terbalik menggambarkan peningkatan fokus cakupan spasial untuk kerincian rencana. Hirarki ICZM menciptakan tahapan pendekatan untuk perencanaan tetapi batas yang logik untuk isi setiap dokumen perencanaan perlu untuk diidentifikasi secara jelas. Penjelasan batas akan menghindari tumpang tindih yang tidak perlu dalam pekerjaan pokok dan akan membentuk satu satuan yang menggambarkan keterpaduan fungsional pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM) untuk suatu lokasi. Berdasarkan pada maksud Kepmen No. 10 Tahun 2002, tujuan dan isi setiap dokumen diuraikan dalam bagian berikut ini: Atlas: Atlas ditambahkan pada bagian atas hirarki ICZM karena telah disiapkan pada sejumlah Propinsi MCRMP. Atlas adalah suatu kompilasi dan analisis data tahap awal pada perencanaan strategis, dan harus meliputi seluruh kawasan pesisir propinsi. Pada umumnya, kebanyakan Atlas menampilkan kompilasi data tabel dari sumber sekunder seperti laporan penelitian, dinas sektoral dan biro statistik. Kontribusi yang paling penting dari Atlas adalah analisis dan interpretasi kecendrungan dari data runtun waktu (time-seri) (Bappedasu, 2007). Rencana Strategis: Rencana strategis harus secara luas membicarakan seluruh wilayah pesisir dalam yurisdiksi satuan pemerintahan yang telah disiapkan oleh Propinsi Sumatera Utara. Sebagai rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu

(ICZM) bertingkat-tinggi, Rencana Strategis harus merupakan arah kebijakan lintas sektor untuk pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dan indikator yang tepat untuk memonitor rencana bertingkat-tinggi. Aksi spesifik seharusnya tidak termasuk dalam Rencana Strategis. Data runtun waktu (time-seri) dan analisa yang disediakan dalam Atlas dimaksudkan untuk membantu identifikasi isu kunci yang akan dibahas sebagai bagian dari Rencana Strategis. Namun, sumber dan metoda lain untuk mendapatkan informasi baik secara objektif maupun subjektif untuk mengindentifikasikan isu harus digunakan, seperti panel ahli dan kelompok kontak. Rencana Strategis harus disesuaikan dengan perundang-undangan nasional dan propinsi yang relevan, serta kebijakan dan program dinas sektoral (Bappedasu, 2007). Rencana Zonasi: Rencana Zonasi mendukung Rencana Strategis karena mengarahkan aksi ke depan pada lokasi geografi yang sesuai. Rencana Zonasi ini tidak seharusnya mengulangi pekerjaan sebelumnya dalam penyusunan Atlas atau Rencana Strategis. Aspek penting Rencana Strategis dapat diringkas pada lampiran dalam Rencana Zonasi, jika akan menambahkan kejelasan atau menyediakan pembenaran untuk skema zonasi. Bentuk nyata dari rencana zonasi dapat dilihat dari keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menggunakan pendekatan analisa top-down untuk pendefinisian unit perencanaan penggunaan lahan dan rancangan zonasi. Dalam lingkungan data yang cukup, suatu pendekatan yang sama dapat digunakan untuk menyusun draft awal zona ICZM. Namun, metoda alternatif yang kurang mengandalkan data (survei) dan

lebih berorientasi ke masyarakat, juga perlu digunakan jika Rencana Zonasi diinginkan lebih bermakna dan diterima oleh pengguna sumberdaya dan stakeholder kunci lainnya. Metoda alternatif ini mempercayakan secara kuat pada teknik pengembangan konsensus seperti RRA, grup ahli, pemetaan kesepakatan, negosiasi/ fasilitasi kelompok stakeholder, dan lain-lain. Oleh karena rancangan zonasi tidak ditetapkan berlaku untuk selamanya, keputusan awal dapat dirubah berdasarkan proses tertentu. Proses untuk perbaikan rencana perlu digambarkan dalam Rencana Pengelolaan (Bappedasu, 2007). Rencana Pengelolaan: Rencana Pengelolaan membentuk kerangka kebijakan, prosedur dan tanggung jawab yang diperlukan untuk mendukung pembuatan keputusan oleh administrator sektoral dalam pengelolaan penggunaan dan pengalokasian sumberdaya secara tepat. Lebih penting lagi, Rencana Pengelolaan harus mengidentifikasi eksekutif senior yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan rencana pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM), dan struktur dan komposisi badan atau panitia pengelolaan. Rencana Pengelolaan memungkinkan sasaran pengelolaan ditetapkan untuk masing-masing zona (atau sub-zona) dalam Rencana Zonasi melalui suatu sistem terkoordinir untuk mengeluarkan dan mengadministrasikan izin penggunaan sumberdaya oleh dinas sektoral (Bappedasu, 2007). Rencana Aksi: Rencana Aksi (RA) adalah suatu mekanisme pendanaan bagi pelaksanaan tugas yang ditetapkan dalam dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM). Misalnya, jika suatu sub-zona telah ditargetkan terutama

