BAB I PENDAHULUAN. Epidemi masalah tembakau akibat rokok merupakan salah satu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih

BAB I PENDAHULUAN. kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Kemenkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. sampai saat ini telah dikenal lebih dari 25 penyakit berbahaya disebabkan oleh rokok.

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang dapat merugikan. kesehatan baik si perokok itu sendiri maupun orang lain di sekelilingnya.

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN

hari berdampak negatif bagi lingkungan adalah merokok (Palutturi, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. dari TCSC (Tobacco Control Support Center) IAKMI (Ikatan Ahli. penyakit tidak menular antara lain kebiasaan merokok.

BAB I PENDAHULUAN. Health Organization (WHO) pada tahun 2011 jumlah perokok laki-laki di

BAB I BAB 1 : PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Asap rokok mengandung 4000 bahan kimia dan berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Rokok sudah menjadi suatu barang konsumsi yang sudah familiar kita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meskipun terdapat larangan untuk merokok di tempat umum, namun perokok

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak menular salah satunya adalah kebiasaan mengkonsumsi tembakau yaitu. dan adanya kecenderungan meningkat penggunaanya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Rokok sudah dikenal manusia sejak tahun sebelum Masehi. Sejak

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latarbelakang. merokok merupakan faktor risiko dari berbagai macam penyakit, antara lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadi dalam lingkungan kesehatan dunia, termasuk di Indonesia. Tobacco

BAB 1 PENDAHULUAN. 600 ribu kematian dikarenakaan terpapar asap yang ditimbulkan. Hampir 80%

Dukungan Masyarakat Terhadap Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

INDIKATOR KESEHATAN SDGs DI INDONESIA Dra. Hj. Ermalena MHS Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Disampaikan dalam Diskusi Panel Pengendalian Tembakau dan

BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA SISWA SLTP DI KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. 70% penduduk Indonesia (Salawati dan Amalia, 2010). Dari analisis data Susenas tahun 2001 diperoleh data umur mulai merokok kurang

BAB I PENDAHULUAN. baik orang dewasa, remaja, bahkan anak anak. Peningkatan konsumsi rokok

Bab 1 PENDAHULUAN. Rokok adalah salah satu permasalahan kesehatan terbesar yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. Merokok tidak hanya berdampak pada orang yang merokok (perokok aktif)

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan salah suatu kebiasaan penduduk Indonesia. Kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya atau sintesis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi rokok meningkat secara pesat dari tahun ke tahun, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan analisis data dari Centers of Disease Control and

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

tinggi tingkat kesehatan, maka kesegaran jasmani akan semakin baik pula. Berdasarkan Undang- Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 yang memuat

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan kematian baik bagi perokok dan orang yang ada

BAB I. PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. WHO memperkirakan tiap

BAB I PENDAHULUAN. pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring,

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

Kawasan Tanpa Rokok sebagai Alternatif Pengendalian Dampak Rokok bagi Masyarakat

BAB 1: PENDAHULUAN. ketergantungan) dan tar yang bersifat karsinogenik. (1)

BAB I PENDAHULUAN. Rokok merupakan benda kecil yang paling banyak digemari dan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN. Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak. sudah tercantum dalam bungkus rokok. Merokok juga yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan tembakau bertanggungjawab terhadap sebagian besar kematian di seluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. tambahan (Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, 2009). Masalah utama. yang menjadi semakin tinggi tiap tahunnya.

BAB I PENDAHULUAN. dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia yang sebenarnya bisa dicegah. Sepanjang abad ke-20, telah terdapat 100

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2030

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesehatan. Kandungan rokok adalah zat-zat kimiawi beracun seperti mikrobiologikal

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya adalah perubahan yang terus-menerus yang merupakan kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. degeneratif seperti kanker, memperlambat pertumbuhan anak, kanker rahim dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Perilaku merokok merupakan suatu hal yang fenomenal. Hal ini ditandai dengan

-1- PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN

KAWASAN (TANPA) ROKOK BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN REKOMENDASI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

dalam terbitan Kementerian Kesehatan RI 2010).

