TINJAUAN YURIDIS KASUS KONTAMINASI SUSU FORMULA DALAM PERSPEKTIF PEMBINAAN DAN PENDIDIKAN KONSUMEN. Oleh : Theresia L. Pesulima

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT)

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

Regulasi Pangan di Indonesia

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP MIRAS TIDAK BERLABEL DI LIHAT DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SECARA MEDIASI TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN

BAB I PENDAHULUAN. Air tawar bersih yang layak minum kian langka di perkotaan. Sungai-sungai

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terusmenerus. terpadu, terarah, dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan suatu

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI ONLINE

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG TIDAK MENGETAHUI TELAH MEMBELI BAJU BEKAS

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

HAK-HAK KONSUMEN DALAM PEREDARAN PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN YANG MENGALAMI KERUGIAN AKIBAT PRODUK MAKANAN KADALUARSA

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN BARANG ELEKTRONIK REKONDISI

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN BERKAITAN DENGAN USAHA JASA RESTORAN DI DESA PADANG BAI KARANGASEM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Oleh L.P Hadena Hoshita Adiwati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah. Mayoritas konsumen Indonesia sendiri adalah konsumen makanan, jadi

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PRODUK MAKANAN YANG DIPASARKAN PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ONLINE DI BALI

BAB I PENDAHULUAN. minuman memberikan asupan gizi yang berguna untuk kelangsungan hidup. bidang produksi pengolahan bahan makanan dan minuman bagi

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

PENGATURAN UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA

Role of Industry in Consumer Education and Wellness Program. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang melindungi kepentingan konsumen 1. Adapun hukum konsumen diartikan

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA TERKAIT CACAT TERSEMBUNYI PADA PRODUK MINUMAN BOTOL

BAB I PENDAHULUAN. baru dari rokok yang disebut rokok elektrik atau nama lainnya adalah vapor yang

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KEGIATAN TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Kompas 18 Maret 2004, Perlindungan terhadap konsumen di Indonesia ternyata masih

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut maka setiap manusia mengkonsumsi atau menggunakan

KEBIJAKAN NASIONAL PENGATURAN IRTP DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEAMANAN PANGAN

Hukum Perlindungan Konsumen yang Berfungsi sebagai Penyeimbang Kedudukan Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Melindungi Kepentingan Bersama

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN KADALUWARSA. Menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

HUBUNGAN HUKUM ANTARA PELAKU USAHA DENGAN KONSUMEN. Oleh: Dewa Gede Ari Yudha Brahmanta Anak Agung Sri Utari

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELABELAN. informasi verbal tentang produk atau penjualnya. 17

BAB II BEBERAPA ASPEK HUKUM TERKAIT DENGAN UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 1. Pengertian Dasar Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

TANGGUNG JAWAB PIHAK RETAILTERHADAP PRODUK YANG TELAH KADALUWARSA YANG MENIMBULKAN KERUGIAN PADA KONSUMEN DI KELURAHAN SANUR KOTA DENPASAR

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

PENERAPAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA JASA PENGIRIMAN DOKUMEN DI PT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Pesatnya pembangunan Indonesia di bidang ekonomi telah memicu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM

Strategi Perlindungan Konsumen Teekomunikaasi

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS MAKANAN BERFORMALIN

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP DAFTAR MENU MAKANAN YANG TIDAK MENCANTUMKAN HARGA

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP

Partisipasi Masyarakat dalam Perlindungan Pasien. Saktya Rini Hastuti Lembaga Konsumen Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud makanan adalah segala sesuatu. pembuatan makanan atau minuman. 1

BAB I PENDAHULUAN. keadilan, untuk mencapai tujuan tersebut Indonesia dihadapkan pada

Majelis Perlindungan Hukum (MPH) Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) BAB I KETENTUAN UMUM

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP MAKANAN KEMASAN TANPA TANGGAL KADALUARSA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DARI PELAKU USAHA YANG TUTUP TERKAIT DENGAN PEMBERIAN LAYANAN PURNA JUAL/GARANSI

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI KONTEN LABEL PRODUK ROKOK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. 109 TAHUN 2012

PERJANJIAN BAKU DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa PT.