untuk pembangunan budidaya udang komersial dalam Rencana Zonasi, maka Rencana Pembangunan Zona secara rinci harus disiapkan. Dalam Rencana Aksi, biaya persiapan Rencana Pembangunan Zona dialokasikan dari sumber dana Departemen Kelautan dan Perikanan, oleh karena budidaya pesisir adalah bagian dari mandat Departemen Kelautan dan Perikanan. Kegiatan Rencana Aksi yang berkaitan dengan ICZM berada di bawah semua instansi sektoral Pemerintah dalam suatu jadwal dan anggaran untuk beberapa tahun (multi-year) yang terkoordinasi. Sebagian besar aksi akan berupa pendidikan/pembelajaran masyarakat (publik), pelatihan dan penyuluhan, survei dan penelitian, serta penyusunan rencana detil, peraturan perundangan, petunjuk pelaksanaan dan alat pengelolaan yang serupa lainnya, yang diperlukan untuk mengarahkan dan mengendalikan pembangunan ekonomi. Oleh karena Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap pendanaan program publik, Rencana Aksi tidak seharusnya meminta dinas sektoral untuk menganggarkan sumber keuangannya dalam investasi langsung (penyediaan kredit/modal) pada usaha komersial, untuk merealisasikan visi yang dijabarkan dalam dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir (Bappedasu, 2007). Rencana Pembangunan Zona: Rencana Pembangunan Zona akhirnya harus disiapkan untuk setiap zona atau sub-zona yang ditetapkan dalam Rencana Zonasi. Persiapan Rencana Pembangunan Zona melakukan perencanaan lebih detil untuk suatu area berdasarkan pada Pernyataan Maksud (arahan) Pengelolaannya yang terbentuk dalam Rencana Zonasi. Rencana Pembangunan Zona akan menangani beberapa isu seperti daya dukung lingkungan, spesies dan teknologi budidaya yang

dapat diterima, dan distribusi spasial instalasi (sarana). Informasi ini akan penting untuk penentuan jumlah dan persyaratan perizinan yang boleh dikeluarkan untuk suatu areal. Persiapan Rencana Pembangunan Zona untuk seluruh zona atau subzona yang dirancang sekarang ini tidak termasuk dalam ruang lingkup Program Marine Coastal Resources Management Project (MCRMP), tetapi bisa diprogramkan untuk beberapa areal prioritas, utamanya sebagai bagian dari Rencana Aksi (Bappedasu, 2007). Dalam Kepmen No. 10 Tahun 2002 Rencana Pengelolaan telah didefinisikan sebagai beberapa kegiatan normatif yang boleh atau tidak dilakukan dalam suatu zona, mulai dari sistematik pengumpulan data dan informasi untuk pengembangan strategi pada penciptaan kegiatan khusus untuk menghasilkan output yang diinginkan. Definisi ini, ketika digabungkan dengan tujuan dokumen rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZPM) mengindikasikan bahwa tujuan dan isi Rencana Pengelolaan memerlukan penjelasan/perbaikan lebih lanjut (Bappedasu, 2007). Fungsi pengelolaan terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. Dalam sektor publik, hal ini adalah tanggung jawab instansi Pemerintah. Seperti halnya arsitek yang merancang bangunan, ketika kontraktor berizin seperti tukang kayu, patri dan listrik memasangnya, implementasi fisik tidak termasuk dalam fungsi pengelolaan. Dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM), peranan arsitek dilaksanakan terutama oleh Bappeda yang harus merancang visi pembangunan untuk suatu wilayah (dalam hal ini, wilayah Pengelolaan Pesisir Marine Coasal Management Area (MCMA) berdasarkan pada