BAB I PENDAHULUAN. koroner, stroke, kanker, penyakit paru kronik dan diabetes militus yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang laki-laki, sehingga proporsi kematian terkait dengan akibat dari rokok

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009

BAB 1 : PENDAHULUAN. kehidupan anak sekolah mulai dari SMA, SMP dan bahkan sebagian anak SD sudah

BAB I PENDAHULUAN. dibicarakan tentang cara penanganan yang tepat. Bagi beberapa pria dan wanita di

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gangguan kesehatan. Beberapa masyarakat sudah mengetahui mengenai bahaya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab gangguan kesehatan dan kematian sebelum waktunya, yang bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dalam kehidupan manusia.remaja mulai memusatkan diri pada

Pengantar. Jakarta, Januari Tim Penyusun

BAB I PENDAHULUAN. rokok. Masalah rokok tidak hanya merugikan si perokok (perokok aktif)

BAB 1 : PENDAHULUAN. negara yang perlu dididik untuk menjadi manusia yang berkualitas. Remaja nantinya diharapkan

1. Pendahuluan FAKTOR KONTROL PERILAKU MEROKOK PADA ANAK SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 5 juta orang mati

A. Latar Belakang Epidemik tembakau secara luas telah menjadi salah satu ancaman kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat dunia yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang di akibatkan karena merokok berakhir dengan kematian. World

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Merokok merupakan salah satu gaya hidup yang. tidak asing lagi yang berkembang di kehidupan masa kini.

dr.h.suir SYAM, M.Kes, MMR

BAB 1 PENDAHULUAN. mempersiapkan generasi muda secara fisik dan psikis dengan baik. Secara fisik

I. PENDAHULUAN. diantaranya penyakit pada sistem kardiovaskular, penyakit pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di negara-negara besar di dunia walaupun hal tersebut sudah

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi tembakau tertinggi di dunia setelah RRC, Amerika Serikat, Rusia

BAB I PENDAHULUAN. merokok baik laki-laki, perempuan, anak kecil, anak muda, orang tua, status

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. adalah hasil dari non-perokok yang terpapar asap rokok. Hampir 80% dari lebih 1

BAB 1 : PENDAHULUAN. Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan silent disease yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Upaya Pengendalian Tembakau di Indonesia. Oleh Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Rokok merupakan salah satu pembunuh paling berbahaya di dunia. Laporan

BAB 1 PENDAHULUAN. larangan merokok. Lebih dari 40 negara telah menempelkan label peringatan

K A B U P A T E N G R E S I K Data Agregat per Kecamatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. membuktikan secara tuntas bahwa konsumsi rokok dan paparan terhadap asap rokok berbahaya

ROKOK : KEMUBAZIRAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI KALANGAN SANTRI. Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok. Rokok mengandung

BAB 1 : PENDAHULUAN. tempat seperti di lingkungan keluarga, kantor, fasilitas kesehatan, cafe, kendaraan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi masalah tembakau akibat rokok merupakan salah satu ancaman terbesar kesehatan masyarakat dunia yang saat ini dihadapi. Rokok menjadi fenomena yang menarik karena selain kontribusinya sebagai salah satu masalah kesehatan dengan tingkat kematian yang cukup tinggi, hampir enam juta orang per tahun, dengan komposisi lebih dari lima juta dari kematian adalah hasil dari penggunaan rokok langsung, sedangkan lebih dari 600.000 kematian sisanya adalah hasil dari non perokok yang terpapar perokok pasif (tidak langsung). Sekitar satu orang meninggal setiap enam detik akibat rokok, terhitung untuk satu dari 10 kematian orang dewasa. Telah diperkirakan bahwa ada lebih dari 1,3 miliar perokok di seluruh dunia, dengan jumlah hingga setengah dari penggunanya saat ini pada akhirnya akan mati dari penyakit yang berhubungan dengan rokok (WHO, 2013). Sekitar 82% dari lebih dari 1,3 miliar (1,066 miliar) perokok di seluruh dunia tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dimana beban penyakit yang berhubungan dengan tembakau dan kematian merupakan masalah terberat. Rokok menyebabkan 100 juta kematian pada abad ke-20 ini, jika kecenderungan ini terus berlanjut, dapat menyebabkan satu miliar kematian pada abad ke-21 (ASH, 2009). 1