BAB I PENDAHULUAN. dan/atau jasa, baik itu transaksi barang dan/atau jasa yang berasal dari dalam. menuntut keduanya untuk saling memberikan prestasi.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA TERKAIT BAHAYA KONSUMSI ROKOK ELEKTRIK

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PENJUALAN KOSMETIK YANG TIDAK DISERTAI DENGAN KEJELASAN LABEL PRODUK DI DENPASAR

FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4, yaitu melindungi. perdamaian abadi dan keadilan sosial. 2

KEBERADAAN RAHASIA DAGANG BERKAITAN DENGAN PERLIDUNGAN KONSUMEN

SANKSI TERHADAP PELAKU USAHA TERKAIT DENGAN PELANGGARAN PERIKLANAN SESUAI DENGAN UNDANG- UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENJUALAN OBAT-OBATAN MELALUI INTERNET

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA MELALUI MEDIASI DI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. modern di satu pihak membawa dampak positif, di antaranya tersedianya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONSEP Etika PRODUKSI DAN Lingkungan HIDUP ANDRI HELMI M, SE., MM.

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEMBELIAN BARANG ELEKTRONIK YANG TIDAK MENDAPATKAN KARTU JAMINAN ATAU GARANSI

BAB III KERANGKA TEORITIS. orang yang memiliki hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Manusia mempunyai kebutuhan yang beragam seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akan tempat yang dapat dipergunakan sebagai tempat berteduh,

JURNAL ILMIAH PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN BAHAN MAKANAN DAN MINUMAN KADALUWARSA DI KABUPATEN MANGGARAI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB II PENGERTIAN PELAKU USAHA, KONSUMEN, DAN PENGOPLOSAN. Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau

BAB II. A. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen. kemungkinan penerapan product liability dalam doktrin perbuatan melawan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai akibat dari berkembangnya

Transkripsi:

80 TINJAUAN YURIDIS KASUS KONTAMINASI SUSU FORMULA DALAM PERSPEKTIF PEMBINAAN DAN PENDIDIKAN KONSUMEN Oleh : Theresia L. Pesulima ABSTRACT This study aims to determine the consumer protection system containing legal certainty and transparency of information and access to information. This study is normative, a study that examines the legal provisions of positive law and legal principles. The data used are secondary data, data obtained through library research and research tools for obtaining secondary data obtained through the study of documents. The results show that the picture is not clear that information obtained by the public in the case of infant formula reflects that the system of consumer protection provisions contained in the Consumer Protection Act can t be realized the government and the level of knowledge/education is uneven between urban communities and suburban/rural. As such, it needs continuous efforts in fostering a critical attitude to the public on the quality of food products so as to encourage the creation of an attitude of prudence consuming public in terms of food products, and the Government should have good communication skills with the public as consumers. Keywords: Contamination of Infant Formula, Development and Consumer Education A. LATAR BELAKANG. Pesatnya pertumbuhan dalam bidang perekonomian terutama dalam bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah banyak menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa termasuk berbagai jenis produk pangan yang beredar di tengah masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Hal ini menimbulkan kebebasan dalam hal memilih aneka jenis produk pangan dan kualitasnya sesuai dengan kemampuan serta keinginan konsumen. Dalam banyak kasus, posisi seorang konsumen tersebut selalu lebih lemah dibandingkan posisi seorang produsen, sehingga konsumen hanya menjadi obyek bisnis dalam rangka meraih keuntungan sebesar-besarnya melalui propaganda iklan/kiat-kiat promosi, sistem pemasaran, dan pemberlakuan perjanjian standar yang merugikan. Faktor utama lemahnya kedudukan seorang konsumen adalah masih rendahnya tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat dalam bidang perlindungan konsumen. Selama ini, banyak kasus di lapangan memperlihatkan bahwa tingkat pengetahuan yang minim membuat seorang konsumen kurang mencermati produk pangan yang dikonsumsinya, misalnya kasus keracunan makanan yang ternyata disebabkan oleh produk pangan yang sudah kadaluwarsa, atau disebabkan oleh kemasan yang rusak karena kontaminasi, dan lain sebagainya. Sedangkan kasus yang cukup fenomenal akhir-akhir ini adalah hasil penelitian tim peneliti Institut Pertanian Bogor yang menemukan fakta bahwa produk susu formula bayi dan makanan bayi yang dipasarkan antara bulan April-Juni 2006 tercemar oleh mikroba yang bernama entrobacter sakazakii (ES). Dari 22 sampel susu formula yang telah diteliti terdapat 22,73% yang terkontaminasi entrobacter sakazakii (ES) dan 15 sampel makanan bayi

