NOMOR 3 TAHUN 1950 TENTANG PERMOHONAN GRASI

dokumen-dokumen yang mirip
Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1947 TENTANG MENGADAKAN PERATURAN PERMOHONAN GRASI YANG SESUAI DENGAN KEADAAN SEKARANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1947 TENTANG PERMOHONAN GRASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1947 TENTANG MAHKAMAH TENTARA DAERAH TERPENCIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Pelayanan Perkara Pidana

ww.hukumonline.com PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN UPAYA HUKUM KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NO. URAIAN KEGIATAN WAKTU PENYELESAIAN KETERANGAN

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA SERIKAT NOMOR 2 TAHUN 1950 TENTANG

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1963 TENTANG PEMBENTUKAN MAHKAMAH MILITER LUAR BIASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR BERACARA DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN

PENGADILAN NEGERI ARGA MAKMUR Jln. Jend. Sudirman No. 226 (0737) , Home Page:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 jam perkara sesuai dengan nomor urut perkara 4. Membuat formulir penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang

PENGGUGAT/ KUASANYA. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim, dan Panitera menunjuk Panitera Pengganti. Kepaniteraan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2016, No tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150); 2. U

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Presiden Republik Indonesia Serikat,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1950 TENTANG PINJAMAN DARURAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N. Nomor : 16/PID.SUS.Anak/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

GUBERNUR MILITER IBU KOTA. PENCABUTAN KEMBALI. PENETAPAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1948 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN BADAN-BADAN KEHAKIMAN DAN KEJAKSAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UU 1/1950, SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N. Nomor : 764/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG (UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 17 TAHUN 1951) SEBAGAI UNDANG-UNDANG

Presiden Republik Indonesia Serikat,

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 19. (19/1948) Peraturan tentang susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN

2018, No Pengadilan Tinggi diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana pemilu; c. bahwa dengan berlakunya ke

Transkripsi:

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1950 TENTANG PERMOHONAN GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, Menimbang: bahwa perlu diadakan Undang-undang baru tentang permohonan grasi, yang akan berlaku untuk seluruh daerah Republik Indonesia Serikat; Mengingat: Pasal-pasal 127, 160 dan 192 Konstitusi Sementara, "Gratieregeling" (Staatsblad 1933 No. 2), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 67 Tahun 1948 tentang permohonan grasi, dan Verordening Militair Gezag tanggal 12-XII-1941 No. 108/D.v.O. Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT; MEMUTUSKAN: A. Mencabut semua peraturan tentang permohonan grasi tersebut di atas; B. Menetapkan peraturan sebagai berikut : "UNDANG-UNDANG TENTANG PERMOHONAN GRASI". Pasal 1. Atas hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman, baik militer maupun sipil, yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden. Pasal 2. 1. Jika hukuman mati dijatuhkan oleh pengadilan, maka penglaksanaan hukuman itu tidak boleh dijalankan selama 30 hari terhitung mulai hari berikut hari keputusan tidak dapat diubah lagi, dengan pengertian, bahwa dalam hal keputusan dalam pemeriksaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan tenggang 30 hari itu dihitung mulai hari berikut hari keputusan diberitahukan kepada orang yang dihukum. 2. Jika orang yang dihukum dalam tenggang tersebut dalam ayat (1) tidak memajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) segera memberitahukan hal itu kepada Hakim atau Ketua pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut pada Pasal 8 ayat (1), (3) dan (4). Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini. 1