2 Diperkirakan, kematian terkait tembakau akan meningkat menjadi lebih dari delapan juta per tahun pada 2030. Lebih dari 80 % dari kematian akan berada di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2013). Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbesar nomor ketiga di dunia, setelah China dan India. Data penggunaan tembakau menunjukkan semakin meningkat di Indonesia. Menurut GATS (Global Adult of Tobacco Survey) Indonesia (2011) terdapat sekitar 61 juta perokok dewasa di Indonesia. 34.7% (61 juta) dari orang Indonesia dengan komposisi 65.9% pria merokok dan tingkat wanita yang merokok (4.2%). Oleh karena itu fenomena merokok Indonesia sudah dalam kondisi terminal bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama di negara ASEAN yang memiliki tingkat prevalensi merokok di kalangan laki-laki (di atas 65%) (Tan YL dan Dorotheo, 2013). Sumber: SEATCA Tobacco Control Atlas, 2013 Gambar 1.1 Presentase Total Perokok Dewasa di Negara ASEAN

3 Tingkat usia awal merokok di Indonesia semakin muda dan tidak ada penurunan dari tahun ke tahun. Studi Martini dan Sulistyowati (2005) menunjukkan 70% remaja merokok pada usia 17 tahun kebawah. Sedangkan 78% perokok mulai merokok sebelum usia 19 tahun, dan sepertiga pelajar melaporkan mencoba rokok pertama mereka sebelum usia 10 tahun (Aditama dkk., 2008). Data GYTS (Global Youth Tobacco Survey) di Indonesia (2009) menunjukkan 20% remaja merokok (usia 13 15 tahun), diantara remaja putra sebanyak 41% merokok dan diantara remaja putri 3,5% merokok. Hal ini menunjukkan tidak adanya penurunan signifikan untuk angka perokok anak dari 6-18 tahun pada tahun 2007-2010. Oleh karena itu, upaya penanganan terhadap masalah ini, terutama perokok anak menjadi penting untuk segera dilakukan mengingat kecenderungan yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Sumber: Data Riskesdas 2007, 2010 Gambar 1.2 Proporsi usia pertama merokok pada laki-laki

4 Berdasarkan gambar 1.2 tampak bahwa usia pertama merokok pada laki-laki di tahun 2007 tertinggi pada usia 25 keatas. Namun, ada pergerakan di tahun 2010, perokok tertinggi di usia yang lebih muda yakni 16-18 tahun. Hal menarik yang perlu dicermati adalah peningkatan signifikan pada kelompok pertama merokok termuda yakni usia 6-12 tahun pada tahun 2010 menjadi sangat melonjak sebanyak 10,3% yang sebelumnya hanya 4,6% pada tahun 2007. Hal ini menjadi topik tersendiri jika usia mulai merokok terjadi lebih awal dikaitkan dengan alasan inisiasi merokok dini. Dengan kondisi ini, paparan asap rokok oleh perokok aktif akan semakin sering ditemukan dalam berbagai aspek usia. Padahal seharusnya semua orang memiliki hak untuk kesehatan yang baik (UN CESCR, 2000). Semua orang memiliki hak untuk bekerja dalam lingkungan yang tak memperparah kesehatannya. Khususnya anak-anak, memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sehat, salah satunya dari paparan asap rokok yang dikenal sebagai secondhandsmoke (UK National Health Service, 2007). Oleh karena itu adanya gagasan free smoke environment telah disepakati oleh beberapa negara yang telah meratifikasi FCTC (Framework Convention for Tobacco Control) (SEATCA, 2013). Namun pemerintah Indonesia masih belum terkait didalamnya. Perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan rokok bagi kesehatan yang lebih konkrit di Indonesia, diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Kebijakan Indonesia mengenai KTR memang telah dinyatakan dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 dan tercantum pada PP No. 109 tahun 2012 pasal 49 mengenai kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, yang

5 wajib mewujudkan KTR serta pasal 50 yang berisi KTR diberlakukan pada fasilitas yankes, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum atau tempat lain yang ditentukan. Selain itu, peraturan daerah kabupaten/kota juga telah ada misalnya Perda KTR Kota Surabaya No. 5 tahun 2008. Oleh karena itu hal ini menjadi urgensi dasar dalam implementasi KTR diseluruh wilayah pemerintah. KTR salah satu regulasi efektif setidaknya untuk melindungi setiap individu di dalamnya terpapar dari rokok. Perlu upaya lebih agar penerapan KTR bisa berjalan lebih efektif. Kebijakan KTR di Indonesia berkembang cukup pesat selama lima tahun terakhir yang ditandai dengan inisiatif daerah untuk menerbitkan Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok hanya berarti ketika produk hukum tersebut diikuti dengan pelaksanaan dan penegakan hukum yang konsekuen (TCSC, 2011). Seperti halnya beberapa penelitian yang salah satunya dilakukan oleh Fichtenberg dan Glantz (2002) dan Martínez-Sánchez dkk., (2010) mengenai smoke-free workplaces on smoking behavior, area tanpa rokok ini tidak hanya melindungi non-perokok dari bahaya perokok pasif, hal ini juga mendorong perokok untuk berhenti atau mengurangi konsumsi rokok. Selain itu, penelitian pendukung lainnya menyebutkan bahwa memang kebijakan area tanpa asap rokok terbukti membantu mengurangi konsumsi rokok dan berhenti merokok (Bauer dkk., 2004). Bahkan penelitian terakhir di Skotlandia, studi setelah pelaksanaan undang-undang kawasan tanpa rokok di