81 yang diteliti terdapat 40% telah terkontaminasi entrobacter sakazakii (ES). Yang menarik dari kasus ini adalah polemik antara lembaga penelitian IPB dan pemerintah (Menkes RI) berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi polemik yang bernuansa politis, dimana masingmasing pihak melakukan manuver saling menjatuhkan, sehingga masyarakat semakin resah dan kedudukannya selaku pihak konsumen sangat dirugikan. Kasus yang mencuat sekitar bulan Februari 2008 baru mendapat kejelasan pada tanggal 3 April 2008 dengan adanya pengumuman resmi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku instansi pemerintah yang mempunyai wewenang tertinggi di bidang peredaran obat dan makanan di Indonesia. Namun, pengumuman dari pemerintah yang sekian lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat ini ternyata tidak cukup memuaskan. Harapan masyarakat bahwa nama-nama (merek) produk susu formula dan makanan bayi yang tercemar tersebut akan diumumkan ternyata tidak dilakukan oleh BPOM. Pemerintah hanya menyatakan bahwa telah dilakukan penelitian yang sama terhadap produkproduk yang semula telah dinyatakan tercemar oleh tim peneliti IPB, dan hasil pengujian ulang oleh pemerintah tersebut menunjukan bahwa produk-produk susu formula dan makanan bayi yang beredar di pasaran telah dinyatakan aman. Banyak kalangan menilai, bahwa upaya penyimpulan 96 sampel susu formula bebas bakteri Entrobacter sakazakii oleh BPOM itu mengindikasikan bahwa pemerintah masih menjadi corong pengusaha. Pernyataan ini dilontarkan oleh Arist Merdeka Sirait selaku Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak. Ia berpendapat bahwa seharusnya pemerintah melakukan langkah untuk mengumumkan nama-nama (merek) produk susu formula yang tercemar terlebih dahulu, baru melakukan penelitian ulang terhadap produk-produk tersebut. Dalam ketentuan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa seorang produsen pangan wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi pangan. Sehingga kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan harus memenuhi ketentuan sanitasi pangan, bahan tambahan makanan pangan, residu cemaran, dan kemasan pangan. Demikian pula ketentuan dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Kedua ketentuan tersebut mengatur kewajiban para pelaku usaha atau produsen dengan maksud melindungi kepentingan para konsumen atau pengguna barang dan/atau jasa tersebut. Namun demikian, pasal 5 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa kewajiban seorang konsumen adalah melakukan upaya hati-hati dan menggunakan ketelitiannya sewaktu membeli suatu produk barang dan/atau jasa, termasuk produk pangan. Jadi, jika ditinjau dari sisi kedudukan seorang konsumen, iapun mempunyai kewajiban yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membeli dan mengkonsumsi produk pangan tersebut. Produsen atau pelaku usaha mempunyai tanggung jawab terhadap kualitas produk pangan yang dihasilkannya sedangkan pada sisi lain, seorang konsumen wajib dan perlu melakukan kehati-hatian dalam mengkonsumsi produk pangan tersebut. Hal ini sesuai dengan doktrin atau teori hukum perlindungan konsumen Let The Buyer Beware yang mempunyai asumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen merupakan dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak diperlukan proteksi apapun bagi si konsumen. Jadi dapat disimpulkan, bahwa seorang konsumen tersebut mempunyai kewajiban berusaha melindungi dirinya sendiri.