atribut alamnya dan dibatasi oleh hukum, ekonomi, sosial dan pembatas lainnya. Kontraktor sama dengan pengguna sumberdaya yang umumnya lebih memikirkan bagaimana spesifikasi rancangan akan mempengaruhi minat dan partisipasi mereka. Dalam analogi ini, peranan dari konsultan teknik, yang bertanggung jawab dalam pemilihan tukang secara individu dan pengawasan kegiatan mereka untuk meyakinkan memenuhi spesifikasi rancangan, diperankan oleh Dinas-Dinas Sektoral. Fungsi pengelolaan yang dilaksanakan oleh Bappeda dan Dinas-Dinas Sektoral adalah sarana untuk mewujudkan visi yang telah dirancang untuk suatu wilayah (Bappedasu, 2007). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM) diwujudkan untuk penggunaan, menikmati, pembangunan, perawatan, konservasi dan perlindungan sumberdaya alam. Tujuan utama dari Rencana Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (ICZM) adalah untuk membentuk kerangka kebijakan, prosedur dan tanggung jawab yang diperlukan untuk pembuatan keputusan secara terus menerus pada pengalokasian dan penggunaan berkelanjutan sumberdaya pesisir. Rencana Pengelolaan harus menuntun pencapaian visi yang telah dirancang sebagaimana digambarkan dalam Rencana Strategis, melalui suatu sistem terkordinasi dan transparan untuk peninjauan ulang (telaah) dan persetujuan atas penggunaan sumberdaya (perizinan) yang dikeluarkan dan diadministrasikan oleh dinas sektoral (Bappedasu, 2007). Tujuan dari pedoman ini adalah untuk menyediakan sumber informasi yang lengkap bagi pengelolaan dan pengawasan penggunaan sumberdaya. Rencana Pengelolaan harus mendukung penegakan hukum, peraturan dan proses administrasi

yang berlaku dengan merumuskan pedoman rinci untuk pejabat pemerintah dan seluruh stakeholder pengelola sumberdaya. HIRARKI RENCANA ICZM Atlas 1 Bappeda/Dinas Provinsi Rencana Strategis 2 Bappeda Provinsi & Kabupaten Rencana Zonasi 3 Provinsi 1: 250 Kabupaten 1: 50 K Rencana Pengelolaan 4 Kabupaten Bappeda Rencana Aksi 5 Kabupaten Bappeda Rencana 6 Dinas Pembangunan Zona Kabupaten Gambar 2.2. Hirarki Rencana-Rencana ICZM (Bappedasu, 2007) Tujuan khusus rencana pengelolaan adalah untuk: a. Membangun kerjasama dan kemitraan diantara Pemerintah, pengusaha dan masyarakat; b. Menyediakan dasar yang disepakati bersama untuk peninjauan proposal (usulan) pembangunan secara sistimatik; c. Mengidentifikasi proses untuk mengawasi, mengevaluasi dan memperbaiki rencana ICZM; d. Mengkordinasikan dengan inisiatif perencanaan lain.

Rencana pengelolaan harus menyakinkan bahwa: a. Penentuan kebijakan dan prosedur untuk pelaksanaan arahan pemanfaatan wilayah dan rekomendasi persetujuan penggunaan sumberdaya dan izin pembangunan; b. Catatan publik yang resmi cukup terawat dan dapat diakses misalnya terbentuknya buku registrasi publik meliputi keseluruhan arahan pemanfaatan wilayah dan izin penggunaannya; c. Pelaksanaan mekanisme pelaporan pengelolaan; d. Pelatihan dan dukungan terhadap instansi Pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan dan prosedur tersedia; e. Hasil konsultasi publik dipertimbangkan dalam penentuan atau perbaikan arahan pemanfaatan wilayah dan pengeluaran izinnya (Bappedasu, 2007). 2.3. Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir pantai sebagian besar adalah nelayan. Nelayan adalah sebuah fenomena sosial yang sampai saat ini masih merupakan tema yang sangat menarik untuk didiskusikan. Nelayan dikonsepsikan sebagai orang yang melakukan penangkapan atau budidaya di laut dan ditempat yang masih dipengaruhi pasang surut (Tarigan, 2000). Jadi bila ada yang menangkap ikan di tempat budidaya ikan seperti tambak, kolam ikan dan di danau, sungai tidak termasuk nelayan. Selanjutnya menurut Tarigan (2000), berdasarkan pendapatannya, nelayan dapat dibagi menjadi:

a. Nelayan tetap atau nelayan penuh, yakni nelayan yang pendapatannya seluruhnya berasal dari perikanan. b. Nelayan sambilan utama, yakni nelayan yang sebagian besar pendapatannya berasal dari perikanan. c. Nelayan sambilan tambahan, yakni nelayan yang sebagian kecil pendapatannya berasal dari perikanan. d. Nelayan musiman, yakni orang yang dalam musim tertentu saja aktif sebagai nelayan. Kemudian berdasarkan perahu/kapal penangkap yang digunakan, nelayan dibagi atas: a. Nelayan berperahu tak bermotor, terdiri dari: nelayan jukung dan nelayan perahu papan (kecil, sedang dan besar). b. Nelayan berperahu motor tempel. c. Nelayan berkapal motor menurut GT (gross ton) terdiri dari < 5 GT, 5 10 GT, 10 20 GT, 20 30 GT, 30 50 GT, 50 100 GT. 100 200 GT, 200 500 GT, > 500 GT. Sedangkan menurut status, nelayan dapat dibagi: a. Nelayan Pemilik, yaitu pemilik perahu tak bermotor, pemilik kapal motor (toke). b. Nelayan Juragan, yaitu pengemudi pada perahu bermotor atau sebagai kapten kapal motor. c. Nelayan Buruh, adalah pekerja menangkap ikan pada perahu motor atau pada kapal motor.

Isu yang selalu mucul ketika membicarakan masyarakat pesisir adalah masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi maupun politik, terutama nelayan yang digolongkan sebagai nelayan musiman, nelayan yang hanya memiliki perahu tanpa motor atau nelayan buruh. Pada umumnya, 80% masyarakat pesisir masih dalam kondisi miskin dengan tingkat pendidikannya yang rendah. Kemiskinan yang selalu menjadi trade mark bagi masyarakat pesisir dalam beberapa hal dapat dibenarkan dengan beberapa fakta seperti kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, rentannya mereka terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang melanda, dan ketidakberdayaan mereka terhadap intervensi pemodal, dan penguasa yang datang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor struktural yang menyebabkan terjadinya kemiskinan nelayan. Mubyarto et al (1984), Mubyarto dan Sutrisno (1988), Resusun (1985), Rizal (1985) dan Zulkifli (1989) menyatakan bahwa faktor struktural ini juga sering kali menjadi alasan untuk timbulnya konflik pada masyarakat pesisir yaitu konflik nelayan tradisional terhadap pemilik alat tangkap modren seperti pukat harimau. Konflik itu terjadi karena pukat harimau melakukan penangkapan ikan di zona penangkapan nelayan tradisional. Misalnya, salah satu penyebab konflik adalah adanya penabrakan nelayan oleh pukat harimau. Menurut catatan Suhendra (1998) ada sampai 37 kejadian nelayan ditabrak pukat harimau dengan korban meninggal 5 orang, hilang 31 orang, sejak tahun 1993 sampai Juli 1998. Keadaan dan kondisi di atas seringkali memicu terjadinya pengerusakan sumberdaya alam di sekitarnya.

Secara umum, ada dua pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis kemiskinan nelayan yaitu pendekatan struktural dan kultural. Beberapa tulisan mengenai masyarakat pesisir dengan pendekatan struktural yang menggambarkan tentang kemiskinan/kondisi ekonominya. Hasil penelitian Mubyarto et al (1984) menunjukkan bahwa masyarakat pesisir di daerah Jepara sebagian berasal dari golongan sedang, miskin, dan miskin sekali. Selanjutnya dinyatakan bahwa kemiskinan masyarakat pesisir pantai lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur, di mana masyarakat pesisir terbagi atas kelompok kaya dan kaya sekali di satu pihak, miskin dan miskin sekali di lain pihak. Penelitian ini menunjukkan adanya dominasi/eksploitasi dari masyarakat pesisir kaya terhadap nelayan miskin. Hampir sama atas dasar penelitian di atas Mubyarto dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan masyarakat pesisir di Kepulauan Riau. Hampir sama dengan asumsi yang dibangun oleh Mubyarto tentang pengaruh struktur, Resusun (1985) juga menemukan data bahwa masyarakat pesisir pantai di Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, ada satu kelompok masyarakat yang hidupnya tidak berkecukupan, yaitu yang tidak punya modal (nelayan kecil), dan mereka selalu diekspoitasi oleh nelayan yang punya modal (punggawa) dan pedagang (pa bilolo) yaitu sawi bagang atau pa bagang atau pembantu utama punggawa dalam menangani kegiatan operasi penangkapan ikan. Penelitian yang dilakukan oleh Resusun (1985) di atas juga menunjukkan adanya struktur hubungan sosial yang khas pada masyarakat pesisir. Hubungan itu adalah adanya ketidakseimbangan antara yang mempunyai modal usaha dan para