6 Skotlandia, menyatakan ada perubahan signifikan mengenai paparan anak terhadap asap rokok (Akhtar dkk., 2007). Adanya data Riskesdas yang menarik perhatian mengenai inisiasi dini merokok menunjukkan bahwa hal ini merupakan dampak yang ditimbulkan bagi kemajuan teknologi informasi saat ini memungkinkan masyarakat dapat mengakses berbagai informasi atau publikasi dengan mudah dan murah. Industri rokok gencar memasarkan produknya melalui iklan. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian seperti yang dilakukan Ariani (2011) mengenai adanya hubungan antara iklan rokok dengan sikap dan perilaku merokok pada remaja. Serta penelitian mengenai iklan rokok baik berupa video atau visual, audio, maupun grafis, menunjukkan berpengaruh terhadap perilaku merokok remaja (Ginting, 2011). Meskipun pemerintah Indonesia telah memiliki beberapa peraturan seperti PP.RI nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan yang mengacu pada UU. Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, namun dalam pelaksanaannya, masih terdapat banyak poin yang belum dilakukan. Jumlah perokok anak semakin tahun semakin meningkat. Bahkan selama ini diperkirakan jumlah perokok anak meningkat enam kali lipat. Berdasarkan provinsi, perokok anak paling banyak terdapat di Jawa Timur. Hasil survey di Indonesia, dalam rentang 12 tahun terjadi peningkatan jumlah anak usia 10-15 tahun perokok hingga 6 kali lipat. Pada 1995 terdapat 71.126 anak perokok, dan pada 2007 menjadi 426.214 anak perokok (Riskesdas 2010). Salah satu determinan merokok anak dan remaja, diakibatkan karena

7 sebanyak 70% mengatakan bahwa guru mereka merokok di sekolah bahkan ketika sedang mengajar (Martini & Sulistyowati, 2005). Oleh karena itu promosi dan pendidikan kesehatan di sekolah penting untuk diupayakan keberadaannya di tatanan pendidikan. Pemerintah dan sistem pendidikan di dunia pada umumnya memiliki kurikulum anti tembakau berbasis sekolah. Di banyak negara, terutama yang memiliki keterbatasan sumber daya dan dana untuk pendidikan kesehatan, industri tembakau telah memanfaatkan peluang dengan menjual citra tanggung jawab sosialnya melalui program pencegahan merokok bagi remaja (Youth Smoking Prevention Program). Program ini tidak efektif, bahkan mendorong remaja untuk mencoba-coba merokok karena memposisikan merokok sebagai kebebasan dan kedewasaan yang sebaiknya tidak dilakukan oleh anak-anak (smoking as an adult choice ) (Mackay, 2009). Di Indonesia, belum ada kurikulum pendidikan khusus tentang masalah berhubungan dengan tembakau. Informasi bahaya merokok dimasukkan sebagai salah satu topik dalam mata ajaran Biologi dan Pendidikan Jasmani. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2006 melaporkan 7 dari 10 siswa SMP di Indonesia mendapat pelajaran bahaya merokok. Program pencegahan dan pelarangan merokok pada anak dan remaja tidak efektif. Maka penyelenggaraan promosi kesehatan dilakukan dengan mengombinasikan berbagai strategi yang tidak hanya melibatkan sektor kesehatan belaka, melainkan lewat kerjasama dan koordinasi segenap unsur dalam masyarakat. Hal ini didasari pemikiran bahwa promosi kesehatan adalah suatu filosofi umum yang menitikberatkan pada gagasan