82 Mengingat sebuah produk pangan yang telah memenuhi standar kesehatan, dalam perjalanan waktu bisa menjadi produk pangan yang tidak layak konsumsi karena kemasan rusak akibat pengangkutan, kadaluwarsa, dan lain-lain, maka upaya paling penting adalah memberikan pengetahuan yang cukup kepada masyarakat sebagai pengguna produk pangan untuk memahami kewajibannya sebagai konsumen agar bersikap kritis dan berhati-hati dalam menggunakan produk pangan sehingga bisa mengeliminir kerugian. Belajar dari kasus susu formula yang terkontaminasi, dimana pemerintah tidak dapat segera mengambil sikap yang mencerminkan jaminan kepastian hukum, sehingga memberikan jaminan kenyamanan bagi konsumen dalam mengkonsumsi produk, maka yang paling urgen dilakukan adalah upaya untuk mendidik masyarakat agar menjadi konsumen yang cerdas (cerdas akan hak dan kewajibannya). Masyarakat pedesaan yang pada umumnya merupakan kelompok masyarakat yang lebih jauh akses informasinya dibandingkan dengan kelompok masyarakat perkotaan, menjadikannya lebih rentan terhadap potensi kerugian akibat minimnya pengetahuan untuk bersikap hati-hati dalam menggunakan dan mengkonsumsi produkproduk pangan tersebut. Oleh karena itu diperlukan sebuah upaya preventif untuk mengatasinya, dimana salah satunya melalui program pendidikan kepada masyarakat tersebut, yaitu dengan memberikan pegetahuan dalam bidang perlindungan konsumen dalam rangka mengupayakan kesadaran untuk bersikap kritis dan selanjutnya berhati-hati dalam mengkonsumsi produk pangan. Berdasarkan uraian analisis situasi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung kepastian hukum & keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi? B. PEMBAHASAN Istilah konsumen secara formal definisinya dapat kita temukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK). Dalam ketentuan UUPK yang dinamakan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan pegertian dari pelaku usaha dapat kita temukan pada ketentuan pasal 1 butir 3 yang intinya adalah mereka (baik perorangan maupun badan usaha) yang menyelenggarakan kegiatan dalam bidang ekonomi. Secara umum lahirnya peraturan dalam bidang perlindungan konsumen ini merupakan suatu bentuk upaya pemerintah untuk menjaga iklim usaha yang sehat dan upaya terciptanya keseimbangan kedudukan antara pelaku usaha dan para konsumen. Sebab seperti telah lama diketahui, bahwa pesatnya perkembangan dalam bidang perindustrian dan perdagangan mengakibatkan kedudukan yang tidak seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen, dimana konsumen cenderung hanya menjadi obyek bisnis untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu, dalam UU ini dimuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban, baik bagi para pelaku usaha maupun bagi para konsumen. Hak dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam ketentuan pasal 6 dan 7 UUPK, dimana kewajibannya adalah beretikad baik dalam menjalankan kegiatan usahanya tersebut, antara lain dengan memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan dan pemeliharaannya. Selanjutnya, menjaga mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan /atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Selain itu, pelaku usaha juga

83 berkewajiban untuk memberikan kompensasi apabila terjadi kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan/atau penggunaan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan itu. Sedangkan hak-haknya selaku pelaku usaha adalah menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan dan kondisi/nilai barang dan/atau jasa tersebut. Selain itu, ia berhak mendapat perlindungan hukum dari pihak konsumen yang memiliki itikad tidak baik, berhak melakukan pembelaan diri sepatutnya, serta berhak untuk direhabilitasi nama baiknya yang sudah terlanjur tercemar apabila telah terbukti bahwa kerugian konsumen tersebut bukan diakibatkan oleh produk barang dan/atau jasa yang diproduksinya. Industri pangan yang menghasilkan produk-produk pangan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin keamanan pangan yang diproduksinya. Ketentuan ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, pasal 41 s/d 44 dan hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 7 UUPK, yang menetapkan kewajiban para pelaku usaha untuk menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku. Sehingga tanggung jawab industri pangan merupakan aspek penting dalam mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak konsumen sebagai pemakai produk-produk pangan sebagaimana tersebut dalam ketentuan pasal 4 UUPK. Sementara di lain pihak, ketentuan mengenai kewajiban konsumen diatur juga yaitu dalam pasal 5 UUPK, antara lain : 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Jika kita mencermati ketentuan dari pasal 5 tersebut, maka jelas bahwa tanggung jawab dalam hal keselamatan produk tidak hanya dibebankan sepenuhnya pada pihak pelaku usaha atau produsen. Pihak konsumen sebagai pengguna produk juga mempunyai kewajiban untuk mengupayakan keselamatan dirinya dalam mengkonsumsi produk-produk yang dihasilkan oleh produsen, yaitu dengan melakukan upaya kehati-hatian sebelum membelinya. Mengingat selama ini upaya penyadaran dalam hal perlindungan konsumen lebih menitikberatkan pada sisi pelaku usaha, maka timbul sebuah asumsi dalam masyarakat bahwa peraturan mengenai perlindungan konsumen dibuat untuk membebani para pengusaha dengan sebuah tanggung jawab berat dalam menjaga keselamatan dan kenyamanan bagi para pengguna produk (sesuai ketentuan pasal 4 UUPK), dan fakta di lapangan masih sedikit upaya sosialisasi mengenai aspek kewajiban masyarakat luas selaku konsumen sebagai bagian dari hak masyarakat untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan di bidang konsumen. Padahal, seperti kita ketahui sistem perlindungan konsumen yang diatur dalam ketentuan UUPK berupaya menciptakan sebuah kerangka hukum yang dapat menumbuhkan iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen. Dari kasus susu formula dan makanan bayi yang tercemar entrobacter sakazakii, kita dapat menganalisa bahwa pemerintah sendiri belum sepenuhnya memberikan hak-hak masyarakat selaku konsumen sebagaimana termaktub dalam tujuan perlindungan konsumen pasal 3 UUPK, terutama pasal 3 huruf c yang membebankan kewajiban pemerintah dalam menciptakan suatu sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