3. Hukuman mati tidak dapat dijalankan sebelum keputusan Presiden sampai pada Kepala Kejaksaan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 ayat (3) atau pegawai yang diwajibkan menjalankan keputusan kehakiman. Pasal 3. 1. Hukuman tutupan, penjara dan kurungan, termasuk juga hukuman kurungan pengganti, tidak boleh dijalankan, apabila orang yang dihukum mohon supaya hukuman itu tidak dijalankan karena permohonan grasi, atau kehendaknya akan memajukan permohonan grasi. 2. Ketentuan dalam ayat (1) mengenai hukuman kurungan pengganti tidak berlaku bagi orang yang dihukum yang menurut pendapat Jaksa atau pegawai yang diwajibkan menjalankan keputusan kehakiman yang bersangkutan, meskipun dapat membayar, tidak suka membayar hukuman denda yang dijatuhkan kepadanya. 3. Jika hukuman tersebut pada ayat (1) dijalankan, karena orang yang dihukum, ketika keputusan kehakiman yang tidak dapat diubah lagi, diberitahukan kepadanya oleh Kepala Kejaksaan atau pegawai yang diwajibkan menjalankan keputusan kehakiman, tidak menyatakan kehendaknya supaya penglaksanaan hukuman itu ditunda karena permohonan grasi atau kehendaknya akan memajukan permohonan grasi, maka penglaksanaan hukuman itu tidak dapat dihentikan atas permohonan yang kemudian dimajukan oleh orang yang dihukum atau pihak lain, berdasarkan permohonan grasi atau kehendaknya akan memajukan permohonan grasi. 4. Hal yang ditentukan dalam ayat yang lalu harus diberitahukan kepada orang yang dihukum : a. oleh Hakim atau Ketua Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama, dalam persidangan pengadilan, setelah keputusan kehakiman diumumkan, atau b. oleh Panitera pengadilan yang memutus pada tingkat pertama, dalam penjara ketika keputusan itu diberitahukan kepadanya, jika orang yang dihukum ada dalam tahanan dan karena suatu hal tidak dapat dibawa ke dalam persidangan di mana keputusan itu diumumkan, atau c. oleh Kepala Kejaksaan atau pegawai yang diwajibkan menjalankan keputusan kehakiman, ketika ia memberitahukan. keputusan dalam pemeriksaan tingkat pertama yang dilangsungkan di luar hadirnya orang yang dihukum atau keputusan dalam pemeriksaan ulangan oleh pengadilan ulangan kepadanya. Pasal 4. 1. Permohonan grasi atas hukuman denda tidak dapat menunda penglaksanaan hukuman itu; dalam hal orang yang dihukum tidak dapat membayar denda berlaku Pasal 3 ayat (1) dan (2). 2. Pemberian grasi atas hukuman denda harus menyatakan perintah pembebasan dari sebagian atau seluruhnya dari denda yang telah ditetapkan. Pasal 5. 1. kecuali apa yang ditetapkan dalam Pasal 2, maka permohonan grasi termaktud Pasal 3 ayat (1) hanya dapat dimajukan dalam tenggang 14 hari terhitung mulai hari berikut hari keputusan menjadi tetap. 2. Dalam hal keputusan dalam pemeriksaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, maka tenggang 14 hari itu dihitung mulai hari berikut hari keputusan diberitahukan kepada orang yang dihukum. 3. Hal yang ditentukan dalam ayat (1) harus diberitahukan kepada orang yang dihukum oleh pegawai-pegawai dan pada waktu yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4). 2