8 bahwa kesehatan yang baik merupakan usaha individu sekaligus kolektif (Taylor, 2003). Program pendidikan di sekolah akan efektif bila diintegrasikan ke dalam kampanye yang menyeluruh, yang sekaligus memberikan lingkungan yang mendukung seperti implementasi KTR di lingkungan sekolah seperti yang sudah diketahui bahwa sebagai upaya untuk melindungi warga negara Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 yang di dalamnya mengatur tentang KTR pada pasal 115. Terlihatnya gap yang merupakan masalah yakni kesenjangan antara harapan mengenai KTR yang berjalan sukses dengan realita yang ada bahwa hanya segelintir kelompok yang mau untuk mengimplementasikan KTR menjadi hal utama yang menjadi sorotan. Jika dikaji ulang, banyak cara untuk menyelesaikannya, salah satunya dengan melakukan penelitian ini. Sejalan dengan hal tersebut, Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia memiliki komitmen terhadap perlindungan dan kesehatan masyarakat. Langkah ini perlu didukung karena Muhammadiyah adalah satu-satunya persyarikatan (organisasi islam) yang berkomitmen dengan penerapan KTR, seperti yang diketahui bahwa fatwa terhadap rokok oleh Muhammadiyah sudah dinyatakan haram. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengeluarkan Fatwa Nomor 6/SM/MTT/III/2010 tanggal 22 Rabiul Awal 1431 H / 08 Maret 2010 tentang hukum merokok

9 yang menyatakan bahwa merokok dapat merugikan kesehatan dan hukumnya haram. Landasan hukum tersebut ditindak-lanjuti dalam Pernyataan Kesepakatan Bersama oleh empat Majelis dilingkungan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yaitu Majelis Pelayanan Kesehatan Umum (MPKU) No. 031/PER/1.6/H/2010 Majelis Pendidikan Dasar Menengah (DIKDASMEN) No. 117/PER/1.4/F/2010 Majelis Perguruan Tinggi (DIKTI) No. 299/KEP/1.3/D/2010 dan Majelis Pelayanan Sosial (MPS) No. 28/PER/1.7/H/2010 yang mengharuskan implementasi Kawasan Tanpa Rokok di dalam lingkungan Muhammadiyah. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, Muhammadiyah memandang perlu membangun kesepahaman di berbagai jajaran untuk melakukan perlindungan masyarakat terhadap paparan asap rokok secara konkrit melalui implementasi dan pengembangan KTR. Muhammadiyah menyatakan bahwa merokok dapat merugikan kesehatan dan hukumnya haram merupakan usaha dari Muhammadiyah dalam memajukan dan meningkatkan masyarakat khususnya dalam bidang kesehatan. Fatwa haram tersebut berlanjut dengan adanya kesepakatan empat majelis Muhammadiyah yang tidak memperkenankan bagi tenaga kesehatan, pasien, tenaga pendidik, peserta didik, pengunjung dan pengelola untuk merokok di lingkungan Muhammadiyah (Muhammadiyah, 2010). Implementasi KTR oleh Muhammadiyah di Majelis Pendidikan sampai saat ini memang masih perlu ditindaklanjuti karena masih adanya sekolah maupun perguruan tinggi yang belum menerapkan KTR di amal

10 usahanya, utamanya daerah pinggiran (rural). Hal yang perlu disoroti adalah perlunya intervensi advokasi yaitu pendekatan kepada para pimpinan atau pengambil kebijakan agar dapat memberikan dukungan masksimal, kemudahan perlindungan pada upaya kesehatan (Depkes, 2001) mengenai implementasi kebijakan Muhammadiyah untuk implementasi KTR. Advokasi terbukti efektif sebagai prevensi perilaku merokok saat ini, seperti yang dilakukan para peneliti sebelumnya mengenai intervensi advokasi. Penelitian Unger (2014) yang dilakukan dengan obyek remaja California menunjukkan bahwa aksi advokasi melalui kebijakan anti rokok memainkan peran mereka dalam mengambil keputusan untuk merokok. Selain itu, penelitian adolescents attitudes and self perceptions about anti tobacco advocacy yang dilakukan Carver dkk. (2014) menunjukkan respon target yang diteliti sangat positif tentang komitmen mereka sendiri untuk menghindari tembakau dan kesediaan untuk berbicara dengan orang lain secara pribadi mengenai hal yang berkaitan dengan rokok. Hal lain yang ditunjukkan oleh Ramirez dkk. (2006) bahwa advokasi kebijakan berupa pengontrolan tembakau mempengaruhi self efficacy remaja dalam hal ekspektasi kebijakan pengendalian tembakau dan tingkah laku pencegahan merokok. Selain untuk pencegahan perilaku merokok, advokasi juga bisa digunakan sebagai hal mendasar pendukung implementasi kebijakan (Marzotto, 2000). Hal ini sesuai dengan kondisi lingkungan Muhammadiyah yang masih belum menerapkan kebijakan KTR di AUM (Amal Usaha