84 Dan pengaturan ini juga tercermin dalam ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat selaku konsumen, yaitu dalam pasal 4 huruf C (tentang kejelasan informasi produk) dan F (hak untuk dibina melalui program pendidikan konsumen agar menjadi konsumen yang cerdas). Kesimpang-siuran informasi yang didapat oleh masyarakat dalam kasus susu formula tersebut mencerminkan bahwa sistem perlindungan konsumen yang termaktub dalam ketentuan pasal 3 UUPK belum dapat diwujudkan pemerintah. Menurut penulis, sistem tersebut dapat terwujud jika pemerintah memilliki kemampuan good communicater dengan masyarakatnya, dan pejabat publiknya lebih bisa menata diri ketika akan mengeluarkan pernyataan di depan publik. Sehingga, unsur kepastian hukum tersebut berdampak pada kenyamanan masyarakat selaku konsumen pengguna produk. Begitu juga dengan kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat selaku konsumen untuk bersikap hati-hati (Pasal 5 UUPK), tidak akan terwujud jika masyarakat sendiri tidak diberikan bekal pengetahuan untuk menjadi konsumen yang cerdas. Terlebih dengan tingkat pengetahuan/pendidikan yang tidak merata antara kelompok masyarakat perkotaan dan pinggiran/pedesaan, maka upaya sosialisasi mengenai aspek kewajiban konsumen ini perlu diintensifkan serta diprioritaskan pada kelompok masyarakat pedesaan yang secara geografis maupun sosial jauh dari akses informasi yang dibutuhkannya. C. P E N U T U P Kesimpulan 1. Pemerintah harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan masyarakat selaku konsumen. 2. Melakukan upaya yang berkesinambungan dalam menumbuhkan sikap kritis pada masyarakat terhadap kualitas produk pangan sehingga mendorong terciptanya sikap kehati-hatian masyarakat dalam hal mengkonsumsi produk pangan dan hal tersebut hanya dapat dicapai dengan memberikan hak konsumen yaitu haknya untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan di bidang konsumen. Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan antara lain sebagai berikut: 1. Secara umum lahirnya peraturan dalam bidang perlindungan konsumen ini merupakan suatu bentuk upaya pemerintah untuk menjaga iklim usaha yang sehat dan upaya terciptanya keseimbangan kedudukan antara pelaku usaha dan para konsumen, sehingga pemerintah diharapkan tidak hanya mementingkan kepentingan pihak pengusaha saja. 2. Program pendidikan di bidang konsumen dapat dilakukan (direaliasikan) dengan bekerjasama dengan institusi perguruan tinggi dan LSM. 3. Sebaiknya dialokasikan dana untuk menangani penelitian-penelitian di bidang konsumen untuk mengetahui perkembangan permasalahan perlindungan konsumen, sehingga dapat dirumuskan berbagai alternatif pemecahan masalah tersebut. Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung kepastian hukum & keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi antara lain dengan langkah-langkah:

85 DAFTAR PUSTAKA Miru Ahmad dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Bandung. Rajaguguk Erman,dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung. Sudaryatmo, 1999, Hukum Dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya, Bandung. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, Tentang Pangan. Koran Tempo, edisi Jumat 4 April 2008.