Pasal 6. 1. Permohonan grasi harus dimajukan kepada Panitera pengadilan yang memutus pada tingkat pertama, atau jika pemohon bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan yang berkepentingan atau jika Panitera pengadilan tidak ada di tempatnya, maka pemohon dapat memajukan permohonannya kepada pembesar daerahnya. 2. Permohonan grasi yang langsung dimajukan kepada Presiden atau pembesar yang lain, dikirim kepada Hakim atau Ketua pengadilan yang bersangkutan. 3. Pemasukan surat permohonan ampun, yang dimaksud dalam ayat (2) tersebut di atas, dianggap sebagai yang dimajukan kepada Panitera pengadilan tersebut dalam ayat (1). 4. Kecuali terhadap hukuman mati, maka permohonan grasi yang dimajukan oleh pihak lain dari pada orang yang dihukum hanya dapat diterima, jikalau ternyata bahwa orang yang dihukum itu setuju dengan permohonan tersebut. Pasal 7. 1. Barang siapa yang memajukan permohonan grasi dengan persetujuan orang yang dihukum, berhak mendapat salinan atau petikan dari keputusan Hakim atau pengadilan yang bersangkutan atas biayanya. 2. Atas permintaannya haruslah diberikan kesempatan kepadanya untuk melihat surat-surat pemberitaan. Pasal 8. 1. Setelah menerima surat permohonan grasi maka Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) segera meneruskan surat itu beserta surat pemberitaan dan (salinan) surat keputusan yang bersangkutan dan apabila diadakan pemeriksaan ulangan, juga salinan surat keputusan pengadilan ulangan, kepada Hakim atau Ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama. 2. Atas permintaan Hakim atau Ketua pengadilan yang menerima permohonan grasi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), maka Panitera pengadilan tersebut mengirimkan surat pemberitaan dan (salinan) surat keputusan yang bersangkutan kepada Hakim atau Ketua pengadilan tersebut. 3. Hakim atau Ketua pengadilan itu segera meneruskan surat-surat tersebut dalam ayat (1) beserta pertimbangannya kepada Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama. 4. Jaksa yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam ayat (3) segera meneruskan surat-surat tersebut dalam ayat (3) beserta pertimbangannya kepada Mahkamah Agung Indonesia. 5. Dalam hal perkara sumir pada Pengadilan Kepolisian (di Republik Indonesia), Hakim dengan segera meneruskan surat-surat tersebut dalam ayat (1) beserta pertimbangannya kepada Mahkamah Agung Indonesia. 6. Mahkamah Agung Indonesia segera meneruskan surat-surat tersebut dalam ayat (4) dan (5) beserta pertimbangannya kepada Menteri Kehakiman. Mahkamah Agung Indonesia meminta pertimbangan kepada Jaksa Agung: a. apabila keputusan pengadilan itu mengenai hukuman mati; b. apabila Mahkamah Agung Indonesia membutuhkan pendapat Jaksa Agung tentang kebijaksanaan penuntutan umum; c. apabila Jaksa Agung sebelumnya mengemukakan keinginannya kepada Mahkamah Agung Indonesia untuk diminta pertimbangannya. 7. Menteri Kehakiman dengan segera meneruskan surat-surat tersebut dalam ayat (4) dan (5) beserta pertimbangannya kepada Presiden. 3

8. Menteri Kehakiman dapat meminta pertimbangan Menteri yang lain tentang permohonan grasi, sebelum meneruskan surat surat tersebut dalam ayat (6) dengan pertimbangannya kepada Presiden. Pasal 9. Permohonan grasi mengenai orang yang dihukum yang berada dalam tahanan atau yang sedang menjalani hukumannya harus diselesaikan lebih dahulu. Pasal 10. Dalam hal permohonan grasi dimajukan atas hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan tentara, maka perkataan Ketua pengadilan, Mahkamah Agung Indonesia, Jaksa, Kepala Kejaksaan dan Jaksa Agung dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 8 harus dibaca : Ketua pengadilan tentara, Mahkamah Tentara Agung, Jaksa Tentara, Kepala Kejaksaan Tentara dan Jaksa Tentara Agung. Pasal 11. Segala keputusan Presiden atas permohonan grasi dengan segera diberitahukan oleh Menteri Kehakiman kepada pegawai yang diwajibkan menjalankan kehakiman dan kepada yang berkepentingan. Pasal 12. Ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Pasal-pasal 8, 9, 10 dan 11 berlaku juga, jika oleh karena jabatan dimajukan usul untuk memberikan grasi. Pasal 13. Hal-hal tentang cara mengurus permohonan grasi yang tidak diatur dalam Undang-undang ini, diatur oleh Menteri Kehakiman. Pasal 14. Undang-undang ini dapat disebut "UNDANG-UNDANG GRASI". Pasal 15. Undang-undang ini mulai berlaku pada hari pengumumannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat. Disahkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1950. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT Ttd. SOEKARNO. MENTERI KEHAKIMAN ttd SOEPOMO. 4

Diumumkan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 1950. MENTERI KEHAKIMAN ttd SOEPOMO. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1950 NOMOR 40 5