11 Muhammadiyah) masing-masing padahal kebijakan KTR sudah diedarkan melalui Surat Edaran PP Muhammadiyah No. 412/I.0/H/2011 tahun 2011. Advokasi menurut Sebatier (1988) bisa digunakan dalam penentuan perubahan suatu kebijakan, dalam hal ini implementasi suatu kebijakan. Advokasi adalah suatu kegiatan untuk memperoleh komitmen politik, dukungan kebijakan, penerimaan sosial, dan dukungan sistem dari para pembuat keputusan atau pejabat pembuat kebijakan (WHO, 1989). Oleh karena itu, tujuan utama advokasi adalah memberikan dorongan dan dukungan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan program-program kesehatan. Dalam piagam Ottawa Charter, advokasi merupakan salah satu strategi promosi kesehatan, selain mediate and enable yang bisa digunakan untuk mewujudkan salah satu aksi utama dalam membangun kebijakan berwawasan kesehatan (build healthy public policy) (WHO, 2014). Advokasi berperan penting karena merupakan usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif, dalam konteks ini agar sebuah kebijakan nantinya dapat berjalan secara efektif, yakni Kebijakan KTR. Advokasi kebijakan diperlukan untuk setiap upaya dalam kebijakan publik dengan memberikan informasi, memberikan pengaruh, berbicara kepada pihak pembuat keputusan serta menunjukkan beberapa keuntungan untuk perubahan kebijakan dan kegiatan. Yaitu melakukan kegiatan untuk

12 mendorong adanya perubahan kebijakan yang diinginkan, dengan advokasi implementasi kebijakan KTR di Majelis Dikdasmen Muhammadiyah. 1.2 Kajian Masalah Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Kabupaten Gresik memiliki empat cluster pembagian yang jauh berbeda karakteristiknya. Cluster 1 berada pada daerah urban yang memang pusat dari kota terdiri dari Kecamatan Gresik, Kebomas, GKB dan Manyar. Selanjutnya cluster 2 berada pada daerah kecamatan yang tergolong masyarakat pesisir terdiri dari Kecamatan Bungah, Dukun, Sidayu, Ujungpangkah dan Panceng. Sedangkan cluster 3 yakni Kecamatan Cerme, Benjeng, Balongpanggang, Duduksampeyan, dan Wringinanom, berada pada daerah pinggiran namun berbatasan langsung Tedengan dua kabupaten yang keadaan sosial sistemnya relatif lebih homogen, sedangkan cluster 4 terletak di pulau yang berbeda serta lebih bersifat terisolir, yakni Pulau Bawean. Dalam implementasi KTR nantinya tentu dijumpai perbedaan yang menghambat pelaksanaan. Penelitian Lestari (2013) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap tentang KTR pada mahasiswa, yang notabene merupakan pelajar tingkat paling atas. Jadi, dari segi penerimaan pun ternyata status pendidikan kurang menjamin keberlangsungan KTR. Keempat cluster masih belum 100% menerapkan kebijakan KTR, hal ini karena perlunya beberapa hal yang harus dikaji ulang mengenai faktor yang mempengaruhi implementasi KTR. Implementasi tidak mencapai apa yang diharapkan, kesalahan sering kali bukan pada kebijakan itu, namun kepada faktor politik atau manajemen

13 implementasi yang tidak mendukung (Juma & Clark, 1995). Sebagai contoh, kegagalan dari implementasi kebijakan bisa disebabkan oleh karena tidak adanya dukungan politik, manajemen yang tidak sesuai atau sedikitnya sumber daya pendukung yang tersedia (Sutton, 1999). Faktor yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan, dalam hal ini kebijakan KTR yang perlu dicermati kembali adalah seperti faktor komunikasi yang mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran, agar kelompok tidak terjadi resistensi mengenai kebijakan tersebut. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Faktor disposisi juga menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, termasuk kebijakan KTR (Edwards, 1980). Menurut Glachant (2001), preconditions for effective implementation (prekondisi implementasi efektif) yang meliputi kejelasan tujuan suatu kebijakan (clear policy objectives), ketercukupan sumberdaya (sufficient resources), koordinasi antar para pemangku kepentingan yang terlibat (coordination of the agencies involved), kontrol dari pemegang kekuasaan (control of authority), serta komitmen dari organisasi implementor (commitment of implementation official) adalah faktor lain yang merupakan dimensi penting dalam tercapainya keberhasilan Kebijakan KTR. Oleh karena itu perlu adanya upaya advokasi untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui berbagai macam bentuk komunikasi persuasif kepada

14 decision maker (pimpinan sekolah) masing-masing Majelis Pendidikan Muhammadiyah melalui beberapa langkah komprehensif. Advokasi dilakukan untuk memperoleh komitmen politis, dukungan kebijakan, penerimaan sosial dan sistem yang mendukung tujuan implementasi KTR agar berjalan efektif.. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Kabupaten Gresik yang terdiri dari Sekolah Dasar (SD), SMP (Sekolah Menengah Pertama), serta SMA atau setingkatnya masih belum menerapkan KTR dikarenakan masih kurangnya effort dari segi sekolah untuk mengimplementasikan kebijakan ini. Hal ini tidak sejalan dengan Surat Edaran PP Muhammadiyah No.412/1.0/H/2011, yang berarti belum amanah dalam menjalankan mandat persyarikatan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di tiga cluster Majelis Dikdasmen Gresik karena memenuhi kriteria dan belum adanya penelitian yang serupa untuk mengujicobakan intervensi advokasi terhadap implementasi KTR pada Majelis Dikdasmen Muhammadiyah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasar penjelasan diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana Intervensi Advokasi Terhadap Implementasi Kebijakan KTR di Majelis Dikdasmen Muhammadiyah. 1.3 Tujuan Penelitian 1.4.2 Tujuan Umum Melakukan intervensi advokasi sebagai upaya implementasi kebijakan KTR di Majelis Dikdasmen Muhammadiyah.

15 1.4.3 Tujuan Khusus 1. Menganalisis prekondisi implementasi efektif sebelum dan sesudah dilakukan advokasi di Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Gresik 2. Menyusun strategi advokasi terhadap Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Gresik 3. Melakukan mobilisasi berupa pembangunan koalisi dengan pemangku kepentingan di Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Gresik 4. Melakukan aksi advokasi Implementasi Kebijakan KTR di Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Gresik 5. Melakukan evaluasi proses dan dampak dari hasil intervensi advokasi implementasi Kebijakan KTR di Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Gresik 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.2 Bagi Peneliti 1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang khusus untuk mengembangkan strategi advokasi yang efektif untuk implementasi kebijakan berwawasan kesehatan (healthy public policy) 2. Meningkatkan kepekaan peneliti terhadap masalah kesehatan masyarakat khususnya mengenai isu perilaku merokok serta perlindungan yang seharusnya dijalankan

16 3. Melatih peneliti untuk tanggap terhadap fenomena masalah kesehatan masyarakat serta langkah untuk mengatasinya 4. Melatih kemampuan komunikasi dan sosialisasi kepada masyarakat maupun institusi sebagai path of experience di lapangan. 1.5.3 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat 1. Sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi terhadap upaya mengatasi dan memberikan perlindungan akibat merokok yang prevalensinya semakin meningkat 2. Memperoleh informasi mengenai strategi advokasi efektif di tatanan pendidikan Islami untuk implementasi kebijakan berwawasan kesehatan. 1.5.4 Bagi Sasaran 1. Mendapatkan enforcement mengenai pentingnya implementasi KTR di tatanan pendidikan dasar dan menengah 2. Mendapatkan enforcement perlunya membentuk regulasi berupa adanya implementasi KTR di masing-masing amal usaha 3. Menumbuhkan kemauan dan keberanian untuk menghimbau atau menegur perokok di dalam area KTR merujuk pada PP Muhammadiyah No.412/1.0/H/2011 mengenai diterapkannya KTR di seluruh amal usaha Muhammadiyah

17 1.5.5 Bagi Institusi Terkait 1. Memperoleh masukan mengenai pentingnya preconditions for effective implementation untuk keberhasilan implementasi KTR di Majelis Pendidikan (amal usaha) Muhammadiyah. 2. Memperoleh masukan mengenai pentingnya surat keputusan (SK) sebagai salah satu pendorong kuatnya kebijakan KTR yang efektif di Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah.